7.12.08

Ibadah Haji dan Martabat Indonesia


”SOAL HAJI ADALAH PERSOALAN MATI DAN HIDUP”
Oleh: Zulfan Syahansyah*

Judul di atas merupakan komitmen Mentri Agama (Menag) Maftuh Basyuni untuk bekerja maksiamal mempertahankan kebersihan dan suksesnya pelaksanaan ibadah haji. Lebih lanjut Maftuh menyatakan:. "Karena tugas ini menjadi barometer dan citra departemen yang dipimpinnya, maka sampai mati pun akan saya lakukan" tegasnya dalam acara temu kangen dengan beberapa rekannya di Purwokerto, September lalu, seperti yang diberitakan situs resmi Departemen Agama (Depag).
Bagaimanapun, urusan haji merupakan gawe besar pemerintah RI yang bersentuhan langsung dengan bangsa lain. Wajar jika pemerintah, dalam hal ini Departemen Urusan Haji yang berada di bawah payung Kementrian Agama, bertekat untuk terus meningkatkan mutu dan pelayanan haji. Intinya, ada dua hal mendasar yang menjadi tugas Departemen pinpinan Maftuh Basyuni, kaitannya dengan ”hidup dan mati” pemerintah RI di mata dunia: tugas internal dan eksternal.
Tugas pertama, pemerintah dituntut untuk terus meningkatkan mutu pelayanan bagi warga Indonesia yang hendak menyelenggarakan ibadah haji. Dan kedua, sebagai negara pengirim jamaah haji terbesar, secara tak langsung, pelaksanaan haji menjadi ’cermin’ yang menggambarkan hakekat bangsa Indonesia sebagai negara yang berdaulat di mata dunia.

***


Realita Jama’ah Haji Indonesia
Kagum dan terharu. Itulah yang penulis rasakan saat pertamakali ditaqdirkan mampu melaksanakan ibadah haji pada tahun 2001 silam. Terkagum pada banyak hal tentang pelaksanaan haji: kesigapan para jamaah dari seantero alam yang berjubel dan tumpek-bleg di tanah Haram; pengaturan pelaksanaannya, dan utamanya, kuantitas jamaah haji (JH) Indonesia yang setiap tahun menduduki peringka terbesar. Adalah, sedikit kebanggaan menjadi rakyat Indonesia, sebagai negara pengirim JH terbesar.
Selain bangga, menyadari realitas perkembangan JH yang terus meningkat setiap tahunnya, penulis juga terharu. Meski dalam dasawarsa terakhir Indonesia tertimpa multi krisis, termasuk bidang ekonomi, namun jumlah calon jamaah haji terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan, kuota haji Indonesia yang disediakan oleh kerajaan Saudi Arabia (KSA) berada pada titik minus.
Calon jamaah yang telah melunasi ONH tahun ini, jangan lantas bermimpi bisa berhaji pada tahun yang sama. Minimal dua bahkan tiga tahun ke depan, ia baru bisa menjadi ’tamu Allah’. Realita ini menunjukan betapa panjang antrean kaum muslimim Indonesia untuk bisa melaksanakan ibadah haji. Tidak sedikit juga JH yang siap membayar biaya tambahan, asal bisa segera berangkat, mendahului jadwal yang sudah ditetapkan pemerintah.
Seperti halnya jamaah lainnya, penulis juga harus sabar menunggu ’antrean’ panjang. Setelah melunasi biaya haji pada tahun 1998, baru pada tahun 2001 penulis ditakdirkan bersua ke Baitul Haram. Tak apalah, yang penting, rukun Islam kelima telah terlaksana. Alhamdulillah. Kira-kira, demikian juga yang dirasakan oleh hampir semua JH Indonesia yang tak mau ketinggalan untuk, setidaknya memiliki embel-embel sosial: ’Pak atau Bu haji’. Berapapun besarnya nominal ONH, keinginan untuk berhaji, tidak akan kendor.
Selain cara berhaji seperti di atas, tidak sedikit juga jamaah kita, karena minimnya dana atau tak sabar menunggu panjangnya antrean pemberangkatan haji, lantas menggunakan ”jalan pintas”. Berangkat umrah pada bulan-bulan sebelum waktu haji, lalu mukim (tinggal) sebagai imigran gelap, hingga masa haji tiba.
Ada juga yang berangkat haji dengan menggunakan paspor hijau. Beberapa hari lalu, harian ini juga memberitakan kasus serupa: karena berpaspor hijau, lima orang calon jamaah haji telantar di Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah. Berhaji dengan alternatif kedua ini, memang penuh resiko. Resiko sebagai penduduk gelap, karena over stay, selama masa penantian musim haji; juga resiko saat ingin pulang ke tanah air. Harus siap masuk tarhil (penjara imigrasi) Saudia Arabia.
Setiap tahun, menjelang dan setelah pelaksanaan haji, ribuan penduduk Indonesia yang dideportase oleh bagian imigrasi KSA. Realita ini tentu menodai martabat bangsa. Sebagai negara pengirim JH terbesar, ternyata tidak sedikit yang menggunakan cara ilegal. Ironisnya, kenyataan tersebut, hingga kini masih belum bisa ditangani.
Selain kasus over stay, adalagi masalah yang tidak bisa dianggap enteng, maka sebisa mungkin segera diantisipasi guna menjaga harkat dan martabat bangsa Indonesia yang berdaulat. Undicipliner JH Indonesia saat kedatangan, dan terutama pada waktu pemulangan dari Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah, atau King al-Su’ud, Madinah. Untuk kasus kedua ini, kedisiplinan JH Indonesia, akan sangat nampak ketika dibandingkan –maaf, sekedar contoh– dengan JH Malaysia.
Pada tahun 2006, penulis menjadi salah satu staf Saudia Ground Handling: petugas haji untuk penerbangan Saudia Airline yang membidangi keimigrasian JH Indoneisia. Selama musim haji, sepanjang hari penulis bertugas di bandara King Abdul Aziz. Sebagai warga Indonesia, ada perasaan malu jika pada waktu yang bersamaan terjadi antrean untuk proses imigrasi antara JH Indonesia dan JH Malaysia. Kenapa?
Dengan hitungan jumlah jamaah yang sama antara dua negara bertetangga ini, waktu dan personil dari petugas imigrasi Saudia, mesti lebih banyak dipersiapkan untuk JH kita. Bagaimana tidak?! JH Malaysia, selain nampak lebih berdedikasi, mereka rapi, patuh pada aturan setempat. Sikap disiplin dan penuh wibawa tercermin dari penempilan JH Malaysia. Maka tak heran, ’waktu’ dan petugas yang dibutuhkan untuk proses keimigrasian tak perlu banyak. Tidak demikian dengan JH Indonesia. Susah diatur dan kurang disiplin. Kesan sebagai uneducated people sangat kentara. Maaf, kontradiksi berdisiplin antara bebek dan ayam pun, tidak terlalu jauh dijadikan perumpamaan disiplin kedua bangsa tersebut.

Hakekat Istita’ah Dalam Haji
Betul, tidak semua JH Indonesia seperti gambaran di atas. Para JH plus Indonesia bisa menjadi jawaban untuk menyanggah anggapan tersebut. Pada tahun 2005, penulis juga berkesempatan melaksanakan haji dengan ONH plus. Berbeda dengan JH biasa, pelaksanaan JH plus serupa dengan gambaran JH Malaysia. Hanya saja, persentase JH plus tak lebih, atau nyaris kurang dari sepersepuluh JH biasa. Yang nampak kemudian, JH Indonesia seperti paparan negatif di atas.
Menyadari kenyataan ini, adalah keniscayaan semua lapisan terutama pemerintah, dalam hal ini, Departemen Agama Urusan Haji untuk mengantisipasinya sedini mungkin. Langkah yang mungkin bisa diupayakan adalah: Mewajibkan kepada semua lembaga penyelenggara haji, baik negeri maupun swasta untuk tidak hanya menekankan pembelajaran dan pelatihan manasik haji bagi para calon JH, tapi perlu kiranya mengagendakan pembelajaran dan pelatihan proses perjalanan, terutama kaitannya denga imigrasi. Karena pada hakekatnya, urusan keimigrasian adalah paket dari perjalanan haji bagi JH yang menggunakan jalur udara seperti Indonesia.
Seperti kita maklumi bersama, dalam kajian fiqih, salah satu syarat wajib haji adalah istita’ah, kemampuan. Baik mampu (memiliki) biaya, mampu (kuat) badan, serta mampu (mengerti) perjalanan. Untuk pengertian ”mampu” ketiga, bagi JH yang menggunakan transportasi udara, penulis cendrung menterjemahkannya pada kecakapan proses perjalanan. Perjalanan melalui udara tak bisa lepas dari keimigrasian. Karenanya, memberikan kecakapan dan pelatihan kepada calon JH masuk dalam tataran sama pentingnya dengan memberikan pelatihan manasik haji lainnya.
Dengan pemahaman ini, bagi penyelenggara ibadah haji atau KBIH yang tidak memberikan pembekalan kecakapan tentang keimigrasian, sama halnya menafikan urgensi kecakapan seputar haji, semisal pemahaman tentang tawaf, sa’i, melempar jamarat, dan sebagainya. Untuk kecakapan seputar keimigrasian, selain sebagai pelatihan salah satu syarat wajib haji, ia juga berfungsi meminimalisir persepsi negatif terhadap para JH Indonesia. Maka anggapan sebagian besar petugas haji di KSA: Indonesi muskilah: Orang Indonesia payah; lambat laun akan berubah menjadi Indonesi kois: Orang Indonesia bagus. Wallahu a’lam bi al-shawab.

* Saudia Ground Handling for Hajj, Th. 2006