KIBLAT: SUATU PERLAMBANG
Pernah ada kejadian yang
kontroversial di Madinah akibat perpindahan kiblat Nabi dari Yerusalem ke
Makkah. Ternyata hal itu menimbulkan kegaduhan dan hampir skandal. Banyak
sekali orang-orang Madinah yang mulai mempertanyakan ketulusan Rasulullah
Saw. dalam beragama hanya semata-mata karena pindah kiblat. Apalagi,
perpindahan kiblat itu terjadi dalam bentuk yang cukup dramatis.
Waktu itu Nabi sedang shalat
empat rakaat; ada yang mengatakan shalat zuhur, ada yang mengatakan asar. Dua
rakaat pertama menghadap Yerusalem (sebelah utara) dan dua rakaat kedua,
setelah menerima firman Allah yang mengizinkan pindah kiblat, beliau
menghadap ke selatan ke arah Makkah. Tempat shalat itu sekarang diperingati
dalam bentuk masjid bernama Masjid Dua Kiblat (Masjid Qiblatayn) di
Madinah.
Karena itu terjadi kegaduhan
di Madinah, bahkan para ahli mengatakan bahwa banyak juga dari kalangan
pengikut Rasulullah Muhammad Saw. menjadi murtad, karena menganggap pindah
kiblat sebegitu seriusnya. Maka turunlah firman Allah Swt. yang memperingatkan
kita semua, Orang yang bodoh di antara orang kebanyakan akan berkata,
“Apakah yang membuat mereka berpaling dari kiblat yang dahulu mereka pakai?”
Katakanlah, “Timur dan barat kepunyaan Allah. Ia membimbing siapa saja yang
Ia dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus” (Q., 2:142).
Jadi tidak ada persoalan berkenaan
dengan arah. Kemudian Allah memperingatkan dalam Al-Quran bahwa semua bangsa,
kelompok masyarakat, umat, mempunyai arah ke mana mereka menghadap, Bagi
masing-masing mempunyai tujuan, ke sanalah Ia mengarahkannya, maka berlombalah
kamu dalam mengejar kebaikan. Di mana pun kamu berada, Allah akan menghimpun
kamu karena Allah berkuasa atas segalanya (Q., 2:148).
Tidak perlu dipersoalkan ke
mana orang menghadap; yang penting ialah berlomba-lomba menuju kepada berbagai
kebaikan. Bukan hanya ayat di atas, ada juga firman Allah yang sangat kuat dan
patut sekali kita renungkan, Kebaikan itu bukanlah karena menghadapkan muka
ke timur atau ke barat, tetapi kebaikan ialah karena beriman kepada Allah dan
hari kemudian, dan para malaikat, dan Kitab, dan para nabi. Memberikan harta
benda atas dasar cinta kepada-Nya, kepada para kerabat, kepada anak yatim,
kepada fakir miskin, kepada orang dalam perjalanan, kepada mereka yang
meminta, dan untuk menebus budak-budak, lalu mendirikan shalat dan membayar
zakat, memenuhi janji bila membuat perjanjian, dan mereka yang tabah, dalam
penderitaan dan kesengsaraan, dan dalam suasana kacau. Mereka itulah orang yang
benar, dan mereka itu yang bertakwa (Q., 2:177).
Jadi, yang dinamakan kebajikan
bukanlah masalah kiblat, masalah arah ke mana menghadap. Meskipun menghadap
kiblat merupakan syarat rukun di dalam shalat, tetapi kiblat bukan merupakan
kesalehan itu sendiri. Di situ ada makna simbolik sebagai suatu perlambang,
dan itu tidak akan berfungsi pada kita bila tidak memahami maknanya.