A.
Pendauluan
“Kitab (Al-Qur’an) ini, tidak ada
keraguan di dalamnya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” Demikian
terjemahan Al-Qur’an (QS. 2:2). Ayat tersebut menjadi penegas bahwa Al-Qur’an
bisa menjadi petunjuk hanya bagi mereka yang bertaqwa. Dengan kata lain, orang
yang tidak bertawa tidak akan pernah bisa menjadikan Al-Qur’an sebagai
petunjuk. Orang yang tidak bertaqwa juga akan selalu merelatifkan kandungan .
Hanya mereka yang bertaqwa lah yang meyakini bahwa tidak akan pernah ada
kesalahan dalam al-Qur’an, baik secara harfiah atau kandungan ajarannya untuk
dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupan di dunia. Sebagai mukjizat Nabi
Muhammad, Al-Qur’an terbukti, dan harus kita yakini akan selalu otentik
sepanjang zaman.
Secara bahasa, Al-Qur’an berarti “bacaan sempurna”.
Kesempurnaannya dapat kita tinjau dari beberapa aspek, yang sekiranya dibandingkan
dengan bacaan-bacaan lainnya, tidak akan ada alasan untuk menafikan
kesempurnaanya. Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an,
menuturkan beberapa aspek yang menjadi sebagian dari mukjizat Al-Qur’an:
Pertama, Al-Quran adalah bacaan ratusan juta orang bahkan milyaran sejak awal pembukuannya; bukan saja bagi yang mengerti, tapi juga “enak” dibaca oleh mereka yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.
Pertama, Al-Quran adalah bacaan ratusan juta orang bahkan milyaran sejak awal pembukuannya; bukan saja bagi yang mengerti, tapi juga “enak” dibaca oleh mereka yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.
Kedua, Tiada bacaan melebihi Al-Quran dalam
perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat
demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada
sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang
dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga
kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang
ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi
generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu,
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun
semua mengandung kebenaran.
Al-Quran
layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan
sudut pandang masing-masing. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang diatur tatacara
membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal atau diperhalus
ucapannya, di mana tempat yang terlarang, atau boleh, atau harus memulai dan
berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya.
Adakah buku bacaan atau kitab suci yang menyerupai Al-Qur’an dari aspek-aspek
tersebut? Adakah bacaan
seperti Al-Qur’an yang bisa dihafal sejak masa-masa awal Islam hingga saat ini?
B.
Al-Qur’an Dan Bahasa Arab
Bagaimana pun, sebagai muslim kita wajib mengimani bahwa
Al-Qur’an adalah petunjuk bagi umat Islam di seantero alam; bukan hanya orang
Arab an-sich. (QS:14.4). Makna atau nilai kandungan dalam Al-Qur’an
bersifat universal, maka tentunya tidak dibatasi atau diubah (dalam arti
bertambah atau berkurang) oleh penggunaan suatu bahasa. Maka, penggunaan bahasa
Arab sebagai bahasa Al-Qur’an pun sesungguhnya lebih banyak menyangkut masalah
teknis penyampaian pesan daripada masalah nilai. Penggunaan bahasa Arab untuk
Al-Qur’an adalah wujud khusus dari ketentuan umum bahwa Allah tidak mengutus
seorang rasul-pun kecuali dengan bahasa kaumnya, yaitu masyarakat yang menjadi audience
langsung seruan rasul itu dalam menjalankan misi sucinya. Dalam hal ini, Nabi
Muhammad saw., dan kaumnya waktu itu adalah masyarakat Arab, khususnya
masyarakat Makkah dan sekitarnya, sehingga bahasa Al-Qur’an adalah bahasa
dialek penduduk Makkah, yaitu dialekk Quraisy.
Pandangan bahwa bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an
lebih merupakan soal teknis penyampaian pesan darpada soal nilai ini ditunjang
oleh keterangan Al-Qur’an sendiri. Yaitu keterangan bahwa karena Nabi Muhammad
saw., adalah seorang Arab, maka mustahil Allah mewahyukan ajaran-Nya dalam
bahasa bukan Arab (QS:41.44). Jadi, meski pun Al-Qur’an menggunakan
medium bahasa Arab, namun kitab suci yang mengandung wahyu ini tetap merupakan
petunjuk dan obat bagi mereka yang beriman, lepas dari bahasa yang digunakan di
dalamnya. Sebab makna yang terkandung dalam Al-Qur’an adalah ajaran-ajaran
universal yang tidak terikat oleh masalah kebahasaan.
Toh demikian, di luar dari kejelasan bahwa
penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an adalah masalah teknis, tentunya
harus diakui juga bahwa tidak sedikit keterangan adanya nilai lebih dalam
penggunaan bahasa Arab dalam Al-Qur’an, tidak sebatas teknis penyampaian pesan
semata. Terpilihnya bahasa Arab sebagai medium dalam penyampaian ajaran-ajaran
Islam yang universal ini terikat erat dengan konsep dan pandangan bahwa
Al-Qur’an merupakan mukjizat yang tidak bisa ditiru oleh manusia. Dalam
pandangan Teologis Islam konsep ini termasuk doktrin yang sangat terkenal dan
mapan dengan dukungan berbagai bukti empirik yang tidak sedikit.
Salah satu mukjizat Al-Qur’an itu ialah ekspresi
puitisnya yang sangat khas dan unik. Kekhasan dan keunikan ekspresi puitis itu
jelas karena digunakannya bahasa Arab. Dengan kata lian, ada benang merah
antara segi kemukjizatan Al-Qur’an dan bahasa Arab dalam ekspresinya. Sekedar
contoh, dapat kita rasakan ekspresi puitis yang khas dan unik isi al-Qur’an
dalam Surah al-Âdiyât, (tranliterasi berdasarkan bunyinya sebagai berikut.):
Wa ‘l-âdiyâti dlabhâ,
fa ‘l-mûriyâti qadhâ,
fa ‘l-mughîrâti shubhâ,
fa atsarna bihî naq’â,
fa washatna bihî jam’â,
Inna ‘l-insâna li rabbihî lakanûd,
wa innahû ‘ala dzâlika lasyadîd,
Afalâ ya’lamu idzâ bu’tsira mâ fi
‘l-qubûr,
wa hushshila mâ fi ‘sh-shudûr?
Inna rabbahum bihim yauma ‘idzin
lakhabîr
Ekpresi puitis yang khas dan unik, yang ia sendiri
mempunyai kekuatan metafisis yang aneh bagi para pendengarnya itu, dengan
sendirinya akan hilang jika bahasa mediumnya dipindahh dari bahasa Arab ke
bahasa mana pun lainnya. Dari sudut pandang ini juga terdapat anggapan, bahkan
keyakinan, kalau Al-Qur’an tidak bisa diterjemahkan. Dan jika harus
diterjemahkan juga, antara lain untuk memenuhi keperluan memahami makna ajaran
Kitab Suci itu untuk kalangan yang tidak mengerti bahasa Arab, maka hasil
terjemahan tersebut tidak bisa dibilang Al-Qur’an, melainkan “terjemahan” atau
“tafsir”. Inilah yang didasari banyak ahli, baik muslim maupun bukan muslim
tentang Al-Qur’an.
Seorang muslim ahli sastra dari Inggris, Muhamad
Marmaduke Pickthall mengatakan dalam pengantar bukunya yang merupakan
terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris, seperti ditulis Nurchalish
Madjid:
“Al-Qur’an itu tidak dapatt
diterjemahkan. Itulah kepercayaan para pemuka agama model lama dan juga
pandangan penulis. Kitab sucii itu disajikan secara harfiah dan hasilnya
bukanlah Al-Qur’an Al-Karim itu sendiri, yang simponinya tak tertirukan, dann
yang bunyi bacaannya sendiri menggerakkan orang untuk meneteskan air mata dan
ekstase. Buku ini adalah sekedar bacaan untuk menyajikan makna Al-Qur’an, dan
ia tidak akan pernah bisa menjadi pengganti Al-Qur’an dalam bahasa Arab, dan
memang tidak dimaksudkan untuk hal itu.”
Mungkin apa yang
dimaksud kutipan di atas, bagi kebanyakan orang tidak mengherankan, karena
Marmaduke sendiri adalah seorang muslim, yang percaya kepada ilham dan
Al-Qur’an. Bisa dikatakan: memang begitulah seharusnya sikap seorang muslim
kepada kitab sucinya sendiri. Tapi sebenarnya yang bersikap seperti itu tidak
hanya seorang muslim, namun banyak juga kalangan ahli yang bukan muslim. Salah
seorang dari mereka ialah A.J. Berry, yang menerangkan pendapatnya tentang
Al-Qur’an dengan mengatakan, antara lain:
“... saya menegaskan pandangan bahwa
suatu bacaan abadi seperti halnya Al-Qur’an, tidak dapat sepenuhnya dimengerti kalau
ia dibolehkan diuji hanya oleh kritisisme temporal. Sama sekali tidak relevan
untuk mengharap bahwa tema-tema yang digarap dalam satu Surat dapat diukur
dengan presisi matematis tertentu untuk membentuk suatu pola yang tersusun
secara rasional; logika wahyu bukanlah logika kaum sekolahan. Tidak ada
“sebelum” dan “sesudah” dalam pesan kenabian, ketika pesann itu sendiri benar
adanya; kebenaran abadi tidak boleh dipandang dalam batas-batas waktu dan
ruang, tetapi setiap momen mengungkap dirinya secara utuh dan sempurna...”
C. Objektif Menilai Medium Al-Qur’an
Di tengah “perang” wacana Arabisasi Islam antara kelompok
muslim Liberal dan Literal, kita tetap harus objektif dalam menilai Arab. Jika
ada yang merelatifkan penggunaan bahasa Arab sebagai media penyampai dalam
Al-Qur’an, dikarenakan Nabi Muhammad adalah orang Arab, seyogyanya ia tidak
mencukupkan “kekritisan”nya hanya sampai disini. Kenapa
Allah lahirkan Muhammad melalui rahim seorang Aminah; wanita berkebangsaan
keturunan Arab? Kenapa tidak melalui wanita-wanita lain; wanita Yunani, Romawi,
Cina, atau India? Bukankah pada 14 abad yang lalu peradaban bangsa Arab jauh
tertinggal dibandingkan empat bangsa di atas?
Jika jawabannya agar Islam menjadi sebuah peradaban yang
baru, karenanya harus diturunkan di tengah komunitas berperadaban rendah, maka
masih banyak pada waktu itu bangsa yang jauh lebih katrok dari bangsa Arab! Jadi, semestinya kita berfikir lebih arif. Pasti ada hikmah
di balik skenario Allah menjadikan Muhammad sebagai sosok berkebangsaan Arab.
Untuk menilai sebuah komunitas, tidak cukup hanya membaca karya-karya tulis, atau menyaksikan film, apalagi hanya mendengar cerita tanpa mengetahui secara pasti karakteristik penduduk setempat. Demikian halnya saat kita ingin menilai Arab sebagai peradaban. Untuk tidak sekedar mencaci-maki atau berapologi. Saat ini yang terjadi, banyak muslim non-Arab yang mengaku sebagai pemikir Islam, dengan jargon ‘Menyegarkan Pemahaman Islam’, kemudian mementahkan makna Arab sebagai tempat transit Islam pertamakali sebelum tersebar kepada umat manusia di penjuru alam. Padahal, mereka yang merelativkan “Arab”, saat di tanah Arab –jika memang pernah– secara eksplisit tidak pernah melakukan penelitian tentang “kenapa Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab?” Jika terjawab, tidak akan lebih dari sekedar replay: karena Nabi Muhammad orang Arab. Sekali lagi, tidak lebih.
Untuk menilai sebuah komunitas, tidak cukup hanya membaca karya-karya tulis, atau menyaksikan film, apalagi hanya mendengar cerita tanpa mengetahui secara pasti karakteristik penduduk setempat. Demikian halnya saat kita ingin menilai Arab sebagai peradaban. Untuk tidak sekedar mencaci-maki atau berapologi. Saat ini yang terjadi, banyak muslim non-Arab yang mengaku sebagai pemikir Islam, dengan jargon ‘Menyegarkan Pemahaman Islam’, kemudian mementahkan makna Arab sebagai tempat transit Islam pertamakali sebelum tersebar kepada umat manusia di penjuru alam. Padahal, mereka yang merelativkan “Arab”, saat di tanah Arab –jika memang pernah– secara eksplisit tidak pernah melakukan penelitian tentang “kenapa Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab?” Jika terjawab, tidak akan lebih dari sekedar replay: karena Nabi Muhammad orang Arab. Sekali lagi, tidak lebih.
Dan
sampai saat inipun masih belum ada hasil penelitian yang bisa menjawab secara
empiris; kenapa Allah memilih Rasul-Nya dari kalangan bangsa Arab? Ada apa
dengan peradaban, dalam hal ini bahasa Arab dan kebudayaannya; kemarin, hari
ini dan esok? Mestinya, jika mengaku pemikir Islam, apalagi cinta, buktikan
dengan mencoba tinggal (untuk sementara) di Makkah, kota kelahiran Muhammad dan
Islam. Minimal untuk mengetahui bagaimana tanah Arab, khususnya
Makkah dan Madinah, serta watak penduduk setempat.
Akhirnya, Al-Qur’an sebagai kitab ajaran dan petunjuk
bagi umat Islam sepanjang zaman dan tempat, harus kita apresiasikan dan yakini
bahwa kandungannya akan selalu relevan sepanjang waktu dan tempat. Kandungan
ajarannya tidak terbatas pada pemetaan tempat pertama kali diturunkannya
Al-Qur’an, dimana audience adalah masyarakat Arab, khususnya penduduk
Makkah. Ajaran Islam yang termuat dalam Al-Quran bisa diterapkan kapan dan
dimana saja umat Islam berada.
Kaitannya dengan naggapan banyak kalangan bahwa bahasa
Arab sebagai media dalam al-Qur’an merupakan bahasa yang sulit, namun bukanlah
hal susah bagi umat Islam memahami Al-Qur’an dalam cakupan maknanya. Bahkan,
berbeda dengan Kitab Suci lainnya, Al-Qur’an dengan bahasa Arabnya terbukti
bisa dihafal oleh tidak sedikit muslim. Meski
terdiri dari ribuan ayat, dalam sejarah selalu saja banyak orang mampu
menghapalnya secara cermat dan tepat, meskipun ia orang buta atau anak usia
dini. Al-Quran, mudah dihapal atau dilantunkan dengan gaya apapun. Diakui atau
tidak, ini berbeda dengan Bible atau Injil.
Karena
itu, setiap usaha apapun untuk menambah atau mengurangi Al-Quran baik yang
dilakukan kalangan orientalis atau orang kafir, sepanjang sejarah selalu saja
ketahuan. Jangan heran bila banyak umat Islam tiba-tiba ribut gara-gara ada
Al-Quran palsu atau sengaja dipalsukan sebagaimana terjadi dalam kasus “The
True Furqon.” Barangkali itulah cara Allah menjaganya.
Dan hebatnya, para penghapal Al-Quran, setiap saat selalu saja lahir dan bisa ditemukan di seluruh dunia. Untuk yang seperti ini, di Indonesia, bahkan sudah sejak dulu banyak berdiri pesantren-pesantran tahfiidzul al-Qur’an. Sebaliknya, bagi kita, belum pernah mendengar ada orang Kristen atau Yahudi yang hapal keseluruhan kitab suci mereka, termasuk pendeta atau pastur sekalipun. Mengapa bisa demikian? Sekali lagi, inilah rahasia al-Qur’an dengan bahasa Arabnya. Penulis yakin, dengan alasan-alasan rasional di atas, Anda setuju untuk tidak merelatifkan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an. Wallahu a‘lamu bi al-shawab.
Dan hebatnya, para penghapal Al-Quran, setiap saat selalu saja lahir dan bisa ditemukan di seluruh dunia. Untuk yang seperti ini, di Indonesia, bahkan sudah sejak dulu banyak berdiri pesantren-pesantran tahfiidzul al-Qur’an. Sebaliknya, bagi kita, belum pernah mendengar ada orang Kristen atau Yahudi yang hapal keseluruhan kitab suci mereka, termasuk pendeta atau pastur sekalipun. Mengapa bisa demikian? Sekali lagi, inilah rahasia al-Qur’an dengan bahasa Arabnya. Penulis yakin, dengan alasan-alasan rasional di atas, Anda setuju untuk tidak merelatifkan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an. Wallahu a‘lamu bi al-shawab.
*****