31.5.11

METODOLOGI PENELITIAN

Antara Rumusan Masalah dan Fokus Penelitian;

(Bahan Kuliah Metpen, S1, S2, dan S3)

Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si

Karena paradigma, metode, dan tujuan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif masing-masing berbeda secara tajam, maka terminologi yang digunakan di antara keduanya juga berbeda. Di antara perbedaan itu ialah rumusan masalah dan fokus penelitian. Kendati masih terjadi silang pendapat di antara para ahli metodologi penelitian mengenai penggunaan keduanya, penting untuk disajikan substansi perbedaannya dan konsistensi penggunaannya. Sebab, konsistensi merupakan ukuran derajad ke‘ilmiah’an sebuah karya ilmiah. Berikut penjelasannya.

Sebagai kerja ilmiah, penelitian dimaksudkan untuk menjawab sebuah masalah, gejala, atau peristiwa yang terjadi di masyarakat dengan cara dan prosedur ilmiah. Karena persoalan di masyarakat, baik sosial maupun kemanusiaan, itu kompleks, maka masalah yang kelihatannya biasa (common issues) bisa menjadi sangat penting dan memiliki makna tertentu setelah didekati dengan cara ilmiah. Karena itu, setiap penelitian selalu diawali dengan uraian yang mengantarkan ke pemahaman bahwa masalah itu layak diteliti, yang lazim disebut sebagai latar belakang masalah.

Belakangan, seiring dengan perkembangan dan semakin kokohnya metode penelitian kualitatif pada dasawarsa 1960 hingga 1980’an, khususnya dalam penelitian ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora), para ahli membedakan istilah yang tepat untuk dipakai sebagai uraian awal itu, yaitu antara latar belakang masalah dan konteks penelitian. Tentu saja karena istilah yang dipakai berbeda, maka makna yang dibawanya juga berbeda.

Dalam metode penelitian kuantitatif, istilah latar belakang (background of the study) sangat lazim dipakai karena memang, dengan nalar berpikir positivistik yang kausalitas dan deterministik, latar belakang merupakan komponen atau faktor penyebab terjadinya masalah yang dirumuskan menjadi rumusan masalah (research problem). Dengan demikian, antara latar belakang masalah dan rumusan masalah merupakan dua variabel yang berlangsung dalam hubungan sebab akibat. Selain itu, masalah yang hendak dijawab dalam penelitian kuantitatif sudah jelas sejak awal dan tidak akan berubah dalam perjalanan penelitian. Pertanyaan untuk mengumpulkan data pun sudah dirinci melalui kuesioner. Semua proses berlangsung secara linier. Karena itu, dalam penelitian kuantitatif, peneliti tidak lagi menentukan identifikasi masalah, malainkan membuat rumusan masalah secara tegas.

Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang serba jelas sejak awal, bahkan temuan yang akan dihasilkan pun sudah bisa dirumuskan melalui apa yang disebut dengan hipotesis, --- sehingga hipotesis wajib ada---, maka penelitian kualitatif semuanya masih bersifat tentatif. Apa yang dilakukan peneliti sejatinya masih berupa rabaan setelah melihat peristiwa atau gejala yang tidak seperti lazimnya atau unik. Sebagaimana telah diuraikan pada tulisan sebelumnya tentang nalar dasar penelitian kualitatif dan kuantitatif, kendati manusia merupakan makhluk berkehendak dan kaya ide, sebenarnya panca indra manusia sangat terbatas. Padahal, panca indra merupakan alat utama dan pertama memperoleh pengetahuan dengan cara melihat, merasakan, dan membaca gejala yang muncul. Karena keterbatasan itu, maka yang dilakukan peneliti kualitatif pada tahap awal sejatinya masih berupa identifikasi titik-titik isu yang mungkin bisa diteruskan untuk diteliti atau mungkin tidak bisa dilanjutkan, karena tidak memiliki cukup informasi sebagai data, atau tidak memberikan kontribusi yang

bernilai tinggi bagi pengembangan keilmuan pada bidang yang diteliti.

Disebut mungkin, karena dalam kenyataannya --- dan pengalaman penulis melakukan penelitian --- yang terjadi di lapangan setelah peneliti mulai mengumpulkan data, isu yang lebih menarik dan penting untuk diteliti muncul. Wawancara sebagai metode utama perolehan data pun dimulai dengan hal-hal yang bersifat umum. Setelah itu semakin menyempit ke hal-hal yang lebih khusus dan menukik. Lewat wawancara peneliti memberikan ruang yang sangat luas kepada informan atau subjek penelitian untuk menyampaikan apa saja yang diketahui tentang topik yang diteliti. Di sini biasanya isu yang lebih menarik muncul. Bisa saja terjadi isu baru itu mirip, atau sama, tetapi bisa berbeda sama sekali dengan yang dirancang sejak semula. Karena serba ketidakpastian itu, uraian awal tidak disebut sebagai latar belakang, melainkan konteks penelitian. Dengan menggunakan istilah konteks, maka peneliti memiliki keluasan ruang untuk mengubah tema bahkan isu yang akan diteliti setelah peneliti terjun ke lapangan.

Perubahan isu yang akan diteliti tidak saja berasal dari expert judgment peneliti sendiri setelah melihat lapangan, berhubungan dengan partisipan dan informan atau setelah membaca pustaka, tetapi juga dari informan atau partisipan penelitian setelah diberi kesempatan oleh peneliti untuk menyampaikan gagasan, pikiran, dan pandangan-pandangnnya mengenai tema penelitian. Karena itu, penting bagi peneliti kualitatif menentukan informan yang menguasai tema yang diteliti. Pilihlah informan yang memenuhi syarat sebagai maximum variety, yakni orang yang mengetahui dan syukur menguasai tema yang diteliti. Di sini perbedaan lain yang sangat tegas antara metode penelitian kuantitatif dengan metode penelitian kualitatif.

Jika dalam penelitian kuantitatif sumber perolehan data adalah orang yang diberi kuesioner, lazimnya disebut responden, maka dalam penelitian kualitatif sumber data berasal dari orang yang diwawancarai yang selanjutnya disebut informan. Jika responden, tidak diberi ruang gerak menyampaikan pendapat, pikiran dan gagasan selain yang telah ditentukan berupa pilihan-pilihan jawaban dalam kuesioner, maka sebaliknya informan diberi ruang seluas-luasnya menyampaikan gagasannya. Jika di mata responden, peneliti dianggap sebagai orang yang lebih tahu tentang tema yang diteliti, maka di mata informan peneliti adalah orang yang ‘diberitahu’ tentang tema penelitian. Oleh karena itu, ia disebut informan, yakni orang yang memberi informasi kepada peneliti apa saja menyangkut tema penelitian. Dia bisa menjadi teman peneliti untuk berdiskusi.

Karena itu pula, pilihan informan yang tepat sangat menentukan kualitas penelitian. Bisa saja terjadi subjek penelitian (orang yang diteliti) --- bukan objek --- pada saat yang sama menjadi informan penelitian. Lebih lanjut dapat dikatakan jika kualitas data penelitian kuantitatif tergantung pada kualitas kuesioner dan keterwakilan sampelnya, maka kualitas data penelitian kualitatif sangat tergantung pada kecakapan peneliti dan kualitas informannya. Semakin berkualitas informan --- artinya menguasai tema penelitian dan isu yang hendak dijawab ---, maka semakin kaya informasi yang diperoleh peneliti. Sebagaimana diketahui, kekayaan data atau informasi merupakan salah satu syarat penelitian kualitatif.

Karena sifat keterbukaan, tentativeness dan masih dalam tahapan rabaan peneliti sebagaimana diuraikan di atas, maka uraian awal yang mengantarkan ke masalah yang diteliti tidak disebut latar belakang (background of research) , melainkan konteks penelitian (research context), dan isu yang diajukan untuk dijawab tidak disebut rumusan masalah (research problems), melainkan fokus penelitian (research focus). Kendati menggunakan istilah latar belakang dan rumusan masalah tidak total salah dalam penelitian kualitatif, tetapi konsistensi menggunakan istilah sebagai konsekuensi pilihan metodologis sangat penting. Itu menggambarkan kadar keilmuan seseorang !

CONTENT ANALYSIS SEBAGAI METODE TAFSIR TEKS: AKAR SEJARAH DAN PENGGUNAANNYA

Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si

(Renungan Awal untuk Pengembangan Penelitian dan Kajian Bahasa)

Ada banyak ragam metode menafsir teks. Masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya. Salah satunya adalah Analisis Isi, atau yang lazim dikenal sebagai Content Analysis (ditulis dengan huruf C besar (Content) dan A besar (Analysis), karena merupakan sebuah nama metode. Sebagai sebuah metode, Content Analysis memiliki akar intelektual yang sangat panjang. Bahkan disebut sebagai metode tafsir yang paling tua. Tetapi istilah ‘Content Analysis’ baru masuk dalam kamus Webster’s Dictionary of the English Language baru pada awal 1960’an. Sejatinya, secara praktik metode ini sudah lama dipakai para ahli di banyak bidang, mulai filsafat, agama, politik, dan retorika hingga bahasa, seni, sosiologi, antropologi, komunikasi, dan psikologi.

Tidak seperti metode-metode penelitian yang lain yang umumnya bersandar di bawah payung perspektif atau paradigma tertentu, seperti

grounded theory dan fenomenologi, Content Analysis lepas dari kerangka atau perspektif tertentu karena tidak berangkat dari renungan filosofis, melainkan dari sebuah kejadian atau peristiwa. Tetapi praktiknya merupakan metode kuantitatif. Metode ini berawal dari kesadaran manusia akan kegunaan simbol, termasuk angka, dan bahasa. Menurut para penggagasnya, membuat pernyataan secara kuantitatif --- mengulangi kata beberapa kali --- dianggap lebih bisa meyakinkan pembaca atau pendengar daripada pernyataan secara kualitatif yang memerlukan reasoning panjang dan berbelok-belok.

Sangat disadari bahwa simbol dan bahasa memainkan peran sangat penting bagi kehidupan manusia. Jika disadari, keseharian dan sepanjang hidupnya manusia bergelut dalam simbol dan bahasa, mulai hal-hal yang sangat sederhana seperti makan, minum, dan tidur hingga berpikir yang mendalam dalam renungan filsafat. Semuanya sejatinya merupakan aktivitas manusia dalam dunia simbol dan bahasa. Pendek kata, semua spektrum ilmu-ilmu sosial (seperti sosiologi, antropologi, politik, komunikasi, psikologi) dan ilmu-ilmu humaniora (seperti bahasa, seni, sastra, agama dan filsafat) berkaitan dengan simbol, makna, pesan, fungsi, dan kekuatan yang dibawa oleh simbol tersebut.

Content Analysis merupakan salah satu metode analisis teks yang cukup handal. Metode ini memandang data bukan sebagai kumpulan peristiwa, sebagaimana lazimnya dianut oleh metode penelitian yang berparadigma interpretif, seperti Discourse Analysis, yang melihat gejala atau peristiwa sebagai satu kesatuan yang majemuk dan kompleks. Content Analysis memandang data sebagai gejala simbolik. Ia lebih akrab dengan makna, referensi, konsekuensi, dan keinginan-keinginan yang tidak mungkin dicapai dengan metode kualitatif.

Kendati diklaim tidak berada di bawah payung perspektif atau paradigma tertentu, ada sebagian ahli yang menempatkannya dalam payung paradigma positivisme dengan tiga alasaan:

1. Dikaitkan dengan data, Content Analysis bertumpu pada data empirik berupa tulisan atau simbol, Content Analysis tidak menjangkau hal-hal yang tidak tertulis dan tidak konkret.

2. Dari aspek tujuan, Content Analysis bertujuan menjelaskan (to explain) variabel dari gejala yang nyata (observable) bukan memahami (to understand) fenomena sebagaimana tujuan paradigma interpretif, dan

3. Bersifat prediktif, yakni peramalan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang berangkat dari gejala yang dikaji untuk diperoleh generalisasi sebagai sebuah prediksi.

Menurut Krippendorff (1980, 1-2), akar sejarah Content Analysis dimulai dari studi-studi teologi di gereja pada akhir 1600-an. Metode ini pertama kali dipakai untuk mengkaji bahan cetak yang didokumentasikan dengan baik di Swedia pada abad ke 18. Sebagaimana dinyatakan Dovring, yang dikutip Krippendorff, pada saat itu di mana gereja masih sangat dominan dalam berbagai kehidupan, termasuk ekonomi dan politik ada sebuah buku berjudul “Song of Zion) yang memuat 90 hymne. Karya yang tanpa pengarang itu dianggap sangat membahayakan dominasi dan kependetaan gereja ortodoks Swedia. Dalam waktu singkat buku tersebut tersebar luas di masyarakat dan gereja semakin khawatir terhadap pengaruh buku tersebut. Menariknya, untuk menjawab pertanyaan apakah benar buku itu akan membahayakan kelangsungan gereja dilibatkan banyak sarjana. Mereka mencoba menghitung kata apa saja yang masuk kategori membahayakan dan berapa jumlahnya.

Kata yang diidentifikasi sebagai ‘membahayakan’ bagi gereja kemudian dibandingkan dengan kata-kata dalam nyanyian resmi gereja. Ternyata maknanya sama. Hasil perhitungan juga dibandingkan lagi dengan hasil studi orang Jerman yang bernama Moravian Brethen yang telah dinyatakan melanggar hukum. Peristiwa ini mengundang perhatian para sarjana untuk melakukan debat metodologis tentang peran simbol dalam kehidupan. Sejak saat itu, memahami isi karya tulis melalui penghitungan kata dipakai di banyak bidang keilmuan.

Selanjutnya, sebagai metode ilmiah, Content Analysis memiliki kerangka kerja sebagai pedoman penggunaannya sebagaimana diajukan Jenis (dalam Krippendorff, 1980: 35-36) sebagai berikut:

1. Analisis Isi Pragmatik (Pragmatic Content Analysis), yakni prosedur memahami teks dengan mengklasifikasikan tanda menurut sebab atau akibatnya yang mungkin timbul. (Misalnya, penghitungan berapa kali suatu kata ditulis atau diucapkan, yang dapat mengakibatkan munculnya sikap suka atau tidak suka terhadap sebuah rezim pemerintahan).

2. Analisis Isi Semantik (Semantic Content Analysis), yakni prosedur yang mengklasifikasikan tanda menurut maknanya. (Misalnya, menghitung berapa kali kata demokrasi dijadikan sebagai rujukan sebagai salah satu pilihan sistem politik yang dianut oleh sebagian besar masyarakat dunia). Atau, misalnya yang lain, berapa kali kata Indonesia disebut oleh Obama sebagai rujukan contoh negara dengan keragaman suku, budaya dan agama, yang mampu mempersatukan semuanya dalam bingkai negara kesatuan. Secara rinci, Jenis mengembangkan Analisis Isi Semantik menjadi tiga macam kategori sebagai berikut:

1) Analisis Penunjukan (Designation Analysis), yakni menghitung frekuensi berapa sering objek tertentu (orang, benda, kelompok, konsep) dirujuk. Analisis model ini juga biasa disebut sebagai Analisis Isi Pokok Bahasan (Subject-Matter Content Analysis).

2) Analisis Pensifatan (Attribution Analysis), yakni menghitung frekuensi berapa sering karakterisassi objek tertentu dirujuk atau disebut. (Misalnya, karakterisasi tentang bahaya penggunaan obat terlarang bagi kehidupan)

3) Analisis Pernyataan (Assertion Analysis), yakni analisis teks dengan menghitung seberapa sering objek tertentu dilabel atau diberi karakter secara khusus. (Misalnya, berapa sering Iran disebut oleh Amerika sebagai negara yang menantang himbauan masyarakat internasional dalam hal pembangunan proyek nuklir).

3. Analisis Sarana Tanda (Sign-Vehicle Analysis), yakni prosedur memahami teks dengan cara menghitung frekuensi berapa kali, misalnya, kata negara Indonesia muncul dalam sambutan Obama tatkala berkunjung ke Indonesia.

Sebagai catatan penutup, perlu disampaikan di sini bahwa metode studi teks berkembang cukup pesat. Para ahli seakan berpacu melahirkan pendekatan-pendekatan baru. Ketika metode Discourse Analysis masih sedang gencar-gencarnya digandrungi oleh para peminat kajian teks, muncul metode baru, yakni Critical Discourse Analysis sebagai varian lain. Begitu juga ketika metode hermeneutika mewarnai dunia tafsir teks bidang-bidang ilmu keagamaan dan humaniora, muncul pula madzab baru hermeneutika yang menggoncang alam pikir dunia tafsir, yakni hermeneutika Gadamerian (sebagaimana disertasi penulis). Disebut menggoncang, sebab selama ini hermeneutika hanya mengenal madzab intensionalisme di mana makna teks hanya bisa diperoleh dari penulisnya. Hanya penulis yang tahu persis makna dan maksud yang ditulis. Seorang filsuf hermeneutika kenamaan bernama Gadamer memberikan cara pandang berbeda yang sangat tajam. Menurutnya, makna teks berada di tangan pembacanya. Sebagai contoh, jika kita mengedarkan sepuluh lembar tulisan kepada sepuluh orang dan masing-masing diminta menyampaikan maknanya hampir pasti akan diperoleh sepuluh jenis makna dan pemahaman yang berbeda-beda. Cara pandang demikian disebut hermeneutika Gadamerian.

Tampaknya, seperti halnya Discourse Analysis dan hermeneutika yang mengalami revolusi pemikiran, Content Analysis juga tak mau ketinggalan. Dipandang Content Analysis memiliki kelemahan, karena hanya bertumpu pada data empirik dan tidak mampu menggali isi dan makna teks secara komprehensif, para ahli menggagas kelahiran Qualitative Content Analysis sebagai model pendekatan baru yang memadukan antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam analisis teks. Saya menyebutnya sebagai ‘mixed method of text analysis’. Tak pelak, dengan metode baru ini dunia tafsir teks pun akan semakin ramai dan menantang para ahli, khususnya peminat studi teks.

Daftar Pustaka

Creswell, John W. 2007. Qualitative Inquiry & Research Design:

Choosing Among Five Approaches. London: SAGE Publications

Julien, Heidi. 2008. “Content Analysis”, (Lisa M. Given, ed.), The

Encyclopedia of QUALITATIVE RESEARCH METHODS. London: SAGE. Volume 1 & 2.

Krippendorff, Klaus. 1980. Analisis Isi: Pengantar Teori dan

Metodologi (alih bhs. Farid Wajidi). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Rahardjo, Mudjia. 2005. Bahasa dan Kekuasaan: Studi Wacana Politik

Abdurrahman Wahid dalam Perspektif Hermeneutika Gadamerian. Disertasi Program Doktor, Universitas Airlangga, Surabaya.


Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme

Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si

Seiring dengan perkembangan paradigma interpretivisme dan metodologi penelitian lapangan (field research ), pada beberapa dasawarsa terakhir para ahli mengembangkan studi/analisis teks sebagai sebuah varian dalam penelitian. Tidak kalah dengan penelitian lapangan yang menggunakan sumber-sumber primer untuk memperoleh data sebagai salah satu keunggulannya, studi teks memiliki keluasan tafsir dan otentisitas sebagai keunggulannya. Karena itu, tak mengherankan jika belakangan studi jenis ini menjadi sangat populer dipakai oleh para ahli di bidang ilmu sosial dan humaniora sebagai bentuk dan jenis kajian baru. Teks dianggap sebagai wilayah kajian yang menantang para peneliti. Dia senantiasa hidup dan dinamis. Naskah ini ditulis untuk membantu memberikan pemahaman kepada para peminat dan pengkaji teks yang semakin semarak akhir-akhir ini.

Studi teks pada dasarnya merupakan analisis data yang mengkaji teks secara mendalam baik mengenai isi dan maknanya maupun struktur dan wacana. Menurut Lockyer (dalam Given 2008: 865), teks yang dimaksudkan tidak saja berupa narasi tertulis yang diambil dari koran, majalah, acara TV, naskah pidato, tetapi juga melebar hingga arsitektur, model pakaian, bahkan perabot rumah tangga, perkantoran, rumah makan dan sarana-sarana di ruang publik. Apa pun yang bisa ditafsir diperlakukan sebagai teks.

Pengkaji teks memusatkan perhatian pada bagaimana teks dikonstruksi, bagaimana makna diproduksi, dan apa hakikat makna tersebut. Semula studi teks hanya dipakai di bidang komunikasi, khususnya komunikasi politik, tetapi sekarang sudah berkembang ke banyak disiplin seperti sosiologi, geografi, sejarah, bahasa, seni, sastra, media dan bahkan perfilman.

Istilah studi atau analisis teks pada dasarnya merujuk ke jenis atau model metode penelitian kualitatif. Ada beberapa macam jenis studi teks, yaitu: (1) Analisis Isi (Content Analysis), semula menggunakan pendekatan kuantitatif, tetapi belakangan juga berkembang pendekatan Analisis Isi Kualitatif, (2) semiotika (semiotics), (3) fenomenologi (phenomenology), dan (4) hermeneutika (hermeneutics) yang lebih filosofis. Metode hermeneutika juga ada dua macam: hermeneutika intensionalisme dan Gadamerian. Metode yang dipakai untuk mengkaji struktur teks dan wacana pun ada beberapa macam, yaitu: (1) Analisis Gaya Teks, (2) Analisis Naratif, (3) Analisis Wacana, (4) Analisis Struktural (5) Analisis Pos-struktural, dan (6) Analisis Teks Pos-modernisme. Analisis Wacana juga dikembangkan menjadi Analisis Wacana Kritis. Jika Analisis Wacana lebih menekankan murni aspek-aspek linguistik, maka Analisis Wacana Kritis atau sering disebut Critical Discourse Analysis (CDA) lebih memusatkan pada pertarungan kekuasaan (power struggle) melalui wacana, feminisme, dan dominasi kekuasaan (politik).

Masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Ada banyak macam cara yang dapat digunakan untuk melakukan studi teks tergantung pada minat akademik masing-masing. Ada yang mengkaji teks dengan memusatkan perhatian pada relasi antara makna yang ada di dalam teks dengan keadaan di lapangan atau di luar teks. Ada kesesuaian atau tidak. Sedangkan yang lain mengkaji konstruksi dan kekuatan mitos-mitos kultural di balik kehadiran teks.

Sebagaimana dinyatakan di muka bahwa masing-masing metode memiliki kelebihan dan kelemahan. Untuk itu, para pengkaji teks mencoba menggunakan metode gabungan untuk mengurangi kelemahan tersebut. Misalnya, metode Analisis Isi dengan analisis semiotika. Yang pertama menekankan frekuensi penggunaan kata yang dipakai dalam teks dan berparadigma positivistik, dan yang kedua lebih menekankan simbol sebagai tempat tersimpannya makna. Sebagaimana diketahui paradigma positivistik memiliki kelemahan mendasar, yakni tidak mampu mengungkap hakikat makna yang lebih dalam karena bertumpu pada apa yang ada (tertulis) secara empirik. Sementara, semiotika juga memiliki kelemahan yakni terlalu dominannya subjektivitas pengkaji. Dengan menggabungkan keduanya diharapkan semakin diperoleh makna yang lebih objektif (?). Para pengkaji teks juga mengembangkan wilayah pencariannya, tidak saja menggali makna teks secara tesktual, melainkan juga memahami implikasi ideologis dari teks, baik teks riel maupun fiksi.

Pada dasarnya, semua teks memiliki struktur naratif dan kekuatan persuasif serta dimaksudkan untuk menyampaikan makna tertentu sesuai maksud penulisnya. Yang perlu menjadi perhatian penting bagi semua pengkaji teks adalah studi teks tidak dimaksudkan untuk mencari interpretasi yang ‘benar’ mengenai teks, melainkan untuk mencari interpretasi macam apa yang digunakan. Sebab, kebenaran makna teks secara utuh mustahil dapat diperoleh. Maka, tidak mengherankan jika hasil interpretasi sering kali lebih luas daripada maksud pengarangnya. Dan, itu sah-sah saja dengan asumsi teks yang sudah berada di ruang publik telah lepas dari pengarangnya (the author is dead).

Teks bersifat polisemik, sehingga multimakna dan multitafsir. Jadi, makna teks tidak pernah tunggal. Namun demikian, tidak berarti penafsir teks bisa dengan sesuka hati menafsir teks sesuai yang diinginkan. Sebab, makna dibawa oleh kode (kata), konvensi, dan yang lebih penting lagi oleh gaya (genre) bagaimana teks ditulis, konteks sosial, kultural, historis, dan ideologis yang melingkupi teks tersebut. Semuanya menyatu mengantarkan makna teks secara utuh. Dengan demikian, pengkaji teks tidak dapat dengan sebebas-bebasnya menafsir teks berdasarkan kemauan dan kepentingan pribadinya.

Ada juga pengkaji teks yang menitiberatkan kajiannya pada interkoneksi makna yang ada di dalam teks dan makna di luar teks. Dengan demikian, pertanyaan yang diajukan adalah mengenai konteks retorika teks, seperti (Siapa yang menulis teks?, Apa intensi atau maksud penulisnya?, Siapa pembaca yang diharapkan?, Topik atau isu apa yang diajukan?, Bagaimana pembaca disapa?, Apa tema dan klaim yang dibuat?, Apakah ada bukti atau penjelasan yang mendukung tema tersebut? Apa hakikat bukti tersebut?., dan pertanyaan yang lebih luas lagi menyangkut ‘Bagaimana kaitan teks tersebut dengan teks-teks yang lain dengan gaya dan format yang sama?)’. Di sini pengkaji teks melakukan apa yang disebut dengan pembacaan intertekstualitas. Makna dari sebuah teks bisa juga ditelusur dengan membaca teks yang lain. Logikanya adalah teks tidak pernah muncul tiba-tiba dan hadir sendirian. Karena itu, co-texts dan intertextuality senantiasa ada.

Lepas dari kekurangan yang ada, analisis teks merupakan metodologi yang sangat menarik dan berkembang cepat seiring dengan perkembangan teks-teks sosial dan kemanusiaan. Studi teks dapat dipakai untuk memahami konstruksi makna teks dari berbagai teks kultural. Melalui pengkajian yang mendalam, analisis teks bisa melahirkan lahan diskusi akademik yang hidup dan luas, karena luasnya cakupan makna yang dibawa oleh teks. Salah satu kelebihan studi teks adalah menyangkut ke’alamiah’an data. Teks lebih dulu ada di masyarakat sebelum peneliti teks memulai mengkajinya. Namun demikian, mampu memahami konstruksi makna teks dan implikasi ideologisnya tidak berarti pengkaji bisa lepas dari bias yang muncul. Bias tafsir sulit dihindari. Untuk itu, upaya yang dilakukan oleh setiap pengkaji teks ialah mengurangi sebanyak mungkin bias yang timbul pada saat analasis dan saat data dikumpulkan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka para pengritik studi teks mempertanyakan validitas pendekatan studi teks. Alasannya adalah membaca teks memantulkan perspektif pengkajinya dan metode memahami teks sangat ideologis. Menyadari hal itu, para ahli studi teks, seperti Paula Saukko menggarisbawahi bahwa sebuah teks sebenarnya tidak pernah bisa dipahami secara lengkap. Sebab, aktivitas membaca dan mengkaji teks sangat ditentukan oleh kondisi sosial yang sedang terjadi baik pada saat teks dibuat maupun dikaji.

Selanjutnya, pengkaji teks harus mampu secara kritis melakukan refleksi atas apa yang telah dilakukan, dengan melihat aspek-aspek politis dan sosial yang ada. Untuk mencapai hal itu, Saukko menyarankan pengkaji teks bisa menggunakan model analisis teks multiperspektif dengan cara menggabungkan beberapa pendekatan studi teks secara bersamaan. Misalnya, pendekatan semiotika dengan pos-modernisme, Analisis Wacana dengan Hermeneutika, Analisis Isi (yang kuantitatif) dan mengkajinya secara kualitatif (Qualitative Content Analysis).

Menariknya, jika selama ini Content Analysis dikenal sebagai metode studi teks berparadigma positivisme yang tentu menggunakan metode penelitian kuantitatif, maka dengan kelahiran Qualitative Content Analysis asumsi tersebut telah bergeser. Jika dalam penelitian lapangan belakangan ini dikenalkan metode campuran yang mencoba menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif secara bersamaan --- mengingat masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan --- atau yang dikenal dengan istilah mixed method, maka studi teks pun tidak mau ketinggalan, yakni dengan menawarkan pendekatan sejenis yang disebut Qualitative Content Analysis.

Sebagai sebuah disiplin, metodologi penelitian --- seperti halnya disiplin-disiplin yang lain --- senantiasa terus berkembang dan berubah. Metode yang sudah baku sekian lama pun bisa bergeser untuk mengikuti tuntutan dan tantangan jaman. Untuk itu, selalu mengikuti perkembangan keilmuan atau updating knowledge merupakan salah satu tugas seorang ilmuwan dan para pencari ilmu pengetahuan pada umumnya.

Catatan:

  1. Makalah ini disadur dari tulisan Sharon Lockyer ‘Textual Analysis’ (dalam Lisa M. Given, ed.,) 2008: 855- 856), QUALITATIVE RESEARCH METHODS, London: A SAGE Reference Publication, dan pengalaman penulis selama menulis disertasi.
  2. Naskah disempurnakan untuk memudahkan pemahaman pembaca.

\

PHILOSOPHY OF LANGUAGE

Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si

(Materials of Lectures on the Philosophy of Language for S3 Students, Arabic Education Program, PPs UIN Malang)

Topics:

  1. What is the philosophy of language? It is a reasoned inquiry into the nature, origins, and usage of language. Language and philosophy have a very close relationship one to another; without a philosophical examination of the meanings and structure of language, we cannot easily ascertain the objective truth of the statements we make, nor can we usefully discuss abstract concepts.
  2. What are the areas of the philosophy of language. It is concerned with 4 (four) central areas:
    1. the nature of meaning, (the language philosophers try to inquire into the nature of meaning, and seek to explain what it means to “mean” something, which includes the nature of synonymy, the origins of meaning itself, and how any meaning can ever really be known.
    2. language use, (the language philosophers try to understand what speakers and listeners do with language when communication is taking place and how it is used socially).
    3. language cognition, (the language philosophers try to know how language relates to the minds of both the speaker and the interpreter – for example how successful translation of words into other words are done.
    4. the relationship between language and reality, (the language philosophers investigate how language and meaning relate to truth and the world).
  3. What is the objective of the philosophy of language? It is to seek to understand the concepts expressed by language and to find a system by which it can effectively and accurately do so. It is the task of language philosophers to look for a theory of language which avoids the errors of meaning and usage which occur in all discussions of abstract concepts and which tend to lead those discussions into complicated matters. It is not an easy task at all, since it is not a separate topic, but as a part of logic, history or even politics.

How to Start Your Research Project

Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si

(Lecture Material on Research Methodology for Under-graduate and Post-graduate Students)

Though books, academic papers, and journals on research methodology are quite a lot in number and available in university libraries and most graduate students have learnt it before, questions on How to Start the Research Project , from the simplest to the most difficult ones, still appear and seem even to increase from day to day. For me it is good, since many more students or even professionals from various kinds of institutions --- schools, companies, non-governmental organizations, governments --- have been much concerned with research issues. Many of them have been engaged in research activities for a variety of reasons. For some local governments, research results have been used as a policy making decision.

However, research methodology is not an easy discipline, rather it is a very complicated because it involves several other disciplines. Students undertaking research methodology need a serious attention. Besides, this discipline grows fast , various perspectives are introduced which results in new approaches and methods. Many more new books on research methodology are also published.

However difficult it is, it does not mean that it cannot be studied and practiced. Quoting Catherine Dawson (2009), I introduce a very useful way to remember to start research project by posing questions using 5 w’s, namely:

  1. What ?
  2. Why?
  3. Who?
  4. Where?
  5. when ?

Those w’s questions must be answered first before moving on the ‘How’ question. The following is the detail of the questions.

1. What does ‘what’ mean? Research project can never be done well unless the question ‘what’ is not answered yet. The ‘what’ question covers the area of the research project, including whether the topic to be studied is within the area of the discipline. It must be answered as specifically as possible. This is one of the hardest job for beginning researchers who usually want to know everything. The research project often fails because the researchers cannot indentify the area of the research in a specific way. ‘The topic of my research is about education management’ , ‘My research is about sociolinguistics’, ‘Mine is about social class’, are just few examples of unspecific topics, and, therefore, cannot be researched. They are too general, while research topics need to be specific and narrow. Otherwise, they cannot be researched. So, narrowing down the topic after having the area of the research is another important step at the very beginning of the research project.

2. After the ‘what’question is answered, the next step is to answer the ‘why’question, that is ‘why do you conduct a research project?’. Is it for academic purposes to write a thesis or dissertation, or is it because you are assigned to do so by your boss, your institutions, or you are to obtain fund from donators. Each has different consequences, in terms of time spent, budget needed, and the way to make a research report. For academic reasons, research reports have been formally designed by experts. While research for obtaining funds, the report must meet their needs. However, out of those answers , there must be another reason why you conduct your research. It covers the following:

1). the topic is of your interest,

2) .there is an academic gap you find in literature

3). to make a decision or public policy.

When your research topic has been fixed, discuss and inform it to your tutors or seniors, fellow students or friends. Ask them their opinions about the topic and try to get insight from it. It is also worth considering to ask if any of them has been familiar with the previous researches similar to your own or if he has any references relevant to your topic.

3. ‘Who question’ follows the ‘what’ and’ why’ questions. The ‘who’question involves who will be your research participants (informants, respondents and populations), how many will be involved, what type of people are they, and are they possible to be contacted any time you need? Defining the number of participants in the quantitative study is very essential because the quantitative research method emphasizes representative sampling of the populations. It is believed that if the sample is properly chosen using the correct procedure, it is possible to generalize the results to the whole of the research populations.

However, in qualitative research you need not worry with the number of informants, but rather with the type of participants needed to explore the issues. Because a qualitative research method is not a sampling research to get the general pattern of the topic or the phenomena, but to catch the complexity and uniqueness of a single case, defining the research participants is of great importance and cannot just be denied. Bear in mind that improper participants will result in insufficient research outcome. On the other hand, however, choosing the right informants with the right research procedure is possible to uncover the complexity and uniqueness of the project issue as expected.

4. The ‘Where question’ is another important step to follow. Think of geographical matter of your research, especially for a field research project. Answering the ‘where question’ is also important to narrow down the topic. To be also considered is whether you will conduct the research in laboratory, or elsewhere. A researcher also needs to put into account the available resources, academically and financially, sometimes politically especially when engaging in policy researches of the government. Due to this fact, choosing the research location not far from where the researcher lives is allowed, as long as it does not disturb the research substance academically.

5. When all those ‘w’s questions have been identified, the final step is to answer the ‘when’question, namely ‘When are you going to do your research?. Answering this question means you are managing your time scale when to start and finish the project. A researcher must commit to the time scale he has made, as otherwise a lot of changes might happen during the research process. When dealing with qualitative studies, time change must be put into consideration tightly as it might change the research focus and interest.

Time scale is also useful when the project involves a lot number of participants (informants and respondents). A researcher must make a time appointment with participants when to conduct interviews or distribute questionnaires. Interviews and questionnaires cannot be done anytime a researcher likes. Certain qualitative research methods even choose a certain moment to obtain data to meet with the research focus and objectives. It is believed that different time might result in different research findings. Besides, longer time of research activity will surely spend more energy and budget.

A Closing remark:

When the 5 ‘w’questions have been answered, then move on to the HOW QUESTIONS. This is a scientific and philosophical question as it is concerned with methodological matters. It covers the following:

  1. what kind of a research paradigm to use, (positivism or interpretevism)
  2. what kind of a research method to be used (quantitative or qualitative)
  3. what is the objective of the research (explain the variables or understand a certain issue or phenomena)
  4. what are the methods to obtain and analyze data.

(This part on methodology will be presented in another chapter)

LANGUAGE AND POWER: A Close Look at Critical Sociolinguistics

Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si

Points of departure :

1. At a glance there is no relation between language and power. Language is within the field of linguistics, while power is the domain of politics. It is true when language is just meant as arbitrary vocal symbos dealing with meanings (which is then studied by semantics), and word and sentence constructions (which are then studied by morphology and syntax) as defined by structural linguists. However, a close and critical look at the language reveals that language is much beyod that scope. Sociologists think of language as institution where a lot of things are there. A new socioliguistic approach to analize the function of language that sustains or maintain inequality is the so-called Critical Sociolinguistics (Mesthrie, et all, 2000: 316).

2. Critical Sosiolinguistics has defined language not just a means of interaction or communication among members of society. Language concerns with culture, social stratification, human mind and feeling, etc. Language is much beyod that function. One of the concerns of critical sociolinguistics is to reveal the way language creates, sustains, and replicates fundamental inequalities in societies. Inequalities are every where: in education, economy, communication, and politics.

3. Prominent theorists who have concern with distribution of power are Louis Althusser and Antonio Gramsci. According to Althusser behind power there is ideology and the ideological processes take place within the various organizations and institutions such as the church, the legal systems, the family, also education system. Althusser terms these practices as Ideological State Apparatus (ISAs). Poulantzas further devides the state system into a repressive apparatus (army, police, and ideological state apparatuses (church, political parties, unions, schools, mass media, and the family). Another influential figure, Antonio Gramsci draws a distinction that power is best practised when the actor can manipulate the situations in such away so as to prevent hikm from coming to the point of decision at all, as the so-called HEGEMONY. At the macro level, hegemony is best practised through language. Successful rule involves the legitimisation and aceptance of power, one of which means is through language.

4. Another example of resistance to powerful language is from Halliday’s perspective of oppositional subcultures within a society. Halliday coins the terms “anti-society” for a group of people who reveal their oppositional status to a dominant society by several means. He further uses the term ‘anti-language’ for the special language of this group. Such a group of people always exist as said by Weber that when there is power, there exists retention to that power. Language is a very instrument to sustain power

MENGENAL LEBIH JAUH TENTANG STUDI KASUS

Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si

Sebagai seorang pengampu matakuliah Metodologi Penelitian, saya sering ditanya tentang masalah penelitian studi kasus. Pertanyaan itu tidak saja dari mahasiswa tetapi juga dari kolega yang punya minat pada metodologi penelitian. Berikut uraiannya.

Dalam tradisi penelitian kualitatif dikenal terminologi studi kasus (case study) sebagai sebuah jenis penelitian. Studi kasus diartikan sebagai metode atau strategi dalam penelitian untuk mengungkap kasus tertentu. Ada juga pengertian lain, yakni hasil dari suatu penelitian sebuah kasus tertentu. Jika pengertian pertama lebih mengacu pada strategi penelitian, maka pengertian kedua lebih pada hasil penelitian. Dalam sajian pendek ini diuraikan pengertian yang pertama.

Selain studi kasus, ada fenomenologi, grounded theory, etnografi, dan etnometodologi yang masuk dalam varian penelitian kualitatif. Penelitian studi kasus memusatkan perhatian pada satu objek tertentu yang diangkat sebagai sebuah kasus untuk dikaji secara mendalam sehingga mampu membongkar realitas di balik fenomena. Sebab, yang kasat mata hakikatnya bukan sesuatu yang riel (realitas). Itu hanya pantulan dari yang ada di dalam.

Sebagaimana lazimnya perolehan data dalam penelitian kualitatif, data studi kasus dapat diperoleh dari semua pihak yang bersangkutan, baik melalui wawancara, observasi, partisipasi, dan dokumentasi. Data yang diperoleh dari berbagai cara itu hakikatnya untuk saling melengkapi. Ada kalanya data yang diperoleh dari wawancara belum lengkap, sehingga harus dicari lewat cara lain, seperti observasi, dan partisipasi.

Berbeda dengan metode penelitian kuantitatif yang menekankan pada jumlah atau kuantitas sampel dari populasi yang diteliti, sebaliknya penelitian model studi kasus lebih menekankan kedalaman pemahaman atas masalah yang diteliti. Karena itu, metode studi kasus dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu gejala atau fenomena tertentu dengan lingkup yang sempit. Kendati lingkupnya sempit, dimensi yang digali harus luas, mencakup berbagai aspek hingga tidak ada satu pun aspek yang tertinggal. Oleh karena itu, di dalam studi kasus sangat tidak relevan pertanyaan-pertanyaan seperti berapa banyak subjek yang diteliti, berapa sekolah, dan berapa banyak sampel dan sebagainya. Perlu diperhatikan bahwa sebagai varian penelitian kualitatif, penelitian studi kasus lebih menekankan kedalaman subjek ketimbang banyaknya jumlah subjek yang diteliti.

Sebagaimana sifat metode penelitian kualitatif pada umumnya, metode studi kasus juga sebaiknya dilakukan terhadap peristiwa atau gejala yang sedang berlangsung. Bukan gejala atau peristiwa yang sudah selesai (ex post facto). Unit of analysis bisa berupa individu, kelompok, institusi atau masyarakat.

Perlu dipraktikkan konsep part and whole dalam penelitian jenis studi kasus. Apa artinya? Penelitian studi kasus harus dilakukan secara dialektik antara bagian dan keseluruhan. Maksudnya, untuk memahami aspek tertentu perlu diperoleh gambaran umum tentang aspek itu. Sebaliknya, untuk memperoleh gambaran umum diperlukan pemahaman bagian-bagian khusus secara mendalam.

Untuk memperoleh pengetahuan secara mendalam, data studi kasus dapat diperoleh tidak saja dari kasus yang diteliti, tetapi juga dari semua pihak yang mengetahui dan mengenal kasus tersebut dengan baik. Data atau informasi bisa dari banyak sumber, tetapi perlu dibatasi hanya pada kasus yang diteliti. Untuk memperoleh informasi yang mendalam terhadap sebuah kasus, maka diperlukan informan yang handal yang memenuhi syarat sebagai informan, yakni maximum variety, yakni orang yang tahu banyak tentang masalah yang diteliti, kendati tidak harus bergelar akademik tinggi.

Pertanyaan yang sering muncul adalah apa yang membedakan penelitian studi kasus dengan penelitian lainnya? Penelitian studi kasus menekankan kedalaman analisis pada kasus tertentu yang lebih spesifik. Metode ini sangat tepat dipakai untuk memahami fenomena tertentu di suatu tempat tertentu dan waktu yang tertentu pula. Misalnya, tentang metode pengajaran matakuliah tertentu, di lembaga pendidikan tertentu dalam waktu tertentu ( yang masih dalam proses).

Pertanyaan lain yang tidak kalah seringnya adalah apa hasil penelitian studi kasus bisa digeneralisasi atau berlaku secara umum. Secara jujur saya risau dengan pertanyaan itu. Sebab, selain istilah generalisasi tidak dikenal dalam metode penelitian kualitatif, hasil studi kasus memang tidak dimaksudkan untuk digeneralisasi, karena lingkupnya sempit.

Sebagai padanannya dikenal istilah transferabilitas, yakni hasil penelitian itu bisa berlaku di tempat lain manakala tempat lain itu memiliki ciri-ciri yang sama dengan tempat atau lokus di mana penelitian itu dilakukan. Transferabilitas semacam itu bisa dilakukan jika penelitian bisa sampai tahap temuan formal, bukan sekadar substantif.

Umumnya penelitian hanya berakhir pada temuan substantif, yakni ketika masalah yang diajukan telah dijawab berdasarkan data. Padahal, maslh ada satu tahap lagi yang harus dilalui jika diharapkan penelitian menjadi karya ilmiah yang baik, yaitu tahap temuan formal, berupa thesis statement dari hasil abstraksi temuan substantif. Selamat mencoba!


Perbedaan Paradigma Positivism dan Interpretivism

Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si

NO.

AKSIOMA

PARADIGMA

POSITIVISM

INTERPRETIVISM

1.

Hakikat Realitas

Tunggal, dapat dipilah-pilah

Jamak, holistik

2

Hubungan peneliti dengan yang diteliti

Terpisah (peneliti tidak harus ke lapangan/boleh orang lain).

Interaktif (peneliti harus ke lapangan). Instrumennya adalah peneliti sendiri

3.

Kemungkinan generalisasi

Generalisasi yang bebas konteks

Generalisasi terikat pada konteks

4.

Kemungkinan hubungan sebab akibat

Hubungan antara sebab akibat jelas

Hubungan sebab dan akibat tidak jelas

5.

Peranan nilai (value)

Bebas nilai (value free)

(Penelitian dengan metode yang sama akan menghasilkan nilai yang sama)

Terikat pada nilai

(value bound) Penelitian dengan metode dan objek yang sama dapat memperoleh hasil berbeda

6.

Objek

Menekankan produk

Menekankan proses

7.

Posisi Teori

Masalah – teori – data (apriori)

logiko hipotetico verifikatif (deduktif)

Masalah – data – teori

(a posteriori) induktif

8.

tujuan (dalam kaitan dengan teori)

menguji teori

menemukan teori

9.

Tingkat subjektivitas

Objektif

Subjektif

Kriteria Data

Positivistik

Interpretif

Sahih (validity)

Percaya (credibility)

Andal (reliability)

Bergantung (dependability)

Objektif (objectivity)

Pasti (confirmability)

Rampat (generality)

Alih (transferability)

Tidak ada komentar: