9.1.09

Golput: Wajah Lain Demokrasi

GOLPUT, KENAPA TIDAK?!
Zulfan Syahansyah*


Live is how to choose” Demikian jargon sebuah iklan produk furniture yang saya jumpai saat transit di Singapura beberapa pekan lalu. Artinya, jika boleh saya tafsirkan adalah: kehidupan selalu ada alternatif yang wajib kita tentukan sendiri. Realitanya memang kita dituntut untuk terus menentukan pilihan-pilihan sebelum menetapkan satu hal. Dus, kesuksesan hidup di dunia tak terlepas dari ketepatan menentukan aneka pilihan yang ada.
Hanya saja, benarkah kita dituntut untuk itu? Kenapa kebahagiaan yang menjadi dambaan setiap insan harus melalui penentuan alternatif yang justru tak diketahui sebelumnya. Bukankah pra-syarat menetapkan pilihan harus tahu dulu apa konsekuensi masing-masing pilihan?! Sebelum menetukan arah timur atau barat dalam perjalanan, misalnya, sejatinya kita sudah mengetahui ke mana tujuan kita. Hukum sebab-akibat mengatakan: setiap kali menentukan sebuah pilihan, maka kesiapan menanggung resiko adalah konsekuesi logis tak tertawar yang akan datang menyusul?
Sebagai contoh, tak ada seorang pun yang mau memilih kehidupan susah alias melarat. Semua pasti akan menentukan pilihan menjadi sosok yang senang atau bahagia. Dengan menggunakan akal sehat, orang pasti akan memilih madu jika alternatif minuman lainnya adalah racun. Kurang waras atau ada kelainan namanya, jika ada yang lebih memilih makan pasir jika dihidangkan padanya makanan dan pasir itu sendiri.
Sampai disini, kita bisa jadikan akal sebagai prisai menentukan alternatif dalam hidup. Maka maksimalisasi peran akal dalam menentukan pilihan, menjadi indikasi minimalisir kegagalan pilihan. Demikian pula sebaliknya. Sebuah contoh simpel, kambing jika disodorkan pilihan antara seikat rumput dengan sekalung emas, pasti akan memilih rumput. Itu jelas, karena kambing tak berakal. Padahal jika sedikit ada akal, kambing mungkin memilih emas untuk dijual kemudian dibelikan rumput. Bisa dibayangkan tumpukan rumput yang bakal kambing tersebut dapat. Inilah salah-satu contoh hikmah penganugrahan akal bagi manusia.
Jika tulisan di iklan tersebut menjadi premis mayor, maka premis minornya adalah: “human has choise, then he has live” Saya simpulkan: No choise is not Live”. Tanpa alternatif untuk ditentukan, pudarlah esensi nilai sebuah kehidupan. Meskipun secara jasad kita hidup, tanpa kebebasan memilih, hakekatnya kita mayat yang bernafas.
Dengan logika sederhana ini saya ingin menyatakan, kebebasan menentukan sikap, selama tidak merugikan orang lain, merupakan hak dasar setiap orang yang wajib dihormati bersama. Paksaan untuk menentukan pilihan merupakan pelanggaran HAM yang tidak bisa dibiarkan. Termasuk juga dalam berpolitik. Tidak boleh ada kekuatan yang menyalahkan kebebasan memilih, termasuk memilih untuk tidak memilih alias golput.
Maka aneh jika ada yang menfatwakan ’haram’ golput. Karena, semakin kita mempermasalahkan golput, arah demokratisasi tidak akan lebih baik, tapi justru semakin mundur. So, kecendrungan golput? Kenapa tidak?!

*
Masih condong meng-golput

1 komentar:

Anonim mengatakan...

lebih enak dilihat. terus otak atik terus cong, minimal sampe bisa.
bagus gaknya lebih bagus kalau bisa