3.2.10

TRADISI GURU-MURID, ISLAMI KAH?

Pada tahun 636-an Masehi, Khalifah ke-tiga, Umar bin Khattab bersama seorang pengawalnya bepergian dari Madinah menuju kota Qudsi (kota yang disucikan) untuk menerima penyerahan kekuasaannya dari kaisar Romawi kepada pemerintahan Daulah Islamiyah. Menurut riwayat, kota Qudsi sebelumnya berada di bawah kekuasaan Romawi-Nasrani, setelah peralihan kekuasaannya dari Bani Israil, selama tidak kurang tujuh abad.

Selama perjalanan, Khalifah hanya membawa seokor unta yang ditungganginya secara bergantian: satu waktu khalifah Umar yang menunggangi unta, sementara pengawalnya berjalan dibawahnya. Pada waktu lain sebaliknya: pengawal khalifah menunggangi unta dan sang khalifah yang berjalan kaki. Begitu seterusnya, sampai tiba di tempat tujuan.

Saat memasuki kota Qudsi yang saat itu mayoritas penduduknya beragama Nasrani, khalifah Umar kebagian giliran berjalan kaki, sementara yang menunggangi unta adalah pengawalnya. Melihat kejadian tersebut, penduduk Qudsi yang sebelumnya sudah mengenal sosok Umar bin Khattab sebagai khalifah merasa kaget sekaligus heran. Mereka terperanjat, bagaimana mungkin seorang khalifah berjalan kaki sementara pengawalnya justru menunggangi unta.

Ya, sebuah pemandangan yang langka serta aneh bagi mereka, bahkan mungkin bagi siapa saja yang belum mengenal ajaran Islam. Agama yang menyamakan hak antara pemimpin dan pengikutnya; antara si kaya dan si miskin, laki-laki dan perempuan; dan pastinya antara pemerintah dan rakyatnya. Nilai manusia, sebagaimana tersirat dalam Al-Qur’an, hanya tergantung kualitas ketaqwaannya saja. Tidak lain.

Terlepas dari keabsahan kisah diatas, kandungan nilai kisah tersebut juga ditauladani Nabi Muhammad selaku pembawa risalah Islam. Rasulullah tidak pernah membedakan umatnya menurut klasifikasi yang umum menjadi standar penilaian masyarakat Quraisy kala itu; di mana Rasul dilahirkan dan tumbuh berkembang. Beliau bahkan menentang kecendrungan tata cara bersosialisasi masyarakat Arab pada waktu itu, yakni standarisasi penilaian manusia dari segi materialistik dan keturunan.

Sejak awal Rasul memang selalu memberi suri tauladan penghapusan nilai-nilai fanatisme kelompok dan golongan. Karenanya tidak ada perbedaan antara satu dengan lainnya dalam bermuamalah, baik secara sosial, ekonomi, politik, juga hukum. Dalam penerapan hukum, asas persamaan dan keadilan betul-betul beliau terapkan. Bahkan, Fatimah putrinya pun, jika ketahuan mencuri, hukumannya sama dengan yang lainnya: potong tangan, tanpa pertimbangan putrid Rasul.

Dalam aspek sosial, tauladan persamaan sangat kental, bahkan cendrung nampak “ekstrim” dilakoni Nabi. Kita tidak akan pernah mendengar ada sebutan ‘murid Nabi’, apalagi pembantu Nabi. Yang ada hanya istilah ‘sahabat Nabi’. Kita pasti meyakini, bahwa hanya Rasul satu-satunya manusia pada masanya yang mendapat petunjuk langsung dari Allah berupa wahyu. Sementara selain Nabi adalah –dalam istilah sekarang– pengikut atau murid beliau.

Nabi yang mengajarkan mereka segala apa yang diwahyukan Allah. Jadi Nabi adalah guru, dan lainnya tentu murid. Tapi, dengan kerendahan hatinya, beliau tidak pernah menonjolkan dirinya agar disebut sebagai guru. Semua orang yang mengenal dan hidup dimasanya tak lain menjadi sahabtnya. Ada lagi, Sahabat Abu Hurairah yang terkenal di kalangan ualama hadis sebagai periwayat beribu-ribu hadis, tak lain merupakan -menurut tradisi kita- khaddam (pembantu) Nabi.

Begitulah salah satu inti ajaran Islam dalam hal persamaan antar sesama manusia. Tak ada yang perlu meresa lebih tinggi atau lebih rendah dari lainnya karena kekuasaan, harta atau keturunan. Perbedaan antar manusia di sisi Allah hanya dinilai dari ketaqwaannya. Siapa yang bisa menilai kualitas taqwa seseorang? Tak ada satu pun selain Allah. Ketaqwaan tak lain adalah urusan antar pribadi dengan Rabb Allah.

Dengan landasan pemahaman di atas, adalah orang yang tidak tahu ajaran Islam lah siapa-siapa yang menilai orang lain lebih rendah darinya, atau sebaliknya, lebih mulia. Tak ada alasan yang membenarkan –dalam ajaran Islam– merendahkan atau memuliakan orang lain, melebihi tatakrama kesopanan serta etika kesantunan bermasyarakat sebagaimana mestinya.

Selebihnya, jika penduduk kota Qudsi yang mayoritas nonmuslim merasa aneh saat menyaksikan kedatangan khalifah Umar bin Khattab bersama pengawalnya dengan bergantian menunggangi unta, maka saat ini dengan penduduk mayoritas muslim, apakah masyarakat Indonesia juga akan melihat adanya kejanggalan atau keanehan ketika melihat presiden Indonesia sedang menyupir mobil yang ditumpangi oleh para pengawal atau ajudannya? Mungkinkah?!

Satu lagi, jika Rasulullah saja yang diyakini sebagai maha guru bagi para sahabatnya, lantas tidak menganggap mereka sebagai murid, tapi justru sahabat saja; bagaimana kita yang berprofesi sebagai guru, ustad atau dosen harus merasa lebih tinggi di hadapan para murid kita?; kita anggap para murid su’ul adab saat pringainya tidak atau kurang menghargai kita selaku guru mereka? Tidakkah ini menandakan keangkuhan “fikiran” kita wahai sekalian guru, ustad dan dosen!!!