2.6.11

MENYEMBUNYIKAN PERBUATAN BAIK

Dalam literatur kesufian, termasuk literatur kesufian yang sudah menyatu dengan budaya-budaya setempat seperti budaya Jawa, konsep takabur sebagai penghalang bagi peningkatan ruhani banyak mendapat perhatian seperti pada konsep ujub (‘ujub), satu akar kata dengan takjub (ta‘ajjub), dan ajaib (‘ajâ’ib); ta‘ajjub artinya merasa kagum, ‘ujub artinya kagum terhadap diri sendiri, sedangkan ‘ajâ’ib merupakan bentuk jamak (plural), bentuk tunggalnya ialah ‘ajîb artinya sesuatu yang mengherankan. Orang yang merasa heran atau bangga terhadap dirinya sendirinya, “Wah ternyata saya hebat yah!”, itu berarti takjub atau ujub. Dan ujub ini berada dalam satu rangkaian dengan kesombongan.

Karena itu, sering dikatakan bahwa kesombongan adalah ibarat pohon. Cabang-cabangnya adalah takabur, ujub, dan riya. Riya sendiri sudah menjadi kata-kata harian dalam peristilahan keagamaan, yaitu memamerkan diri terutama memamerkan perbuatan. Tiga serangkai itu dalam akronim bahasa Jawa disebut juburiyo (ujub, takabur, dan riya). Semua itu adalah penyakit spiritual yang sangat merusak manusia secara ruhani.

Setiap orang harus berusaha untuk menjadi baik. Akan tetapi merasa diri baik itu justru tidak boleh. Demikian juga, setiap orang harus selalu menanamkan rasa rendah hati (tawadhdhu). Akan tetapi merasa rendah diri (minder, inferiority complex) justru tidak boleh. Ada hadis yang mengatakan bahwa salah satu indikasi orang akan mengalami peningkatan secara spiritual ialah kalau dia lupa akan perbuatan-perbuatan baik yang pernah dilakukan dan selalu ingat akan keburukannya. Dan karena itu, selalu membuka pintu taubat.

Sebuah pribahasa mengatakan bahwa orang yang baik ialah orang yang kalau tangan kanannya memberi, tangan kirinya tidak tahu. Itu suatu gambaran bahwa perbuatan baik tidak perlu dibanggakan. Dalam surat al-Dahr atau al-Insân (Q., 76) juga ada disebutkan bahwa salah satu indikasi keimanan ialah kalau memberi makan orang miskin dia melakukannya hanya karena mengharapkan ridha Allah.

Karena semata-mata demi mencapai ridha Allah, maka jangankan mengharap balasan, ucapan terima kasih pun tidak boleh. Sebab berharap ada ucapan terima kasih dari orang yang diberi, sudah merupakan indikasi ketidakikhlasan. Dalam Al-Quran disebutkan, Janganlah merusak sedekahmu dengan mengingat-ingat kembali dan dengan gangguan (bersikap yang menyakitkan hati) (Q., 2: 264). Misalnya, seseorang yang memberi sedekah kepada pengemis, dan pengemis itu datang lagi keesokan harinya, lalu dihardik, “Kemarin sudah diberi sekarang datang lagi”. Kata-kata itu punya indikasi menggugat dan menyakitkan hati, dan itu ada sangkut-pautnya dengan ujub.

Dalam kumpulan kata-kata bijak dari Ali ibn Abi Thalib ada ungkapan yang bagus, “Keburukan yang membuat kamu gelisah itu lebih baik di sisi Allah daripada kebaikan yang membuat kamu bangga”. Al-Quran sendiri banyak memberikan isyarat ke arah itu, misalnya dalam surat Al-Mu’minûn, Dan mereka yang memberi sedekah dengan hati penuh rasa takut, karena tahu mereka akan kembali kepada Tuhan (Q., 23: 60).

Sebuah hadis mengisahkan bahwa ketika A’isyah bertanya kepada Nabi apakah maksud ayat itu adalah orang yang bersedekah tetapi juga berbuat jahat atau suka menyakiti orang lain? Nabi menjawab bahwa orang itu betul-betul baik serta tulus dalam sedekah, dan dia tidak mau memastikan bahwa itu akan diterima oleh Tuhan. Ini sebetulnya adalah pantulan dari persoalan takabur. Orang tidak boleh takabur dan karena itu harus rendah hati (tawadhdhu).

Tidak ada komentar: