6.1.11

KAJIAN ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA ARAB SEBAGAI BAHASA ASING

A. Pendahuluan

Bagi kalangan non-Arab (‘ajam) secara umum, bahasa Arab masih terkesan sulit dan rumit. Padahal, secara linguistik, setiap bahasa di dunia ini memiliki dua sisi berbeda: kesulitan dan sisi kemudahannya sekaligus. Hal ini tergantung pada karakteristik (khashais) sistem bahasa itu, baik dari segi fonologi, morfologi, maupun sintaksis dan simantiknya. Demikian kata Leonard Bloomfield, sebagaimana dikutip Muhbib Abdul Wahab dalam pendahuluan bukunya: Pemikiran Linguistik Tammam Hasan Dalam Pembelajaran Bahasa Arab. Lebih lanjut Muhbib menegaskan, bagi kalangan pelajar asing, pelafalan setiap kata dalam bahasa Inggris dan Perancis masuk pada contoh sisi “kesulitan” linguistik. Hal ini karena tidak konsistennya pengejaan kata-katanya. Bentuk kata yang sama dalam kosakata yang berbeda tidak jarang dibaca berbeda. Misalnya, kata good dibaca god, tapi kata blood tidak dibaca blud, melainkan blẚd.[1] Kenyataan ini tentu berbeda dengan bahasa Arab yang pelafalan kata-katanya selalu konsisten, karena sistematis.

Toh demikian, bagi kalangan pelajar Indonesia, kesan “sulit” masih melekat dalam pembelajaran bahasa Arab. Hal ini bisa jadi karena perbedaan sistem kebahasaan antara bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Pada tataran teoritis, ranah pendalaman bahasa Arab sebagai sebuah sistem, setidak-tidaknya meliputi enam aspek, yatu: bunyi bahasa (fonetik) artikulasi bunyi (fonologi), sharraf (morfologi), nahwu (sintaksis), al-dalalah (semantik), dan al-mu’jam (leksikologi). Dalam perspektif linguistik modern, semua aspek tersebut dikaji sebagai sebuah sistem, dalam bingkai dan gradasi yang sistematis, lantas menjadi sebuah disiplin ilmu yang terpisah antara satu dengan lainnya.[2]

Tentunya kita mafhum, kalau bahasa Arab dan bahasa Indonesia adalah dua bahasa yang sangat berbeda. Hal yang paling mendasar adalah perbedaan ras bangsa dan rumpun kedua bahasa ini. Bahasa Arab berasal dari rumpun bahasa Semith (Assamiyah), sedangkan bahasa Indonesia dari rumpun bahasa Austronesia. Meski demikian, tidak sedikit kosa kata bahasa Indonesia yang terambil dari bahasa Arab. Bagaimana itu terjadi? Selain karena faktor persinggungan antara orang-orang Indonesia dan Arab, faktor intrinsik bahasa Indonesia sebagai bahasa yang bersifat terbuka terhadap kosa kata asing adalah sebab mendasar bahasa Indonesia menerima unsur bahasa lain yang diperlukan, termasuk bahasa Arab. Ada beberapa unsur serapan bahasa Indonesia dari bahasa-bahasa lainya. Selain unsur leksikal, unsur fonem, morfon, dan gramatikal Arab, juga ditengarai turut mempengaruhi serapan dalam bahasa Indonesia.

Dalam makalah ini, penulis mencoba menyajikan beberapa kesalahan berbahasa Arab yang kerap kali dijumpai di kalangan pelajar Indonesia baik dari pelajar tingkat pemula sampai menengah atas; baik dari aspek fonologi, morfologi, sintaksis, juga diskursus/wajana berbahasa. Berikut contoh kesalahan yang berhasil penulis kumpulkan sebagai data, berikut klasifikasi kesalahan dimaksud.

B. Penyajian Data

1. Fonologi

No

Kesalahan

Yang benar

1.1.

Al-fãtikah

Al-fãtihah

1.2.

Allãhu akbãr

Allãhu akbar

1.3.

Asshalãtu khairun minannûm

Asshalatu khairun minnaum

1.4.

Mad, mad, Muhammad..!

Ya Muhammad..!

1.5.

Allahumma shalli....wa sallîm

Allahumma shalli....wa sallim

2. Morfologi/sintaksis (tata bahasa)

No

Kesalahan

Yang benar / lebih benar

2.1.

Mã aharru asy-syahr !

Mã aharra asy-syahr !

2.2.

Nabhats maudû’al jadîd

Nabhats maudû’an jadîdan

2.3.

Urîdu ata’allamu ...

Urîdu an ata’allama ...

2.4.

Ana khãlas ãkulu ...

Ana akaltu ...

2.5.

Man yadribu anta ?

Man darabaka ?

2.6.

Ana tãlib faslun wahîd

Ana tãlibu al-fasli al-awwal

2.7.

Anta tanjahu idza tata’allam

In tata’allam tanjah

3. Diskursus/wacana

No

Kesalahan

Yang benar / lebih benar

3.1.

Ista’mil waktaka ...!

Inthiz waktaka ...!

3.2.

Asta’milu libãsan

Albasu libãsan

3.3.

La madza-madza

La ba’sa bih../ la musykilata lah..

3.4.

Ba’din, ana ajî’ ilaika

Ajîuka ba’din

3.5.

Ali qãla ilayya ...

Qãla li, Ali ...

3.6.

Syukran ! – Sawa’-sawa’

Sukran ! – ‘Afwan ?

3.7.

Man alldzi yu’allim ?

Man al-mu’allim ?

3.8.

Lã tatadakhkhal !

laka shalãh lihãdza !

3.9.

Ya Allah, mãuhu..!

Ya lilma’i !

3.10.

Limãdza hãdza yaqa’u ?

Kaifa yakûnu hãdza ?


C. Analisis Data

1. Fonologi.

Sebelum menganalisis data kesalahan berbahasa sesuai klasifikasinya, ada baiknya jika disajikan terlebih dahulu istilah dan pengertian dari klasifikasi dalam kajian linguistik tersebut. Pada penyajian data pertama, penulis mengklasifikasi contoh kesalahan berbahasa dalam tinjauan fonologi. Secara etimologi, kata fonologi terambil dari fon yaitu bunyi, dan logi yaitu ilmu. Maksudnya, fonologi adalah salah satu bidang kajian linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa.[3].

a) Pada contoh 1.1., itu berkaitan dengan fenomena masyarakat Jawa yang kesulitan dalam pengucapan al-fatikah (الفاتكة). Meski mereka tahu penulisan kata tersebut, namun memang ternyata orang Jawa, terutama kalangan usia lanjut, sulit melafatkan huruf (ح) yang berada di tengah kata. Maka terbacalah kata (الفاتحة) menjadi (الفاتكة). Ada sebagian yang berhujjah, bahwa kesalahan pengejaan itu dipengaruhi ejaan lama bahasa Indonesia. Namun ada juga yang beralasan lain. Semua itu memang perlu adanya penelitian khusus.

b) Kata Allãhu akbar (الله أكبر), pada contoh 1.2., sering terdengar Allãhu akbãr (الله أكبار). Kesalahan ini biasa terdengar saat pengumandanan adzan. Muadzin memanjangkan harakat pada huruf (ب) yang semestinya dibaca pendek. Hal ini biasanya dipengaruhi oleh lagu adzan. Kesalahan serupa juga sering dijumpai saat imam sholat berjema’ah ber-takbiratul ihram. Sebagai bahasa yang sistematis, bahasa Arab mempunyai aturan atau kaidah bahasa yang seyogyanya ditaati bersama oleh siapa saja yang meu mempelajarinya.

c) Pada contoh kesalahan ketiga, berkaitan juga dengan kebiasaan muadzin di waktu subuh. Kalimat ash-shalãtu khairun minannaum (الصلاة خير من النوم), sering terbaca ash-shalãtu khairun minannm: memanjangkan harakat dammah pada huruf (و), di (النوم). Lagi-lagi, alasan untuk kesalahan tersebut karena faktor kebiasaan.

d) Pada contohh kesalahan selanjutnya, berkaitan dengan kebiasaan masyarakat kita saat memanggil (al-nida) rekannya. Penulis contohkan nama “Muhammad”, biasanya terpanggil dengan kata “mad”. Dalam bahasa Arab, untuk pemanggilan atau an-nida, biasanya didahuli dengan kata ya atau aya atau ayyuha (panggilan untuk komunitas), tapi tetap harus menyempurnakan –minimal– nama inti.

e) Untuk data contoh kesalahan dalam tinjauan fonologi terakhir, kalimat Allahumma shalli ‘ala sayyida Muhammdin wa ‘alã ãlihi wa sallim (اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم), karena penyesuaian lagu, kata wasallim sering terbaca wasallîm; memanjangkan harakat huruf lam (ل). Sebagaimana contoh-contoh kesalahan lainnya, pada kesalahan ini juga disebabkan karena kebiasaan.

2. Morfologi/sistaksis.

Pada bagian ini, penulis sengaja menggabung data kesalahan berbahasa dalam tinjauan morfologi dan sintaksis. Selain alasan efisiensi, kedua kajian linguistik ini memang mengarah pada gramatikal bahasa. Morfologi atau ilmu sharraf membahasa klasifikasi morfom, macam-macamnya, makna dan fungsinya. Sedangkan sintaksis atau ilmu nahwu membahas seputar hukum dan kedudukan kata yang terdapat dalam kalimat atau teks, pembagian kalimat dan sebaganya.[4]

Pada bagian ini, penulis akan memaparkan kesalahan-kesalahan pelajar kita dalam perspektif gramatikal bahasa Arab, baik dari tinjauan morfonnya, juga dari kedudukan kata dalam kalimat atau teks bahasa Arab.

a) Pertama, kata Mã aharru asy-syahr (ما أحرُّ الشهرُ), dengan men-dammah-kan huruf (ر) adalah sebuah kesalahan. Yang benar harus di-fathah-kan. Sengaja penulis mengarsipkan contoh tersebut. Karena kesalahan ini merupakan fenomena cikal-bakal perintisan ilmu bahasa Arab; menjadi salah satu indikator munculnya ilmu Nahwu. Sebagaimana dilakoni oleh Abu Aswad Adduali dan putrinya.[5]

b) Contoh kesalahan selanjutnya, pada kalimat Nabhats maudû’al jadîd (نَبْحَثُ مَوْضُوْعَ اْلجَدِيْدَ ). Dalam kaidah ilmu nahwu, kalimat tersebut disebut na’at man’ut, atau penyifatan. Na’at adalah sifat, sedangkan man’ut adalah yang disifati. Kata (اْلجَدِيْد ) menjadi sifat, sedangkan (مَوْضُوْعَ ) adalah yang disifati. Dalam kaidahnya, kata sifat harus mengikuti kata yang disifati, pada semua aspeknya. Jika kata yang disifati mudzakkar, maka sifatnya juga harus mudzakar; jika yang disifati nakirah, demikian juga sifatnya harus dari nomina nakirat. Dalam kalimat di atas, kata (مَوْضُوْعَ) adalah nomina mudzakkar yang nakirah, maka seharusnya kata (اْلجَدِيْد) sebagai sifat harus juga nomina yang mudzakar-nakirah. Maka yang benar susunan kalimat tersebut adalah Nabhats maudû’an jadîdan (نَبْحَثُ مَوْضُوْعاً جَدِيْداً )

c) Pada contoh selanjutnya, kalimat Urîdu ata’allamu ( أُرِيْدُ أَتَعَلَّمُ) adalah kesalahan yang kerap kali dijumpai pelajar dalam penyusunan kalimat Arab. Kalimat tersebut terdiri dari dua kata kerja: urîdu (mau/ menginginkan), dan ata’allamu (saya belajar). Dalam kaidah bahasa Arab, dua kata kerja seperti itu harus dipisahkan dengan harf nasb (أَنْ). Maka kalimat tersebut seharusnya Urîdu an ata’allama ( أُرِيْدُ أَنْ أَتَعَلَّمَ).

d) Pada dasarnya, bahasa Arab adalah bahasa yang simpel. Perubahan kata-katanya sangat sistimatis. Dalam kata kerja, umpamanya, perhitungan waktu sangat sistematis. Tanpa harus ditambah kata penegasan waktu lampai, saat ini atau yang akan datang, dengan kaidah yang berlaku, seseorang sudah mafhum dengan waktu yang dimaksud penutur. Jika ingin mengatakan sudah melakukan sesuatu, penutur bahasa Arab tidak usah penambahkan kata sudah, sebagaimana bahasa Indonesia. Maka pada contoh kalimat Ana khãlas ãkulu ( أَناَ خَلاَصْ آكُلُ), yang maksudnya saya sudah makan, penutur cukup menggunakan fi’il madi dari kata ( آكل ), menjadi ( ... أَكَلْتُ )

e) Pada kalimat man yadribu anta ( مَنْ يَضْرِبُ أَنْتَ ), itu juga salah. Yang benar adalah man yadribuka ( مَنْ يَضْرِبُكَ ). Dalam kaidah nahwu dibedakan antara kata ganti yang menjadi subjek dan objek. Jika anta adalah kata ganti orang kedua mudzakkar untuk subjek, maka ka adalah kata ganti oarng kedua mudzakkar untuk keduduan objek.

f) Pada contoh kesalahan selanjutnya, berkaitan dengan kaidah bilangan (‘adad). Dalam kaidah bahasa arab, dibedakan antara bilangan nominal dan bertingkat. Bilangan nominal satu, misalnya, berbeda dengan kata kesatu. Jika yang pertama wãhidun, untuk mudzakkar, dan wãhidatun untuk muannas; maka bilangan bertingkatnya menjadi al-awwal dan al-ûla. Maka kalimat di atas yang semuala Ana tãlibul faslil wahîd (أَناَ طَاِلبُ الْفَصْلِ الْواَحِدِ ), yang benar adalah Ana tãlibul faslil awwali ( أَناَ طَالِبُ الْفَصْلِ اْلأَوَّلِ )

g) Pada contohh 2.7., adalah contoh kesalahan penutur karena tidak mencermati kaidah bahasa Arab berkaitan syart dan jawabu al-syart. Selain itu, penutur kurang mencermati cara penggunaan antara fi’il madi dan mudari’. Untuk kalimat Anta tanjahu idza tata’allam ( أَنْتَ تَنْجَهُ إِذاَ تَتَعَلَّمُ ), seharusnya menjadi tanjahu idza ta’allamta ( تَنْجَحُ إِذاَ تَعَلَّمْتَ ), atau in tata’allam tanjah ( إِنْ تَتَعَلَّمْ تَنْجَحْ )[6]

3. Dirkusus/ Wacana

Pada bagian ini, penulis mencoba memaparkan beberapa kesalahan berbahsa Arab di kalangan pelajar Indonesia menurut tinjauan diskursus atau wacana. Dalam perspektif psikolinguistik, pemahaman seseorang terhadap suatu bahasa harus melalui empat tingkatan: fonologis (al-mustawa al-shawti), leksikologis (al-mustawa al-mu’jami), struktural (almustawa al-tarkibi), dan diskursus /wacana (al-mustawa al-khitabbi). Keempat tingkatan tersebt tidak jarang dihadapkan pada perbedaan-perbedaan antara kedua bahasa (ibu dan asing), meskipun kedua bahasa itu juga memiliki kesamaan. Berangkat dari kesamaan sistem bahasa itulah pembelajaran bahasa asing diasumsikan jadi lebih mudah difahami.[7]

a) Pada contoh 1.3. penutur masih kurang mencermati leksikologi bahasa Arab yang membedakan penggunaan kosakata antara ista’mala, labisa, intahaza. Dalam bahasa Indonesia, ketiga kosakata tersebut sama-sama bermakna memakai. Namun fungsinya berbeda-beda. Kata ista’mala digunakan untuk pemakaian sesuatu yang dahir, sedangkan intahaza digunakan untuk sesuatu yang abstrak. Ada juga kosakata Arab yang digunakan khusus untuk pemakaian baju, yakni, labisa-yalbasu. Kata waktu termasuk sesuatu yang abstrak. Jadi, salah kalauu menggunakan ist’mala. Harusnya memakai kata intahaza. Maka kalimat yang benar adalah intahiz waktaka.[8] Jadi kalimat ista’mil waktaka ( اِسْتَعْمِلْ وَقْتَكَ ) seharusnya menjadi intahiz waktaka ( اِنْتَهِزْ وَقْتَكَ )

b) Pada contoh 3.2., argomentasi pembenaran untuk kesalahannya sama dengan alasan sebelumnya. Maka kalimat asta’milu libãsan ( أَسْتَعْمِلُ لِباَساً ), yang benar adalah albasu libãsan ( أَلْبَسُ لِباَساً )

c) Pada contoh 3.3., penutur mengindonesiakan bahasa Arab: menterjemahkan bahsa Indonesia untuk kalimat tidak apa-apa, dengan mentransfer langsung kata perkata menjadi la madza-madza. Hal ini tentu salah, karena siyaq Arabi untuk kalimat tersebut adalah la ba’sa bih ( لاَ بَأْسَ بِهِ ), atau la musykilata lah (لاَ مُشْكِلَةَ لَهُ ).

d) Kalimat ba’din ana ajiu ilaika ( بَعْدٍ أَناَ أَجِيْئُ إِلَيْكَ) pada nomer 3.4., adalah contoh penggunaan ta’liqat atau konjungsi kata yang keliru. Yang benar setelah kata jãa, tanpa diimbuhi kata ila. Maka kalimat tersebut seharusnya ajîuka ba’din (أَجِيْئُكَ بَعْدٍ).

e) Setelah kata qãla, ta’lîqãt yang di pakai adalah li. Maka contoh pada nomer 3.5., seharusnya menjadi qãla li Ali ( قال لي علي ).

f) Berbeda dengan kebiasaan kita yang mengatakan sama-sama, saat menjawab ungkapan terimakasih dari seseorang, maka orang Arab menyatakan ‘afwan ( عفوا ). Lagi pula, kalimat sawa’-sawa’, adalah kalimat Indonesia yang di-Arabkan saja. Penggunaannya jelas keiru.

g) Kata yang dalam bahasa Arab memang bisa digunakan bentuk isim mausul. Tinggal menyesuakan nomina yang akan dipakai: mudzakkar, atau muannats; tunggal, duel, atau jamak. Akan tetapi, jika yang dimaksud penutur dalam contoh 3.7., jelas tidak sesuai dengan siyaq Arabi. Maka kalimat man alladzi yu’allim… ( من الذي يعلم ... ), cukup menggunakan isim fa’il, maka yang benar adalah man al-mu’allim ( من المعلم ).

h) Arti kata tadakhkhala adalah memasukkan. Untuk pengungkapan kata jangan ikut campur, pelajar Indonesia sering menterjemahkannya dengan kalimat la tatadakhal (لاَ تَتَدَخَّلْ), padahal orang Arab, selama penulis di arab, menggunakan ungkapan tersebut dengan istilah ma laka li hãdzã

( ما لك لهذا ).

i) Untuk ungkapan kekaguman, bahasa Arab menggunakan istilah ya li + sesuatu yang dikagumi. Maka untuk contoh kesalahan 3.9., ungkapan yang benar adalah ya lilmãi ( يَا لِلْماَءِ ).

j) Pada contoh 3.10., ungkapan limãdza hãdza yaqa’u ( لماذا هذا يقع ), adalah kalimat Indonesia yang di-Arabkan. Dalam siyãq Arabi, ungkapan tersebut seharusnya kaifa yaqa’u hãdza ( كيف يقع هذا ).[9]

D. Saran-saran

Meski terkesan mengulang-ulang, penulis ingin mengingatkan segenap masyarakat Indonesia, baik yang beragam Islam, ataupun non-muslim, betapa bahasa Arab berpengaruh besar bagi perkembangan bahasa nasional kita. Realita ini bukan saja karena bahasa Arab adalah bahasa agama mayoritas rakyat Indonesia (Islam)[10], akan tetapi karena memang bahasa Indonesia un sich “terpengaruh” langsung oleh bahasa masyarakat Jazirah Arabiya ini.

Bayangkan saja, betapa banyak kosakata bahasa Indonesia yang terambil dari bahasa Arab. Sebagai contoh, dari satu huruf saja, misalnya “a”, kita akan banyak menjumpai kosakata Arab yang sudah ter-Indonesiakan. Ada kata abad, abah, abdi, akhir, akhlak, akil, aib, ajaib, ajal, alamat, almarhum, asa, asal, asas, asin, asli, asyik, ahli, aman, adil, awal, awam, dan masih banyak lagi lainnya. Itu baru dari kata yang brawalan “a” saja. Lembaga Tinggi dan tertinggi kitapun menggunakan nama-nama yang berasal dari bahasa Arab. Lihatlah: Dewan (dari Diwaan); Perwakilan (dari wakiil); Daerah (dari daairah); Rakyat (dari ra’yah).

Dengan demikian, adalah keniscayaan seluruh pelajar Indonesia untuk dapat mengapresiasikan realita kebahasaan kita secara positif. Karenanya, wajar jika sejak awal ghirah pengajaran bahasa Arab di Indonesia sangat intens. Ghirah ini

Mencermati penyebab kesalahan berbahasa Arab, sebagaimana dipaparkan dalam Analisis Data tersebut, ada beberapa hal yang perlu dicermati, baik oleh pengajar, juga pembelajar bahasa Arab sebagai bahasa asing, yakni pebiasaan kesalahan yang tidak segera dilakukan pembenaran (islãhu al-mubãsyir). Hal ini perlu diperhatikan oleh semua pihak. Bagaimanapun, mempelajari bahasa asing adalah upaya mengulang kembali masa-masa awal pembelajaran bahasa ibu. Diperlukan adanya pembenaran langsung setiap kali terjadi kesalahan. Pada titik ini, pernyataan language is practice siance menjadi realita yang perlu difahami bersama; semakin sering mempraktekkan sebuah bahasa, akan semakin Nampak hasil yang ingin dicapai.

E. Kesimpulan/Penutup

Berdasarkan tela’ah dan analisis dari beberapa contoh kesalahan, sebagaimana tertera dalam Analisis Data, penulis menyimpulkan sebagai berikut.

Setiap bahasa di dunia ini memiliki karakteristik yang menjadi pembeda antara satu dengan lainnya.

1. Sasaran kajian lingusitik mencakup beberapa aspek, minimal: fonologi, morfologi, sintaksis, simantik, dirkursus atau wacana.

2. Dengan fenomena perbedaan karakteristik antar bahasa, maka dibutuhkan kecakapan komunikasi yang memadai dalam menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Setidaknya ada empat kecakapan yang perlu diperhatikan oleh komunikan. Yakni, kecakapan gramatikal, diskursus pragmatik, sosiolinguistik, dan kecakapan strategi (Dell Hymes: 1972)

3. Sebagaimana pemaparan hasil analisis data, pembiasaan dan keterikatan intonasi dan lagu seringg kali menjadi indikator kesalahan masyarakat Indonesia dalam pengucapan bahasa Arab.


Daftar Pustaka



[1] Muhbin Abdul Wahab, Pemikiran Linguistik Tamam Hasan Dalam Pembelajaran Bahasa Arab, hal.1, cet.I, UIN Syarif Hidayatullah Press, Jakarta, 2009

[2] Ahmad Muhammad Qaddur, Buhuts fi al-Isytisyrãq wa al-Lughah, hal.273, cet.I, Muassasah al-Risalah, Bairut, 1996

[3] Abdul Chaer, Linguistik Umum, hal. 102, cet. III, Rineka Cipta, Jakarta, 2007

[5] Abdullah Jãd al-Karîm, al-Dars al-Nahwu fi al-Qarn al-‘Isyrîn, hal. 43, cet.I, maktabah al-Adab, Kairo, 2004

[6] Musthafa al-Galayiyaini, Jãmi’u al-Durus al-Arabiyyah, hal.3-8, cet.VI, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut, 2006

[7] Abdul Fattah, Musykilã al-lughah wa al-Takhãtub fi daw’ ;Ilm al-Lughah al-Nafsi, hal.83, Cet.I, Dar al-Quba, Kairo, 2002

[8] Kamus Arab Munjid, wal m’ajim al-Arabiyah ukhra.

[9] Nasir Ahmad Siya’ah, Mutala’at al-Jumal al-Arabiyyah fi al-Muqãranah baina al-Lughat al-ukra, Dar al-Nasr li al-Kutub al-Ilmiyah, Kairo, 1997

[10] Ismail Ahmad Amariyah, Buhuts fi Ilm Lughta wa al-Nafs, 32, cet.I, Muassasah al-Risalah, Bairut, 1996

2 komentar:

Ainur Rif'aty Elham mengatakan...

assalam...
sbgai pembelajar bhs asing, apakah persepsi dalm menganalisis bhsa sm dg persepsi pemilik bahasa itu sndiri???

Unknown mengatakan...

Ustadz, apa bedanya analisis data dalam kesalahan morfologi, sintaksis serta wacana dalam paparan anda dengan kasus kajian interferensi (al tadakhul al lughwi)bahasa asing ke dalam bahasa arab? kalo sama sangat daik dimunculka faktor penyebabnya.. syukran katsira...eeh.. afwan syukran jazilaa