Hamka pernah menulis buku yang berjudul Tasawuf Modern. Sekilas, judul tersebut memang menarik, karena adanya tasawuf modern mengesankan adanya tasawuf kolot. Hanya saja, kalau kita baca buku tersebut, yang dimaksud dengan istilah “Tasawuf Modern” adalah semacam suatu pandangan kesufian yang relevan dengan kehidupan modern. Jadi, tasawuf modern berseberangan dengan sufisme tradisional atau sufisme populer (popular sufism), yang contohnya dapat kita saksikan pada praktik ziarah kubur ke makam dan bahkan mengagung-agungkan orang yang dianggap sebagai wali. Karena itu, ketika Hamka menyebut tasawuf modern, maksudnya adalah lepas dari praktik-praktik semacam itu.
Gagasan Hamka itu sebetulnya satu tema dengan gerakan reformasi di Indonesia, tepatnya yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Muhammadiyah sedikit banyak terpengaruh oleh pikiran-pikiran dari Timur Tengah, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Rida. Kalau ditarik lebih ke belakang lagi, sampailah kita kepada Ibn Taimiyah, seorang tokoh yang sering disebut sebagai “Bapak” dari berbagai gerakan reformasi Islam. Ibn Taimiyah, meski seorang sufi, sangat anti terhadap sufisme populer. Bahkan, polemik-polemiknya banyak sekali, yang diarahkan kepada usaha-usaha untuk menghancurkan sufisme populer.
Ada analisis mengenai Ibn Taimiyah bahwa sebetulnya ia menghendaki suatu neo-sufisme. Istilah ini berasal dari Fazlur Rahman, seorang pengkaji Ibn Taimiyah yang sangat bergairah. Neo-sufisme yang dia maksud adalah suatu paham kesufian yang tidak terlalu banyak terkungkung oleh sufisme populer, dan dikembalikan kepada yang standar, yang mainstream. Pada Ibn Taimiyah, itu maksudnya kira-kira adalah kita bisa bicara secara langsung berdasarkan Al-Quran dan hadis, karena memang obsesinya kembali kepada Al-Quran dan hadis.
Sekarang, mari kita coba memahami apakah sufisme itu memang relevan untuk kehidupan modern. Saya kira, pra-asumsinya ialah bahwa hidup manusia itu harus seimbang. Kalau kita mengalami suatu ketidakseimbangan dalam hidup, maka pasti akan muncul problem. Misalnya, orang yang terlalu banyak aspek material, tentu akan merindukan aspek spiritual; orang yang terlalu banyak aspek spiritual, tentu akan mendambakan sesuatu yang bersifat material.
Kebetulan, menurut para ahli, zaman modern kalau dirumuskan adalah zaman ketika orang berpendapat bahwa kebutuhan pokok hidup manusia —pangan, sandang dan papan— harus diatur seserasi mungkin sehingga bisa ditingkatkan sejauh mungkin. Itu maksudnya adalah masuknya ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi, masalah sebenarnya adalah kebutuhan pokok.
Komunisme merupakan paham yang sangat modern, dalam arti bahwa dambaan utamanya adalah bagaimana membagi rata kebutuhan-kebutuhan pokok, yaitu pangan, sandang, dan papan. Namun, aspek spiritual tidak pernah menjadi obsesi atau perhatian utama orang-orang modernis. Tidaklah mengherankan jika banyak orang Barat yang tertarik kepada Islam, hanya kepada aspek sufismenya, bukan aspek fiqihnya. Mereka tertarik pada aspek esoterisnya, bukan aspek eksoterisnya. Ini disebabkan, karena mereka seolah-olah sudah kenyang dengan aspek material dan merindukan faktor pengimbang pada kehidupan ini, yakni aspek spiritual.
Sebagai contoh sederhana, ada cerita tentang cara bagaimana Fritjhof Schuon, saat masuk Islam, memilih nama Islamnya. Dia memilih nama Muhammad Isa Nuruddin, yang sebenarnya nama sufi, nama yang berbau kesufian. Nama “Muhammad”, tentu saja referensinya kepada Nabi Muhammad Saw; dan “Isa”, referensinya kepada Nabi Isa —mungkin karena dia bekas orang Kristen—, tetapi yang lebih serius lagi adalah bahwa nama “Isa” merupakan simbol dari spiritualisme. Di kalangan kaum sufi, Nabi Isa merupakan salah seorang idola mereka. Kemudian nama “Nuruddin” juga nama yang sangat sufi. Nûr artinya cahaya, dan dîn artinya agama; jadi “cahaya agama”. Dalam kesempatan lain, kita juga pernah diskusi tentang istilah “hati nurani”. Ini adalah istilah kesufian: nûrânî, artinya bersifat cahaya. Konstruksi “nurani” sama dengan “ruhani”. Nurani merupakan suatu kepercayaan bahwa hati ini merupakan modal primordial dari Tuhan untuk menerangi hidup kita, modal yang diberikan oleh Tuhan sejak sebelum kita lahir ke dunia. Itulah yang dimaksud dari ayat, Demi jiwa, dan perimbangan yang sempurna; Maka Ia menunjukkan kepadanya segala kejahatannya dan kebaikannya (Q., 91: 7-8).
Ayat kesufian dalam Al-Quran yang sangat populer adalah, Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya seolah seperti sebuah rongga di dalamnya sebuah pelita ... (Q., 24: 35). Inilah ilustrasi yang sangat bersifat esoterik, karena esoterisisme atau tasawuf itu memang berbeda dengan ilmu Kalam. Kalau ilmu Kalam banyak menekankan Tuhan sebagai yang transendental, sebagai Yang Maha Tinggi, Yang Serba Tidak seperti apa-apa, sehingga Tuhan itu adalah suatu wujud yang kalau salah dipahami, menjadi sangat jauh sekali, maka tasawuf sebaliknya, menekankan Kemahahadiran Tuhan; tidak Tuhan yang transendental, tetapi yang imanen, Yang Serbahadir, Yang Selalu Ada bersama kita. Karena itu, kalangan sufi tertarik pada firman-firman yang maknanya menunjuk kepada imanentisme Tuhan. ... dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat merihnya sendiri (Q., 50: 16). Ketahuilah bahwa Allah berada antara manusia dan hatinya (Q., 8: 24). Artinya, jika secara analitis kita bisa memisahkan antara hati dengan diri kita, maka Tuhan ada di antaranya. Ini adalah imanentisme. Dan Dia bersama kamu di mana pun kamu berada. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan (Q., 57: 4). Di kalangan kaum sufi, mempersepsi atau menghayati secara intens bahwa Tuhan ada “di sini”, “di ruang ini”, itu biasa. Ke mana pun kamu berpaling, di situlah kehadiran Tuhan (Q., 2: 225). Ini namanya omnipresent, kemahahadiran Tuhan. Kesufian, dengan teknik-teknik latihan spiritual seperti zikir, bertujuan untuk mengintensifkan kesadaran bahwa Tuhan itu Mahahadir.
Tuhan juga berpesan, Berdoalah kepada Tuhanmu dengan kerendahan hati dan suara perlahan (Q., 7: 55). Jadi, ingatlah Tuhanmu dengan sendiri saja, tidak perlu orang lain tahu, karena yang diharapkan adalah kita zikir, kita ingat kepada Allah setiap saat; baik pada waktu berdiri, waktu duduk maupun waktu berbaring. Jangan sampai kita lupa kepada Allah Swt. Bahkan, Al-Quran mengatakan bahwa kita harus bertakwa kepada Allah Swt. begitu rupa, dan jangan sampai lupa kepada Tuhan. Barang siapa yang lupa kepada Tuhan, maka Dia akan membuatnya lupa kepada dirinya sendiri dan mereka itulah orang yang fasik.
2 komentar:
Kami merasa senang membaca materi yang anda sajikan di blog anda, trima kasih.
You are wellcome
Posting Komentar