31.5.11

RINGKASAN DISERTASI

ritten by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, Soeharto hampir tidak memiliki pesaing, bahkan selalu terpilih sebagai presiden melalui proses musyawarah untuk mufakat. Fenomena selama masa Orde Baru tersebut berbeda secara mencolok dari fenomena pasca-Orde Baru. Karena itu, bisa dikemukakan bahwa kejatuhan Orde Baru mengakibatkan pergeseran struktur kekuasaan, dari pola consensual elite ke competitive elite (Agger, Goldrich, and Swanson, 1973: 322-342).

Para elit politik Indonesia seperti Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, B. J. Habibie, Amien Rais, dan Akbar Tandjung tidak hanya bersaing ketika berlangsung Pemilu dan dalam Sidang Umum MPR RI 1999, tetapi juga masih terlibat dalam persaingan ketika Presiden Abdurrahman Wahid sudah menjabat sebagai Presiden RI keempat. Persaingan sangat keras antar elit politik pasca Orde Baru tidak hanya tampak dari dinamika tindakan politik (political behavior), tetapi juga sangat jelas dari dinamika wacana politik (political discourses) mereka.

Setelah terlibat dalam pertikaian politik cukup sengit, dengan bukti diselenggarakannya Sidang Istimewa MPR RI, Abdurrahman Wahid menerbitkan Dekrit Presiden (23 Juli 2001) dengan isi pokok membekukan DPR dan MPR, membubarkan Partai Golkar, dan mempercepat Pemilu dalam waktu satu tahun. Sebagai strategi politik terakhir, dekrit ini ternyata tidak efektif sebagaimana diharapkan. Sebaliknya, dekrit itu pula yang justru mempercepat kejatuhan Abdurrahman Wahid, sebab pada tanggal yang sama, Sidang Istimewa MPR memberhentikan KH. Abdurrahman Wahid dari jabatan Presiden. Selanjutnya, Megawati Soekarnoputri ditetapkan menjadi Presiden RI kelima menggantikan Abdurrahman Wahid. Tiga hari kemudian (26 Juli 2001), Hamzah Haz dilantik sebagai wakil Presiden RI kesembilan menggantikan Megawati Soekarnoputri.

Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 s. d. 23 Juli 2001) memang sangat pendek. Namun demikian, begitu banyak peristiwa politik yang bisa dipelajari dari masa kepresidenan ini. Bila politik diartikan sebagai upaya memperoleh, menggunakan, mempertahankan, dan mengendalikan kekuasaan, maka bukan kekuatan tenaga dan senjata yang banyak digunakan oleh para pelakunya, melainkan justru kekuatan bahasa dan wacana yang secara sangat jelas mereka gunakan.

Berbeda dari kecenderungan umum ilmu politik yang lebih menggunakan penghampiran positivistik dan atau behavioristik, penelitian ini mengajukan perspektif hermeneutika. Dalam perspektif ini, praktik berbahasa dan berwacana niscaya dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu (Fowler, 1991: 41-42). Gejala ini yang kemudian melahirkan pragmatika (pragmatics). Makna suatu ungkapan, menurut tafsir pragmatika harus ditelusur dalam dunia gagasan penutur atau penulisnya. Bila pengkaji berupaya mengungkap makna wacana bertolak dari penutur atau penulisnya, berarti menggunakan penggolongan yang oleh Fay (1996) pengkaji tersebut telah menerapkan perspektif pragmatika, yang tidak lain adalah hermeneutika-intensional (intentional-hermeneutics).

Persoalannya, walaupun suatu wacana atau wicara ditulis atau dituturkan oleh seseorang, sesuai dengan hakikat bahasa, bagian terbesar dari wacana tidak ditujukan untuk diri sendiri. Dengan demikian, makna sebenarnya suatu wacana atau wicara justru harus dipahami sebagaimana ditafsirkan oleh pasangan komunikasinya. Gejala ini pula yang agaknya menarik perhatian Gadamer, sehingga dia pun mengajukan perspektif hermeneutikanya. Berdasarkan pemaknaan yang diberikan terhadap wacana yang dilontarkan oleh pasangan komunikasinya, maka menurut hermeneutika Gadamerian (Gadamerian Hermeneutics) makna wacana bukan lagi sekadar maksud (intention) penutur, tetapi juga penerimaan (perception) pendengar.

B. Fokus dan Tujuan Penelitian

Secara hipotetik, konflik politik antar elit selama pemerintahan Abdurrahman Wahid terjadi karena wacana politik yang dia kembangkan, baik secara sengaja maupun tidak, telah ditafsir secara berbeda oleh pesaing-pesaing politiknya. Karena itu, pertanyaan umum yang kemudian menjadi sangat penting untuk dijawab adalah: apakah makna wacana politik Presiden Abdurrahman Wahid dalam perspektif hermeneutika Gadamerian? Secara lebih spesifik, fokus penelitian ini adalah: (1) apakah makna wacana politik Presiden Abdurrahman Wahid bagi Megawati Soekarnoputri? (2) apakah makna wacana politik Presiden Abdurrahman Wahid bagi Amien Rais? (3) apakah makna wacana politik Presiden Abdurrahman Wahid bagi Akbar Tandjung?

Bertolak dari rumusan masalah tersebut, penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh pemahaman interpretif tentang wacana politik Abdurrahman Wahid menurut perspektif hermeneutika Gadamerian. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah: (1) menghasilkan pemahaman interpretif tentang wacana politik Presiden Abdurrahman Wahid menurut penafsiran Megawati Soekarnoputri, (2) menghasilkan pemahaman interpretif tentang wacana politik Presiden Abdurrahman Wahid menurut penafsiran Amien Rais, (3) menghasilkan pemahaman interpretif tentang wacana politik Presiden Abdurrahman Wahid menurut penafsiran Akbar Tandjung.

C. Manfaat Penelitian

Kontribusi teoretik formal yang diharapkan dari penelitian ini adalah mengisi kekosongan teori tentang hubungan bahasa dan kekuasaan dalam konteks struktur kekuasaan competitive elites. Benarkah proposisi yang menyatakan bahwa bahasa dan atau praktik wacana bisa digunakan sebagai piranti pemerolehan dan pelanggengan kekuasaan? Bila benar, prasyarat apa yang harus dipenuhinya? Perspektif hermeneutika Gadamerian dipilih karena dipandang berpotensi untuk mengoreksi proposisi simplisistik tentang hubungan bahasa dan kekuasaan.

Kontribusi toretik substantif yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman interpretif terhadap wacana politik Abdurrahman Wahid sebagaimana ditafsirkan oleh para pesaing politiknya. Lebih spesifik, kajian ini menambah berbagai studi tentang Abdurrahman Wahid seperti karya: Douglas E. Ramage (1995), Maskuri Abdillah (1995), Greg Fealy & Greg Barton (1997), Arief Affandi (1997), Dedy Djamaluddin Malik & Idi Subandy Ibrahim (1998), Ma'mun Murod Al-Brebesy (1999) dan Greg Barton (2002).

Secara praktis penelitian ini bermanfaat tidak hanya sebagai bahan perenungan elit politik, tetapi juga bagi seluruh bangsa untuk tidak lagi terjebak dalam berbagai bentuk konflik politik yang kontra produktif, termasuk tidak memancing konflik dengan pernyataan-pernyataan yang bersifat kontroversial.


II. KAJIAN PUSTAKA

A. Bahasa, Wacana dan Kajian Politik

Istilah wacana diperkenalkan dan digunakan oleh para linguis di Indonesia dan negeri-negeri berbahasa Melayu lainnya sebagai terjemahan dari istilah bahasa Inggris discourse. Maka discourse analysis pun diterjemahkan menjadi analisis wacana (Oetomo, 1993: 4). Terkait penggunaan analisis wacana dalam kajian politiko-linguistik, berikut disajikan tinjauan terhadap perdebatan konseptual wacana politik, perdebatan hermeneutika Hirschian dan Gadamerian, perkembangan terakhir (state of the arts) kajian terkait, serta posisi penelitian ini dalam konteks perkembangan terakhir kajian wacana politik di Indonesia.

Dalam perkembangannya istilah wacana juga dipakai oleh berbagai disiplin ilmu, mulai dari politik, sosiologi, linguistik, sastra, psikologi, komunikasi, dan sebagainya. Masing-masing kadang-kadang memiliki perbedaan dalam konsep dan pendekatan yang dipakai. Dalam sosiologi, wacana merujuk terutama pada hubungan antara konteks sosial dari pemakaian bahasa. Tetapi umumnya para sosiolog lebih banyak menggunakan istilah diskursus beserta adjektivanya, yakni diskursif. Para ilmuwan Indonesia mulai memperhatikan diskursus sejak pertengahan 1980-an dengan naik daunnya ancangan pascastrukturalis dalam antropologi, sosiologi, dan ilmu politik.

Dalam ilmu politik, istilah wacana yang diterjemahkan dari kata discourse tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Foucault (1972) yang melihat realitas sosial sebagai arena diskursif (discursive field) yang merupakan kompetisi tentang bagaimana makna dan pengorganisasian institusi serta proses-proses sosial itu diberi makna melalui cara-cara khas. Dalam pengertian demikian, wacana merujuk pada berbagai cara yang tersedia untuk berbicara atau menulis untuk menghasilkan makna yang di dalamnya melibatkan beroperasinya kekuasaan untuk menghasilkan objek dan efek tertentu (Sparringa, 2001: 1).

Dengan demikian, telaah wacana memusatkan pada penggunaan bahasa. Sebab, bahasa merupakan aspek sentral dari penggambaran suatu subjek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya. Menurut Rakhmat (1996: 50) tak berlebihan dikatakan bahwa ideologi membentuk dan dibentuk oleh bahasa. Karena itu selain bahasa, ideologi juga merupakan konsep sentral dalam Analisis Wacana. Sebab, teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan ideologi tertentu (Eriyanto, 2001: 13).

Menurut Collins (1975: 114) secara umum, semua percakapan adalah negosiasi. Dalam telaahnya, terdapat enam jenis percakapan, yaitu: percakapan praktis, percakapan ideologis, diskusi intelektual, percakapan hiburan, gosip dan percakapan pribadi. Di antara sejumlah percakapan tersebut, maka yang paling serius dan menekan adalah percakapan ideologis (ideology of legitimizing talks).

Percakapan ideologis membuat masyarakat terpilah menjadi dua kubu. Karena itu, orang akan cenderung memilih untuk berbicara dengan orang lain yang memiliki kemiripan dengan dirinya, serta menghindarkan diri dari berbicara dengan orang lain yang memiliki pandangan bertentangan (Collins, 1975: 121). Dalam percakapan ideologis itu pula, ada kecenderungan untuk terjadi persaingan antar-berbagai pandangan.

Wacana bisa dipandang sebagai perekat antara pengetahuan (knowledge) dan kekuasaan (power). Melalui metode genealogi, Foucault (1972) ingin mengungkap hubungan timbal balik antara sistem kebenaran dengan mekanisme kuasa. Teknologi kuasa, misalnya, menurut Foucault, semakin mencapai sasarannya dalam rejim disiplin. Pendisiplinan merupakan cara kuasa melaksanakan kontrol terhadap individu agar patuh dan berguna. Secara ringkas, semakin individu diketahui, maka semakin mudah ditaklukkan. Demikian pula sebaliknya, semakin individu ditaklukkan maka semakin individu itu diketahui. Secara unik, Foucault merasa hanya perlu memberi tanda garis miring (/) antara kuasa dan pengetahuan, sehingga tertulis kuasa/pengetahuan.

Pandangan Foucault (1972) sejalan dengan Barthes bahwa kekuasaan modern telah lahir dengan begitu lembut melalui mekanika sosial dan sangat mungkin masuk dalam relung-relung kepentingan, tidak hanya negara, kelas, grup, tetapi juga di dalam fashion, opini publik, hiburan, olahraga, berita, informasi, keluarga dan hubungan pribadi. Realitas demikian oleh Barthes disebut sebagai wacana kekuasaan (discourse of power). Barthes menyatakan: “You carry out a revolution to destroy power, and it will be reborn, within the new state of affairs” (Eco, 1986: 240).

Karena merupakan penghubung antara kuasa dan pengetahuan, maka wacana pun bisa berperan sebagai rejim diskursif (discursive regime). Sebagai rejim kekuasaan, suatu wacana berfungsi seperti struktur. Menurut Easton (1990), struktur bisa berfungsi: (1) sebagai penentu (as determinant), (2) sebagai kendala (as constraint), dan (3) sebagai pelancar (as facilitative) tindakan agen.

Struktur berfungsi sebagai penentu tindakan apabila struktur diperlakukan sebagai faktor penjelas, atau memiliki pengaruh kuat dan langsung, terhadap peristiwa sosial. Struktur berfungsi sebagai kendala apabila struktur ternyata membatasi pilihan tindakan individu dan kelompok. Sebaliknya, struktur berfungsi sebagai pelancar apabila struktur justru memberi peluang atau kemungkinan bagi individu atau kolektiva untuk bertindak (Easton, 1990).

Flax (dalam Sparringa, 2001), melihat bahwa aturan-aturan yang terdapat dalam sebuah wacana memungkinkan orang memproduksi sebuah pernyataan dan menghasilkan klaim kebenaran atasnya. Implikasinya, setiap wacana berpotensi untuk memasukkan atau mengeluarkan (inclusion/exclusion). Demikian pula, suatu wacana (prior discourse) bisa mengajukan klaim kebenaran, sedangkan wacana lain melakukan kritik atau penyerangan (counter-discourse), dan berlanjut hingga muncul pembelaan (apollogetic discourse), atau malah serangan balik (counter-counter discourse).

Selaras dengan uraian tersebut, AS Hikam (1999: 179) mengemukakan bahwa sebagian besar tindakan manusia, termasuk tindakan-tindakan politik, dilakukan melalui dan dipengaruhi oleh penggunaan dan artikulasi kebahasaan. Karena itu, sangat wajar menurut dia bila bahasa menempati posisi penting dalam telaah ilmu-ilmu sosial. Khususnya dalam telaah politik, maka akhir-akhir ini pemahaman lewat wacana bahasa (discourse) semakin diakui pentingnya, terutama setelah munculnya pascamodernisme dan pascastrukturalisme dalam lapangan filsafat dan epistemologi modern.

B. State of the Arts Kajian Terkait

Iedema dan Wodak (1999: 1) menyatakan bahwa beberapa tahun terakhir studi wacana telah menarik perhatian para pakar ilmu sosial, namun jumlahnya masih sangat terbatas. Jurnal Discourse & Society (1999: 6) memuat hasil studi wacana politik yang dilakukan Strachle, Muntigl, Wodak, Sedlak dan Weiss mengenai pidato-pidato politik para pemimpin Uni Eropa tentang upaya penyelesaian pengangguran yang melanda kawasan itu. Studi ini menemukan bahwa logika semiotika dan metafor sangat menentukan keberhasilan perjuangan politik (political struggle). Menurut Chilton (1996: 74) dalam wacana politik metafor memiliki banyak manfaat, antara lain untuk persuasi, legitimasi, solidaritas kelompok, dan untuk memproduksi konsep-konsep baru tentang masalah yang dihadapi. Selain itu, metafor dipakai untuk menjelaskan hal-hal yang sangat rumit menjadi sederhana dan untuk membangkitkan emosi dan mencapai tujuan tertentu.

Kajian Kelley (1997) menghubungankan wacana politik dengan konteks global dengan mengambil kasus di Filipina di era Presiden Fidel Ramos dengan pendekatan analisis isi. Menurut Kelly, globalisasi tidak saja melahirkan seperangkat proses yang bersifat material, tetapi juga wacana politik yang dipakai penguasa untuk melegitimasi kekuasaan. Globalisasi merupakan konstruksi sosial yang dipakai penguasa sebagai metafor untuk memahami, menjelaskan, dan melegitimasi kekuasaan. Temuan ini mempertegas studi sebelumnya yang dilakukan oleh Leslie (1995), McHuffie (1997), dan Mattelart (1994) yang menemukan bahwa terminologi globalisasi sebagai konstruksi sosial telah dipakai bukan hanya dalam wacana politik, tetapi juga dalam strategi bisnis dan periklanan.

Heinen dan Krasuska (1989) juga melakukan studi wacana politik yang dikaitkan dengan aspek-aspek sosial dan medis praktik aborsi di Polandia. Ditemukan bahwa wacana politik tentang undang-undang aborsi sangat sarat dengan manipulasi makna kata (semantic manipulation) dengan menghilangkan kata-kata netral dan menggantinya dengan sinonim yang bagus, dan redefinisi kata-kata kunci.

Kajian wacana politik dengan menggunakan teks lisan sebagai data dilakukan oleh Blum-Kulka, Blondheim, dan Hacohen (2002) di Israel. Studi wacana ini menemukan bahwa perdebatan politik para politisi Israel diwarnai oleh kompleksitas permainan logika dan gramatika yang sangat tinggi.

Studi wacana politik dikaitkan dengan persoalan rasial khususnya warga kulit hitam Amerika pernah dilakukan oleh Grant dan Orr (1996). Studi ini menemukan bahwa perubahan nama dari “Black” menjadi “African-American” ternyata memiliki implikasi sosial, politis, dan psikologis yang sangat luas. Perubahan tersebut tidak sekadar persoalan linguistik semata, melainkan masalah politik yang akhirnya membentuk wacana politik. Secara politis, pergeseran istilah dari “Black” menjadi “African-American” berimplikasi terhadap perubahan persoalan rasial ke persoalan etnik.

Terkait dengan pilihan bahasa, Edwards (1986) meneliti bentuk wacana politik tokoh politik sebelum dan sesudah kebijakan politik diambil. Studi ini dilakukan pada masa kepresidenan Ronald Reagan. Ditemukan bahwa ada perbedaan sangat mencolok pada pilihan kata pidato politik sebelum dan sesudah kebijakan politik diambil. Karena itu, terdapat hubungan sangat erat antara tipe bahasa yang dipakai dengan konteks atau situasi di mana bahasa tersebut dipakai.

Studi sangat mendalam tentang wacana politik dan bahasa dilakukan oleh Oduori (2002) di Kenya. Menurut Oduori, masyarakat Kenya yang secara umum berpendidikan rendah, miskin, terbelakang, banyak yang buta huruf dimanfaatkan oleh para pemimpin politik untuk mempertahankan kekuasaan mereka melalui politik makna. Menyadari kondisi sosial masyarakat seperti itu, para pemimpin politik memilih terminologi-terminologi khusus dan memanipulasi maknanya untuk mempertahankan status quo. Menurut Oduori, bahasa menjadi salah satu penyebab kemandekan transformasi politik Kenya.

Sementara kajian tentang “wacana dan kekuasaan” yang dilakukan Fairclough (1989) menemukan bahwa ada dua model beroperasinya kekuasaan lewat wacana: (1) kekuasaan “dalam” wacana dan (2) kekuasaan “di belakang” wacana. Kekuasaan “dalam” wacana berkenaan dengan wacana sebagai “arena” relasi-relasi kekuasaan dan diperankan secara aktual. Sedangkan kekuasan “di belakang” wacana menitikberatkan pada bagaimana urutan-urutan wacana sebagai arena diskursif sosial. Dalam pandangan Fairclough, kekuasaan tidak selalu dipegang oleh satu orang atau kelompok sosial tertentu karena kekuasaan hanya dapat diperoleh dan dijalankan lewat perjuangan sosial.

Temuan Fairclough tersebut relevan dengan kajian Fowler (1985) bahwa kekuasaan bukan sesuatu yang alamiah, tetapi artifisial dan harus diperjuangkan. Dengan demikian, kekuasaan “dalam” wacana berarti bahwa wacana adalah arena perjuangan (an arena of struggle), sedangkan kekuasaan “di belakang” wacana berarti bahwa wacana adalah sesuatu yang dipertaruhkan dalam perjuangan politik. Keberhasilan membentuk wacana sangat menentukan keberhasilan perjuangan politik.

C. Keaslian dan Posisi Kajian

Realitas sosial politik di Indonesia juga sudah banyak memperoleh perhatian para ahli melalui berbagai pendekatan. Melalui beragam pendekatan, Studi Kahin (1952) tentang diskursus nasionalisme dan revolusi Indonesia, yang merupakan karya penting pertama orang Amerika tentang Indonesia, menemukan antara lain bahwa tumbuhnya kesadaran politik nasional adalah akibat kebijakan pendidikan kolonial Belanda.

Studi Kahin tersebut menarik Feith (1962) untuk melihat diskursus Pan-Indonesia. Melalui pendekatan historis, Feith menemukan bahwa rintangan etnis merupakan hambatan besar mewujudkan negara bangsa Indonesia. Selain itu, Feith melihat bahwa kondisi geografis justru merupakan faktor penting dalam perkembangan sejarah nasionalisme Indonesia.

Diskursus tentang keindonesiaan ternyata mengundang perhatian ahli lain, seperti Crouch. Melihat wacana politik dari sisi lain, yakni militer dan politik di Indonesia, Studi Crouch (1978) menemukan bahwa persaingan politik di Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh kultur dan tradisi lokal, khususnya Jawa. Karena itu, kultur dan tradisi sekaligus merupakan medan yang diperebutkan oleh para politisi Indonesia.

Studi Anderson (1972) menggunakan perspektif yang sejalan dengan hermeneutika, dan memfokuskan kajiannya pada konsep kekuasaan dalam kosmologi Jawa, Anderson menemukan perbedaan yang mencolok antara konsep kekuasaan dalam tradisi Jawa dan Barat. Berbeda dengan konsep modern tentang kekuasaan, dalam tradisi Jawa kekusaan bersifat homogen, konkret, dan konstan dalam keseluruhan dan tidak berimplikasi moral.

Selain mengkaji tentang konsep kuasa dalam tradisi Jawa dan membandingkannya dengan konsep Barat, Anderson (1966) juga pernah melakukan kajian mendalam tentang bahasa (Indonesia) dalam wacana politik Indonesia. Karya Anderson “The Language of Indonesian Politics” merupakan salah satu karya yang pertama kali mengkaji tentang bahasa politik Indonesia dan sampai sekarang menjadi model untuk menjelaskan alam pikiran Indonesia kontemporer melalui analisis pemakaian, penyebaran, dan perkembangan historis dari istilah-istilah yang dianggap krusial.

Kajian Anderson diteruskan oleh Michael van Langenberg dengan mengindentifikasi 40 kata kunci yang mengekspresikan ideologi Orde Baru di seputar masalah kekuasaan, akumulasi, legitimasi, budaya, dan penentangnya. Wacana yang menginformasikan 40 kata kunci Orde Baru mengartikulasikan suatu bentuk negara yang bersifat otoriter, berketuhanan, berlandaskan hukum, berdasarkan undang-undang dan mengalami perubahan struktural besar-besaran (Hooker, 1996: 59).

Belakangan kajian mengenai wacana politik Indonesia sudah memperoleh perhatian secara serius dari intelektual Indonesia sendiri seperti Ariel Heryanto (1993) mengenai wacana negara dan Daniel T. Sparringa (1997) tentang peranan intelektual dalam wacana politik dan demokrasi di Indonesia era Orde Baru. Dengan menggunakan pendekatan behaviorisme, studi Heryanto menemukan bahwa wacana developmentalisme yang dikembangkan oleh rejim Orde Baru yang sangat hegemonik dianggap telah menghancurkan hampir seluruh sendi-sendi dan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sementara itu, studi Sparringa (1997) tentang peranan dan posisi intelektual dalam wacana demokrasi di Indonesia, mengemukakan bahwa secara umum terdapat tiga macam kelompok intelektual di Indonesia; kelompok Ortodok yang mendukung wacana resmi negara, kelompok Revisionis, merupakan kelompok dengan jumlah terbesar, yang mendukung tetapi juga mempertanyakan beberapa persoalan wacana negara, dan kelompok Oposisionis yang terang-terangan menentang wacana resmi negara dengan memberikan wacana alternatif sebagai cara pemecahan masalah.

Studi wacana politik dan pilihan bahasa (Indonesia) elit politik dalam wacana politik di Indonesia dilakukan oleh Santoso (2001) yang menemukan bahwa dalam membangun wacana politik---baik lisan maupun tulis---elit politik menggunakan tiga macam fitur linguistik, yakni fitur pengalaman, fitur relasi, dan fitur ekspresif.

Studi paling akhir mengenai wacana politik dilakukan oleh Warsono (2002) dengan fokus pada sikap politik kiai NU era Abdurrahman Wahid dalam menghadapi dominasi negara. Analisis wacana ini menemukan bahwa tidak semua kiai bertindak sebagai intelektual organik untuk mempertahankan pemerintahan Abdurrahman Wahid. Ada sekelompok kiai yang bertindak selaku intelektual tradisional, ada kiai yang tetap menjalankan peran profetik, tetapi ada pula kiai yang bertindak sebagai intelektual organik dan tradisional sekaligus. Perbedaan tersebut terjadi karena beragamnya motivasi masing-masing kelompok kiai terkait dengan kekuasaan negara. Tak bisa dihindari variasi fungsi dan motivasi kiai tersebut akhirnya berpengaruh pada wacana politik yang dikembangkan oleh masing-masing kiai.

Apa yang bisa dipetik dari berbagai kajian tentang wacana politik di Indonesia sebagaimana dipaparkan di atas adalah dominasi perspektif negara dalam wacana sejarah Indonesia dapat dijelaskan bahwa setiap rejim pada dasarnya berkepentingan untuk melestarikan kekuasaannya. Dalam rangka itu, mereka selalu berusaha memanfaatkan wacana resmi negara untuk menjaga legitimasi kekuasaannya, serta sebaliknya mendeligitimasi pihak-pihak yang menghendaki perubahan kekuasaan. Hal ini bisa dilihat pada studi Leigh (1991) yang mengkaji buku Tiga Puluh Tahun Indonesia Merdeka berisikan konstruksi sejarah yang sangat legitimate tentang Soeharto dan Orde Baru. Menurut Leigh, buku tersebut sarat dengan konstruksi yang sangat mendiskreditkan Soekarno dan tak sedikit pun mengungkap kontribusi-konstribusi positif Soekarno dalam sejarah Indonesia.

Dari hasil pelacakan secara intensif terhadap berbagai kajian mengenai wacana politik dalam konteks Indonesia tersebut, baik secara substantif maupun formal, sejauh ini belum ada yang menggunakan perspektif hermeneutika, apalagi hermeneutika Gadamerian. Kendati telah ada beberapa kajian lewat pendekatan hermeneutika sebagaimana dipaparkan, semuanya menggunakan perspektif hermeneutika Intensionalisme atau Hirschian, bukan Gadamerian. Jadi, semua kajian belum menempatkan hermeneutika sebagai pespektif yang relevan bagi kajian ilmu-ilmu sosial. Potensi tersebut menjadi kekhususan penelitian ini. Karena itu, selain untuk memperkaya kajian-kajian sejenis sebelumnya penelitian ini diharapkan menjadi varian lain kajian politik.

D. Hermeneutika dan Kajian Wacana Politik

Dalam tinjauannya tentang praktik wacana (discursive practice), Hikam (1999) menyebut ada dua penghampiran utama dalam kajian bahasa dan politik. Penghampiran pertama adalah empirisisme-positivisme, yang memandang bahasa sebagai refleksi kategori-kategori mental-kognitif manusia yang dianggap sebagai salah satu unsur alaminya. Berdasarkan atas cara pandang epistemologi seperti ini, maka bahasa lantas berperan sebagai jembatan antara manusia dengan obyek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala dan distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman-pengalaman empiris. Salah satu ciri filsafat positivisme adalah pemisahan yang tegas antara pikiran dan realitas.

Penghampiran kedua adalah fenomenologi yang berupaya mengoreksi kegagalan empirisisme-positivis dalam memahami locus subyek dan hubungannya dengan obyek dalam wacana. Dalam perspektif epistemologi ini, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas obyektif belaka dan yang terpisahkan dari subyek sebagai penyampai beragam pernyataan. Kunci pokok kerangka kerja epistemologi fenomenologi dalam mencari perkaitan antara bahasa dan tindakan sosial adalah intersubyektivitas, karena lewat hubungan ini pula pembentukan makna atau konstruksi sosial atas realitas terus-menerus dilakukan oleh anggota masyarakat.

Fenomenologi justru menganggap peran subyek sangat sentral dalam kegiatan-kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini, subyek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud (intentionality) tertentu dalam setiap interpretasi yang diperlukan. Bahasa dan wacana, menurut pemahaman fenomenologi, justru ‘diatur dan dihidupkan oleh pengucapan-pengucapan yang bertujuan’. Setiap pernyataan adalah tindakan ‘penciptaan makna’, yakni ‘tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara (Hikam, 1999: 182).

Sebegitu jauh, Hikam (1999) lebih mengedepankan maksud dan makna sebagaimana dikehendaki oleh penutur wacana daripada maksud dan makna sebagaimana ditangkap oleh penerima wacana. Padahal, praktik wacana niscaya tidak berlangsung dalam kesendirian. Demikian pula, merupakan keniscayaan pula bahwa setiap pelaku praktik wacana --- selain sebagai penutur wacana --- adalah juga penerima wacana. Karena itu, kajian terhadap makna sebagaimana ditangkap oleh penerima wacana yang justru menggambarkan bahwa praktik wacana berlangsung dalam situasi interaktif dan melibatkan intersubjektivitas.

Terkait dengan aliran hermeneutika yang dipandang cocok dan peka terhadap persoalan interaksi dan intersubjektivitas tersebut, berikut secara umum diuraikan perkembangan gagasan hermeneutika, beberapa varian hermeneutika dan signifikansi hermeneutika bagi kajian politik. Selanjutnya, telaah lebih rinci ditujukan pada hermeneutika Gadamerian dan penerapannya.

Menurut Howard (2001: 23), hermeneutika tidak muncul tiba-tiba sebagai suatu daftar khusus dalam khasanah ilmu pengetahuan, tetapi merupakan suatu subdisiplin teologi yang sudah muncul sangat-sangat awal dalam sejarah peradaban manusia yang mencakup kajian metodologis tentang otentikasi dan penafsiran teks. Namun, dalam kurun berikutnya, lingkupnya berkembang dan mencakup masalah penafsiran secara menyeluruh (Eagleton, 1983: 66). Sebab, tekstualitas yang menjadi arena beroperasinya kerja hermeneutika telah diperluas maknanya. Teks bukan lagi semata merujuk pada pengertian teks ajaran agama (kitab suci), tetapi juga mencakup teks-teks lain. Bahkan, definisi teks dalam perkembangan hermeneutika lebih lanjut juga kian meluas, bukan lagi teks tertulis tetapi juga lisan dan isyarat-isyarat dengan bahasa tubuh. Karena itu, sikap ‘diam’ seseorang, misalnya, juga bisa dianggap sebagai teks, karena mengundang banyak interpretasi.

Maulidin (2003: 5) berupaya menggambarkan evolusi gagasan hermeneutika dengan mengacu pada tema-tema garapannya. Pada awal perkembangannya, sekitar awal abad pertengahan, hermeneutika digagas sebagai praksis murni yang menggarap tema keagamaan. Hermeneutika, pada tahapan ini, lebih merupakan piranti penafsir ayat suci (eksegesis), khususnya Bible. Perkembangan tahap kedua dari gagasan hermeneutika tampak dari semakin dibutuhkannya metodologi, tidak hanya untuk menggarap tema-tema keagamaan tetapi juga tema-tema kemanusiaan (humaniora). Pertanyaan hermeneutika yang diangkat pun juga bergeser menjadi bagaimana menangkap realitas yang terkandung dalam kitab suci seperti Bible dan bagaimana menerjemahkan realitas tersebut ke dalam bahasa yang dipahami oleh manusia modern.

Dalam perkembangan terakhir ini, hermeneutika dipahami sebagai sebuah teori, metodologi dan praksis penafsiran, yang digerakkan ke arah penangkapan makna dari sebuah teks atau sebuah analog teks, yang secara temporal atau secara kultural berjarak jauh, atau dikaburkan oleh ideologi dan kesadaran palsu (Maulidin, 2003: 6). Apa pun definisi yang digunakan, upaya hermeneutika bermuara pada pemerolehan makna suatu teks atau analog-teks.

Seperti ditegaskan oleh Gibbons (2002: vi) beberapa dekade terakhir para akademisi berusaha menghidupkan kembali metode hermeneutika, sebuah topik tua tetapi muncul sebagai sesuatu yang menarik dan baru dalam aliran filsafat, dengan alasan bahwa penyelidikan terhadap politik dan sains sosial pada dasarnya bersifat interpretif. Mempertegas temuan sebelumnya, Foss et al (1985: 196) menyatakan:

Hermeneutics, then has expanded beyond the analysis of literal texts; it now is considered applicable to all situations-events, and phenomena that can be subjected to interpretation. All of these kinds of phenomena are ”texts” that offer clues about how humans give meaning to their world.

Dengan semakin luasnya penggunaan metode hermeneutika dalam kajian ilmiah yang melibatkan penafsiran, Palmer (1969) mengklasifikasikan cabang-cabang hermeneutika sebagai berikut; (1) interpretasi terhadap Bible disebut exegesis, (2) interpretasi terhadap teks kesusastraan lama disebut philology, (3) interpretasi terhadap penggunaan dan pengembangan aturan-aturan bahasa disebut technical hermeneutics, (4) suatu studi tentang proses pemahamannya itu sendiri disebut philosophical hermeneutics, (5) pemahaman di balik makna-makna dari setiap sistem simbol disebut dream analysis, (6) interpretasi terhadap pribadi manusia beserta tindakan-tindakan sosialnya disebut social hermeneutics. Berdasarkan pengelompokan tersebut, studi ini menurut Grondin (1994: 2) termasuk philosophical hermeneutics.

Sebagai sebuah mazhab pemikiran dan metode filsafat, hermeneutika memang belum berlaku secara universal, tetapi metode ini sangat berguna untuk mendukung pemahaman kita tentang kebenaran dan interpretasi teks secara filosofis, khususnya dalam filsafat ilmu sosial, seni, sejarah, psikologi, teologi, bahasa dan sastra (Gadamer, 1975; xiii; Bleicher, 1980: 1). Karena dikembangkan dalam dataran filsafat, lengkap dengan refleksi radikal dan analisisnya yang sistematis, hermeneutika dipandang sebagai “metode penafsiran” yang cukup representatif dan komprehensif serta memiliki tingkat akurasi tinggi untuk mengolah teks (wacana) termasuk di dalamnya wacana politik. Belakangan, sejalan dengan semakin populernya perspektif post-modernisme, hermeneutika telah menarik minat para ahli di berbagai bidang seperti sastra, linguistik, sosiologi, sejarah, teologi, filsafat, agama, dan lain sebagainya.

Demikian penting keberadaan bahasa bagi kehidupan manusia sehingga manusia tidak mungkin berbuat apa-apa tanpa bahasa. Menurut Gadamer, bahasa bukan dipandang sebagai sesuatu yang mengalami perubahan, melainkan sesuatu yang memiliki ketertujuan di dalam dirinya. Maksudnya, kata-kata atau ungkapan tidak pernah tidak bermakna. Kata atau ungkapan selalu mempunyai tujuan (telos). Jadi, kata atau ungkapan penuh dengan makna (Sumaryono, 1999: 27). Hermeneutika merupakan ilmu untuk memahami atau mengerti makna tersebut. Persoalannya, apa yang dimasud dengan mengerti atau memahami itu? Menurut Gadamer, memahami itu artinya memahami melalui bahasa.

Menurut Gadamer, asal mula bahasa adalah bahasa tutur, yang kemudian disusul bahasa tulis untuk efektivitas dan kelestarian bahasa tutur. Perubahan bahasa tutur menjadi bahasa tulis, menurut Gadamer, mengandung beberapa kelemahan, antara lain bahasa terlepas dari konteks peristiwa kebahasaannya dan kehilangan daya ekspresinya sehingga menjadi tidak hidup (Sumaryono, 1999: 210). Menurut Gadamer, kelemahan bahasa tulis adalah bahasa mengalami alienasi.

E. Hermeneutika Gadamerian

Hans-Georg Gadamer lahir di Marburg (1900). Ia belajar filsafat, antara lain dari Nikolai Hartman, Martin Heidegger dan Rudolf Bultmann pada universitas kota asalnya. Gelar doktor filfasat dia peroleh tahun 1922. Pada tujuh tahun setelah kelulusannya (1929), Gadamer mulai mengajar di Marburg, hingga pada tahun 1937 menjadi guru besar di tempat yang sama. Pernah mengajar di Leipzig (1939), kemudian Frankfurt (1947), dan sejak 1949 mengajar di Heidelberg hingga pensiun.

Karya terbesar Gadamer (Truth and Method) ditulis semula dalam bahasa Jerman (Wahrheit und Methode) terbit pertama kali menjelang dia pensiun (1960). Karya ini, pada dasarnya merupakan dukungan sangat berharga bagi karya salah satu gurunya, Heidegger (Being and Time). Meskipun jelas-jelas merupakan karya filsafat, tulisan Gadamer tersebut telah dibaca tidak hanya oleh para ahli filsafat tetapi juga diminati dan memberikan pengaruh terhadap ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu sosial, dan bahkan ilmu alam.

Seperti judul yang diberikan terhadap bukunya, persoalan hermeneutik pertama yang dikritik oleh Gadamer (1975) adalah tentang hubungan antara metode dan kebenaran. Dia menolak pendapat sangat umum, sejak masa Descartes, bahwa metode merupakan jalan emas menuju kebenaran. Telah diterima begitu saja bahwa prosedur-prosedur metodik bisa menghilangkan gangguan dari unsur-unsur lain, termasuk subjektivitas seorang pengkaji.

Salah satu persoalan penting---yang menjadikan pemikiran Gadamer relevan --- dalam ilmu-ilmu sosial adalah jawaban yang tepat terhadap pertanyaan mengapa (why). Problema ini melahirkan dua aliran utama filsafat ilmu sosial. Kelompok pertama, yang sering disebut sebagai aliran positivisme, mengajukan jawaban berupa penjelasan tindakan manusia (explaining human actions). Kelompok kedua, yang sering disebut sebagai aliran interpretivisme, mengajukan jawaban berupa pemahaman tindakan manusia (understanding human actions). Kaum positivis berupaya mengenali sejumlah penyebab (causes) perilaku, sedangkan kaum interpretivis berupaya menggali alasan (reasons) tindakan.

Menurut pandangan Gadamer, pemahaman yang sebenarnya lebih menunjuk pada bentuk pemahaman pertama, yakni sebagai suatu pemahaman substantif terhadap kebenaran dan bukan pemahaman intensional. Pemahaman intensional, yang mengacu pada keniatan produsen wacana belum bisa dinyatakan sebagai pemahaman yang sebenarnya. Hal ini merupakan ciri utama hermeneutika Gadamer. Jadi, pemahaman bukan sekadar keniatan pelaku tindakan, melainkan kesepakatan bersama.

Understanding (Verstandnis) is first of all agreement (Einverstandnis). So human beings usually understand one another immediately or they communicate (sich veerstandigen) until they reach an agreement. Reaching an understanding (Verstandigung) is thus always: reaching an understanding about something (Gadamer, 1975: 156).

Tampak jelas bahwa suatu makna bersifat baik multivalen atau diadik: multivalen karena tindak intensional atau produknya akan memiliki banyak makna tergantung pada penafsir yang terlibat; dan diadik karena makna hanya muncul dari hubungan antara dua subjek, pelaku dan penafsirnya.

Dalam hermeneutika intensionalisme sebenarnya makna sudah menanti, tinggal ditemukan oleh penafsirnya. Tidak diperlukan kegiatan lain, terutama kegiatan penafsiran agar sesuatu tindakan bermakna, sebab locus makna ada pada kegiatan penciptanya, bukan dari kegiatan khalayak penafsirnya.

Penegasan locus makna bukan pada keniatan pelaku tindakan, tetapi sebagai hasil komunikasi --- ada yang menyebut dialog, dialektika, dan kadang-kadang Gadamer menyebut kesepakatan --- antara pelaku tindakan dengan khalayak penafsirnya merupakan "pembaharuan" yang dilakukan oleh Gadamer terhadap sejumlah kecenderungan hermeneutika sebelumnya.

Implikasi lebih lanjut dari penempatan locus makna ini adalah makna selain niscaya majemuk, makna niscaya juga membaharu. Majemuk karena tergantung pada hasil komunikasi antara produsen teks dengan penafsir. Membaharu karena walaupun bisa saja teksnya tidak mengalami perubahan, tentu ada perubahan pada diri penafsir teks tersebut.

Makna tindak intensional dan produknya tidak bisa merupakan peninjauan kembali atau penemuan kembali niat masa lalu para agen atau menemukan intensionalitas pada tindak-tndak itu sendiri. Tindak yang bermakna menjadi bermakna hanya jika ditempatkan dalam suatu konteks interpretif tertentu oleh seorang interpreter khusus yang melakukannya guna mengejawantahkan maknanya. Bila horison interpretif berbagai interpreter berubah, dimensi-dimensi baru makna akan muncul. Hal ini menyiratkan bahwa makna tindak dan produknya tidak hanya akan berubah di sepanjang waktu namun tidak akan pernah disadari secara pasti. Makna tindak intensional atau produknya akan berbeda bagi orang yang berbeda. Dalam ungkapan lebih ringkas, "… meaning only emerges when it is interpreted, and continues to reemerge with each new interpretation (Fay, 1996: 143).

Unsur penting lainnya dari hermeneutika Gadamer (1975) menyangkut hakikat penafsiran. Penafsiran bukan proses psikologis empati, namun proses membiarkan signifikansi suatu objek atau tindak intensional mengemuka sendiri. Gadamer menguraikan interpretasi sebagai suatu "fusi horison-horison" di mana suatu objek atau tindak yang bermakna yang berasal dari satu dunia konseptual diterjemahkan ke dalam pengertian yang sesuai bagi orang lain.

Hence an essential part of the concept of situation is the concept of "horizon. " The horizon is the range of vision that includes everything that can be seen from a particular vantage point. Applying this to the thinking mind, we speak of narrowness of horizon, of the possible expansion of horizon, of the opening up of new horizons etc. (Gadamer, 1990: 269).

Horison, bagi Gadamer adalah "kepenempatan" (situatedness) semua penafsiran yang terjadi dalam suatu wacana. Horison bergerak sewaktu mereka yang memandang horison itu juga bergerak. Dengan "fusi" (verschmelzung), Gadamer bermaksud menunjuk pada proses penuturan objek asing atau masa lalu kepada penafsir tertentu di tempat atau lingkungan budaya mereka. Jadi penafsiran lebih mudah dan lebih baik dipahami sebagai proses penerjemahan. Penafsir menerjemahkan teks yang diproduksi oleh pelaku.

"Fusi" menunjuk pada pertemuan dua horison sehingga menyatu, yakni ketika perbedaan antara kedua horison telah dihilangkan. Di sini pembaca Gadamer perlu waspada. Hermeneutika Gadamer bukan bersifat subjektivis, yang menyatakan bahwa suatu teks adalah apapun yang dikatakan oleh seorang penafsir mengenai teks tersebut. Ini berarti bahwa meskipun Gadamer mengakui peran aktif penafsir dalam proses aktualisasi makna (Bertens, 1981: 231) tidak berarti bahwa penafsir sekadar membaca secara sendiri terhadap peristiwa-peristiwa dan objek-objek, atau dengan ungkapan lagi sekadar melakukan refleksi-diri. Sebab dalam proses penafsiran ini, penafsir menyertakan semacam cadangan makna yang tersembunyi dalam diri mereka, sehingga dikatakan oleh Fay (1996: 144) bahwa dalam konteks baru, aspek-aspek berbeda dari makna mengemuka.

Pokok pikiran penting berikutnya dari Gadamer (1975) berkenaan dengan siklus hermeneutika (hermeneutic circle). Sebelumnya lazim diterima bahwa pemahaman kita terhadap suatu bagian akan mengubah pemahaman kita pada keseluruhan (Gadamer, 1988: 68). Sebaliknya, pengubahan pada pemahaman kita terhadap keseluruhan akan mengubah pemahaman kita pada bagian, dan seterusnya. Lingkaran hermeneutika sering digambarkan sebagai logika bagian-keseluruhan (part-whole) sebagai berikut (Alvesson and Skoldberg, 2000: 53):

Bagan 2. 1: Lingkaran Hermeneutik

Siklus hermeneutika Gadamer digambarkan agak berbeda, yang pada dasarnya justru merupakan salah satu kekhususan hermeneutikanya. Bagian-bagiannya terdiri dari objek-objek yang ditafsirkan, sedangkan keseluruhannya terdiri atas hubungan antara objek-objek dan berbagai khalayak penafsirnya. Dengan kata lain, dalam hermeneutika Gadamer, siklus hermeneutika terdiri atas pencabangan terus-menerus antara sesuatu yang diinterpretasikan dan interpreternya, karena makna bukan sifat suatu objek namun bidang tempat suatu objek dalam interpretasi. Hanya dengan berhubungan dengan penafsirnya, maka makna objek atau peristiwa teraktualisasi. Keseluruhan, dalam hermeneutika Gadamer adalah gabungan antara yang objek yang ditafsirkan (the interpreted) dan yang menafsirkan (the interpreter). Mengacu pemikiran ini, maka ketika pemahaman atas "keseluruhan teks" menurut Hirsch tercapai, sebenarnya menurut Gadamer itu baru sebagian, sebab makna sejati adalah suatu bahasa bersama, yang di depan diistilahkan sebagai mencapai kesepakatan.

Kalau varian-varian hermeneutika yang lain, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya cenderung menegasi atau cenderung mengabaikan kenyataan bahwa setiap penafsir niscaya memiliki prasangka-prasangka, tradisi, kepentingan praktis, bahasa dan budaya masing-masing, maka Gadamer justru menempatkan hal ini sebagai bagian (part) dari keseluruhan (whole) siklus hermeneutika. Lebih dari itu, interaksi antara objek yang bermakna dengan masyarakat interpretif bukan peristiwa yang terjadi sekali saja.

Pemahaman menuntut partisipasi (understanding as participation). Tidak ada pemahaman terhadap buku, bila tidak ada partisipasi dari para pembacanya. "No text and no book speaks if it does not speak the language that reaches the other person", (Gadamer, 1981: 50). Karena pada dasarnya penafsir berpartisipasi dalam menciptakan makna, maka makna pun niscaya bukan sekadar cerminan, seperti teori mimesis, juga bukan sekadar ulangan, seperti dalam teori reproduksi, melainkan hasil penciptaan kembali.

Interpretation is probably in a certain sense recreation. This recreation, however, does not follow a preceding creative act; it rather follows the figure of the created work that each person has to bring to representation in accord with the meaning he finds in it (Gadamer, 1975: 107).

Sebagai hasil penciptaan ulang, maka makna selain berbeda antara satu orang penafsir dengan penafsir lain, juga bisa berubah-ubah. Ini semua akan membentuk suatu proses pertukaran terus-menerus, sehingga ada perubahan pada makna objek dan hakikat masyarakat interpretif. Lingkaran hermeneutik akan membentuk suatu spiral keberulangan karena interpretasi baru atas objek-objek bermakna di masa lalu mengubah hakikat penafsirnya (Gadamer, 1988: 68). Masyarakat mengubah penafsiran atas objek-objek yang bermakna, dan terus terjadi seperti itu sampai tak terhingga. Tampak bahwa siklus hermeneutika Gadamer membentuk semacam spiral pemahaman yang menautkan objek penafsiran dengan subjek penafsirnya.

Hal yang sama juga berlaku pada peristiwa-peristiwa yang penting dalam sejarah. Makna suatu kejadian sejarah terus berubah dan apresiasi terhadap cara perubahan makna itu merupakan salah satu faktor penyumbang pada perubahan-perubahan di masyarakat.

Dalam proses interpretif, menurut Gadamer, terjadi interaksi antara penafsir dan teks, di mana penafsir mempertimbangkan konteks historisnya bersama dengan prasangka-prasangka sang penafsir seperti tradisi, kepentingan praktis, bahasa dan budaya. Secara ringkas, Maulidin (2003: 27) menggambarkannya sebagai berikut (Periksa bagan 2. 2).

Sebagaimana tampak (Periksa Bagan 2.2.), kerangka pemikiran Gadamer mengandaikan ada dua pihak yang terlibat dalam penafsiran, antara wacana (text) dengan penafsir (intepreter). Kerangka demikian, sejauh hanya diperlukan oleh seseorang untuk menafsirkan karya orang lain memang cukup memadai. Namun demikian, bila seorang peneliti bermaksud menggunakan perspektif Gadamer, maka peneliti yang tentu saja harus melaporkan hasil penelitiannya, tidak bisa dihindari harus melakukan modifikasi agar perspektif tersebut menjadi aplikatif.

Dengan ungkapan lain, sejauh peneliti hanya bermaksud memahami wacana politik Abdurrahman Wahid, maka cukup bagi peneliti untuk memakai kerangka pemikiran Gadamer. Justru yang harus banyak dilaporkan adalah tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan kultur peneliti, serta konteks historis ketika wacana politik yang ditafsirkan muncul.

Akan halnya bila peneliti bermaksud menjangkau pemaknaan yang diberikan oleh orang lain, maka peneliti harus mengumpulkan datanya dari orang lain yang bersangkutan. Dalam hal ini, apa yang sangat diperlukan oleh peneliti adalah tetap peka dan mempertimbangkan tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan kultur orang lain tersebut, serta konteks historis ketika wacana politik yang ditafsirkan muncul. Secara metodologis, ini tampak pada bagan sebagaimana disajikan pada bagian metode penelitian.

Karena menggunakan perspektif Gadamer yang sudah dimodifikasi, alih-alih menggunakan istilah Hermeneutika Gadamer, peneliti memilih istilah Hermeneutika Gadamerian. Kerangka dasar yang digunakan tetap mengedepankan pokok-pokok pemikiran Gadamer, tetapi dilakukan penyesuaian agar kerangka tersebut aplikatif untuk kepentingan penelitian. Secara metodologik, modifikasi yang dilakukan untuk menerapkan perspektif Gadamer telah disajikan pada bagian metode kajian.


III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Metodologik

Ancangan dasar penelitian ini adalah fenomenologi hermeneutik. Berbeda dari tradisi positivistik yang cenderung menjelaskan perilaku manusia, tradisi fenomenologi hermeneutik cenderung mengedepankan eksistensi manusia sebagai sesuatu yang harus ditafsirkan. Namun demikian, karena kajian ini tidak bertujuan memahami wacana politik sebagaimana dipahami oleh pelakunya, tetapi oleh para pesaing politiknya, maka perspektif yang digunakan bukan hermeneutika intensional Hirschian, melainkan hermeneutika Gadamerian.

B. Data dan Unit Analisis

Data penelitian ini bersumber dari pernyataan-pernyataan keempat tokoh politik Indonesia era Presiden Abdurrahman Wahid, baik yang bersifat memulai (prior discourse) maupun yang bersifat menanggapi wacana (counter discourse) pihak lain. Keempat tokoh politik tersebut adalah Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, dan Akbar Tandjung.

Satuan kajian atau unit analisis penelitian ini adalah wacana lisan dan tulis dari empat elit politik yang saling bersaing dan bertikai selama masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, yakni Presiden Abdurrahman Wahid, Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, yang menurut Smelser (1976) keduanya disebut governing elites, Ketua MPR Amien Rais, dan Ketua DPR Akbar Tandjung yang disebut non-governing elites.

Jumlah keseluruhan teks dimaksud mencakup 155 (seratus lima puluh lima) berita Abdurrahman Wahid, 113 (seratus tiga belas) berita Megawati Soekarnoputri, 86 (delapan puluh enam) berita Amien Rais, dan 97 (sembilan puluh tujuh) berita tentang Akbar Tandjung, yang dimuat dalam berbagai surat kabar, serta sebanyak 14 (empat belas) naskah berupa salinan pidato keempat tokoh politik tersebut. Seluruh bahan yang dianalisis ini disebut korpus.

Jumlah keseluruhan teks dimaksud mencakup 155 (seratus lima puluh lima) berita Abdurrahman Wahid, 113 (seratus tigabelas) berita Megawati Soekarnoputri, 86 (delapan puluh enam) berita Amien Rais, dan 97 (sembilan puluh tujuh) berita tentang Akbar Tandjung, yang dimuat dalam berbagai surat kabar, serta sebanyak 14 (empat belas) naskah berupa salinan pidato keempat tokoh politik tersebut. Seluruh bahan yang dianalisis ini disebut korpus.

C. Proses Analisis Data

Dengan menggunakan kategorisasi menurut Smelser (1967), elit politik dikategorikan menjadi dua, yaitu: (1) elit politik pemerintah (governing elites), yaitu Abdurrahman Wahid, dan dalam batas tertentu Megawati Soekarnoputri yang menghasilkan wacana (discourse), dan (2) elit bukan pemerintah (non-governing elites) yang memproduksi wacana tandingan (counter discourse).

