10.11.10

Wanita Indonesia dan Tradisi Kaum Budak

Anda para wanita, boleh saja mengercitkan dahi usai membaca judul di atas, lantas tidak setuju. Itu sah-sah saja. Saya sekedar ingin mengungkap realita, melukiskan kisah adat-tredisi hamba sahaya perempuan tempo dulu. Kisah ini terjadi pada masa Abraham, atau umat Islam menyebutnya Nabi Ibrahim as, konon juga dia disebut Brahmana. Wallahu a’lam. Pada masa itu, status sosial masyarakat masih terbagi menjadi dua bagian besar: merdeka, dan budak. Untuk membedakannya, ada semacam tanda atau “kode etik” penjelas; mana yang merdeka, atau sebaliknya.

Alkisah, suatu ketika Nabi Ibrahim bersama istrinya Sarah pergi dari Babilonia menuju Mesir. Singkat cerita, kabar kedatangan Abraham p.b.h, terdengar raja. Apalagi, penguasa kerajaan tempat sungai Nil mengalir itu juga tahu kalau wanita yang menemani Ibrahim as, kesohor elok rupa. Tertariklah sang raja dan berniat menjadikannya sebagai satu dari sekian puluh selir raja lainnya. Waktu itu, raja adalah ‘tuhan’ yang harus mendapatkan apa yang menjadi keinginannya. Termasuk memperistri wanita yang sudah bersuami. Sang suami tidak ada pilihan kecuali merelakan titah raja.


Sebagai seorang Nabi yang dikenal cerdik-berakal, Ibrahim lantas mencari cara agar Sarah tidak jadi diperistri sang raja. Terbersit dalam benak Ibrahim, raja tidak mungkin memperistri budak atau bekas budak. Dengan terpaksa, Ibrahimpun melobangi kuping Sarah. Waktu itu, tradisi melukai kuping atau hidung adalah indikasi pembeda antara wanita merdeka dan budak. Wanita budak harus dilobangi kuping atau hidungnya. Cara itulah yang dipakai Ibrahim mengelabui sang raja.


Setelah nampak seperti budak, Sarah diajak Ibrahim menghadap raja. Mengetahui ada lobang di kupingnya, raja pun lantas membatalkan niatnya memperistri Sarah. Dan menyuruh Ibrahim dan Sarah kembali ke tempat mereka. Setelah peristiwa itu, tinggalah rasa iba Ibrahim terhadap istrinya yang sudah terlanjur dipandang masyarakat sekitar sebagai hamba sahaya, atau budak belian. Ibrahim lantas memutar akal, berfikir mengembalikan citra Sarah.


Dalam waktu yang tidak begitu lama, Ibarahim kembali menunjukkan kecerdikannya. Ia hiasi lubang di kuping istrinya dengan hiasan besi mulia atau mas untuk menutupi kulit kuing yang sebelumnya dilobangi. Kita namai benda yang menutup kuping wanita dengan anting. Sejak saat itu, masyarakat memakaikan anting untuk para hamba sahanya. Toh demikian, masyarakat tetap bisa membedakan antara wanita merdeka, budak dan budak wanita yang sudah dimerdekakan. Tandanya itu tadi, nampak ada antng di kupingnya. Jadi, hakekat seorang wanita yang memakai anting di kupingnya adalah wanita yang (titik, titik, titik).


Beda halnya dengan wnita budak, lelaki budak ditandai dengan diplontosnya rambut. Pria budak tidak boleh ada rambutnya. Mereka yang malu arena tak berambut, biasanya menggunaan topi penutup kepala. Namun, untuk menunjukkan rasa hormat kepada kelomok masyarakat merdeka, mereka para budak wajib membuka topinya dan menundukkan kepala untuk memperlihatkan kegundulannya.

Saat ini, baik di Barat atau di daerah Timur, tradisi menghormati seseorang dengan membuka topi sudah sangat jarang sekali. Sepenuhnya kaum pria sudah menyadari bahwa tradisi itu tidak perlu dipakai lagi. Bukankah tidak ada lagi perbedaan kelompok masyarakat antara yang merdeka dan budak?! Jadi, tidak ada lagi tradisi budak pria yang membuka topi untuk menghormati seseorang.

Beda halnya dengan kaum Adam, kaum Hawa masih belum mampu menghapus trdisi yang menjadi identitas budak wanita atau budak belia. Bahkan, tradisi itu kini berubah 360 derajat: cendrung menjadi penilaian strata sosial kaum Hawa saat ini. Semakin besar dan tebal emas yang dipakai, semakin nampak parlente lah ia. Demikian sebaliknya. Kenapa bisa begitu? Asal tahu saja, itulah sebabnya kenapa wanita Barat saat ini enggan menggunakan anting. Tidak seperti wanita Timur, termasuk Indonesia.

Tidak ada komentar: