27.10.11

TINGKATAN PENGETAHUAN MENURUT IBN RUSYD

MAKSUD ISTILAH "MUSLIM AWAM, KHAS DAN AKHASH"


Jika anda seorang penda’i, pastikan bahwa anda betul-betul mengetahui siapa yang menjadi audiens anda setiap kali berdaceramah. Itu bisa membantu anda menentukan teori menyampaikan ceramah; sekedar retorik, atau dialektis, atau bahkan membutuhkan padanan argomentatif? Semua tergantung siapa objek penyampaian mteri khutbah. Rasul bersabda: khtibi annas ‘ala qadri ‘uqûlihim, aw kama qla: berbicara (berda’wahlah) kepada manusia sesuai tingkatan mereka. Tujuannya bukan membedakan yang terkesan “elitis”, atau argan. Tapi memang ini keniscayaan yang tidak usah dipertentangkan. Berikut ini penulis ketengahkan contoh yang mungkin bisa memperkuat argumentasi tadi.


Ada firman Allah, “Serulah (wahai Muhammad) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan kata nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan sesuatu yang lebih baik” (Q., 16: 25), cukup menarik memperhatikan tafsiran Ibn Rusyd (Averroes) tentang “hikmah” dalam firman Allah itu. Menurut filsuf Muslim yang sekaligus sangat ahli dalam hukum Islam itu, menyampaikan seruan kebenaran dengan hikmah adalah berarti dengan “burhân” atau bukti demonstratif yang tak terbantah (apodiktik). Tetapi karena hikmah dalam pengertian ini adalah sulit untuk orang kebanyakan (kaum awam, ‘awâm—”orang umum”) maka ia merupakan bidang yang menjadi wewenang para spesialis (kaum khawas, khawâshsh—”orang khusus”) yang terdiri dari para filsuf (yang juga disebut al- hukamâ’—”ahli hikmah” dan “ahl al-burhân”—ahli pembuktian apodiktik”).


Pengertian Ibn Rusyd ini mungkin mencocoki pembicaraan tentang peran kaum cendekiawan dalam menumbuhkan religiusitas dalam masyarakat, yaitu peran memberi kejelasan yang rasional. Tetapi tafsiran serupa itu mungkin akan terasa elitis dan esoterik (terbatas pada kalangan tertentu yang mengerti hikmah saja). Dan memang Ibn Rusyd memiliki pikiran itu dalam benaknya. Mereka yang tidak termasuk kaum spesialis atau khawas harus merasa cukup dengan pendekatan dialektis (jadalî), melalui adu argumentasi, jika tergolong “menengah”. Sedangkan golongan yang lebih bawah, yaitu golongan awam (orang umum) cukup dengan pendekatan retorik (khathâbi) dalam bentuk tutur kata dan nasehat yang baik, tanpa mesti paham betul mengenai hakikat kebenaran itu sendiri.


Bagi ketiga golongan itu—khawas, menengah dan awam—cara pendekatan yang cocok untuk masing-masing akan sama-sama mengantarkan pada penghayatan kebenaran, meskipun dengan tingkat-tingkat kualitas yang tinggi-rendah. Dan dengan cara pendekatan yang berbeda-beda itu masing-masing juga akan sampai kepada tingkat-tingkat kebahagiaan tertentu. Jadi masing-masing mempunyai “idiom”-nya sendiri yang bersesuaian, dan tidak perlu ada intervensi dari yang satu kepada yang lain.

Tidak ada komentar: