16.9.08

KRISIS TELADAN DISIPLIN WAKTU


KRISIS TELADAN DISIPLIN WAKTU
Oleh: Abu Elmakkey*

Sudah menjadi aturan, meskipun tak tertulis, setiap kali ingin menggelar hajatan dan berniat mengundang kerabat, handaitaulan, tetangga serta rekanan, seyogyanya kita sertakan undangan sebagai makna keseriusan. Tidak banyak hal yang perlu ditulis dalam undangan. Hanya beberapa poin penting prihal acara dimaksud yang mesti diperjelas; tujuan, tempat dan pastinya waktu atau jam pelaksanaannya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, proses undang-mengundang sudah sedemikian akrab dalam intraksi sosial. Hampir setiap hari kita mendapatinya. Kalau tidak mengundang, biasanya kitalah yang diundang. Setidaknya, ini yang dialami penulis sebagai anggota komunitas masyarakat. Kebetulan, saat sedang menggarap tulisan ini, ada sekretaris penulis dalam kepanitiaan pembangunan sebuah masjid, datang dan menyodorkan selembar undangan; meminta paraf penulis selaku ketua umum, sebelum kemudian digandakan dan diedarkan kepada para undangan. Dalam hal ini, penulis termasuk pihak pengundang. Pada banyak kesempatan, tak jarang juga penulis menjadi pihak yang diundang.
Ada tiga hal mendasar yang perlu dipertegas oleh sộhibul hậjah, saat menulis undangannya, seperti telah disinggung di atas, yakni tujuan, tempat serta waktu pelaksanaan acara. Biasanya, jika memang ada kesanggupan dan berniat hadir, para undangan akan sangat antusias memperhatikan dua poin penting pertama, yakni tujuan dan tempat acara. Adalah lucu, jika kita menghadiri acara non-formal dengan penampilan yang sangat formal. Atau sebaliknya. Untuk menghindari kekeliruan ini, kita harus faham jenis dan tujuan acara.
Selanjutnya, sangat naif jika kita memasuki ruang acara –walaupun dalam acara yang serupa– tapi keliru tempat. Ingin menghadiri sebuah undangan pernikahan, misalnya, tapi keliru masuk pada acara serupa yang bahkan kita tidak diundang; saat ada dua tetangga berdekatan menggelar hajatan yang sama, sementara kita mendapat satu undangan dari keduanya. Maka, keyakinan benarnya sebuah tempat acara adalah konsekuensi yang betul-betul harus diperhatikan.
Untuk poin mendasar terakhir, yakni waktu pelaksanaan acara, sangat jarang –agar tidak menafikan– diperhatikan para undangan. “Jangan terburu-buru, acaranya pasti molor” Ungkapan seperti ini, sering kita dengar setiap akan menghadiri sebuah undangan, baik dari kerabat, teman yang sama-sama diundang, atau mungkin diri kita sendiri yang menjadikan pengalaman sebagai kaca perbandingan. Inilah yang penulis maksud: tradisi melalaikan waktu. Wajarkah?
Menanggapi wacana di atas, mungkin kita sepakat untuk meng”iya”kan kewajaran realita ini. Karena, setidaknya ada dua hujjah mendasar yang bisa dijadikan alasan: pertama, molor waktu atau apapun istilahnya –selama masih dalam lingkup wajar– tidak lantas menggagalkan acara; dan kedua, keberadaan masing-masing person undangan di tempat acara, bukan sebagai otoritas mutlak. Adanya undangan hanya bersifat sosial-kultural; baik pengundang ataupun yang diundang, sama-sama hanya menjalankan tradisi yang berlaku.
Masalah yang timbul kemudian, jika keterlambatan dilakoni oleh undangan yang justru memiliki otoritas dalan pelaksanaan acara. Saat penyelenggaraan upacara pelantikan kepala desa baru, umpamanya, jika Camat setempat, sebagai pelantik terlambat datang, maka “resiko” molornya waktu akan dirasa segenap hadirin. Atau dalam acara pengajian akbar, jika seorang Kiai yang dijadwal menjadi muballig terlambat, maka penundaan acara inti tidak dapat dihindari, sampai Kiai yang bersangkutan hadir. Peristiwa-peristiwa inilah yang kerap terjadi. Sudah mentradisi di masyarakat.
Seakan telah menjamur adigium: “Biasa, orang penting pasti ditunggu. Bukan menunggu”. Sangat jarang kita menghadiri sebuah acara yang bisa dimulai tepat seperti jadwal waktu yang tertulis dalam undangan. Itu tadi, karena undangan otoritas tidak bisa menjadi suri tauladan disiplin waktu. Mereka “senang” jika segenap pandangan hadirin tertuju pada kedatangan mereka. Entah, apa yang ada dalam fikiran mereka saat itu. Yang jelas, jika perasaan malu menjadi hiasan pribadi; malu karena keterlambatan menjadi tontonan khalayak, maka upaya untuk mengulangi keterlambatan, sama artinya ingin menodai hiasan diri. Maka tak heran, jika Nabi Muhammad menyatakan: “Kalau sudah tidak malu, maka lakukan apa yang kamu mau”. Tanpa perlu menggubris apa anggapan orang.
***
Adalah benar jika segala sesuatu yang telah dan akan terjadi merupakan taqdir Allah. Termasuk keterlambatan. “Maksud hati ingin tepat waktu, tapi adanya sebab yang tak terduga, menjadi perantara untuk tidak bisa on time.” Demikian lintasan pemikiran kita, untuk membenarkan keterlambatan. Hanya sikap bijaklah yang dapat memilah prioritas di antara tumpukan aktifitas.
Jika alasan keterlambatan kita karena udzur yang membenarkannya, maka beban malu karena keterlambatan hanya kepada khalayak yang hadir saja. Tapi jika masbuk kedatangan kita ke tempat acara karena mencari perhatian, apalagi merasa penting; yakin acara tidak akan dimulai sebelum kedatangan kita, inilah benih kesombongan alias keangkuhan. Jika kebiasaan “senang ditunggu” mentradisi di kalangan elit masyarakat; para pemerintah, tokoh agama, maka siapakah yang akan dijadikan panutan umat? Bagaimana mungkin seorang muballig memberikan ceramah kepada masyarakat, jika pribadinya tak mampu menjalankan apa yang ia sampaikan?
***
Idealnya, baik pengundang ataupun undang otoritas harus sama-sama berkomitmen agar acara dapat dilaksanakan tepat sesuai jadwal. Koordinasi intens antara keduanya harus sudah ada, jauh sebelum penyelenggaraan acara. Sangat tidak relefan alasan yang disampaikan seorang pembicara yang terlambat datang, karenanya menyita waktu hadirin untuk menunggu: “Maaf, karena ada dua acara serupa yang waktunya sama persis, jadi terpaksa saya terlambat. Agar sama-sama kebagian ceramah.”
Bagaimana mungkin seorang muballig menyanggupi dua acara yang diselenggarakan pada saat bersamaan? Mestinya, saat ada undangan yang meminta kesediaannya, ketegasan untuk menolak atau sedikit menggeser waktu pelaksanaan harus disampaikan. Jangan berfikir “mumpung diundang”. Seperti halnya pengundang, selayaknya mendapatkan kepastian bahwa sang muballig bisa menghadiri acara tepat waktu; tanpa ada udzur mengisi di tempat lain.
Jika ketegasan ini bisa diterapkan oleh para muballigin; memberi teladan ketepatan waktu, merasa malu jadi tontonan hadirin karena terlambat, maka insyaallah, tradisi molor waktu acara akan bisa diatasi. Mari bersama-sama kita benahi penyakit masyarakat; krisis tauladan disiplin waktu.
Tentu, contoh molornya waktu dari prosesi “undang-mengundang” hanya menjadi satu sampel dari sekian sampel yang ada dalam realita menyepelekan waktu; disiplin waktu kerja, waktu mengajar, dan masih banyak lagi disiplin-disiplin waktu dalam menjalankan aktifitas, menjadi “bidikan” tulisan ini. Semoga kita bisa selalu bermuhasabah, agar tidak termasuk orang-orang yang merugi dan dirugikan waktu. Amin…

* Pencinta disiplin waktu

Tidak ada komentar: