السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الله
أكبر X٩ كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة
وأصيلا لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد.
الحَمْدُ
للهِ الذى تَنَزَّهَ عَنِ الشَّبِيهِ والنَّظِيرِ وَتَعَالى عَنِ المَثِيلِ
فَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَئٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ}
أَحْمَدُهُ عَلَى أَنْ أَلْهَمَنَا العَمَلَ بِالسُّنَّةِ والكِتَابِ وَرَفَعَ في
أيَّامِنَا أَسْبابَ الشَّكِ والارْتِيَابِ، وَأَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلاّ اللهُ
وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ يَرْجُو بِإخْلاصِهِ حُسْنَ العُقْبَى
وَالمَصِيرِ، وَيُنَزِّهُ خَالِقَهُ عَنِ التَّحَيُّزِ في جِهَةٍ، وَأَشْهَدُ
أنَّ سَيِدَنَا مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ الذي نَهَجَ سَبِيلَ النَّجاةِ
لِمَنْ سَلَكَ سَبِيلَ مَرْضَاتِهِ، وَأَمَرَ بِالتَّفَكُرِ في آلاءِ اللهِ
وَنَهَى عَنِ التَّفَكُّرِ في ذَاتِهِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى ءالِهِ
وَأَصْحَابِهِ الذينَ عَلا بِهِمْ مَنَارُ الإيمانِ وارتَفَعْ، وَشَيَّدَ اللهُ
بِهِمْ مِنْ قَواعِدِ الدّينِ الحَنِيفِ مَا شَرَعْ، وَأَخْمَدَ بِهِمْ كَلِمَةَ
مَنْ حَادَ عَنِ الحقِ وَمَالَ إلى البِدَعْ.
أمَّا
بَعْدُ أَحبَابَ الرّسُولِ الأعْظَمِ، فإنَّ خَيْرَ ما أوصيكُمْ بِهِ في هذِهِ
الصّبيحَةِ المُبَارَكَةِ تَقْوَى اللهِ والمُسارَعَةُ إلى الطّاعاتِ.
الله أكبر، الله
أكبر، الله أكبر ولله الحمد.
Jama’ah shalat ‘idul adha rahimakumullah…
Di pagi hari yang penuh berkah
ini, kita berkumpul untuk melaksanakan shalat ‘Idul Adha. Baru saja kita ruku’
dan sujud sebagai pernyataan taat kepada Allah SWT. Kita agungkan nama-Nya, kita gemakan takbir dan
tahmid sebagai pernyataan dan pengakuan atas keagungan Allah. Takbir yang kita
ucapkan bukanlah sekedar gerak bibir tanpa arti. Bukan juga retorika musiman. Tetapi
sebagai wujud pengakuan nan-tulus, yang menyentuh hingga menggetarkan
relung-relung jiwa manusia yang beriman. Allah Maha Besar. Allah Maha Agung.
Tiada yang patut di sembah kecuali Allah.
Karena itu, melalui mimbar ini saya mengajak kepada diri
saya sendiri dan juga kepada hadirin sekalian: untuk bersama-sama meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
kita kepada Allah SWT, bukan sekedar pada sisi formalitasnya, namun mencakup
nilai ketulusan kita dalam penghambaan diri kepada Rabbul Izzah, sebagai upaya
menjadikan diri pribadi-pribadi yang benar-benar beriman dan bertaqwa....
Jama'ah Shalat Idul Adha yang berbahagia,
Kaitannya dengan upaya peningkatan iman dan
ketaqwaan, Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an surat Al-Angkabut, ayat: 2 dan
3:
أعوذ
بالله من الشيطان الرجيم.....
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن
يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لاَيُفْتَنُونَ # وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن
قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ
الْكَاذِبِينَ.
Artinya: "Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka itu dibiarkan (saja) mengatakan: 'kami telah
beriman', sedang mereka tidak akan diuji lagi?. Dan sesungguhnya kami telah
menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah maha tahu
siapa-siapa yang benar-benar beriman, dan siapa-siapa yang hanya berdusta,
(alias hanya mulutnya saja yang mengaku beriman)".
Jika dicermati, ayat di
atas mengisyaratkan keniscayaan ujian Allah bagi kita semua yang mengaku
beriman. Dan karena keimanan adalah satu hal yang abstrak, maka diperlukan
adanya bukti kongkrit sebagai wujud nyata atas pernyataan tersebut. Hal ini
tidak hanya bagi kita ummat nabi Muhammad SAW, tapi ia berlaku bagi ummat
manusia dimana dan kapan saja. Bahkan sejak awal penciptaan manusia, ujian
keimanan kepada Rabbul Izzah Allah SWT, memang telah menjadi satu keniscayaan.
Inilah yang dimaksud keterangan ayat: وَلَقَدْ
فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ: kami telah menguji orang-orang
sebelum mereka. Inilah realita sejarah keimanan yang perlu kita sadari bersama.
Kaum muslimin rahimakumullah....
Salah satu instrumen atau
media pokok ujian keimanan tersebut adalah wujud pengorbanan yang tulus dari
hamba untuk Allah jalla jalaaluhu. Tidak kurang Al-Qur'an menceritakan
kepada kita kisah-kisah historis umat manusia yang diuji keimanannya oleh Allah
SWT. Mulai dari bapak Adam as, kedua putranya Habil dan Qabil, serta kisah
pengorbanan para Nabi.
Sebagai kisah teladan,
kita dituntut dapat terus mengenangnya, dan menjadikannya pelajaran hidup.
Inilah kiranya kenapa Allah memerintahkan nabi Muhammad untuk menceritakan
kisah dua putra nabi Adam. Seperti firman Allah:
وَاتْلُ
عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَىْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا
فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ اْلأَخَرِ قَالَ
لأَقْتُلَنَّكَ* قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
"Ceritakanlah (hai
Muhammad) kepada mereka kisah dua putra Adam (Habil dan Qabil) dengan
sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan Korban, maka diterima (kurban)
salah satu dari keduanya (yakni Habil), dan ditolak dari lainnya (yakni Qabil).
Ia (Qabil) berkata: 'Aku pasti akan membunuhmu!' (Habil) berkata: Allah hanya
menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa". (Al-Ma'idah: 27)
Serupa dengan kisah
pengorbanan di atas, Al-Qur'an juga mengisahkan pengorbanan dua hamba-Nya yang sangat
fenomenal, hingga dijadikan sebagai satu dari sekian rukun keberislaman umat
Islam, yakni kisah nabiyullah Ibrahim, dan putranya Isma'il 'alaihimassalam.
Allah berfirman:
فَلَمَّا
بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي
أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى* قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَاتُؤْمَرُ
سَتَجِدُنِي إِن شَآءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya: "Maka
tatkala anak itu sampai (pada usia cakap) berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim
berkata: 'Hai anakku sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelehmu. Maka
fikirkanlah, apa pendapatmu?'. Isma'il menjawab: 'Hai bapakku, kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar".
Hadirin Jama'ah sekalian yang berbahagia...
Dari dua kisah ini kita
bisa menyimpulkan bahwa hakekat pengorbanan adalah keikhlasan mempersembahkan
kebanggaan dari keinginan atau cita-cita kita dalam hidup. Kita tahu, dua putra
nabi Adam berprofesi beda. Habil sebagai pengembala, sedangkan Qabil adalah
seorang petani. Dari dua profesi mereka, Allah memerintahkan untuk
mempersembahkan hasil usaha mereka. Dan karena keimanan dan ketaqwaannya, Habil
lantas mempersembahkan hasil terbaiknya berupa ternak. Sedangkan Qabil,
persembahannya kepada Allah hanya alakadarnya saja. Tidak setulus hati ia
memenuhi perintah Allah.
Serupa dengan kesungguhan
Habil, nabi Ibrahim pun telah membuktikan kecintaannya kepada Allah melebihi
kecintaannya pada segalanya, termasuk kecintaannya kepada anak semata wayangnya
yang dikaruniai Allah pada masa senjanya. Bisa kita bayangkan pengorbanan sosok
ayah yang selama ini mendambakan seorangg anak, lantas siap mempersembahkan si
anak untuk Tuhannya. Masya Allah, la haula wala quwwata illa billahil
'aliyyil 'adzim...
Maka bukan lah satu hal
yang berlebihan jika kisah ini diabadikan dalam Al-Qur'an, sebagai refleksi
serta barometer: adakah kesiapan bagi kita untuk menjadikan cinta kepada Allah
SWT, di atas kecintaan kita kepada segalanya?! Mampukah kita melakoni peran
dalam sejarah kehidupan kita masing-masing bahwa tujuan akhir setiap usaha kita
bermuara pada pembuktian keimanan serta ketaqwaan kita yang tulus kepada
Allah?!
Pertanyaan-pertanyaan
serupa kiranya perlu selalu kita pertegas dalam setiap langkah kita, kapan,
dimana, dan untuk apapun. Masuk kelompok Habil kah kita?! Atau masih sebatas
Qabil yang kecintaannya kepada Allah sekedar formalitas belaka?! Dengan
penampilan dan suara lantang kita sebut diri sebagai muslim, mukmin dan
muttaqin. Namun godaan-godaan kecintaan dunia acapkali membelenggu diri, hingga
mengaburkan makna ketulusan iman dan taqwa kita.
Ingatlah, tanpa ketulusan
iman, manusia acapkali tergoda hingga membenarkan upaya penyimpangan dari
amanah yang dibebaninya. Penguasa, akan mudah memonopoli kekuasaan; pejabat,
mudah sekali berbuat curang atas kekuasaannya; seorang hakim, sangat mungkin
sekali menggadaikan kehormatan jabatannya untuk kepentingan sesaatnya. Maka, hanya
dengan ketulusan iman, kita bisa menjalankan amanah dengan sebenar-benarnya.
Hadirin kaum muslimin dan muslimat sekalian...
Marilah, di tempat dan
kesempatan yang penuh barokah ini kita bersama-sama bermunajat kepada Allah,
agar tergolong hamba-hamba yang bisa menghambakan diri dengan setulus hati,
menjadikan kecintaan kepada Allah sebagai dasar atas kecintaan kepada segalanya.
Semoga kita mampu menjadi orang tua seperti yang dicontohkan Ibrahim, dan siap
menjadi anak seperti ditauladani Isma'il. Amin wastajib lana ya
mujibassailin...
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
بسم الله الرحمن الرحيم: (إنا أعطيناك الكوثر * فصل لربك
وانحر* إن شانئك هو الأتبر)
تَقَبّلَ
اللهُ منّا صالحَ الطّاعاتِ، وَجَمَعَنَا وإياكُمُ العامَ القَادِمَ على
عَرَفَات، وَرَزَقَنَا زِيارَةَ قَبْرِ حَبيبِهِ مُحمّدٍ صلّى اللهُ عليهِ
وَسلّمَ، وَثَبّتَنَا على كامِلِ الإيمانِ؛
أقولُ
قولي هذا، وأسْتَغْفِرُ اللهَ العظيمَ لي ولَكُمْ، فَياَ فَوْزَ المُسْتَغْفِرِينَ،
استغْفِرُوا اللهَ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar