8.2.10

A. Mustofa Bisri: Fenomena Gus Dur


KETIKA presiden ke-35 Amerika Serikat John F. Kennedy atau JFK (1917-1963 M) yang nasibnya banyak mirip dengan presiden pendahulunya, Abraham Lincoln, meninggal terbunuh pada 22 November 1963, dunia ikut berduka. Maklum, JFK merupakan presiden negara adikuasa. Dia juga dikenal sebagai presiden Amerika yang berani, mempunyai pandangan ke depan, dan menjanjikan perubahan dunia. Namun, meski saat pemakamannya banyak sekali yang hadir, masih terhitung tidak seberapa bila dibandingkan dengan saat pemakaman Presiden Republik Mesir Gamal Abdel Nasser (1918-1970).

Presiden bertubuh raksasa yang mengaku 'murid'-nya presiden kita Bung Karno itu benar-benar orang yang "tahu saat harus meninggal". Setelah pertemuan tingkat tinggi yang membahas berbagai perbedaan pendapat di antara beberapa kepala negara di Kairo, Gamal sebagai tuan rumah mengantar satu per satu tamu-tamunya kembali ke negara masing-masing. Saya masih ingat, yang terakhir diantar ke bandara ialah Amir Shabah dari Kuwait. Setelah itu radio dan TV Mesir berhenti menyiarkan berita.

Semua hanya menyiarkan bacaan Alquran. Ternyata presiden yang dianggap paling berjasa mendamaikan Raja Husein dari Jordan dengan Raja Faisal dari Arab Saudi dan Yasser Arafat dari Palestina itu dipanggil ke rahmatullah setelah pulang dari bandara mengantarkan Amir Sabah. Besoknya, kepala-kepala negara yang dilepas Gamal sebelumnya itu berdatangan kembali. Kali ini untuk memberikan penghormatan terakhir kepada presiden yang mereka hormati itu.

Maka pada waktu itu dunia -termasuk saya yang langsung- menyaksikan pemakaman paling akbar dalam sejarah modern. The Guinness Book of Records memperkirakan pelayat Presiden Gamal Abdel Nasser mencapai 4 juta dan menetapkan sebagai pemakaman dengan pelayat terbesar.

Presiden pertama kita Bung Karno, andai tidak dizalimi oleh pemerintah Orde Baru yang menggantikannya, mungkin pemakamannya tidak kalah akbar daripada pemakaman 'murid'-nya dari Mesir itu. Kepopuleran Bung Karno di dunia tidak kalah dari Gamal. Hanya, Gamal pada saat wafat sedang berada dalam puncak kepopuleran. Kalau di negerinya sendiri, Bung Karno waktu itu kurang dihargai. Pemakamannya hanya ala kadarnya. Sedangkan Gamal di Mesir -yang saya tahu- sangat dihormati oleh pemimpin-pemimpin Mesir dan dicintai rakyatnya. Mesir berkabung tujuh hari atas kemangkatan Bung Karno. Beberapa media massa menulis tentang presiden pertama kita itu, seingat saya, sampai 15 hari.

Waba'du, presiden kita keempat, Gus Dur alias KH Dr Abdurrahman Wahid Ad-Dakhil (1940-2009) sudah '40 hari' meninggalkan kita. Presiden yang pengaturan pemakamannya jadi 'rebutan' antara keluarga dan protokol negara itu, dilepas menuju ke haribaan Tuhannya oleh presiden, petinggi-petinggi negara, para kiai, dan ratusan ribu warga masyarakat. Pers dunia tidak hanya memberitakan kewafatannya, tapi juga menulis pribadi dan keistimewaannya. Majalah kenamaan, The Economics, bahkan menceritakan kembali joke-joke Gus Dur yang menertawakan diri sendiri.

Seolah-olah orang tidak puas memberikan penghormatan terakhir kepada Gus Dur saat dimakamkan, berbagai kelompok masyarakat mengadakan acara-acara khusus untuk mengenang presiden yang dimakzulkan oleh para politisi -yang dulu mendukung pengangkatannya- itu. Ada Seribu Lilin untuk Gus Dur. Ada berdoa bersama untuk Gus Dur yang diikuti pimpinan berbagai agama dan kepercayaan. Ada beberapa komunitas etnis dan agama yang masing-masing menyelenggarakan acara khusus untuk menghormati almarhum. Di makamnya sendiri di Tebuireng, setiap hari hingga kini rombongan masyarakat dari berbagai pelosok tanah air, bahkan juga dari luar negeri, masih terus berdatangan.

Khusus dalam rangka 40 hari wafat presiden rakyat itu, acara-acara mengenang kiai unik tersebut digelar di mana-mana. Dalam rangka itu, saya sendiri mendapat undangan tidak kurang dari sembilan panitia dari berbagai kota di tanah air. Tidak hanya berbentuk doa bersama atau tahlilan dan pengajian, tapi ada pula yang dikemas dalam acara seminar, orasi budaya, kesenian, tirakatan, dan sebagainya. Seniman serbabisa Slamet Gundono malah menyelenggarakan acara budaya sehari semalam di Solo dengan tidak ketinggalan menggelar lakon Kuncung Semar. Studio Mendut Magelang berencana mengadakan pameran patung Gus Dur. Masyarakat Pati lain lagi, rencananya mengadakan pawai keliling sebelum acara puncak di alun-alun Pati.

Melihat fenomena itu, sampai ada kiai sepuh yang menyatakan bahwa mulai Nabi Adam belum pernah ada manusia yang diperlakukan seperti Gus Dur. Menurut saya, fenomena ini tidak hanya patut masuk Muri-nya Jaya Suprana, tapi sangat layak masuk Guinness Book of Records.

Demikianlah, karena Gus Dur menghargai keberagaman, dia pun dihargai oleh berbagai ragam manusia, terutama yang menerima keberagaman, meskipun pasti ada -terutama dari kalangan mereka yang tidak menyukai keberagaman- yang tidak menghargai bahkan merendahkannya. Dan akan hal ini Gus Dur pun maklum belaka.

Hanya ini yang bisa saya tuliskan dalam rangka peringatan 40 hari wafat Gus Dur. Dalam buku-buku saya, saya sudah sering membicarakan Gus Dur. Bahkan, ada buku saya yang khusus mengenai cucu pendiri-pendiri NU ini. Kalau masih kurang, di toko-toko buku ada ratusan buku tentang manusia yang mencintai sesamanya ini.(*)
(Opini Jawa Pos)

Tidak ada komentar: