21.2.11

MENDEKATI TUHAN


Shirâth, sabîl, syarî‘ah, tharîqah, minhâj, mansak atau manâsik (plural), dan maslak atau sulûk, semuanya berarti jalan, cara, metode dan semacamnya. Jika tisifati menggunakan kata: hanif, mustaqim (jalan yang lurus), maka akan menjadi padanan kata agama. Maka hakekat “agama” adalah jalan yang lurus. Karena bermakna jalan, maka seorang agamis haruslah bersifat dinamis. Jika berhenti di jalan berarti menyalahi sifat jalan itu sendiri.


Agama Islam adalah agama yang tidak mengajari bagaimana cara sampai kepada Tuhan atau mengetahui-Nya, karena hal itu sangat mustahil. Islam tidak mengakui gnostisisme, meskipun konon perkataan ma’rifah digunakan sebagai akibat pengaruh dari konsep gnostisisme Yunani. Memang, keduanya sangat berbeda. Dalam tasawuf, ma’rifah hanya bisa ditafsirkan sebagai teori tentang pengalaman teofanik, yakni pe­ngalaman penyingkapan kebena­ran dari seseorang yang sangat pribadi.


Pengalaman kita dalam beragama ialah pengalaman mendekati Tuhan yang tidak pernah hadir. Karena itu, dalam menempuh perjalanan keagamaan, kita mempunyai pengalaman yang bermacam-macam dan berbeda-beda. Sebagai contoh adalah cerita mengenai seorang wanita tua yang datang kepada Nabi. Wanita tersebut ditanya oleh Nabi, “Kalau kamu beriman kepada Allah, di mana adanya Tuhan itu?” Wanita tua itu menunjuk ke langit. Kemudian Nabi berkata dengan rileks, “Wanita ini benar”. Para sahabat lalu memprotes Nabi dengan mengatakan, “Al-Quran menyebut bahwa Tuhan itu ada di mana-mana. Mengapa Nabi membenarkan wanita yang berpendapat bahwa Tuhan hanya berada di langit?” Nabi menjawab, “Itulah yang dipahami wanita tua itu. Kamu tidak usah mengganggu”.


Cerita ini menunjukan makna dari apa yang disebut dengan idiom, yang banyak sekali macamnya dalam masyarakat kita. Oleh karena itu, para ulama dulu membagi manusia ke dalam bermacam-macam tingkatan (maqâm). Ada sebuah Hadis yang sering juga kita dengar, “Bicaralah pada manusia sesuai dengan tingkat kecerdasan akalnya”. Kalau kita bicara kepada orang yang buta huruf dengan bahasa-bahasa akademis, pasti tidak mengena. Sebaliknya, kalau kita menggunakan idiom-idiom orang buta huruf untuk kalangan akademis, pasti ditolak. Jadi, implikasi kebenaran itu banyak sekali. Seolah-olah ada garis besar kebenaran berupa lingkaran, yang di dalamnya orang bisa berkiprah apa saja, ke mana-mana, asal tidak keluar dari lingkaran itu.

Tidak ada komentar: