Agama
Islam ialah agama yang paling sulit, karena kita harus tahu kapan menegakkan
hukum, memaafkan manusia, kapan meniru Nabi Musa dan kapan harus meniru Nabi
Isa. Itulah sebabnya kita harus selalu berdoa, “ihdinâ al-shirâth al-mustaqîm”
(tunjukkanlah kami jalan yang lurus). Yang positif ialah, “shirâth al-ladzîna ‘an`amta `alayhim”; sedang negatifnya adalah “ghayri al-maghdlûbi `alayhim wa lâ
al-dlâllîn”. Umumnya tafsir
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-maghdlûbi
`alayhim ialah orang Yahudi dan al-dlâllîn
adalah orang Nasrani. Maksudnya ialah, al-maghdlûbi
`alayhim, karena orang Yahudi dalam menerapkan agama terlalu kaku,
kehilangan kelembutan manusia. Sedangkan orang Nasrani terlalu longgar sehingga
“habis”.
Ini penting sekali untuk dihayati karena perspektif ini
telah hilang dari umat Islam. Ciri-ciri kaum beriman itu, dalam Al-Quran surat
Al-Syûrâ (Q., 42) 39-43, ialah: “Walladzîna
idzâ ashâbahum al-bagyu hum yantashirûn” (Mereka yang apabila diperlakukan secara tidak adil,
melawan). Itulah ciri orang beriman. Jadi tidak diam begitu saja; “Wa jadzâ’u sayyi’atin sayyi’atun mitsluhâ” (Setiap kejahatan harus dibalas
secara setimpal). Tidak ada ajaran jika pipi kiri ditampar, kasihkanlah
pipi kanan. Namun kalau kita berhenti di situ, maka berarti kita sama dengan
orang Yahudi. Orang Yahudi itu sebaliknya, “al-anfu
bi al-anfi wa al-`aynu bi al-`ayni wa al-udzunu bi al-udzuni” (hidung dengan hidung, mata
dengan mata, telinga denga telinga [Q., 5: 45] ). Karena itu masih ada
lanjutan ayat, “fa man `afâ wa ‘ashlaha
fa `ajruhu `alallâh” (Tapi
barangsiapa bisa memberi maaf dan berdamai, Allah yang menanggung pahalanya).
Jadi seolah-olah begini: “kalau kamu diperlakukan secara zalim, balas, tapi
sebetulnya lebih baik kalau kamu bisa memaafkan, sebab kalau kamu membalas itu
sering berlebihan, padahal dalam ayat itu dinyatakan, “innahû lâ yuhibbu al-zhâlimîn” (Dan Allah tidak suka pada orang yang berlebihan).
Sebagai contoh, kasus kerusuhan di Kupang; ada mushalla satu pecah jendelanya,
namun balasannya tiga belas gereja hancur.
Jadi
ada konsesi kepada kenasranian di sini, yaitu kasih. Tapi untuk menggambarkan
sulitnya menjadi orang Islam, masih ada kelanjutannya. “wa laman intashara ba`da zulmihî fa ‘ulâ’ika mâ `alayhim min sabîl.
Inna mâ al-sabîlu `alâ al-ladzîna yazhlimûna al-nâsa wa yabghûna fî al-‘ardl bi
ghayri al-haqq” (Tapi
barang siapa melawan karena diperlakukan tidak adil mereka tidak boleh
disalahkan; yang harus disalahkan ialah mereka yang berbuat zalim kepada sesama
manusia dan bikin kerusakan di bumi tanpa alasan yang benar); “‘ulâ’ika lahum `adzâbun ‘alîmun” (Mereka akan mendapat siksa yang
pedih sekali di akhirat). Itu merupakan dukungan kepada orang yang membela
diri, bahkan membalas. Tapi lagi-lagi tidak berhenti di situ. Seterusnya ialah
kembali lagi kepada Nasrani “wa la man
shabara wa ghafara innâ dzâlika la min `azmi al-‘umûr (Tapi barang siapa
sabar dan sanggup memberi maaf, itulah kualitas yang lebih tinggi). Karena
itu, sulit menjadi orang Islam. Sebab suatu saat kita harus tegas menegakkan
hukum, namun di saat lain kita harus berani memaafkan. Itu masalahnya. Kalau
hanya menghukum saja maka cukup menjadi orang Yahudi; namun kalau hanya
memaafkan saja maka cukup menjadi orang Nasrani.
Pertanyaan
kita adalah apakah sekarang umat Islam lebih mirip orang Yahudi atau orang
Nasrani? Ada yang mengatakan seperti Yahudi sebab hukumnya begitu. Kalau berani
menjawab begitu berarti kita harus menerima jika dimurkai oleh Tuhan, sebab
terlalu banyak hukum, halal-haram, surga-neraka, dan sebagainya. Isu kembali kepada Al-Quran dan Hadis sampai
sekarang masih sebatas pada hukum semata, belum ada masalah-masalah lainnya.
Kalau sudah hukum, pasti kecenderungannya hitam-putih, dan dengan sendirinya
tidak ada nuansa. Ini memang persoalan yang sangat besar. Seperti jargon
mengatakan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah, tidak ada jalan keluar. Namun
ketika mengatakan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah pun, harus mengetahui
betul apa artinya, jangan berhenti pada fiqih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar