Dalam
pengalaman pribadi, kita sering menemukan hal-hal yang kita istilahkan sebagai the
meaning of life, the purpose of life, dan masalah ketentraman batin. Karena
itu, benar anggapan bahwa semua pengalaman pribadi itu otentik untuk yang
bersangkutan. Artinya meskipun kita bisa menarik pelajaran dari
pengalaman-pengalaman pribadi orang lain, kita tidak bisa meminta atau berbagi
untuk memiliki pengalaman-pengalaman tersebut.
Mengenai
pengalaman pribadi lewat mimpi, kita bisa belajar dari surat Yûsuf dalam
Al-Qurân. Dalam surat Yûsuf ini ada mimpi yang diindikasikan sebagai “mimpi
kosong” yang dalam bahasa kita sering disebut sebagai “bunganya tidur.” Karena
itu, bila dalam tidur kita bermimpi, kita tidak harus benar-benar memperhatikan
mimpi-mimpi tersebut, jangan-jangan itu hanya usaha syetan untuk mempengaruhi
kita. Memang untuk orang-orang tertentu, seperti para nabi dan rasul – karena
mereka terlindungi dari kesalahan – setiap bermimpi berarti benar (al-ru’yâ
‘l-shâdiqah), bahkan harus ditafsirkan sesuai dengan jalannya mimpi
tersebut. Artinya kalau dalam mimpi itu menerima perintah, harus ditafsirkan
sebagai perintah dari Allah Swt.
Contoh yang paling dramatis adalah mimpinya Nabi Ibrâhîm
As. yang dalam mimpinya itu Ibrâhîm diperintah oleh Allah untuk menyembelih
puteranya, Ismâ’îl. Dengan penuh
keikhlasan dan tanggung jawab, perintah tersebut dilaksanakan oleh kedua
kekasih Allah itu (Ibrâhîm dan Ismâ’îl). Kemudian dengan kemurahan Allah,
Ismâ’îl yang siap disembelih itu segera diganti oleh Allah dengan domba besar.
Kisah penuh nasehat dan teladan ini disajikan dengan begitu mengharukan dalam
Al-Qurân surat ke-37 (Al-Shâffât), ayat 102. Kisah inilah yang kemudian
menghasilkan suatu ritus napak-tilas dan commemorative, artinya
memperingati peristiwa masa lalu, yaitu dalam bentuk ibadah haji. Jadi, haji
itu adalah ritus napak-tilas masa lalu yang menyangkut Nabi Ibrâhîm, putranya,
Ismâ’îl, dan istrinya, Siti Hajar.
Memang,
ada kemungkinan mimpi kita itu benar dan bisa menjadi kenyataan. Rasulullah
Saw. sendiri pernah berpesan. “Setiap kamu itu mempunyai isyarat-isyarat.
Tangkaplah semaksimal mungkin isyarat-isyarat itu. Dan setiap kamu juga
mempunyai nihâyah (penghabisan, the end)”. Maka, bisa saja seseorang itu
bermimpi mengenai sesuatu yang berkenaan dengan tanda-tanda nihâyah-nya,
yang menyadarkan bahwa kematiannya sudah dekat. Tentunya hal ini seizin Allah,
untuk menunjukkan kebesaran dan kemurahan-Nya. Tinggal kita, bisakah menangkap
isyarat-isyarat mimpi tersebut dan memanfaatkannya sebagai langkah
introspeksi, sehingga bisa mengisi sisa hidup dengan amal saleh.
Namun
demikian, tidak ada satu pun dari umat manusia yang mengetahui kapan akan mati.
Al-Qurân dengan tegas menyatakan :
Dan tidak
seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dia peroleh
besok. Dan tiada seorang pun mengetahui di bumi mana dia akan mati
(Q., 31 : 34)
Nabi Muhammad Saw. sendiri tidak tahu
kapan beliau bakal wafat. Memang ada isyarat-isyarat ketika Nabi hendak
meninggal namun tidak semua Sahabatnya sanggup menangkapnya. Sahabat seperti
Abû Bakr sanggup menangkapnya sehingga menjadi sedih. Salah satu isyarat
tersebut adalah ketika Rasulullah Saw. menerima ayat :
Pada hari
ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kulengkapkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridlai Islam menjadi agamamu (Q., 5 : 3).
Secara impilsit ayat ini memberi
isyarat bahwa tugas Rasulullah dalam menyampaikan risalah secara langsung sudah
mendekati masa-masa akhir. Nah, ketika ayat yang menyatakan bahwa ajaran yang
dibawa Nabi ini telah sempurna, maka para Sahabat gembira menerimanya. Mereka
merasa senang karena ajaran Islam sudah lengkap. Tetapi justru lain bagi Abû
Bakr. Mendengar ayat yang menyatakan bahwa ajaran Islam itu telah sempurna Abû
Bakr malah menangis. Abû Bakr menangkap bahwa bila risalah atau tugas suci Nabi
sudah lengkap dan sempurna, maka itu berarti isyarat bahwa Nabi sudah mendekati
ajalnya. Isyarat semacam inilah yang disebut dengan ma’âlim, bentuk plural dari ma’lam.
Kalau kita
ibaratkan, isyarat-isyarat semacam itu adalah semacam rambu-rambu lalu lintas,
atau marka jalan. Kita semua sebenarnya memiliki isyarat-isyarat semacam itu.
Bagi mereka yang mempunyai jiwa yang bersih sekali, ma’âlim itu akan
terbaca dengan jelas. Semua pengalaman hidupnya akan penuh dengan ma’âlim. Orang
Jawa bilang, orang-orang semacam ini weruh sakdurunging winarah (tahu
sebelum kejadian), meskipun sebenarnya tidak. Kemampuan mereka tebatas hanya
untuk menangkap tanda-tanda itu, termasuk tanda-tanda lewat mimpi yang sedang
kita bicarakan, atau bisa juga lewat pengalaman-pengalaman pribadi lainnya. Ini
yang disebut dalam peristilahan teologi, atau bahasa Barat – bukan berarti
Kristen – sebagai “teofanik.”