6.12.11

ISLAM UMUM DAN ISLAM KHUSUS

Ibn Taymiyah mengatakan bahwa Islam atau al-islâm tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Dalam sebuah bukunya, Ibn Taymiyah menjelaskan hal ini demikian:

“Adapun ikhlas, itulah hakikat Islam, sebab “al-islâm” adalah sikap menyerah pasrah (al-istislâm) kepada Allah, tidak kepada yang lain, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta`ala: ‘Allah membuat perumpamaan (tentang al-islâm) pada seorang (budak) yang dimiliki bersama oleh banyak orang yang berselisih, dan seorang (budak) yang pasrah sepenuhnya (salâm-an) kepada satu orang saja. Samakah keduanya itu sebagai perumpama­an?(Q., 39:29). Maka orang yang tidak menyerah-pasrah kepada Allah, dia adalah sombong; dan orang yang menyerah-pasrah kepada Allah dan kepada yang lain, dia melakukan syirik. Sombong dan syirik adalah kebalikan al-islâm, dan al-islâm adalah kebalikan sombong dan syirik. Dan (perkataan islâm) itu digunakan baik secara lâzim (yakni, tidak memerlukan pen­derita, intransitive) ataupun secara muta`addî (yakni, memerlukan penderita, transitive), seperti firman Allah (untuk penggunaan perkataan islâm secara lâzim): ‘Tatkala kepadanya (Ibrahim), Tuhannya bersabda, ‘Pasrahlah engkau (aslim)!’, iapun menjawab, ‘Aku pasrah (aslam-tu) kepada Tuhan seru sekalian alam (Q., 2:131), dan firman Allah (untuk penggunaan perkataan islâm secara muta`addî): Bahkan barangsiapa memasrahkan (aslama) dirinya kepada Allah lagi pula ia berbuat baik, maka baginya pahala di sisi Tuhannya, tiada ketakutan atas mereka, dan tidak pula mereka merasa sedih (Q., 2:112). Banyak contoh seperti itu dalam Al-Quran.

Oleh karena itu pangkal al-islâm ialah persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, yang mencakup (pengertian) ibadah kepada Allah saja dan meninggalkan ibadah kepada yang lain. Inilah ‘Islam umum’ (al-islâm al-`âmm) yang selain dari itu Allah tidak menerima sebagai agama dari umat terdahulu maupun umat kemudian, sebagai­mana difirmankan Allah Ta`ala, barangsiapa menganut agama selain al-islâm maka tidak akan diterima dari dia (agamanya itu), dan di akhirat dia akan termasuk mereka yang merugi (Q., 3:85), dan firman Allah, Allah bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Dia, begitu pula para malaikat dan orang-orang berpengetahuan yang tegak dengan jujur (adil). Tidak ada Tuhan selain Dia Yang Maha Mulia Lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah al-islâm... (Q., 3:18-19).

Karena “Islam” dalam ayat-ayat tersebut, sebagaimana diterangkan Ibn Taymiyah, adalah “Islam umum” yang juga merupakan agama semua Nabi dan Rasul yang diutus kepada setiap umat manusia di mana saja dan kapan saja, maka dalam pengertian itulah terdapat salah satu makna penting universalisme “Islam khusus”, yaitu Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw., penutup para Rasul. Sebab “Islam khusus” itupun tidak lain adalah kelanjutan dan konsistensi “Islam umum”, ber­bentuk pengajaran Tuhan kepada manusia yang telah dilengkapkan dan disempurnakan. Karana hal itu semua menyangkut segi pengertian atau makna, bukan lafal atau kata-kata itu sendiri (yaitu kata-kata Arab “islâm”), maka tidak dapat diharap bahwa para Nabi dan Rasul dari berbagai zaman dan tempat atau bangsa itu juga menggunakan perkataan “islâm” secara harfiah, melainkan menggunakan makna­nya dan dinyatakan dalam bahasa masing-masing. Tentang adanya pengertian “Islam umum” dan “Islam khusus” ini dijelaskan oleh Ibn Taymiyah demikian:

“... Orang berselisih tentang umat terdahulu, seperti umat (Nabi) Musa dan umat (Nabi) ‘Isa, apakah mereka itu orang-orang Muslim (muslimûn, para penganut al-islâm) atau tidak? Ini adalah perselisihan kebahasaan. Sebab “Islam khusus” (al-islâm al-khâshsh) yang dengan itu Allah mengutus (Nabi) Muhammad Saw. dan yang meliputi syari`at Al-Quran, tidak ada yang berada di atasnya kecuali umat Muhammad Saw. dan “Islam” pada saat sekarang secara ke­seluruhan berlaku hanya untuk ini. Sedangkan “Islam umum” (al-islâm al-`âmm) yang berlaku untuk setiap syari`at yang dengan itu Allah bangkitkan seorang Nabi, maka ia berlaku untuk Islamnya setiap umat yang mengikuti salah seorang Nabi.

Pangkal Islam itu secara mutlak ialah persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan dengan persaksian itulah semua Rasul dibangkitkan, sebagaimana difirmankan Allah Ta`ala, Sungguh telah Kami (Allah) bangkitkan untuk setiap umat seorang Rasul’ (mereka menyeru), ‘Sembahlah olehmu semua Allah (Tuhan Yang Maha Esa) saja, dan jauhilah (lawanlah) kekuatan jahat (thâghût, kekuatan tiranik) (Q., 16:36), dan firman Allah Ta`ala, Tidaklah Kami (Allah) mengutus seorang Rasul pun sebelum engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tiada Tuhan selain Aku, karena itu sembahlah olehmu semua (wahai umat manusia) akan Daku saja (Q., 21:25).

Ibn Taymiyah banyak menjelas­kan pengertian “Islam” dalam berbagai tulisannya. Kita kutipkan sebagian dari keterangannya itu untuk mengingatkan kita tentang pengertian “Islam” yang luas, yang dahulu, di zaman klasik (Salaf), merupakan bagian integral dari keinsafan keagamaan kaum Muslim. Antara lain dari keinsafan itu, memancarlah berbagai sikap keagamaan yang terpuji, lapang dan “ngemong” kepada umat-umat yang lain, sesuai dengan “design” Tuhan bahwa mereka adalah kelompok penengah (ummat wasath) yang diberi tugas menjadi saksi pimpinan umat manusia (lihat Q., 2:143).

Mereka telah melaku­kan hal itu dengan sukses yang amat besar selama berabad-abad. Penegasan dalam kitab suci bahwa umat Islam adalah sebaik-baik umat yang ditampilkan di tengah sekalian umat manusia karena senantiasa mengajak kepada kebaikan dan mencegah kejahatan, dan karena beriman kepada Allah, telah menjadi sumber visi, inspirasi dan energi bagi kaum beriman untuk terus menerus berusaha mewujud­kan masyarakat yang sebaik-baiknya. Menurut Hodgson, umat Islam adalah satu-satunya golongan manusia yang paling mendekati keberhasilan, lebih daripada golongan mana pun dalam sejarah, untuk menyatukan seluruh umat manusia di bawah cita-citanya (It came closer than any had ever come to uniting all mankind under its ideals).

Pengalaman yang membawa bahagia itu dapat diulang kapan saja, asalkan umat Islam mampu bertindak dengan tepat. Syarat pertama dan utama untuk mampu bertindak tepat itu ialah pemaham­an kepada Islam secara benar dan tepat. Ini tidak berarti bahwa pe­maham­an yang ada dalam masya­rakat Islam sekarang ini salah, namun jelas siapa pun akan setuju bahwa banyak sekali segi-segi pemahaman itu yang masih dapat diperbaiki dan ditingkatkan ber­sama-sama. Salah satunya ialah pengertian mendasar tentang Islam sebagai ajaran universal tersebut. Dan kita kutip Ibn Taymiyah, karena ia praktis merupakan se­orang pemikir klasik yang paling banyak menjadi rujukan pemikiran Islam kontemporer, khususnya di kalangan kaum Sunni.

Lepas dari gaya penulisannya yang sering kali bernada polemis dengan banyak menggunakan kata-kata superlatif, hiperbolik dan malah bombastis (karena ia memang hidup dalam zaman Islam yang sedang meng­alami krisis paling gawat dalam sejarah, tidak lama setelah pe­nyerbuan bangsa Mongol yang biadab), sesunguhnya tulisan-tulisan Ibn Taymiyah menyimpan perbendaharaan pemikiran dan wawasan keagamaan yang sangat relevan dengan zaman sekarang, seperti universalisme, toleransi, keterbukaan, inklusifisme dan semacam kenisbian intern umat Islam. Ia juga tampil dengan pandangan dan pengenalan lebih teliti akan jenjang perbedaan tinggi-rendah tingkat kebenaran umat-umat dan bangsa-bangsa lain.

Setelah pemahaman yang lebih tepat dan benar, tantangan berikut­nya ialah bagaimana menerjemah­kan ajaran itu dalam konteks ruang dan waktu yang kongkrit di sini dan kini. Dalam banyak hal, ternyata ini lebih sulit karena menyangkut kecakapan teknis yang tinggi, selain diperlukan jiwa antisipatif dan kemampuan me­nerawang atau mencandra masa depan. Tetapi dengan kerja sama banyak orang dan kelompok kesulitan-kesulitan itu dapat diatasi.

Jika Islam kita tangkap sebagai suatu ajaran yang universal, maka hal itu tidak saja menghasilkan pandangan bahwa ia berlaku untuk semua tempat dan waktu. Seperti yang telah dibuktikan oleh kaum Muslim klasik, universalisme Islam juga menghasilkan pandangan dari arah lain, yaitu bahwa kebenaran Islam dapat didekati melalui angle berbagai pola budaya. Logikanya ialah, jika Islam itu universal, dan jika keuniversalannya menghasilkan diutusnya Rasul-rasul untuk setiap bangsa dan masa sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat suci yang dikutip dan dijelaskan oleh Ibn Taymiyah di atas, maka berarti bahwa kebenaran juga dapat diketemukan pada setiap bangsa dan masa, kapan saja dan di mana saja, sebagai warisan para Utusan Tuhan yang pernah datang ke bangsa bersangkutan.

Hanya dengan itu kita dapat menghayati bahwa penegasan Al-Quran tentang telah datangnya Rasul Allah untuk setiap umat itu sungguh bermakna. Dan dengan begitu pula kita dapat memahami signifikansi berbagai sabda Nabi Saw. yang mendorong agar kita belajar dari mana saja dan kepada bangsa manapun juga, sebagaimana hadis-hadisnya yang banyak dikemukakan oleh para ulama kita.

Tetapi harus segera kita sadari bahwa meskipun kebenaran itu universal, namun acapkali tampil dalam penampakan lahiri yang berbeda-beda dari masa ke masa dan dari tempat ke tempat. Ini dapat diterangkan dari berbagai segi, salah satunya ialah persoalan “bahasa” dalam pengertian yang seluas-luasnya, termasuk bahasa kultural. Dan relevan dengan ini ialah penegasan dalam kitab suci bahwa para Rasul Allah itu diutus dengan menggunakan bahasa mereka masing-masing (lihat Q., 14:4). Jadi lagi-lagi penting sekali agar kita tidak terjebak dalam formalitas rumus kebahasaan dan ekspresi kultural tentang kebenaran. Apalagi disebutkan dalam kitab suci bahwa perbedaan bahasa antara manusia, sama halnya dengan perbedaan warna kulitnya, adalah sebagian dari tanda kebesaran Allah (lihat Q., 30:22).

Oleh karena itu kebenaran Islam yang universal selalu memiliki kemampuan untuk beradaptasi kepada lingkungan budaya di mana ia tumbuh dan berkembang, secara otentik (setia kepada asasnya sendiri) dan kreatif (termasuk juga kritis). Dalam kajian tentang peradaban Islam, seperti dilakukan oleh Ibn Khaldun, diinsafi sedalam-dalamnya peranan lingkungan, baik geografis, klimatologis, dan lain-lain yang bersifat alamiah dan fisik, maupun, lebih penting lagi, sosio-kultural.

Tidak ada komentar: