Oleh Abdul Moqsith Ghazali
Setiap orang Islam sebenarnya adalah pemimpin atas dirinya sendiri. Kata Nabi, “kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an rai’iyyatihi” (setiap kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungan-jawab atas kepemimpinan kalian)
Problem keumatan Islam Indonesia terus menumpuk. Soal yang satu belum terpecahkan sudah ditindih perkara baru yang ghalibnya juga tak terselesaikan. Mulai dari soal masih berlangsungnya gerakan terorisme berbasis Alquran-Hadits hingga tak rampungnya masalah relasi Islam dan negara di Indonesia. Tak sedikit umat Islam yang mengembangkan teologi sempit, menyesatkan orang lain bahkan ketagihan menghancurkan orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya. Sebagian umat Islam lain gencar memperjuangkan tegaknya negara Islam dan Khilafah Islamiyah di tengah negara Pancasila yang telah menjadi konsensus para pendiri negara. Belum lagi soal Ahmadiyah. Menteri Agama RI, Suryadharma Ali, merasa punya hak dan otoritas untuk membasmi Ahmadiyah dari seluruh pemukiman Indonesia. Begitu banyak soal yang melilit tubuh umat Islam.
Semua soal itu praktis tak mudah diatasi. Ini mungkin terkait dengan rumitnya masalah kepemimpinan di internal umat Islam Indonesia sendiri. Siapakah sesungguhnya pemimpin Islam Indonesia ? Pertama, ada yang berkata bahwa pemimpin umat Islam Indonesia adalah Susilo Bambang Yudhoyono, karena dia adalah seorang presiden dari negeri yang konon 85 % penduduknya beragama Islam. Dahulu, Presiden Soekarno mendapatkan julukan Waliyul Amri al-Dharuri bis Syaukah dari Nahdhatul Ulama (NU). Ulama NU menerima Soekarno sebagai waliyul amri karena darurat. Sebagaimana Bung Karno tak pernah dianggap sebagai representasi umat Islam, maka begitu juga dengan Pak Beye. Walau artikulasi dan pengungkapan nomenklatur Arab-Islam Pak Beye terus dibenahi, ia tak pernah dihitung sebagai pemimpin Islam.
Kedua, yang lain berpendapat bahwa pemimpin Islam adalah para ketua umum ormas keislaman. Apakah Said Aqiel Siradj adalah pemimpin Islam karena yang bersangkutan menjabat Ketua Umum PBNU? Rasanya tak mudah untuk meng-iya-kan. Sebab, apa yang dikatakan Pak Said di Jakarta tak serta-merta diamini oleh warga nahdhiyyin di daerah. Banyak kiai-kiai NU yang menyanggah argumen pluralisme yang dikampanyekan Pak Said. Pidato Pak Said yang bagus tentang pentingnya menjaga harmoni dan kerukunan umat Islam dengan umat agama lain dengan mudah ditebang sejumlah ustad di pesantren.
Lalu, apakah Rizieq Shihab misalnya adalah pemimpin Islam karena ia adalah Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI)? Jawabnya pasti “tidak”. Boro-boro didengar dan ditaati seluruh umat Islam, apa yang diserukan Rizieq Shihab dalam banyak peristiwa diabaikan begitu saja oleh anggota FPI sendiri. Jika Pak Rizieq menyerukan agar anggota FPI tak melakukan kekerasan dan main hakim sendiri dalam menyelesaikan suatu masalah, maka tak sedikit anggota FPI yang mengingkarinya. Selanjutnya FPI pusat segera mengatakan bahwa apa yang dilakukan anggota FPI terkait dengan tindak penyerangan atau penyegelan adalah tanggung jawab pribadi dan bukan tanggung jawab organisasi. Bah!
Ketiga, ada yang berkata bahwa pemimpin Islam adalah mereka yang memiliki penguasaan mendalam terhadap ilmu-ilmu keislaman. Mereka mendalami secara sekaligus fikih (produk pemikiran ulama klasik) dan ushul fikih (metodologi untuk memproduksi fikih Islam baru). Mereka menguasai tafsir dan qawa’id al-tafsir (metodologi tafsir). Dari segi kompetensi keilmuan, mungkin orang seperti Muhammad Quraish Shihab bisa dimasukkan. Pertanyaannya, lalu umat Islam manakah yang mendengarkan dan mengikuti fatwa-fatwa Pak Quraish? Banyak ulama yang ilmunya menggantung tinggi di atas awan (far’uha fis sama’), tapi kerap tak bersambung dengan massa Islam di akar rumput. Analisa semantik-kebahasaan Arab yang selalu menyertai analisa Pak Quraish dalam menafsirkan Alquran tampaknya tak mudah dipahami umat Islam level bawah. Seorang ibu setengah baya pernah berkata pada saya bahwa ceramah Pak Quraish adalah obat yang mengantarnya ke alam tidur. Tentu tak mengapa. Karena Pak Quraish, seperti juga setiap kita, tak akan bisa memuaskan semua. Itu sebabnya Quraish Shihab tak mengklaim sebagai pemimpin umat Islam.
Keempat, ada yang berkata bahwa pemimpin umat Islam adalah para muballigh atau da’i. Dari sudut keilmuan, para muballigh biasanya tak terlalu alim tapi sangat populer. Mereka bukan tipe orang yang suka bergumul dengan timbunan teks dalam ortodoksi Islam, tapi nama mereka masyhur. Wajahnya banyak memenuhi layar kaca. Siapa yang tak tahu Jefrey al-Bukhari yang bersuara merdu, Muhammad Arifin Ilham yang meronta ketika berdoa, Mama Dedeh yang tegas dalam berdakwah, dan Yusuf Manshur yang hendak menyelesaikan semua masalah dengan sedekah. Dengan capaian popularitas itu, sebagian orang menyangka bahwa mereka adalah pemimpin umat. Padahal, seperti kita sadari, ketokohan yang dibangun hanya dengan topangan media laksana membangun istana pasir yang guyah. Dengan tiba-tiba seseorang dikenal sebagai tokoh, dan tiba-tiba juga ia akan merosot menjadi orang biasa. Ketika televisi “tak lagi menyukai” Aa’ Gym, maka sang Aa’ pun hilang, segera diganti muballigh lain. Begitu seterusnya, patah-tumbuh, hilang berganti.
Jika demikian, maka tak ada pemimpin Islam Indonesia yang diakui dan diikuti umat Islam pada tingkat nasional. Suara Menteri Agama RI jelas tak mewakili seluruh umat Islam Indonesia. Ia hanya mewakili sebagian kecil kelompok umat Islam. Apalagi kalau kita mengukur ketokohan SDA (Suryadharma Ali) dengan perolehan suara PPP, partai Islam pimpinan sang Menteri Agama RI, yang terus melorot bahkan diprediksikan akan binasa pada pemilu 2014. Begitu juga dengan para tokoh agama Islam lain. Abu Bakar Baasyir, Jakfar Umar Thalib, Hidayat Nur Wahid adalah deretan tokoh dengan jumlah pengikut tak terlampau banyak.
Akhirnya, setiap orang Islam sebenarnya adalah pemimpin atas dirinya sendiri. Kata Nabi, “kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an rai’iyyatihi” (setiap kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungan-jawab atas kepemimpinan kalian). Wallahu A’lam bis Shawab.