Umpama semua pejabat Bank itu jujur, maka tidak akan ada pekerjaan yang sedemikian sulit dan panjang menyelesaikan kasus-kasus penyimpangan. Bank Century tidak akan menjadi berita besar dan memakan waktu berbulan-bulan menyelesaikannya jika di lembaga keuangan dan pejabat yang terkait dengan itu jujur semua. Umpama pejabat bank itu jujur, maka juga tidak akan ada orang yang banyak memiliki uang itu, sampai masuk penjara. Umpama para pejabat di berbagai level itu telah dipercaya kejujurannya, maka DPR juga tidak perlu membentuk panitia khusus hak angket yang harus bersidang berlama-lama. Demikian pula, para aktivis tidak perlu berdemonstrasi, dengan penampilan dan mengeluarkan kata-kata semaunya.
Umpama kepolisian, kejaksanaan, kehakiman, DPR, pimpinan BUMN, dan semua pejabat pemerintah bersifat jujur semua, maka tidak perlu lahir Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu, manakala kejujuran bisa dijaga, maka para pejabat akan berwibawa di mata rakyat. Bermilyard-milyard uang negara, yang seharusnya digunakan untuk membiayai proyek-proyek kepentingan rakyat menjadi terselamatkan. Umpama kejujuran itu bisa dijalankan oleh siapapun di negeri ini maka bangsa ini telah lama meraih kejayaannya.
Umpama para pejabat pemerintah setelah mengucapkan sumpah jabatan sesuai dengan agamanya masing-masing konsisten dengan sumpahnya itu, maka juga tidak akan terjadi saling curiga mencurigai, saling menduga-duga, membuat pengawasan yang ketat, yang semuanya itu sesungguhnya berbiaya mahal. Orang yang saling mencurigai di antara sesame tidak akan menjadikan hidupnya tenteram. Akibat lainnya, hubungan silaturrahmi menjadi kendor, dan akhirnya pekerjaan tidak bisa diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
Contoh kecil lainnya, tetapi cukup aktual, bahwa Ujian Nasional (UN) tidak akan memerlukan sekian banyak pengawas, termasuk harus melibatkan kalangan perguruan tinggi, jika pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan ujian itu dipercaya kejujurannya. Rasanya aneh, sebatas ujian nasional saja harus menggerakkan sedemikian banyak orang dengan biaya milyardan rupiah. Namun hal itu harus dilakukan, karena ditengarai bahwa di lembaga pelatihan orang jujur itu pun ternyata juga belum berhasil sepenuhnya ditegakkan kejujura. Sungguh sangat aneh, lembaga pendidikan pun masih harus dicurigai, karena ditengarai belum mampu menegakkan kejujuran.
Akan tetapi, memang begitulah keadaannya, di mana-mana masih banyak penyimpangan, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Undang-undang, peraturan, tata tertib, pedoman, himbauan masih diabaikan begitu saja. Banyak orang tidak jujur agar pekerjaannya dapat diselesaikan lebih mudah, cepat, beruntung besar, atau berhasil apa yang dimaui sekalipun tanpa syarat-syarat yang dianggap berat dan menyulitkan. Orang juga melakukan apa saja yang diinginkan agar mendapatkan sesuatu atau beruntung besar sekalipun harus melanggar etika kejujuran. Semua itu karena kejujuran belum bisa dimiliki oleh para pemimpin, pejabat, dan banyak orang lainnya.
Sebagai akibat minimnya kejujuran itu, maka betapa besar jumlah pemborosan yang harus dikorbankan oleh negara, baik berupa pikiran, tenaga, uang, dan kekayaan lainnya. Bermilyard-milyard dan bahkan triliyunan rupiah uang rakyat hilang percuma gara-gara pemegang amanah tidak jujur. Selain itu, berapa banyak para pejabat sebagai orang penting, terhormat, dan pilihan di antara sekian banyak lainnya, ternyata harus masuk penjara, karena tidak jujur itu. Itu semua menggambarkan dan sekaligus mengingatkan bahwa menjadi pintar adalah penting, tetapi kepintaran itu harus diikuti oleh kejujuran.
Tidak bisa dibayangkan berapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk mendidik orang-orang hingga menjadi pintar, dan akhirnya dipilih dan diangkat menjadi pejabat tinggi itu. Orang-orang cerdas, pintar, dan unggul kemudian diangkat menjadi pejabat tinggi itu sesungguhnya adalah merupakan kekayaan bangsa ini. Mengantarkan orang menjadi cerdas, pintar dan unggul juga bukan pekerjaan mudah. Diperlukan pendidikan yang berkualitas dan guru yang hebat. Namun orang cerdas, pintar, dan unggul itu tidak akan bermakna apa-apa, jika yang bersangkutan tidak jujur. Pada saat sekarang ini bukti tentang hal itu sudah sekian banyak. Banyak orang disebut cerdas, pintar, dan unggul tetapi karena minus kejujuran, maka hanya menjadi bagaikan sampah, mereka dimasukkan ke penjara.
Kejujuran ternyata memang sangat mahal dan penting. Dengan kejujuran maka kerugian apapun bisa dihindari. Berteman dengan orang jujur akan menjadi tenang dan aman. Begitu pula, jika sebuah komunitas, kantor, organisasi, institusi dan bahkan negara, dipimpin orang jujur maka akan merasa aman dan tidak akan ada yang dirugikan. Namun sayangnya, kejujuran belum dijadikan tema besar sebagai sesuatu yang mendesak dan penting untuk diperjuangkan. Lembaga pendidikan pun pada kenyataannya baru mengedepankan betapa pentingnya kepintaran dan kecerdasan, belum terlalu memperhatikan betapa pentingnya aspek kejujuran lebih dikedepankan.
Contoh agung dan mulia yaitu Nabi Muhammad saw., sejak kecil dikenal sebagai orang yang amat jujur, dan sama sekali tidak pernah berbohong, hingga oleh semua anggota masyarakat lingkungannya, ia diberi gelar al- Amien. Melalui contoh itu, maka seharusnya kejujuran bagi siapapun, apalagi orang yang menduduki posisi pemimpin, harus dijadikan syarat utama. Artinya, siapapun tidak boleh menjadi pemimpin, jika tidak diketahui benar sebagai orang jujur. Begitu pula lembaga pendidikan tingkat apapun, mestinya tidak boleh meluluskan seseorang, jika yang bersangkutan belum berhasil menampakkan kejujurannya. Kejujuran,------- karena mahalnya itu, harus diletakkan pada posisi utama dan pertama. Wallau a’lam
Oleh: Prof. Imam Suprayogo
13.2.10
8.2.10
A. Mustofa Bisri: Fenomena Gus Dur
KETIKA presiden ke-35 Amerika Serikat John F. Kennedy atau JFK (1917-1963 M) yang nasibnya banyak mirip dengan presiden pendahulunya, Abraham Lincoln, meninggal terbunuh pada 22 November 1963, dunia ikut berduka. Maklum, JFK merupakan presiden negara adikuasa. Dia juga dikenal sebagai presiden Amerika yang berani, mempunyai pandangan ke depan, dan menjanjikan perubahan dunia. Namun, meski saat pemakamannya banyak sekali yang hadir, masih terhitung tidak seberapa bila dibandingkan dengan saat pemakaman Presiden Republik Mesir Gamal Abdel Nasser (1918-1970).
Presiden bertubuh raksasa yang mengaku 'murid'-nya presiden kita Bung Karno itu benar-benar orang yang "tahu saat harus meninggal". Setelah pertemuan tingkat tinggi yang membahas berbagai perbedaan pendapat di antara beberapa kepala negara di Kairo, Gamal sebagai tuan rumah mengantar satu per satu tamu-tamunya kembali ke negara masing-masing. Saya masih ingat, yang terakhir diantar ke bandara ialah Amir Shabah dari Kuwait. Setelah itu radio dan TV Mesir berhenti menyiarkan berita.
Semua hanya menyiarkan bacaan Alquran. Ternyata presiden yang dianggap paling berjasa mendamaikan Raja Husein dari Jordan dengan Raja Faisal dari Arab Saudi dan Yasser Arafat dari Palestina itu dipanggil ke rahmatullah setelah pulang dari bandara mengantarkan Amir Sabah. Besoknya, kepala-kepala negara yang dilepas Gamal sebelumnya itu berdatangan kembali. Kali ini untuk memberikan penghormatan terakhir kepada presiden yang mereka hormati itu.
Maka pada waktu itu dunia -termasuk saya yang langsung- menyaksikan pemakaman paling akbar dalam sejarah modern. The Guinness Book of Records memperkirakan pelayat Presiden Gamal Abdel Nasser mencapai 4 juta dan menetapkan sebagai pemakaman dengan pelayat terbesar.
Presiden pertama kita Bung Karno, andai tidak dizalimi oleh pemerintah Orde Baru yang menggantikannya, mungkin pemakamannya tidak kalah akbar daripada pemakaman 'murid'-nya dari Mesir itu. Kepopuleran Bung Karno di dunia tidak kalah dari Gamal. Hanya, Gamal pada saat wafat sedang berada dalam puncak kepopuleran. Kalau di negerinya sendiri, Bung Karno waktu itu kurang dihargai. Pemakamannya hanya ala kadarnya. Sedangkan Gamal di Mesir -yang saya tahu- sangat dihormati oleh pemimpin-pemimpin Mesir dan dicintai rakyatnya. Mesir berkabung tujuh hari atas kemangkatan Bung Karno. Beberapa media massa menulis tentang presiden pertama kita itu, seingat saya, sampai 15 hari.
Waba'du, presiden kita keempat, Gus Dur alias KH Dr Abdurrahman Wahid Ad-Dakhil (1940-2009) sudah '40 hari' meninggalkan kita. Presiden yang pengaturan pemakamannya jadi 'rebutan' antara keluarga dan protokol negara itu, dilepas menuju ke haribaan Tuhannya oleh presiden, petinggi-petinggi negara, para kiai, dan ratusan ribu warga masyarakat. Pers dunia tidak hanya memberitakan kewafatannya, tapi juga menulis pribadi dan keistimewaannya. Majalah kenamaan, The Economics, bahkan menceritakan kembali joke-joke Gus Dur yang menertawakan diri sendiri.
Seolah-olah orang tidak puas memberikan penghormatan terakhir kepada Gus Dur saat dimakamkan, berbagai kelompok masyarakat mengadakan acara-acara khusus untuk mengenang presiden yang dimakzulkan oleh para politisi -yang dulu mendukung pengangkatannya- itu. Ada Seribu Lilin untuk Gus Dur. Ada berdoa bersama untuk Gus Dur yang diikuti pimpinan berbagai agama dan kepercayaan. Ada beberapa komunitas etnis dan agama yang masing-masing menyelenggarakan acara khusus untuk menghormati almarhum. Di makamnya sendiri di Tebuireng, setiap hari hingga kini rombongan masyarakat dari berbagai pelosok tanah air, bahkan juga dari luar negeri, masih terus berdatangan.
Khusus dalam rangka 40 hari wafat presiden rakyat itu, acara-acara mengenang kiai unik tersebut digelar di mana-mana. Dalam rangka itu, saya sendiri mendapat undangan tidak kurang dari sembilan panitia dari berbagai kota di tanah air. Tidak hanya berbentuk doa bersama atau tahlilan dan pengajian, tapi ada pula yang dikemas dalam acara seminar, orasi budaya, kesenian, tirakatan, dan sebagainya. Seniman serbabisa Slamet Gundono malah menyelenggarakan acara budaya sehari semalam di Solo dengan tidak ketinggalan menggelar lakon Kuncung Semar. Studio Mendut Magelang berencana mengadakan pameran patung Gus Dur. Masyarakat Pati lain lagi, rencananya mengadakan pawai keliling sebelum acara puncak di alun-alun Pati.
Melihat fenomena itu, sampai ada kiai sepuh yang menyatakan bahwa mulai Nabi Adam belum pernah ada manusia yang diperlakukan seperti Gus Dur. Menurut saya, fenomena ini tidak hanya patut masuk Muri-nya Jaya Suprana, tapi sangat layak masuk Guinness Book of Records.
Demikianlah, karena Gus Dur menghargai keberagaman, dia pun dihargai oleh berbagai ragam manusia, terutama yang menerima keberagaman, meskipun pasti ada -terutama dari kalangan mereka yang tidak menyukai keberagaman- yang tidak menghargai bahkan merendahkannya. Dan akan hal ini Gus Dur pun maklum belaka.
Hanya ini yang bisa saya tuliskan dalam rangka peringatan 40 hari wafat Gus Dur. Dalam buku-buku saya, saya sudah sering membicarakan Gus Dur. Bahkan, ada buku saya yang khusus mengenai cucu pendiri-pendiri NU ini. Kalau masih kurang, di toko-toko buku ada ratusan buku tentang manusia yang mencintai sesamanya ini.(*)
(Opini Jawa Pos)
Presiden bertubuh raksasa yang mengaku 'murid'-nya presiden kita Bung Karno itu benar-benar orang yang "tahu saat harus meninggal". Setelah pertemuan tingkat tinggi yang membahas berbagai perbedaan pendapat di antara beberapa kepala negara di Kairo, Gamal sebagai tuan rumah mengantar satu per satu tamu-tamunya kembali ke negara masing-masing. Saya masih ingat, yang terakhir diantar ke bandara ialah Amir Shabah dari Kuwait. Setelah itu radio dan TV Mesir berhenti menyiarkan berita.
Semua hanya menyiarkan bacaan Alquran. Ternyata presiden yang dianggap paling berjasa mendamaikan Raja Husein dari Jordan dengan Raja Faisal dari Arab Saudi dan Yasser Arafat dari Palestina itu dipanggil ke rahmatullah setelah pulang dari bandara mengantarkan Amir Sabah. Besoknya, kepala-kepala negara yang dilepas Gamal sebelumnya itu berdatangan kembali. Kali ini untuk memberikan penghormatan terakhir kepada presiden yang mereka hormati itu.
Maka pada waktu itu dunia -termasuk saya yang langsung- menyaksikan pemakaman paling akbar dalam sejarah modern. The Guinness Book of Records memperkirakan pelayat Presiden Gamal Abdel Nasser mencapai 4 juta dan menetapkan sebagai pemakaman dengan pelayat terbesar.
Presiden pertama kita Bung Karno, andai tidak dizalimi oleh pemerintah Orde Baru yang menggantikannya, mungkin pemakamannya tidak kalah akbar daripada pemakaman 'murid'-nya dari Mesir itu. Kepopuleran Bung Karno di dunia tidak kalah dari Gamal. Hanya, Gamal pada saat wafat sedang berada dalam puncak kepopuleran. Kalau di negerinya sendiri, Bung Karno waktu itu kurang dihargai. Pemakamannya hanya ala kadarnya. Sedangkan Gamal di Mesir -yang saya tahu- sangat dihormati oleh pemimpin-pemimpin Mesir dan dicintai rakyatnya. Mesir berkabung tujuh hari atas kemangkatan Bung Karno. Beberapa media massa menulis tentang presiden pertama kita itu, seingat saya, sampai 15 hari.
Waba'du, presiden kita keempat, Gus Dur alias KH Dr Abdurrahman Wahid Ad-Dakhil (1940-2009) sudah '40 hari' meninggalkan kita. Presiden yang pengaturan pemakamannya jadi 'rebutan' antara keluarga dan protokol negara itu, dilepas menuju ke haribaan Tuhannya oleh presiden, petinggi-petinggi negara, para kiai, dan ratusan ribu warga masyarakat. Pers dunia tidak hanya memberitakan kewafatannya, tapi juga menulis pribadi dan keistimewaannya. Majalah kenamaan, The Economics, bahkan menceritakan kembali joke-joke Gus Dur yang menertawakan diri sendiri.
Seolah-olah orang tidak puas memberikan penghormatan terakhir kepada Gus Dur saat dimakamkan, berbagai kelompok masyarakat mengadakan acara-acara khusus untuk mengenang presiden yang dimakzulkan oleh para politisi -yang dulu mendukung pengangkatannya- itu. Ada Seribu Lilin untuk Gus Dur. Ada berdoa bersama untuk Gus Dur yang diikuti pimpinan berbagai agama dan kepercayaan. Ada beberapa komunitas etnis dan agama yang masing-masing menyelenggarakan acara khusus untuk menghormati almarhum. Di makamnya sendiri di Tebuireng, setiap hari hingga kini rombongan masyarakat dari berbagai pelosok tanah air, bahkan juga dari luar negeri, masih terus berdatangan.
Khusus dalam rangka 40 hari wafat presiden rakyat itu, acara-acara mengenang kiai unik tersebut digelar di mana-mana. Dalam rangka itu, saya sendiri mendapat undangan tidak kurang dari sembilan panitia dari berbagai kota di tanah air. Tidak hanya berbentuk doa bersama atau tahlilan dan pengajian, tapi ada pula yang dikemas dalam acara seminar, orasi budaya, kesenian, tirakatan, dan sebagainya. Seniman serbabisa Slamet Gundono malah menyelenggarakan acara budaya sehari semalam di Solo dengan tidak ketinggalan menggelar lakon Kuncung Semar. Studio Mendut Magelang berencana mengadakan pameran patung Gus Dur. Masyarakat Pati lain lagi, rencananya mengadakan pawai keliling sebelum acara puncak di alun-alun Pati.
Melihat fenomena itu, sampai ada kiai sepuh yang menyatakan bahwa mulai Nabi Adam belum pernah ada manusia yang diperlakukan seperti Gus Dur. Menurut saya, fenomena ini tidak hanya patut masuk Muri-nya Jaya Suprana, tapi sangat layak masuk Guinness Book of Records.
Demikianlah, karena Gus Dur menghargai keberagaman, dia pun dihargai oleh berbagai ragam manusia, terutama yang menerima keberagaman, meskipun pasti ada -terutama dari kalangan mereka yang tidak menyukai keberagaman- yang tidak menghargai bahkan merendahkannya. Dan akan hal ini Gus Dur pun maklum belaka.
Hanya ini yang bisa saya tuliskan dalam rangka peringatan 40 hari wafat Gus Dur. Dalam buku-buku saya, saya sudah sering membicarakan Gus Dur. Bahkan, ada buku saya yang khusus mengenai cucu pendiri-pendiri NU ini. Kalau masih kurang, di toko-toko buku ada ratusan buku tentang manusia yang mencintai sesamanya ini.(*)
(Opini Jawa Pos)
Gus Dur dan Siklus 100 Tahunan*
HINGGA kini, mungkin publik belum tahu mengapa Gus Dur sering melawan arus sehingga terkesan kontroversial. Bapak demokrasi-pluralisme itu bahkan sering pasang badan ketika memperjuangkan prinsip kebenaran yang diyakini.
Gus Dur, selain mewarisi sikap progresif-inovatif ayahnya, KH Abdul Wahid Hasyim, adalah penganut fanatik Thomas Carly. Menurut Carly, dunia membutuhkan pahlawan yang memiliki ''keberanian dan individualitas'' tersendiri. Prinsip Carly itu dipegang teguh oleh Gus Dur sejak muda, jauh sebelum terpilih sebagai ketua umum PB NU dalam muktamar ke-27 di Situbondo 1984.
Karena itu, mudah dipahami jika Gus Dur sangat teguh pendirian dan tampil sebagai pemimpin berkarakter. Gus Dur tak peduli meski harus berseberangan dengan para tokoh dan kiai sekalipun. Beliau tak peduli, apakah langkahnya memperjuangkan prinsip itu mengancam posisi dan popularitasnya. Sebab, pahlawan memang tak butuh aksesori sosial, seperti pujian atau popularitas.
Ketokohan Gus Dur yang ditopang oleh karisma, kecerdasan intelektual, dan geneologi kekiaian memang luar biasa. Bahkan, sebagian warga NU meyakini tokoh sekaliber Gus Dur hanya lahir sekali dalam 100 tahun. Jadi, kalau ingin ada Gus Dur lagi, kita harus menunggu 100 tahun lagi. Itu dianalogikan dengan kelahiran para mujaddid a'dham (pembaru besar) yang lahir dalam 100 tahun sekali.
Siklus 100 tahun tersebut mengacu kepada hadis riwayat Abu Daud: Innalaha yab'astsu lihadzihil ummah 'ala ra'syi kulli miatin sanatin man yujaddidu laha amra diniha. Dalam redaksi lain, yub'atsu lihadzihil ummah fikulli sanatin man yujaddidu amra diniha.
KH Muchit Muzadi dan KH M. Cholil Bisri menyebut Gus Dur sebagai jimat NU. Sebutan itu secara faktual tidak berlebihan karena Gus Dur hadir membawa perubahan saat NU sedang dalam masa suram, tak berwibawa. Apalagi, sejak 1970-an -sebelum menjadi ketua umum PB NU- Gus Dur aktif membangun wacana tanding (counter discourses) tentang NU (Umar Masdar: 2005). Lewat tulisan-tulisannya di media massa, Gus Dur mengangkat tema kegenialan NU dan budaya pesantren.
Langkah Gus Dur itu strategis karena -seperti dikeluhkan Benedict R. O'G Anderson, ahli Indonesia dari AS- sampai 1975 tidak ada tulisan tentang NU. Anderson menyatakan, pada 1975 itu sedikit sekali akademisi -terutama di Barat- yang tahu NU, bahkan belum ada disertasi doktor tentang NU. Anderson saat itu meragukan apakah segera ada disertasi tentang NU. Padahal, NU salah satu kekuatan sosial, kulural, keagamaan, dan politik yang sangat berpengaruh di Indonesia selama bertahun-tahun (Anderson: 1977).
Kemampuan intelektual Gus Dur yang mengangkat tema NU dan pesantren di media massa menjadi awal jawaban dari kelangkaan karya ilmiah tentang NU. Gerakan intelektual itu kian gencar setelah Gus Dur terpilih sebagai ketua umum PB NU. Gus Dur bahkan menghidupkan mesin NU lewat gerakan pembaruan pemikiran Islam inklusif -populer dengan pribumisasi Islam.
Buahnya, terjadi ledakan intelektual dalam NU. Anak-anak muda NU, selain banyak mengikuti jejak Gus Dur menulis di jurnal ilmiah dan media massa, secara akademis sukses. Banyak anak muda NU yang kini menyandang gelar magister, doktor, dan profesor, baik lulusan dalam maupun luar negeri. Begitu juga, buku tentang NU hampir terbit tiap bulan. Bahkan, banyak sekali peneliti dan kandidat doktor dari luar negeri mengambil tema tentang NU sebagai objek kajian disertasi sejak Gus Dur memimpin NU, selain tentang Gus Dur sendiri.
Gus Dur juga melakukan pemberdayaan civil society dengan para aktivis LSM, HAM, dan demokrasi. Gus Dur bahkan melakukan gebrakan ekonomi dengan obsesi mendirikan 2.000 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusumma (NU-Bank Summa). Hingga kini, Nusumma eksis meski jumlahnya tak signifikan.
Berpijak dari sana, Gus Dur bukan cuma populer, tapi muncul -meminjam istilah Ulil Abshar Abdalla- mistifikasi terhadap Gus Dur. Mistifikasi adalah proses keyakinan mistik yang dilekatkan kepada seseorang yang dikagumi. Gus Dur, misalnya, diyakini sebagai waliyullah, weruh sa'durunge winarah, dan siapa yang menentang Gus Dur kualat. Namun, jika kita saksikan penghargaan publik setelah Gus Dur wafat, tampaknya ada benarnya. Konon, salah satu indikator wali, jika dia wafat, arus penghargaan massa terus mengalir secara permanen. Hingga kini, tiap hari ribuan orang menziarahi makam Gus Dur.
Maka, wajar jika lalu lahir massa pendukung Gus Dur yang dalam istilah Eric Hoffer disebut true believer, pemeluk teguh atau pendukung fanatik (Hoffer; 1993). Kelahiran true believer itu masif, baik di kalangan gus, kiai, orang awam, maupun anak muda NU. Orang menyebut kelompok tersebut Gus Durian. Yaitu, kader-kader ideologis yang fanatik dan paham serta menyerap gagasan atau pemikiran Gus Dur.
Saya tekankan kepada kader ideologis untuk membedakan dengan ''santri kepentingan'' yang hanya memanfaatkan karisma Gus Dur untuk kepentingan subjektif politik. Santri kepentingan juga berbeda dengan santri pesantren yang memiliki ciri tawadlu, ikhlas, tanpa pamrih, dan sam'an watha'atan, sesuai kultur pesantren. Santri kepentingan adalah mereka yang hadir ke lingkungan Gus Dur untuk kepentingan politik pragmatis, tanpa memperjuangkan gagasan Gus Dur. Ironisnya, santri kepentingan itulah yang banyak mengitari Gus Dur.
* M. Mas'ud Adnan (Opini Jawa Pos)
Gus Dur, selain mewarisi sikap progresif-inovatif ayahnya, KH Abdul Wahid Hasyim, adalah penganut fanatik Thomas Carly. Menurut Carly, dunia membutuhkan pahlawan yang memiliki ''keberanian dan individualitas'' tersendiri. Prinsip Carly itu dipegang teguh oleh Gus Dur sejak muda, jauh sebelum terpilih sebagai ketua umum PB NU dalam muktamar ke-27 di Situbondo 1984.
Karena itu, mudah dipahami jika Gus Dur sangat teguh pendirian dan tampil sebagai pemimpin berkarakter. Gus Dur tak peduli meski harus berseberangan dengan para tokoh dan kiai sekalipun. Beliau tak peduli, apakah langkahnya memperjuangkan prinsip itu mengancam posisi dan popularitasnya. Sebab, pahlawan memang tak butuh aksesori sosial, seperti pujian atau popularitas.
Ketokohan Gus Dur yang ditopang oleh karisma, kecerdasan intelektual, dan geneologi kekiaian memang luar biasa. Bahkan, sebagian warga NU meyakini tokoh sekaliber Gus Dur hanya lahir sekali dalam 100 tahun. Jadi, kalau ingin ada Gus Dur lagi, kita harus menunggu 100 tahun lagi. Itu dianalogikan dengan kelahiran para mujaddid a'dham (pembaru besar) yang lahir dalam 100 tahun sekali.
Siklus 100 tahun tersebut mengacu kepada hadis riwayat Abu Daud: Innalaha yab'astsu lihadzihil ummah 'ala ra'syi kulli miatin sanatin man yujaddidu laha amra diniha. Dalam redaksi lain, yub'atsu lihadzihil ummah fikulli sanatin man yujaddidu amra diniha.
***
KH Muchit Muzadi dan KH M. Cholil Bisri menyebut Gus Dur sebagai jimat NU. Sebutan itu secara faktual tidak berlebihan karena Gus Dur hadir membawa perubahan saat NU sedang dalam masa suram, tak berwibawa. Apalagi, sejak 1970-an -sebelum menjadi ketua umum PB NU- Gus Dur aktif membangun wacana tanding (counter discourses) tentang NU (Umar Masdar: 2005). Lewat tulisan-tulisannya di media massa, Gus Dur mengangkat tema kegenialan NU dan budaya pesantren.
Langkah Gus Dur itu strategis karena -seperti dikeluhkan Benedict R. O'G Anderson, ahli Indonesia dari AS- sampai 1975 tidak ada tulisan tentang NU. Anderson menyatakan, pada 1975 itu sedikit sekali akademisi -terutama di Barat- yang tahu NU, bahkan belum ada disertasi doktor tentang NU. Anderson saat itu meragukan apakah segera ada disertasi tentang NU. Padahal, NU salah satu kekuatan sosial, kulural, keagamaan, dan politik yang sangat berpengaruh di Indonesia selama bertahun-tahun (Anderson: 1977).
Kemampuan intelektual Gus Dur yang mengangkat tema NU dan pesantren di media massa menjadi awal jawaban dari kelangkaan karya ilmiah tentang NU. Gerakan intelektual itu kian gencar setelah Gus Dur terpilih sebagai ketua umum PB NU. Gus Dur bahkan menghidupkan mesin NU lewat gerakan pembaruan pemikiran Islam inklusif -populer dengan pribumisasi Islam.
Buahnya, terjadi ledakan intelektual dalam NU. Anak-anak muda NU, selain banyak mengikuti jejak Gus Dur menulis di jurnal ilmiah dan media massa, secara akademis sukses. Banyak anak muda NU yang kini menyandang gelar magister, doktor, dan profesor, baik lulusan dalam maupun luar negeri. Begitu juga, buku tentang NU hampir terbit tiap bulan. Bahkan, banyak sekali peneliti dan kandidat doktor dari luar negeri mengambil tema tentang NU sebagai objek kajian disertasi sejak Gus Dur memimpin NU, selain tentang Gus Dur sendiri.
Gus Dur juga melakukan pemberdayaan civil society dengan para aktivis LSM, HAM, dan demokrasi. Gus Dur bahkan melakukan gebrakan ekonomi dengan obsesi mendirikan 2.000 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusumma (NU-Bank Summa). Hingga kini, Nusumma eksis meski jumlahnya tak signifikan.
***
Berpijak dari sana, Gus Dur bukan cuma populer, tapi muncul -meminjam istilah Ulil Abshar Abdalla- mistifikasi terhadap Gus Dur. Mistifikasi adalah proses keyakinan mistik yang dilekatkan kepada seseorang yang dikagumi. Gus Dur, misalnya, diyakini sebagai waliyullah, weruh sa'durunge winarah, dan siapa yang menentang Gus Dur kualat. Namun, jika kita saksikan penghargaan publik setelah Gus Dur wafat, tampaknya ada benarnya. Konon, salah satu indikator wali, jika dia wafat, arus penghargaan massa terus mengalir secara permanen. Hingga kini, tiap hari ribuan orang menziarahi makam Gus Dur.
Maka, wajar jika lalu lahir massa pendukung Gus Dur yang dalam istilah Eric Hoffer disebut true believer, pemeluk teguh atau pendukung fanatik (Hoffer; 1993). Kelahiran true believer itu masif, baik di kalangan gus, kiai, orang awam, maupun anak muda NU. Orang menyebut kelompok tersebut Gus Durian. Yaitu, kader-kader ideologis yang fanatik dan paham serta menyerap gagasan atau pemikiran Gus Dur.
Saya tekankan kepada kader ideologis untuk membedakan dengan ''santri kepentingan'' yang hanya memanfaatkan karisma Gus Dur untuk kepentingan subjektif politik. Santri kepentingan juga berbeda dengan santri pesantren yang memiliki ciri tawadlu, ikhlas, tanpa pamrih, dan sam'an watha'atan, sesuai kultur pesantren. Santri kepentingan adalah mereka yang hadir ke lingkungan Gus Dur untuk kepentingan politik pragmatis, tanpa memperjuangkan gagasan Gus Dur. Ironisnya, santri kepentingan itulah yang banyak mengitari Gus Dur.
* M. Mas'ud Adnan (Opini Jawa Pos)
7.2.10
Julukan Semar untuk Gus Dur
Oleh: Sholihin Hidayat*
Tidak terasa, Ahad besok adalah 40 hari wafatnya almaghfurllah KH Abdurrahman Wahid Ad Dakhil alias Gus Dur. Hingga hari ini, ribuan pelayat masih terus berdatangan ke makam beliau di Tebuireng, Jombang. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Juga beberapa tokoh dari luar negeri. Penghormatan juga diberikan tokoh lintas agama.
Semua itu menjadi bukti bahwa Gus Dur adalah tokoh besar, disayang semua kalangan, yang ide-ide dan pemikirannya terus hidup dan berkembang. Almaghfurllah KH Chamim Jazuli (Gus Miek), tokoh sentral semaan Alquran Mantab, menyebut Gus Dur sebagai tokoh langka yang nyeleneh, kaya ide, dan mengabdikan sepenuh hidupnya untuk rakyat. Gus Miek menjuluki Gus Dur sebagai Semar, tokoh pewayangan berbadan tambun, berkulit hitam, perut buncit, dan berkuluk di kepala.
''Gus, panjenenangan kedah dados Semar. Indonesia butuh tokoh yang bisa menjadi pengayom dan melindungi segenap tumpah darah rakyat.'' Begitu pesan Gus Miek berkali-kali setiap bertemu Gus Dur pada 1991-1992.
Saya sempat bertanya kepada Gus Miek, mengapa harus jadi Semar? Kan Gus Dur sudah menjadi ketua umum PB NU yang notabene adalah pemimpin umat yang mengabdikan diri untuk bangsa dan negara? Gus Miek menjawab, ''Gus Dur harus menjadi sesepuh bangsa, guru bangsa, bapak bangsa, pejuang rakyat jelata dan kaum tertindas. Gus Dur itu milik semua orang, bukan hanya warga NU. Karena itu, dia harus menjadi Semar.''
Filosofi Semar
Dari berbagai literatur, Semar digambarkan sebagai lambang dunia nyata, mahadewa di dunia bawah. Batara Guru itu mahadewa di dunia atas, penguasa kosmos. Batara Semar penguasa keos. Batara Guru penuh etiket sopan santun tingkat tinggi, Batara Semar sepenuhnya urakan.
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik. Seolah-olah dia merupakan simbol penggambaran jagat raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.
Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembap. Penggambaran itu merupakan simbol suka dan duka. Bentuk badan Semar juga paradoks, seperti perempuan tapi juga mirip lelaki, kombinasi ketegasan dan kelembutan. Semar adalah seorang hamba, rakyat jelata, buruk rupa, miskin, hitam legam.
Namun, di balik wujud lahir tersebut, tersimpan sifat-sifat mulia. Yakni, mengayomi, melayani umat tanpa pamrih, memecahkan masalah-masalah rumit, sabar, bijaksana, serta penuh humor. Semar adalah pengejawantahan ungkapan Jawa tentang kekuasaan, yakni ''manunggaling kawula-Gusti'' (menyatunya hamba-raja).
Seorang pemimpin seharusnya menganut filsafat Semar. Pemimpin di Indonesia harus memadukan antara atas dan bawah, pemimpin dan yang dipimpin, yang diberi kekuasaan dan yang menjadi sasaran kekuasaan, serta kepentingan hukum negara dan kepentingan objek hukum.
Semar menghormati rakyat jelata lebih dari menghormati para dewa pemimpin itu. Semar tidak pernah mengentuti rakyat, tapi kerjanya membuang kentut ke arah para dewa yang telah salah bekerja menjalankan kewajibannya.
Semar itu hakikatnya di atas, tapi eksistensinya di bawah. Seorang pemimpin adalah sebuah paradoks (Kitab Hastabrata atau Delapan Ajaran Dewa). Dia majikan sekaligus pelayan, kaya tapi tidak terikat kekayaannya, tegas dalam keadilan untuk memutuskan mana yang benar dan mana yang salah, namun tetap berkasih sayang.
Ajaran tua tentang kekuasaan politik dimitoskan dalam diri Semar yang paradoks tersebut. Etika kekuasaan itu ada dalam diri tokoh Semar. Dia dewa tua, tapi menjadi hamba. Dia berkuasa, tapi melayani. Dia kasar di kalangan atas, tapi halus di kalangan bawah. Dia kaya raya penguasa semesta, tapi memilih memakan nasi sisa. Dia marah kalau kalangan atas bertindak tidak adil. Dia menyindir dalam bahasa metafora bila yang dilayani berbuat salah.
Tokoh Semar itulah yang mengejawantah ke diri Gus Dur sebagaimana yang diinginkan Gus Miek. Budayawan Dr Sindhunata dalam sebuah seminar di Jogjakarta (Kompas-Online, 1997) juga dengan sangat serius mengasosiasikan tokoh wayang Semar dengan Gus Dur, baik dari sikap-sikap politik maupun fisik.
Menjangkau Masa Depan
Gus Miek memang sejak lama bersahabat dengan Gus Dur, terutama ketika menjelang dan saat berlangsungnya Muktamar NU di Situbondo pada 1984. Bahkan juga dengan almaghfurlah KH Achmad Shiddiq, mantan rais aam PB NU. Saat Munas Ulama NU 1993, tiga tokoh yang juga dikenal sebagai waliyullah itu sering terlibat aktif berdiskusi soal masa depan bangsa.
Pemikiran spektakuler yang mereka hasilkan, antara lain, bentuk negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) sudah final dan tidak bisa diganggu gugat. Indonesia harus utuh menjadi negara kesatuan yang wajib dipertahankan eksistensinya oleh setiap muslim. Hasil ijtihad lainnya yang kemudian diputuskan dalam muktamar ke-27 NU adalah Pancasila sebagai satu-satunya asas, yang diikuti dengan kembalinya NU ke khitah 26.
Karena dianggap sukses memimpin NU pada masa peralihan, dari politik praktis menjadi jam'iyah diniyah, Gus Miek kemudian meminta agar Gus Dur menjadi pengayom bangsa. Kelak, kata Gus Miek, bangsa ini mengalami problem besar yang menyentuh seluruh sendi dan aspek kehidupan. Saat itu, diperlukan tokoh yang mampu membawa bangsa keluar dari kemelut multidimensional.
Diperlukan tokoh yang punya pikiran kritis dan cerdas untuk mencari solusi. Gus Dur dianggap mampu oleh Gus Miek seperti halnya Semar. Itu juga diakui Greg Barton. Pemikiran Gus Dur bisa merambah jalan menuju masa depan. Mungkin, Gus Dur masih baru meletakkan dasar-dasar pemikiran di bidang kenegaraan, demokrasi, HAM, keagamaan, dan sebagainya. Kitalah yang harus meneruskan pikiran-pikiran besar itu.
Namun, ada satu keinginan Gus Miek kepada Gus Dur dan Kiai Shiddiq yang tidak terlaksana. Yakni, agar mereka bertiga menempati makam yang sama di Makam Aulia Desa Tambak, Ploso, Kediri. Namun, Gus Dur akhirnya dimakamkan di Tebuireng, dekat makam ayah dan kakeknya. Allahummagfir lahum warhamhum.
*). Sholihin Hidayat, mantan Pemred Jawa Pos, kini direktur Ko Hin Institute
Tidak terasa, Ahad besok adalah 40 hari wafatnya almaghfurllah KH Abdurrahman Wahid Ad Dakhil alias Gus Dur. Hingga hari ini, ribuan pelayat masih terus berdatangan ke makam beliau di Tebuireng, Jombang. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Juga beberapa tokoh dari luar negeri. Penghormatan juga diberikan tokoh lintas agama.
Semua itu menjadi bukti bahwa Gus Dur adalah tokoh besar, disayang semua kalangan, yang ide-ide dan pemikirannya terus hidup dan berkembang. Almaghfurllah KH Chamim Jazuli (Gus Miek), tokoh sentral semaan Alquran Mantab, menyebut Gus Dur sebagai tokoh langka yang nyeleneh, kaya ide, dan mengabdikan sepenuh hidupnya untuk rakyat. Gus Miek menjuluki Gus Dur sebagai Semar, tokoh pewayangan berbadan tambun, berkulit hitam, perut buncit, dan berkuluk di kepala.
''Gus, panjenenangan kedah dados Semar. Indonesia butuh tokoh yang bisa menjadi pengayom dan melindungi segenap tumpah darah rakyat.'' Begitu pesan Gus Miek berkali-kali setiap bertemu Gus Dur pada 1991-1992.
Saya sempat bertanya kepada Gus Miek, mengapa harus jadi Semar? Kan Gus Dur sudah menjadi ketua umum PB NU yang notabene adalah pemimpin umat yang mengabdikan diri untuk bangsa dan negara? Gus Miek menjawab, ''Gus Dur harus menjadi sesepuh bangsa, guru bangsa, bapak bangsa, pejuang rakyat jelata dan kaum tertindas. Gus Dur itu milik semua orang, bukan hanya warga NU. Karena itu, dia harus menjadi Semar.''
Filosofi Semar
Dari berbagai literatur, Semar digambarkan sebagai lambang dunia nyata, mahadewa di dunia bawah. Batara Guru itu mahadewa di dunia atas, penguasa kosmos. Batara Semar penguasa keos. Batara Guru penuh etiket sopan santun tingkat tinggi, Batara Semar sepenuhnya urakan.
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik. Seolah-olah dia merupakan simbol penggambaran jagat raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.
Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembap. Penggambaran itu merupakan simbol suka dan duka. Bentuk badan Semar juga paradoks, seperti perempuan tapi juga mirip lelaki, kombinasi ketegasan dan kelembutan. Semar adalah seorang hamba, rakyat jelata, buruk rupa, miskin, hitam legam.
Namun, di balik wujud lahir tersebut, tersimpan sifat-sifat mulia. Yakni, mengayomi, melayani umat tanpa pamrih, memecahkan masalah-masalah rumit, sabar, bijaksana, serta penuh humor. Semar adalah pengejawantahan ungkapan Jawa tentang kekuasaan, yakni ''manunggaling kawula-Gusti'' (menyatunya hamba-raja).
Seorang pemimpin seharusnya menganut filsafat Semar. Pemimpin di Indonesia harus memadukan antara atas dan bawah, pemimpin dan yang dipimpin, yang diberi kekuasaan dan yang menjadi sasaran kekuasaan, serta kepentingan hukum negara dan kepentingan objek hukum.
Semar menghormati rakyat jelata lebih dari menghormati para dewa pemimpin itu. Semar tidak pernah mengentuti rakyat, tapi kerjanya membuang kentut ke arah para dewa yang telah salah bekerja menjalankan kewajibannya.
Semar itu hakikatnya di atas, tapi eksistensinya di bawah. Seorang pemimpin adalah sebuah paradoks (Kitab Hastabrata atau Delapan Ajaran Dewa). Dia majikan sekaligus pelayan, kaya tapi tidak terikat kekayaannya, tegas dalam keadilan untuk memutuskan mana yang benar dan mana yang salah, namun tetap berkasih sayang.
Ajaran tua tentang kekuasaan politik dimitoskan dalam diri Semar yang paradoks tersebut. Etika kekuasaan itu ada dalam diri tokoh Semar. Dia dewa tua, tapi menjadi hamba. Dia berkuasa, tapi melayani. Dia kasar di kalangan atas, tapi halus di kalangan bawah. Dia kaya raya penguasa semesta, tapi memilih memakan nasi sisa. Dia marah kalau kalangan atas bertindak tidak adil. Dia menyindir dalam bahasa metafora bila yang dilayani berbuat salah.
Tokoh Semar itulah yang mengejawantah ke diri Gus Dur sebagaimana yang diinginkan Gus Miek. Budayawan Dr Sindhunata dalam sebuah seminar di Jogjakarta (Kompas-Online, 1997) juga dengan sangat serius mengasosiasikan tokoh wayang Semar dengan Gus Dur, baik dari sikap-sikap politik maupun fisik.
Menjangkau Masa Depan
Gus Miek memang sejak lama bersahabat dengan Gus Dur, terutama ketika menjelang dan saat berlangsungnya Muktamar NU di Situbondo pada 1984. Bahkan juga dengan almaghfurlah KH Achmad Shiddiq, mantan rais aam PB NU. Saat Munas Ulama NU 1993, tiga tokoh yang juga dikenal sebagai waliyullah itu sering terlibat aktif berdiskusi soal masa depan bangsa.
Pemikiran spektakuler yang mereka hasilkan, antara lain, bentuk negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) sudah final dan tidak bisa diganggu gugat. Indonesia harus utuh menjadi negara kesatuan yang wajib dipertahankan eksistensinya oleh setiap muslim. Hasil ijtihad lainnya yang kemudian diputuskan dalam muktamar ke-27 NU adalah Pancasila sebagai satu-satunya asas, yang diikuti dengan kembalinya NU ke khitah 26.
Karena dianggap sukses memimpin NU pada masa peralihan, dari politik praktis menjadi jam'iyah diniyah, Gus Miek kemudian meminta agar Gus Dur menjadi pengayom bangsa. Kelak, kata Gus Miek, bangsa ini mengalami problem besar yang menyentuh seluruh sendi dan aspek kehidupan. Saat itu, diperlukan tokoh yang mampu membawa bangsa keluar dari kemelut multidimensional.
Diperlukan tokoh yang punya pikiran kritis dan cerdas untuk mencari solusi. Gus Dur dianggap mampu oleh Gus Miek seperti halnya Semar. Itu juga diakui Greg Barton. Pemikiran Gus Dur bisa merambah jalan menuju masa depan. Mungkin, Gus Dur masih baru meletakkan dasar-dasar pemikiran di bidang kenegaraan, demokrasi, HAM, keagamaan, dan sebagainya. Kitalah yang harus meneruskan pikiran-pikiran besar itu.
Namun, ada satu keinginan Gus Miek kepada Gus Dur dan Kiai Shiddiq yang tidak terlaksana. Yakni, agar mereka bertiga menempati makam yang sama di Makam Aulia Desa Tambak, Ploso, Kediri. Namun, Gus Dur akhirnya dimakamkan di Tebuireng, dekat makam ayah dan kakeknya. Allahummagfir lahum warhamhum.
*). Sholihin Hidayat, mantan Pemred Jawa Pos, kini direktur Ko Hin Institute
Langganan:
Postingan (Atom)