LAKNAT MALAIKAT, SIAPA TAKUT!
Orang yang kaya harta berdalih: “tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah”, lantas dia mengingatkan setiap orang yang datang kepadanya agar jangan mengharap sedekah. Sebaliknya, orang yang miskin mempunyai dalil: “Termasuk orang-orang yang mendustakan agama jika ada orang kaya tapi tidak mauu bersedekah, meski pun rajin sembahyang”. Dengan dalilnya ini, si miskin percaya diri mengingatkan orang yang kaya agar mau bersedekah.
Contoh lainnya, pejabat pemerintahan memegang ajaran agama tentang kewajiban rakyat untuk mematuhi pemimpinnya. Dengan modal anjuran tersebut, dia lantas menyampaikan perintah agama itu dalam setiap pembicaraannya di depan publik. Sementara itu, rakyatnya mempunyai dalil tentang kewajiban pemimpin menjadikan rasulullah sebagai suri tauladan dalam kepemimpinan; rasul adalah sosok pemimpin yang sederhana, bersahaja dan jauh dari kesan kemewahan.
Contoh-contoh di atas adalah gambaran keliru dalam berdalih. Namun, begitulah realita yang kerap terjadi. Berikut ini penulis paparkan satu contoh nyata kekeliruan berdalih seperti di atas.
“Seorang istri yang menolak ajakan suminya berhubungan badan, lantas si suami tidak rela, alias grundel, maka para malaikat akan melaknat si istri hingga pagi hari. Artinya, dalam semalam itu si istri berada dalam kondisi yang tidak barokah. Naudzubillahi min dzâlika” Demikian penjelasan satu hadis yang dipertanyakan keabsahannya oleh seorang penanya dalam satu forum diskusi tentang hak-hak perempuan yang diselenggarakan oleh para mahasiswa di salah satu perguruan tinggi.
Secara sepontan salah satu narasumber, seorang perempuan tokoh feminisme, menanggapi pertanyaan itu dengan mantap: “Itu pasti hadis dhaif atau bisa jadi maudhû’! Tidak mungkin Rasulullah yang begitu agung memandang perempuan sedemikian rendah. Hanya sebagai pemuas syahwat lelaki!”
Melihat reaksi cara menjawabnya, nampak sekali penolakan sang narasumber pada hadis dimaksud. Jika saja dia khaliyatudz-dzihni, berfikiran jernih: tidak ada semacam kejengkelan yang sudah lama bercokol terhadap perlakuan tidak adil kaum lelaki terhadap perempuan, mungkin tidak sepontan dan semantap itu ia menjawab. Terlebih jika diketahui bahwa jawabnnya justru keliru. Paling tidak, ia akan mengatakan tidak atau belum pernah tahu apakah hadis itu sahih atau da’if. Untunglah dia masih menghormati Rasulullah SAW. Atau justru karena tidak berani mengecam Rasulullah maka dia hanya berani sebatas menafikan hadis tersebut.
Nara sumber tersebut pasti belum tahu bahwa hadis yang dimaksud adalah hadis sahih, muttafaq ‘alaihi; dari sahabat Abu Hurairah r.a. Bukan hadis dhaif (lemah) apalagi maudhû’(palsu). Dan hadis ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan sikap banyak lelaki yang memandang rendah kepada kaum perempuan. Lelaki yang melihat perempuan dengan sebelah mata berdasarkan hadis sejenis di atas tak ubahnya –seperti umunya politikus kita- yang menggunakan dalil agama sebagai pembenaran atau untuk mendukung kepentingannya.
Lantas, kenapa sampai ada hadis yang sekilas nampak sangat mendukung kediktatoran seorang suami kepada istrinya? Tidakkah ini semakin melemahkan posisi wanita sebagai istri? Adakah penjelasan yang bisa diterima semua pihak: diterima wanita sebagai istri, dan difaham pria sebagai suami yang senyatanya berkewajiban mengayomi istrinya?
Sebagai lelaki yang berstatus suami, penulis bagai berdiri di persimpangan dua jalan dalam memahami hadis tersebut: memahaminya secara leterleg, atau dituntut lebih memahami kandungan tersurat dari muatan hadis. Bukankah Rasulullah kita kenal sebagai sosok pria yang lemah lembut bukan saja kepada keluarga dan sahabatnya, tapi bahkan kepada musuh-musuhnya? Lantas, masak iya beliau memberikan satu ajaran yang terkesan diskriminasi?
Kesan diskriminsi hadis di atas karena teksnya secara jelas menyebutkan “perempuan/istri yang menolak”, bukan “pasangan yang menolak”. Jika teks terakhir yang digunakan, isi hadis bisa lebih nampak berimbang: bukan hanya istri yang menolak saja yang akan dilaknat para malaikat, tapi suami pun akan dilaknat malaikat jika menolak “permintaan” istrinya. Bukankah sudah lumrah indikasi banyak wanita yang selingkuh karena tidak mendapat kepuasan batin dari suaminya? Lantas, bagaimana Anda memahami makna tersirat hadis tersebut?
Penulis yakin, meski Anda lelaki, pasti tidak akan setuju jika wanita harus berada dalam posisi yang layak didiskriminasikan. Baik wanita itu adalah istri, saudari, anak perempuan, apalagi ibu, kan. Wanita, masya Allah, tidak cukup lembaran yang tersedia untuk melukiskan kemuliaan sosok kaum hawa ini. Siapa sih pria yang yang menjadi tokoh atau pemimpin dalam pentas sejarah kehidupan ini yang berhasil tanpa ada wanita di sampingnya? Tidak ada! So, masak iya, kejengkelan suami karena keengganan istrinya yang diajak tidur saja sampai berakibat pada kemurkaan malaikat pula, hingga ikut-ikutan melaknat? Maka saya berkesimpulan, biarkan saja malaikat melaknat, peduli amat! Bukankah malaikat tidak mempunyai otoritas memasukkan manusia ke Surga atau Neraka? Malaikat tidak lebih hanya pesuruh saja, kan! Lagi pula, mereka tidak punya pengalaman berumah tangga, jadi, tahu apa mereka tentang hubungan suami istri??!! Wallahu a’lam bi alshawab.
ZNS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar