(Khutbah Idul
Fitri 1436 H)
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الله
أكبر، الله أكبر، الله أكبر ٣× الله أكبر
كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا. لا إله إلا الله والله أكبر الله
أكبر ولله الحمد.
الله
أكبر ماَ أَشْرَقَتْ وُجُوْهُ الصَّائِمِيْنَ بَشَراً .. الله أكبر ماَ تَعاَلَتِ
اْلأَصْواَتُ تَكْبِيْراً وَذِكْراً ... الله أكبر ماَ تَوَالَتِ اْلأَعْياَدُ
عُمْراً وَدَهْراً .. لك الْمَحاَمِدُ ربَّنا سِراً وَجَهْراً .. لَكَ
الْمَحاَمِدُ رَبَّنا دَوْماً وَكَرَّا .. لَكَ الْمَحاَمِدُ ربَّنا شِعْراً
وَنَثْراً..
أشهد
أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له العفو الغفور. وأشهد أن سيدنا محمدا عبده
ورسوله الحبيب الشكور، وصلى الله عليه وسلّم وعلى آله وصحبه الذين يرجون تجارة
لَنْ تَبُوْرَ.
أما بعد: فيا عباد الله، أوصيكم وإياي
نفسي بتقوى الله، واصبروا وصابروا ورابطوا لعلكم تفلحون.
Hadirin wal hadirat, jama’ah solat Id Fitri rahimakumullah….
Di
pagi hari yang mulia ini, dalam suasana nan khidmat penuh barakah, saya berseru mengajak diri sendiri
juga segenap hadirin untuk bersama memperbanyak rasa syukur ke hadirat Allah
SWT, seraya terus meningkatkan kualitas ketaqwaan: bermujahadah untuk selalu
melaksanakan perintah Allah, dan menjahui segala larangan-Nya. Pada kesempatan
ini juga, kita berseru mengagungkan Allah SWT, dengan takbir, tahmid, tahlil
dan bertasbih; sebagi ungkapan rasa syukur dan suka cita; menenggelamkan diri
dalam suasana kemenangan, setelah sebulan lamanya kita laksanakan ibadah puasa;
sebagai manifestasi keimanan dan ketaqwaan; sembari bermunajat dengan penuh
harapan; kita termasuk hamba-hamba yang dikaruniai kefitrahan baik dahir serta
batin. Amin ya rabbal alamin.
Kaum muslimin dan muslimat Rahimakumullah
Setidaknya ada dua hal yang perlu diketengahkan dalam kesempatan mulia
ini; yang pertama, upaya meromadankan seluruh bulan dalam setahun, dan yang
kedua, merefleksikan makna Idul Fitri yang saat ini kita rayakan bersama.
Tentang upaya meromadankan seluruh bulan dalan setahun, mula-mula
wajib disyukuri bahwa dalam Romadan, ibadah kita bisa dibilang meningkat, baik
ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah (hablun minallah), atau
antar sesama manusia (hablun minannas), disebut juga: ibadah sosial.
Untuk ibadah hablun
minallah, contohnya adalah Shalat. Kita bahkan semangat melaksanakan
berbagai macam shalat sunnah dalam Ramadan, mulai dari Rawatib, Tarawih, Shalat
Malam, Witir, dan sebagainya. Jika untuk shalat Sunnah kita bisa lebih
termotivasi, insya Allah apalagi yang wajib. Begitulah ibdah Shalat kita dalam
bulan Ramadan.
Termasuk hablun minallah, yakni puasa Ramadan. Tentu, seruan
disini untuk kaum muslimin yang dengan sadar dan tulus mau melaksanakan
kewajiban puasa. Adapun bagi yg masih belum menyadari kewajiban puasa, kita
hanya bisa mendo'akan semoga Allah segera memberikan hidayah-Nya kepada mereka.
Amin ya Rabbal Alamin. Dan selain shalat dan puasa, yang termasuk hablun
minallah disini adalah qira'atul Qur'an (ngaji). Ngaji termasuk ibadah yang
banyak dilakukan umat Islam saat Ramadan.
Baik shalat, puasa, dan juga ngaji Qur'an, alhamdulillah, kita memang
sengaja memberi jatah lebih saat Ramadan. Sekali lagi, ini patut kita syukuri
kalau ibadah kita kepada Allah bisa meningkat. Masih banyak yang bahkan tidak
peduli dengan bulan Ramadan. Janagnkan mau menjalankan puasa, sholat wajib saja
masih enggan melaksanakannya. Na'udzubillahi min dzalik...
Begitulah kira-kira ciri peningkatan ibadah kita kepada Allah saat
Ramadan. Hal yang juga sama adalah ibadah sosial kita (hablun minnas).
Diakui atau tidak, ada semacam "maghnet" yang menarik kita untuk lebih
meningkatkan muamalah antar sesama. Saat puasa Ramadan, kita berusaha
semaksiamal mungkin bisa mengendalikan, bahkan mengekang diri agar tidak
terjerumus pada hal-hal yang bisa mengurangi ganjaran ibadah puasa kita. Kita
berusaha untuk bicara jujur, tidak menggunjing, tidak mengadudomba, dan juga
berusaha untuk tidak menfitnah. Tentu sesuai kadar kemampuan kita. Di sinilah
makna puasa Ramadan sebagai media latihan mengendalikan diri bisa difahami.
Termasuk ibadah sosila juga: kita bisa meningkatkan amalan shadaqah, infaq, dan
juga zakat. Alhamdulillah...
Hadirin Jama'ah Shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah...
Jika ditanya, kenapa kita bisa
meningkatkan amalan ibadah saat bulan Ramadan? Jawaban yang mungkin disampaikan
disini, Pertama, adanya tradisi turun temurun sejak generasi sebelum
kita; bahwa kalau Ramadan, lingkungan kita bisa menjadi semakin
"islami". Realita ini menjadi semacam aturan tak tertulis, bahwa ketika
Ramadan kita harus menghormati bulan yang penuh barokah ini. Hal itu bisa kita
maklumi bersama. Lebih dari itu, mass media pun seolah mengkomersialisasikan
program Ramadan. Itu alasan pertama.
Dan alasan kedua, kita semakin faham bahwa bulan Ramadan memang
bulan yang penuh barokah. Banyak sekali tuntunan hadis nabi yang membicarakan
seputar fadilah dan keutamaan bulan Ramadan. Ya, banyak sekali ajaran, baik
yang termuat dalam Al-Qur'an, hadis nabi, termasuk juga aqwalul ulama'
yang membicarakan keutamaan bulan Ramadan. Tidak mungkin pada kesempatan ini
tersampaikan semuanya.
Kaitannya dengan semangat meningkatkan amalan ibadah saat Ramadan,
mungkin bisa disampaikan di sini nasehat dari saayyidina Ali bin Abi Thalib.
Beliau mengatakan:
"نَوْمُ الصَّائِمِ عِباَدَةٌ،
وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجاَبٌ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ، إِنَّ لِلصَّائِمِ
عِنْدَ إِفْطاَرِهِ دَعْوَةٌ لاَ تُرَدُّ"
"Tidurnya orang yg
sdg berpuasa adalah ibadah, diamnya merupakan tasbih, do'anya mustajab,
amalannya dilipatgandakan (ganjarannya). Dan sesungguhnya do'a org yang
berpuasa -menjelang berbuka- tidak akan tertolak".
Nasehat ini cukup memotifasi kita
untuk beramal sholeh ketika Ramadan, termasuk juga bershadaqoh dan lain
sebagainya. Belum lagi ada jaminan surga, dan diampuni segala dosa bagi siapa
saja yang menjalankan ibadah puasa karena berlandaskan keimanan dan mengharap
ridla Allah semata. Sebagaimana hadis Nabi:
"مَنْ صَامَ رَمَضاَناً
إِيْماَناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ"
Yang juga termasuk keistimewaan
Ramadan: ada satu malam dalam bulan ini, yang jika kita beribadah di dalamnya,
maka ibadah kita tercatat lebih bagus dari ibadah selama seribu bulan.
Subhanallah... malam itu kita kenal dengan Lailatu Qadar.
Ajaran-ajaran seputar Ramadan cukup
memotifasi kita umat Islam dalam meningkatkan ibadah selama sebulan. Untuk
manggapai semua fadilah puasa Ramadan, kita pun sangat menjaganya dari segala
hal yang dapat mengurangi fadilah puasa kita. Dalam hal ini, rasulullah
berwasiat:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله
عليه وسلم قال: "الصِّياَمُ جَنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثُ وَلاَ يَجْهَلُ وَإِنِ
امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ"
"Diriwayatkan dari
Abi Hurairah, bahwasanya Rasul bersabda: Puasa itu merupakan perisai, maka
janganlah (org yg sedang berpuasa) berkata kotor, dan jangan juga melakukan
(hal-hal) yang bodoh. Dan jika ada org yang memerangi, atau mengajaknya
berkelahi, maka katakanlah: inni sâim (saya sdg berpuasa)"
Ayyuhal Hadirunal kiram rahimakumullah...
Selanjutnya, bagaimana upaya kita
merefleksikan makna Idul Fitri? Sebagai hamba yang dianugrahi pemikiran, tentu
kita harus semakin pandai memaknai perayaan Hari Raya yang kita rayakan usai
puasa Ramadan. Dari segi bahasanya: hari raya ini disebut: 'Idul Fitri, yakni:
kembali pada kefitrahan diri. Dalam Islam, setiap bayi terlahir dalam keadaan
suci tanpa noda, alias tiada dosa. Sabda Rasul: كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ. Ini tentu
berbeda dg ajaran agama lain yang mengatakan manusia yang lahir sudah terbebani
dosa adami. Islma tidak begitu.
Namun demikian, seiring perjalanan
waktu, karena lemahnya diri menahan hawa nafsu, dan juga hebatnya godaan
syaitan, harus diakui: bahwa kita sering kali terjerumus dalam perbuatan dosa.
Kita sering melakukan kecurangan, baik kepada diri sendiri, kepada sesama
manusia, termasuk juga kepada Allah. Ini yang mula-mula harus kita insafi.
Tidak ada satupun dari kita yang terbebas dari dosa. Kenyataan ini dipertegas
oleh nabi:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ
الخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
"Setiap manusia
itu pasti (pernah) berbuat salah, dan sebaik-baiknya orang yang melakukan
kesalahan adalah mereka yang bertaubat"
Jika kita renungkan bersama, hadis
ini sebenarnya menginsafi kita akan perbedaan antara Adam dengan Iblis.
Sebagaimana diketahui bersama, Adam dan Iblis adalah dua hamba Allah yang
pernah melakukan kesalahan saat di Surga. Iblis bersalah karena tidak mau menjalankan
perintah Allah untuk bersujud kepada Adam. Sedangkan Adam bersalah karena
melanggar perintah Allah untuk tidak makan buah terlarang, namun tetap saja dia
makan.
Bedanya Iblis dengan nabi Adam, saat
Allah menegor Iblis, dia tidk merasa bersalah, bahkan justru bersikukuh dengan
kesalahannya, dan memohon kepada Allah untu dipanjangkan umurnya dan anak cucu
Iblis agar bisa terus berbuat salah, yakni menggoda anak turunan Adam, yakni
kita. Sedangkan nabi Adam, setelah dihukum atas kesalahannya itu, beliau -dengan
penyesalan yang tulus- bertaubat kepada
Allah, seraya berdo'a:
"ربنا ظلمنا أنفسنا
وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكوننا من الخاسرين"
"Wahai Tuhan kami,
sungguh kami telah mendolimi diri kami, jika tiada ampunan dan kasih sayang
dari-Mu, sungguh kami termasuk orang-orang yang merugi"
Begitulah kisah kakek kita Adam dalam menginsafi kesalahan yang
diperbuatnya. Menurut riwayat, taubat beliau diterima oleh Allah setelah
berselang ratusan tahun sejak diturunkan dari langit, hingga dipertemukan
kembali oleh Allah dengan Hawa di Jabal Rahmah.
Hikamah dari kisah tersebut, kita adalah manusia yang penuh
kesalahan dan dosa, kita pertanyakan pada diri masing-masing: adakah kita akan
meniru jejak kakek kita Adam; mengakui kesalahan dan bertaubat dengan
sungguh-sungguh, atau kita meniru jejak Iblis; tidak mau mengakui kesalahan
diri, dan justru terlena dengan dosa-dosa yang selama ini kita lakukan. Na'udzubillahi
min dzalik....
Jama'ah Sekalian yang berbahagia...
Hikmah lainnya yang wajib kita
renungkan dari kisah Adam tadi adalah bahwa Allah sangat-sangat mencintai kita.
Kita bisa bayangkan; jika nabi Adam yang hanya melakukan satu kesalahan saja
perlu waktu ratusan tahun untuk bisa kembali kepada kefitrahannya, yakni
diampuni dosanya, nah.. kita –sebagaimana hadis nabi sebelumnya- hanya
dengan puasa Ramadan yg dikita kerjakan dg berlandaskan keimanan dan mengharap
ridla Allah saja, semua dosa-dosa kita sudah diampuni. (mari katakan
bersama-sama) Subhanallah... sungguh kasih sayang Allah kpd kita
umat Muhammad saaangat luar biasa.
Selain dengan cara berpuasa seperti
dijelaskan tadi, kita juga bisa kembali kepda kefitrahan diri dengan cara
melakukan ibadah haji dengan baik dan benar, sebagaimana hadis nabi:
"مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفثْ
وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ" (متفق عليه)
"Barang siapa yang
melakukan ibdah haji, dan ia tidak berkata kotor, juga tidak melakukan
perbuatan fasik, maka (dia akan mendapatkan ganjaran) kembali seperti hari
dimana ibunya baru melahirkannya, yakni kembali dalam kefitrahan diri"
Muttafaqun alaih
Hadirin sekalian yang berbagia...
Itulah salah satu makna Idul Fitri
yang saat ini sedang kita rayakan bersama. Jika kita sudah melakukan ibadah
puasa seperti tuntunan nabi tadi, maka kita wajib yakin kalau saat ini
dosa-dosa kita telah diampuni oleh Allah SWT. Adapun peluang kembali pada
kefitrahan diri dengan berhaji, kita berdo'a mudah-mudahan Allah memberikan
kesempatan bagi kita sekalian untuk melaksanakan ibadah haji. Amin, amin ya
Rabbal alamin....
Maasalahnya kemudian, bagaimana
mempertahankan kefitrahan diri yang saat ini sudah kita raih? Bagaimana bisa
terus bertahan untuk meningkatkan kualitas ibadah kita, baik hablun minallah,
juga hablun minannas? Jika saat Ramadan bisa meningkat, bagaimana untuk
sisa sebelas bulan lainnya? Kalau ketika Ramadan termotifasi meningkatkan
ibadah, karena dalam bulan ini, Allah banyak menjanjikan pahala yang dilipat
gandakan; ada lailatul qadar yang kita kejar; dan juga, karena puasa itu
sendiri adalah perisai yang membentengi kita dari melakukan maksiat, maka jka
Ramadannya berlalu, berarti habis juga masa berlakunya prisai sekaligus benteng
kita itu?! Lantas apa yang bisa kita jadikan periasai untuk membentengi diri
dari berlaku maksiat?
Kaum Muslimin dan Muslimat, Mu'minin dan Mu'minat Rahimakumullah...
Meskipun secara jelas tidak
disampaikan oleh nabi, tapi pada hakekatnya kita masih memiliki identitas diri
yang bisa dijadikan perisai sekaligus benteng untuk memperingati diri agar
tidak melaukauan kesalahan, sebagaimana prisai puasa. Jika saat Ramadan kita
mengatakan "ana shaim" untuk tidak melakukan perbuatan keji,
maka setelah Ramadan berlalu, kita bisa mengatakan "ana mu'min"
atau "ana muslim" sebagai upaya mengontrol hawa nafsu serta emosi
diri. Kita bisa jadikan identitas kita sebagai mukmin dan muslim untuk
membentengi diri setiap kali tergoda melakukan maksiat. Bagaimana maksudnya?
Rasul bersabda:
"الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ
الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ"
"Seorang muslim
(sejati) adalah dia yang orang-orang muslim lainnya merasa aman dari omongan
dan tangan muslim tersebut"
Hadis
lainnya:
"مَنْ كاَنَ يُؤْمِنُ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كاَنَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ" (متفق عليه)
"Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata baik
lagi benar, atau jika tidak, lebih baik diam. Dan barang siapa yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya ia memuliakan tetangganya. Dan
barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya ia
memuliakan tamunya" (HR:
Muttafaqun Alaih)
Disini jelas sudah, bahwa indikasi
haqiqi keimanan dan keislaman seseorang adalah kemampuan mengontrol omongan,
dan anggota badan lain, terutama tangannya untuk tidak merugikan orang lain.
Seorang mukmin juga wajib menghormati tetangga dan tamunya.
Jika ini kita amalkan, insya Allah, meski tidak sedang berpuasa,
kita masih punya prisai untuk membentengi diri. Dan pastinya, kita tidak merasa
perlu lagi menunggu iming-iming ganjaran melimpah hanya untuk beribadah kepada
Allah. Bukankah kita tercipta hanya untuk beribadah kepada Allah..! Maka, mau
ada ganjaran melimpah atau tidak, kita harus tetap bribadah lillahi ta'ala.
Bukan untuk mengejar lainnya, termasuk bukan untuk mencari lailatul Qadar.
Inilah hakekat keikhlasan. Dan dengan cara seperti, kita bisa meromadonkan
sebelas bulan lainnya. Wallahu a'lam bissawab...
Akhirnya, semoga hati kita dibukakan oleh Allah SWT, dan bisa
menjadikan keimanan dan keislaman sebagai periasi dalam menjalankan sisa hidup
ini Semoga, kefitrahan diri yang saat ini kita raih bisa terus dipertahankan
sampai akhir hayat nanti. Amin ya Rabbal alamin...
Dalam
kesempatan ini, saya pribadi mengucapkan "Selamat Idul Fitri" kepada
segenap jama'ah, dan dengan kerendahan hati memohon maaf lahir batin atas segala
kekhilafan dan kesalahan, baik yang disengaja ataupun tidak disengaja.
عيدٌ سعيد، أعاد الله عليكم وإياي نفسي بالسعادة والخير والرفاهية وكل عام
وأنتم بخير
جعلنا الله وإياكم من العائدين والفائزين المقبولين، وبارك لنا فى القرآن
العظيم. ونفعنا بما فيه من الآيات والذكر الحكيم، إنه هو البر الرؤوف الرحيم،
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم: "قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى، وَذَكَرَ
اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى"
وقل رب اغفر وارحم وأنت خير الراحمين
Oleh:
Zulfan Syahansyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar