ISLAM DAN DEMOKRASI
Oleh: Zulfan Syahansyah*
Oleh: Zulfan Syahansyah*
Saya ada saudara perempuan (mbak) yang saat ini menjadi caleg DPRD di Kabupaten Buleleng. Ada partai politik yang melamarnya. Selain keaktifannya di masyarakat, alasan utama partai tersebut melamar, tentu karena mbakku menjadi ketua Muslimat NU di daerah bagian utara pulau Bali itu. Sebab jabatannya di Badan Otonom (Banom) NU ini juga, beberapa hari lalu ia diundang Muslimah Hizbu Tahrir Indonesia (MHTI) Bali dalam acara seminar bertema: Kiprah Muslimah Dalam Politik Islam
Kepada semua peserta seminar, panitia membagikan sebuah buku gratis berjudul: Khilafah Islamiyah, Menjamin Kesejahteraan Setiap Perempuan. Dari fareabel judul buku, mudah ditebak arah penjelasan pemakalah, berkisar seputar sistem sebuah negara. Dus, acara tersebut menjadi ajang mengampanyekan Khilafah Islamiyah (KI) sebagai asas sebuah negara yang Islami. Selain KI, jelas tidak Islami. Termasuk sistem demokrasi seperti yang saat ini dijalankan di Indonesia.
Parahnya lagi, keluh mbakku, pemakalah dengan tegas menyatakan bahwa demokrasi merupakan sistem negara buatan orang kafir dan hanya layak untuk negara mereka. Tidak untuk kalangan muslim. Pemaparan lebih dipertegas lagi dengan menyertakan ayat-ayat al-Qur’an yang –bagi kelompok pendukung– sesuai dengan masalah dimaksud.
Usai menceritakan semuanya, akhirnya mbakku bertanya: Benarkah demokrasi tidak Islami? Kenapa akhir-akhir ini banyak kita saksikan kelompok penentang demokrasi yang menjadi sistem negara kita, semakin lantang menyuarakan penolakan? Bagaimana nasib integritas bangsa jika hal ini tidak segera ditangani?
Setelah mbakku terdiam, saya mulai bicara: pertma, saya ingin menaggapi keresahan terakhir mbak. Bahwa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa adalah tugas kita bersama. Bukan hanya pemerintah, tapi seluruh komponen bangsa. Tentunya, segala upaya yang mengarah pada retaknya integritas bangsa, menjadi prioritas yang wajib ditangani oleh pemerintah.
Hanya saja, Indonesia adalah negara demokrasi yang memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk bersuara. Karenanya, pemerintah tak berhak membungkam para penentang sistem negara yang dijalankan oelh Indobesia. Itulah sebabnya mereka berani bersuara lantang. Intinya, sistem negara yang dibenci justru memberikan mereka keamanan. Bisakah hal serupa didapat dari sistem negara yang mereka dambakan?!
Selanjutnya, tentang demokrasi, saya tegaskan bahwa esensi makna yang terkandung sejalan dengan cakupan diturunkannya Islam ke muka bumi. Gampangnya, kandungan nilai demokrasi termuat dalam ”paketan” Islam. Bahwa esensi makna demokrasi adalah upaya memberantas otoritatif dan kedoliman.
Selanjutnya, tentang demokrasi, saya tegaskan bahwa esensi makna yang terkandung sejalan dengan cakupan diturunkannya Islam ke muka bumi. Gampangnya, kandungan nilai demokrasi termuat dalam ”paketan” Islam. Bahwa esensi makna demokrasi adalah upaya memberantas otoritatif dan kedoliman.
Dalam negara yang demokrasi, tak ada pemimpin yang menjadi ”tuhan”. Seorang Presiden tak lain manusia biasa yang dipilih untuk menjalankan aturan dan kesepahaman yang disepakati bersama. Anak presiden tak ubahnya anak pedagang koran. Hukum di negara demokrasi berlaku sama bagi semua rakyatnya. Tak ada yang kebal. Tak ada satupun yang boleh merasa memiliki otoritas melebihi lainnya. Inilah idealita demokrasi.
Tentang Islam, sekilas bisa kita pahami bagaimana pola kehidupan kaum Arab pra-Islam. Masa itu disebut jahiliya. Kenapa? Karena mereka menerapkan hukum rimba dalam kehidupan sehari-hari waktu itu. Yang kuat, menang. Kehormatan dan kejayaan dapat diraih dengan otoriter. Antara pria dan wanita, jelas lebih kuat pria. Karenya, anak wanita waktu itu menjadi perlambang ”aib” keluarga. Tak heran, sebelum menjadi muslim, Umar bin Khattab tega mengubur hidup-hidup putrinya.
Bagi Arab Jahiliyah, martabat manusia menjadi taqdir saat kelahirannya. Anak keluarga terhormat, otomatis menjadi golongan terhormat juga. Sebaliknya, bayi seorang budak, secara estafeta akan menyandang gelar budak pula. Realita inilah yang saya maksud dengan pola kehidupan sosial yang otoriter dan dlalim. Maka, datanglah Nabi Muhammad membawa Islam untuk membenahi sistem ini.
Membawa ajaran agama yang tak membedakan status sosial.Tak ada dikotomi antara pria dan wanita. Semua manusia dipandang sama di hadapan Allah. Satu yang menjadi penilaian, yaitu taqwa. Tidak kurang dalil-dalil al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut. Mungkin secara harfiah kita tak mendapatkan arti demokrasi tersurat dalam al-Qur’an. Namun jika ditilik dari idealitanya, siapa yang hendak menafikan bahwa demokrasi dan Islam memang sejalan. Wallahu a’lam bi alshawab.
*Muslim yang demokrat
*Muslim yang demokrat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar