20.4.12


KIBLAT: SUATU PERLAMBANG

Pernah ada kejadian yang kontroversial di Madinah akibat perpindahan kiblat Nabi dari Yerusalem ke Makkah. Ternyata hal itu menimbulkan kegaduhan dan hampir skandal. Banyak sekali orang-orang Madinah yang mulai mempertanyakan ketulusan Rasu­lul­lah Saw. dalam beragama hanya semata-mata karena pindah kiblat. Apalagi, perpindahan kiblat itu terjadi dalam bentuk yang cukup dramatis.

Waktu itu Nabi sedang shalat empat rakaat; ada yang mengatakan shalat zuhur, ada yang mengatakan asar. Dua rakaat pertama meng­hadap Yerusalem (sebelah utara) dan dua rakaat kedua, setelah me­ne­rima firman Allah yang meng­izinkan pindah kiblat, beliau menghadap ke selatan ke arah Makkah. Tempat shalat itu sekarang diperingati dalam bentuk masjid ber­nama Masjid Dua Kiblat (Masjid Qiblatayn) di Madinah.

Karena itu terjadi kegaduhan di Madinah, bahkan para ahli mengatakan bahwa banyak juga dari kalangan pengikut Rasulullah Muhammad Saw. menjadi murtad, karena menganggap pindah kiblat sebegitu seriusnya. Maka turunlah firman Allah Swt. yang memperi­ngatkan kita semua, Orang yang bodoh di antara orang kebanyakan akan berkata, “Apakah yang mem­buat mereka berpaling dari kiblat yang dahulu mereka pakai?” Kata­kan­lah, “Timur dan barat kepu­nyaan Allah. Ia membimbing siapa saja yang Ia dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus” (Q., 2:142).

Jadi tidak ada persoalan ber­kenaan dengan arah. Kemudian Allah memperingatkan dalam Al-Quran bahwa semua bangsa, ke­lompok masyarakat, umat, mempunyai arah ke mana mereka menghadap, Bagi masing-masing mempunyai tujuan, ke sanalah Ia me­ngarahkannya, maka berlombalah kamu dalam mengejar kebaikan. Di mana pun kamu berada, Allah akan menghimpun kamu karena Allah berkuasa atas segalanya (Q., 2:148).

Tidak perlu dipersoalkan ke mana orang menghadap; yang penting ialah berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan. Bukan hanya ayat di atas, ada juga firman Allah yang sangat kuat dan patut sekali kita renungkan, Kebaikan itu bukanlah karena menghadapkan muka ke timur atau ke barat, tetapi kebaikan ialah karena beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan para malaikat, dan Kitab, dan para nabi. Mem­berikan harta benda atas dasar cinta kepada-Nya, kepada para kerabat, kepada anak yatim, kepada fakir miskin, kepada orang dalam perja­lanan, kepada mereka yang meminta, dan untuk menebus budak-budak, lalu mendirikan shalat dan mem­bayar zakat, memenuhi janji bila membuat perjanjian, dan mereka yang tabah, dalam penderitaan dan kesengsaraan, dan dalam suasana kacau. Mereka itulah orang yang benar, dan mereka itu yang bertakwa (Q., 2:177).

Jadi, yang dinamakan kebajikan bukanlah masalah kiblat, masalah arah ke mana menghadap. Mes­kipun menghadap kiblat meru­pakan syarat rukun di dalam shalat, tetapi kiblat bukan merupakan kesalehan itu sendiri. Di situ ada mak­na simbolik sebagai suatu per­lambang, dan itu tidak akan ber­fungsi pada kita bila tidak me­mahami maknanya.