18.7.12

TEOFANIK


Dalam pengalaman pribadi, kita sering menemukan hal-hal yang kita istilahkan sebagai the meaning of life, the purpose of life, dan masalah ketentraman batin. Karena itu, benar anggapan bahwa semua pengalaman pribadi itu otentik untuk yang bersangkutan. Artinya meskipun kita bisa menarik pelajaran dari pengalaman-pengalaman pribadi orang lain, kita tidak bisa meminta atau berbagi untuk memiliki pengalaman-pengalaman tersebut.

Mengenai pengalaman pribadi lewat mimpi, kita bisa belajar dari surat Yûsuf dalam Al-Qurân. Dalam surat Yûsuf ini ada mimpi yang diindikasikan sebagai “mimpi kosong” yang dalam bahasa kita sering disebut sebagai “bunganya tidur.” Karena itu, bila dalam tidur kita bermimpi, kita tidak harus benar-benar memperhatikan mimpi-mimpi tersebut, jangan-jangan itu hanya usaha syetan untuk mempengaruhi kita. Memang untuk orang-orang tertentu, seperti para nabi dan rasul – karena mereka terlindungi dari kesalahan – setiap bermimpi berarti benar (al-ru’yâ ‘l-shâdiqah), bahkan harus ditafsirkan sesuai dengan jalannya mimpi tersebut. Artinya kalau dalam mimpi itu menerima perintah, harus ditafsirkan sebagai perintah dari Allah Swt.

Contoh yang paling dramatis adalah mimpinya Nabi Ibrâhîm As. yang dalam mimpinya itu Ibrâhîm diperintah oleh Allah untuk menyembelih puteranya, Ismâ’îl. Dengan penuh keikhlasan dan tanggung jawab, perintah tersebut dilaksanakan oleh kedua kekasih Allah itu (Ibrâhîm dan Ismâ’îl). Kemudian dengan kemurahan Allah, Ismâ’îl yang siap disembelih itu segera diganti oleh Allah dengan domba besar. Kisah penuh nasehat dan teladan ini disajikan dengan begitu mengharukan dalam Al-Qurân surat ke-37 (Al-Shâffât), ayat 102. Kisah inilah yang kemudian menghasilkan suatu ritus napak-tilas dan commemorative, artinya memperingati peristiwa masa lalu, yaitu dalam bentuk ibadah haji. Jadi, haji itu adalah ritus napak-tilas masa lalu yang menyangkut Nabi Ibrâhîm, putranya, Ismâ’îl, dan istrinya, Siti Hajar.

Memang, ada kemungkinan mimpi kita itu benar dan bisa menjadi kenyataan. Rasulullah Saw. sendiri pernah berpesan. “Setiap kamu itu mempunyai isyarat-isyarat. Tangkaplah semaksimal mungkin isyarat-isyarat itu. Dan setiap kamu juga mempunyai nihâyah (penghabisan, the end)”. Maka, bisa saja seseorang itu bermimpi mengenai sesuatu yang berkenaan dengan tanda-tanda nihâyah-nya, yang menyadarkan bahwa kematiannya sudah dekat. Tentunya hal ini seizin Allah, untuk menunjukkan kebesaran dan kemurahan-Nya. Tinggal kita, bisakah menangkap isyarat-isyarat mimpi tersebut dan memanfaatkan­nya sebagai langkah introspeksi, sehingga bisa mengisi sisa hidup dengan amal saleh.

Namun demikian, tidak ada satu pun dari umat manusia yang mengetahui kapan akan mati. Al-Qurân dengan tegas menyatakan :
Dan tidak seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dia peroleh besok. Dan tiada seorang pun mengetahui di bumi mana dia akan mati (Q., 31 : 34)

Nabi Muhammad Saw. sendiri tidak tahu kapan beliau bakal wafat. Memang ada isyarat-isyarat ketika Nabi hendak meninggal namun tidak semua Sahabatnya sanggup menangkapnya. Sahabat seperti Abû Bakr sanggup menangkapnya sehingga menjadi sedih. Salah satu isyarat tersebut adalah ketika Rasulullah Saw. menerima ayat :
Pada hari ini telah Kusem­purna­kan untukmu agamamu, dan telah Kulengkapkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridlai Islam menjadi agamamu (Q., 5 : 3).

Secara impilsit ayat ini memberi isyarat bahwa tugas Rasulullah dalam menyampaikan risalah secara langsung sudah mendekati masa-masa akhir. Nah, ketika ayat yang menyatakan bahwa ajaran yang dibawa Nabi ini telah sempurna, maka para Sahabat gembira menerimanya. Mereka merasa senang karena ajaran Islam sudah lengkap. Tetapi justru lain bagi Abû Bakr. Mendengar ayat yang menyatakan bahwa ajaran Islam itu telah sempurna Abû Bakr malah menangis. Abû Bakr menangkap bahwa bila risalah atau tugas suci Nabi sudah lengkap dan sempurna, maka itu berarti isyarat bahwa Nabi sudah mendekati ajalnya. Isyarat semacam inilah yang disebut dengan ma’âlim, bentuk plural dari ma’lam.

Kalau kita ibaratkan, isyarat-isyarat semacam itu adalah semacam rambu-rambu lalu lintas, atau marka jalan. Kita semua sebenarnya memiliki isyarat-isyarat semacam itu. Bagi mereka yang mempunyai jiwa yang bersih sekali, ma’âlim itu akan terbaca dengan jelas. Semua pengalaman hidupnya akan penuh dengan ma’âlim. Orang Jawa bilang, orang-orang semacam ini weruh sakdurunging winarah (tahu sebelum kejadian), meskipun sebenarnya tidak. Kemampuan mereka tebatas hanya untuk menangkap tanda-tanda itu, termasuk tanda-tanda lewat mimpi yang sedang kita bicarakan, atau bisa juga lewat pengalaman-pengalaman pribadi lainnya. Ini yang disebut dalam peristilahan teologi, atau bahasa Barat – bukan berarti Kristen – sebagai “teofanik.”