13.6.12

AL-QUR’AN DAN BAHASA ARAB



A.    Pendauluan
Kitab (Al-Qur’an) ini, tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” Demikian terjemahan Al-Qur’an (QS. 2:2). Ayat tersebut menjadi penegas bahwa Al-Qur’an bisa menjadi petunjuk hanya bagi mereka yang bertaqwa. Dengan kata lain, orang yang tidak bertawa tidak akan pernah bisa menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk. Orang yang tidak bertaqwa juga akan selalu merelatifkan kandungan . Hanya mereka yang bertaqwa lah yang meyakini bahwa tidak akan pernah ada kesalahan dalam al-Qur’an, baik secara harfiah atau kandungan ajarannya untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupan di dunia. Sebagai mukjizat Nabi Muhammad, Al-Qur’an terbukti, dan harus kita yakini akan selalu otentik sepanjang zaman.
Secara bahasa, Al-Qur’an berarti “bacaan sempurna”. Kesempurnaannya dapat kita tinjau dari beberapa aspek, yang sekiranya dibandingkan dengan bacaan-bacaan lainnya, tidak akan ada alasan untuk menafikan kesempurnaanya. Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an, menuturkan beberapa aspek yang menjadi sebagian dari mukjizat Al-Qur’an:
Pertama, Al-Quran adalah bacaan ratusan juta orang bahkan milyaran sejak awal pembukuannya; bukan saja bagi yang mengerti, tapi juga “enak” dibaca oleh mereka yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya.
Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.
Kedua, Tiada bacaan melebihi Al-Quran dalam perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun semua mengandung kebenaran.
Al-Quran layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang diatur tatacara membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang terlarang, atau boleh, atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya. Adakah buku bacaan atau kitab suci yang menyerupai Al-Qur’an dari aspek-aspek tersebut? Adakah bacaan seperti Al-Qur’an yang bisa dihafal sejak masa-masa awal Islam hingga saat ini?

B.     Al-Qur’an Dan Bahasa Arab
Bagaimana pun, sebagai muslim kita wajib mengimani bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi umat Islam di seantero alam; bukan hanya orang Arab an-sich. (QS:14.4). Makna atau nilai kandungan dalam Al-Qur’an bersifat universal, maka tentunya tidak dibatasi atau diubah (dalam arti bertambah atau berkurang) oleh penggunaan suatu bahasa. Maka, penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an pun sesungguhnya lebih banyak menyangkut masalah teknis penyampaian pesan daripada masalah nilai. Penggunaan bahasa Arab untuk Al-Qur’an adalah wujud khusus dari ketentuan umum bahwa Allah tidak mengutus seorang rasul-pun kecuali dengan bahasa kaumnya, yaitu masyarakat yang menjadi audience langsung seruan rasul itu dalam menjalankan misi sucinya. Dalam hal ini, Nabi Muhammad saw., dan kaumnya waktu itu adalah masyarakat Arab, khususnya masyarakat Makkah dan sekitarnya, sehingga bahasa Al-Qur’an adalah bahasa dialek penduduk Makkah, yaitu dialekk Quraisy.
Pandangan bahwa bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an lebih merupakan soal teknis penyampaian pesan darpada soal nilai ini ditunjang oleh keterangan Al-Qur’an sendiri. Yaitu keterangan bahwa karena Nabi Muhammad saw., adalah seorang Arab, maka mustahil Allah mewahyukan ajaran-Nya dalam bahasa bukan Arab (QS:41.44). Jadi, meski pun Al-Qur’an menggunakan medium bahasa Arab, namun kitab suci yang mengandung wahyu ini tetap merupakan petunjuk dan obat bagi mereka yang beriman, lepas dari bahasa yang digunakan di dalamnya. Sebab makna yang terkandung dalam Al-Qur’an adalah ajaran-ajaran universal yang tidak terikat oleh masalah kebahasaan.
Toh demikian, di luar dari kejelasan bahwa penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an adalah masalah teknis, tentunya harus diakui juga bahwa tidak sedikit keterangan adanya nilai lebih dalam penggunaan bahasa Arab dalam Al-Qur’an, tidak sebatas teknis penyampaian pesan semata. Terpilihnya bahasa Arab sebagai medium dalam penyampaian ajaran-ajaran Islam yang universal ini terikat erat dengan konsep dan pandangan bahwa Al-Qur’an merupakan mukjizat yang tidak bisa ditiru oleh manusia. Dalam pandangan Teologis Islam konsep ini termasuk doktrin yang sangat terkenal dan mapan dengan dukungan berbagai bukti empirik yang tidak sedikit.
Salah satu mukjizat Al-Qur’an itu ialah ekspresi puitisnya yang sangat khas dan unik. Kekhasan dan keunikan ekspresi puitis itu jelas karena digunakannya bahasa Arab. Dengan kata lian, ada benang merah antara segi kemukjizatan Al-Qur’an dan bahasa Arab dalam ekspresinya. Sekedar contoh, dapat kita rasakan ekspresi puitis yang khas dan unik isi al-Qur’an dalam Surah al-Âdiyât, (tranliterasi berdasarkan bunyinya sebagai berikut.):
Wa ‘l-âdiyâti dlabhâ,
fa ‘l-mûriyâti qadhâ,
fa ‘l-mughîrâti shubhâ,
fa atsarna bihî naq’â,
fa washatna bihî jam’â,
Inna ‘l-insâna li rabbihî lakanûd,
wa innahû ‘ala dzâlika lasyadîd,
Afalâ ya’lamu idzâ bu’tsira mâ fi ‘l-qubûr,
wa hushshila mâ fi ‘sh-shudûr?
Inna rabbahum bihim yauma ‘idzin lakhabîr

Ekpresi puitis yang khas dan unik, yang ia sendiri mempunyai kekuatan metafisis yang aneh bagi para pendengarnya itu, dengan sendirinya akan hilang jika bahasa mediumnya dipindahh dari bahasa Arab ke bahasa mana pun lainnya. Dari sudut pandang ini juga terdapat anggapan, bahkan keyakinan, kalau Al-Qur’an tidak bisa diterjemahkan. Dan jika harus diterjemahkan juga, antara lain untuk memenuhi keperluan memahami makna ajaran Kitab Suci itu untuk kalangan yang tidak mengerti bahasa Arab, maka hasil terjemahan tersebut tidak bisa dibilang Al-Qur’an, melainkan “terjemahan” atau “tafsir”. Inilah yang didasari banyak ahli, baik muslim maupun bukan muslim tentang Al-Qur’an.
Seorang muslim ahli sastra dari Inggris, Muhamad Marmaduke Pickthall mengatakan dalam pengantar bukunya yang merupakan terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris, seperti ditulis Nurchalish Madjid:
Al-Qur’an itu tidak dapatt diterjemahkan. Itulah kepercayaan para pemuka agama model lama dan juga pandangan penulis. Kitab sucii itu disajikan secara harfiah dan hasilnya bukanlah Al-Qur’an Al-Karim itu sendiri, yang simponinya tak tertirukan, dann yang bunyi bacaannya sendiri menggerakkan orang untuk meneteskan air mata dan ekstase. Buku ini adalah sekedar bacaan untuk menyajikan makna Al-Qur’an, dan ia tidak akan pernah bisa menjadi pengganti Al-Qur’an dalam bahasa Arab, dan memang tidak dimaksudkan untuk hal itu.”
 Mungkin apa yang dimaksud kutipan di atas, bagi kebanyakan orang tidak mengherankan, karena Marmaduke sendiri adalah seorang muslim, yang percaya kepada ilham dan Al-Qur’an. Bisa dikatakan: memang begitulah seharusnya sikap seorang muslim kepada kitab sucinya sendiri. Tapi sebenarnya yang bersikap seperti itu tidak hanya seorang muslim, namun banyak juga kalangan ahli yang bukan muslim. Salah seorang dari mereka ialah A.J. Berry, yang menerangkan pendapatnya tentang Al-Qur’an dengan mengatakan, antara lain:
“... saya menegaskan pandangan bahwa suatu bacaan abadi seperti halnya Al-Qur’an, tidak dapat sepenuhnya dimengerti kalau ia dibolehkan diuji hanya oleh kritisisme temporal. Sama sekali tidak relevan untuk mengharap bahwa tema-tema yang digarap dalam satu Surat dapat diukur dengan presisi matematis tertentu untuk membentuk suatu pola yang tersusun secara rasional; logika wahyu bukanlah logika kaum sekolahan. Tidak ada “sebelum” dan “sesudah” dalam pesan kenabian, ketika pesann itu sendiri benar adanya; kebenaran abadi tidak boleh dipandang dalam batas-batas waktu dan ruang, tetapi setiap momen mengungkap dirinya secara utuh dan sempurna...” 

C. Objektif Menilai Medium Al-Qur’an    
Di tengah “perang” wacana Arabisasi Islam antara kelompok muslim Liberal dan Literal, kita tetap harus objektif dalam menilai Arab. Jika ada yang merelatifkan penggunaan bahasa Arab sebagai media penyampai dalam Al-Qur’an, dikarenakan Nabi Muhammad adalah orang Arab, seyogyanya ia tidak mencukupkan “kekritisan”nya hanya sampai disini. Kenapa Allah lahirkan Muhammad melalui rahim seorang Aminah; wanita berkebangsaan keturunan Arab? Kenapa tidak melalui wanita-wanita lain; wanita Yunani, Romawi, Cina, atau India? Bukankah pada 14 abad yang lalu peradaban bangsa Arab jauh tertinggal dibandingkan empat bangsa di atas?
Jika jawabannya agar Islam menjadi sebuah peradaban yang baru, karenanya harus diturunkan di tengah komunitas berperadaban rendah, maka masih banyak pada waktu itu bangsa yang jauh lebih katrok dari bangsa Arab! Jadi, semestinya kita berfikir lebih arif. Pasti ada hikmah di balik skenario Allah menjadikan Muhammad sebagai sosok berkebangsaan Arab.
Untuk menilai sebuah komunitas, tidak cukup hanya membaca karya-karya tulis, atau menyaksikan film, apalagi hanya mendengar cerita tanpa mengetahui secara pasti karakteristik penduduk setempat. Demikian halnya saat kita ingin menilai Arab sebagai peradaban. Untuk tidak sekedar mencaci-maki atau berapologi. Saat ini yang terjadi, banyak muslim non-Arab yang mengaku sebagai pemikir Islam, dengan jargon ‘Menyegarkan Pemahaman Islam’, kemudian mementahkan makna Arab sebagai tempat transit Islam pertamakali sebelum tersebar kepada umat manusia di penjuru alam. Padahal, mereka yang merelativkan “Arab”, saat di tanah Arab –jika memang pernah– secara eksplisit tidak pernah melakukan penelitian tentang “kenapa Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab?” Jika terjawab, tidak akan lebih dari sekedar replay: karena Nabi Muhammad orang Arab. Sekali lagi, tidak lebih.
Dan sampai saat inipun masih belum ada hasil penelitian yang bisa menjawab secara empiris; kenapa Allah memilih Rasul-Nya dari kalangan bangsa Arab? Ada apa dengan peradaban, dalam hal ini bahasa Arab dan kebudayaannya; kemarin, hari ini dan esok? Mestinya, jika mengaku pemikir Islam, apalagi cinta, buktikan dengan mencoba tinggal (untuk sementara) di Makkah, kota kelahiran Muhammad dan Islam. Minimal untuk mengetahui bagaimana tanah Arab, khususnya Makkah dan Madinah, serta watak penduduk setempat.
  Akhirnya, Al-Qur’an sebagai kitab ajaran dan petunjuk bagi umat Islam sepanjang zaman dan tempat, harus kita apresiasikan dan yakini bahwa kandungannya akan selalu relevan sepanjang waktu dan tempat. Kandungan ajarannya tidak terbatas pada pemetaan tempat pertama kali diturunkannya Al-Qur’an, dimana audience adalah masyarakat Arab, khususnya penduduk Makkah. Ajaran Islam yang termuat dalam Al-Quran bisa diterapkan kapan dan dimana saja umat Islam berada. 
Kaitannya dengan naggapan banyak kalangan bahwa bahasa Arab sebagai media dalam al-Qur’an merupakan bahasa yang sulit, namun bukanlah hal susah bagi umat Islam memahami Al-Qur’an dalam cakupan maknanya. Bahkan, berbeda dengan Kitab Suci lainnya, Al-Qur’an dengan bahasa Arabnya terbukti bisa dihafal oleh tidak sedikit muslim. Meski terdiri dari ribuan ayat, dalam sejarah selalu saja banyak orang mampu menghapalnya secara cermat dan tepat, meskipun ia orang buta atau anak usia dini. Al-Quran, mudah dihapal atau dilantunkan dengan gaya apapun. Diakui atau tidak, ini berbeda dengan Bible atau Injil.
Karena itu, setiap usaha apapun untuk menambah atau mengurangi Al-Quran baik yang dilakukan kalangan orientalis atau orang kafir, sepanjang sejarah selalu saja ketahuan. Jangan heran bila banyak umat Islam tiba-tiba ribut gara-gara ada Al-Quran palsu atau sengaja dipalsukan sebagaimana terjadi dalam kasus “The True Furqon.” Barangkali itulah cara Allah menjaganya.
Dan hebatnya, para penghapal Al-Quran, setiap saat selalu saja lahir dan bisa ditemukan di seluruh dunia. Untuk yang seperti ini, di Indonesia, bahkan sudah sejak dulu banyak berdiri pesantren-pesantran tahfiidzul al-Qur’an. Sebaliknya, bagi kita, belum pernah mendengar ada orang Kristen atau Yahudi yang hapal keseluruhan kitab suci mereka, termasuk pendeta atau pastur sekalipun. Mengapa bisa demikian? Sekali lagi, inilah rahasia al-Qur’an dengan bahasa Arabnya. Penulis yakin, dengan alasan-alasan rasional di atas, Anda setuju untuk tidak merelatifkan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an. Wallahu a‘lamu bi al-shawab.





*****

12.6.12

BERTERIMAKASIH, DIJAWAB “MAAF”

Keliru jika Anda risih atau membenci satu pujian. Saya anggap itu tidak benar. Orang bijak tidak serta merta membenci satu pujian. Pujian –sebagaimana dikatakan: “Praise is a perfume to smell but not to swallow”- bagaikan parfum yang menebarkan bau harum untuk dihirup, bukan untuk diminum dengan asumsi biar lebih wangi yang justru malah berakibat fatal. Enjoy saja dengan pujian kepada diri kita. Yang penting bisa tetap tahu dan bawa diri, fine aja lagi..!

Kaitannya dengan masalah pujian dan ucapan terimakasih, menarik jika diperhatikan perbedaan antar budaya menanggapi ungkapan terimakasih. Ada nilai filosofi yang bisa difaham dari setiap perbedaan cara membalas satu ungkapan terimakasih. Saat ada yang mengucapkan “terimakasih”, etika kesopanan kita mengajarkan untuk membalasnya dengan ungkapan “sama-sama”. Orang inggris lain lagi, mereka akan menjawab “you are welcome” untuk balasan  bagi orang yang mengucapkan “thak you”. 

Beda budaya Barat, beda juga budaya Arab. Orang Arab –atau mungkin ini setelah bersatunya kultur Islam di tengah budaya Arab- akan mengatakan kata “’afwan” sebagai jawaban dari ucapan “syukran” atau terimakasih. Secara leterleg, etika Arab menanggapi ungkapan terimakasih dari seseorang mungkin tidak mengena. Orang mengucapkan terimakasih, tapi dijawab “maaf”. Orang Indonesia, Inggris, dan banyak lagi kebudayaan masyarakat dunia lainnya hampir serupa makna untuk menjawab ungkapan terimakasih, yakni dengan balasan: “sama-sama”, maksdnya si penerima pujian mengembalikan pujian kepada si pemuji; taken for greated.

Waba’du, kenapa orang Arab menjawab satu ucapan terimakasih atau pujian dengan kata “afwan” yang berarti maaf? Disinilah satu cermin budaya Islam yang mewarnai budaya dan bahasa Arab. Sebagaimana diketahui, dalam ajaran Islam bahwa segala pujian hanya milik Allah. Tidak ada satu makhluk pun yang pantas mendapatkan pujian. Maka saat ada seseorang yang memuji atau mengucapkan terimakasih pada kita, seyogyanya memang harus menanggapi pujian tadi dengan ucapan “maaf”. Jika diteruskan: “maaf saya tidak berhak menerima pujian dan ucapan terimakasih. Allah lah yang pantas menerimanya. Wallahu a’lam bi alshawab.