Satu wacana (prior discourse) mengajukan klaim kebenaran, sedangkan wacana lain melakukan kritik atau penyerangan (counter-discourse), untuk selanjutnya dibalas lagi oleh wacana pertama dalam bentuk pembelaan (apollogetic discourse), atau malah serangan balik (counter-counter discourse). Dengan demikian, dalam penelitian ini ada tiga unsur penting yang terlibat, yakni discourse, yang menghasilkan counter discourse yang merespon discourse dan peneliti yang menafsirkan counter discourse untuk memperoleh makna discourse sebagaimana bagan berikut.

Dengan mengacu pada hasil pembahasan terhadap asumsi, konsepsi, dan strategi hermeneutika Gadamerian, secara berturut-turut peneliti mengembangkan langkah operasional sebagai berikut:

Pertama, mengumpulkan wacana terpublikasi (published discourse), dilakukan dengan cara mengumpulkan salinan (hardcopy) seluruh berita yang berisi kutipan pernyataan empat orang elit politik era kepresidenan Abdurrahman Wahid.

Kedua, menetapkan wacana interaktif (interactive discourse). Hanya pernyataan yang ditanggapi (responded statement) dan pernyataan yang menanggapi (responding statement) saja yang dikelompokkan ke dalam wacana interaktif, dan akan dianalisis lebih lanjut. Berdasarkan pemetaan yang telah dilakukan terhadap keseluruhan korpus, Abdurrahman Wahid merupakan tokoh politik yang paling banyak memproduksi wacana politik interaktif (268 satuan wacana), disusul oleh M. Amien Rais (221 satuan wacana), Akbar Tandjung (167 satuan wacana), dan terakhir Megawati Soekarnoputri (163 satuan wacana).

Ketiga, menelusuri dan menelaah wacana pendahulu. Berdasarkan hasil langkah sebelumnya, langkah penelusuran dan telaah wacana pendahulu (prior discourse) ini dilakukan dengan cara mengumpulkan baik salinan teks lengkap, maupun rekaman pernyataan langsung keempat elit politik nasional era kepresidenan Abdurrahman Wahid sebagai wacana pendahulu yang mengandung makna intensional (intentional meaning). Penelusuran dan penelaahan muatan terhadap wacana pendahulu ini dilakukan masih dalam kerangka hermeneutika Hirschian.

Keempat, menelusuri dan menelaan proses diadik pemaknaan (diadict process of signification). Ini dilakukan sebagai kebalikan dengan cara mengumpulkan baik salinan teks lengkap, maupun rekaman pernyataan yang menanggapi wacana pendahulu keempat elit politik nasional era kepresidenan Abdurrahman Wahid sebagai wacana tanggapan. Ini dilakukan sesuai dengan asumsi hermeneutika Gadamerian, bahwa makna hanya muncul dari hubungan antara sekurang-kurangnya dua subjek, penutur dan pendengar.

Kelima, menelaah dan mengungkap keserba-maknaan wacana (meaning multivalence of discourse). Langkah ini dilakukan dengan menentukan arah tanggapan baik positif (pro-discourse), netral (neutral discourse), maupun negatif (counter discourse), yang diberikan oleh satu atau lebih elit politik terhadap wacana pendahulu. Langkah ini harus dilakukan sesuai dengan asumsi hermeneutika Gadamerian, bahwa proses pemaknaan (signifying process) tidak bisa dihindari akan menghasilkan ragam makna sesuai dengan latar belakang, kedudukan dan kepentingan masing-masing penafsir. Dari langkah ini, diperoleh peta konflik sementara antar keempat elit politik yang dikaji.

Keenam, mengembangkan pemahaman teoretik substantif (substantive theory). Langkah ini dilakukan dengan menerapkan secara adaptif paradigma penyandian (coding paradigm) yang dikembangkan oleh Strauss (1990: 27-28). Paradigma penyandian ini mencakup kondisi penyebab, interaksi para pelaku, strategi dan siasat, serta akibat-akibat. Penelusuran kembali dilakukan untuk menemukan kondisi penyebab munculnya suatu wacana pendahulu, interaksi diadik pemaknaan oleh antar elit politik, strategi dan siasat yang menghasilkan multivalensi makna, dan akibat-akibat yang timbul dari multivalensi makna tersebut.

Ketujuh, mengembangkan pemahaman teoretik formal (formal theory). Langkah pengembangan pemahaman teoretik formal dilakukan dengan cara menghapuskan muatan substantif (substantive content) dalam model teoretik yang diajukan, sehingga perhatian dan pemikiran tertuju pada sejumlah konstruk formal (formal constructs).


IV. TEMUAN DAN IMPLIKASI

A. Temuan Penelitian

Berdasarkan paparan realis tentang wacana dan kontra wacana politik keempat elit politik Indonesia era pemerintahan Abdurrahman Wahid, berikut disajikan hasil ringkasan temuan penelitian.

1. Wacana Politik Abdurrahman Wahid

Berbagai wacana politik Abdurrahman Wahid menampakkan sikap pribadi yang menonjol, yaitu: optimisme berlebih, keberanian berwacana, kecenderungan mereduksi dan menyederhanakan persoalan, kelugasan ungkapan, hingga kemasa-bodohan terhadap pandangan dan tanggapan pihak lain. Gaya berwana Abdurrahman Wahid terkesan spontan-konfrontatif. Keberanian menemui Tomy Soeharto, menyatakan demonstrasi sebagai digerakkan oleh tiga musuh politiknya, menyatakan keadaan darurat, mengeluarkan maklumat, hingga puncaknya menerbitkan dekrit untuk membekukan Partai Golkar, meminta para pejabat TNI/POLRI mengundurkan diri, membubarkan MPR, dan memerintahkan percepatan Pemilu, menggambarkan gaya berwacana-politik yang spontan-konfrontatif. Karena spontanitas ini, konsistensi antar wacana kurang terjaga. Demikian pula korespondensi antara pernyataan dengan kenyataan kurang terpikirkan. Walhasil, wacana politik Abdurrahman Wahid tak mampu lagi mendukung perjuangan politiknya. Abdurrahman Wahid tidak mampu memetik manfaat kekuatan bahasa atau wacana politik sebagai piranti kepentingan politik. Kelemahan wacana politik Abdurrahman Wahid berhasil dimanfaatkan oleh para pesaing politiknya.

a. Tema Kekuasaan

Tema kekuasaan merupakan tema utama pertama wacana politik Abdurrahman Wahid. Kekuasaan dihayati sebagai kemampuan mempengaruhi orang lain, baik karena memang didasarkan pada ketentuan formal (kewenangan), maupun karena sosok kepemimpinan seseorang (kharisma). Abdurrahman Wahid bukan hanya seorang Presiden dengan sejumlah kewenangan, tetapi juga seorang pemimpin berpengaruh.

Penggunaan kewenangan harus transparan, dan disebarkan. Kewenangan tidak boleh digunakan untuk mengendala kebebasan dan melanggar hak-hak asasi manusia. Kekuasaan pemerintah tidak boleh digunakan secara sewenang-wenang karena harus mempertimbangkan dampaknya bagi kemanusiaan.

Walaupun pernah digunakan sebagai semacam “ancaman”, Abdurrahman Wahid tidak pernah menggunakan pengaruhnya atas para pengikutnya untuk melakukan kekerasan. Kekuasaan kharismatik justru harus digunakan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.

b. Tema Demokrasi

Demokrasi merupakan tema utama dalam wacana politik Abdurrahman Wahid. Pemilik kedaulatan adalah rakyat. Rakyat merupakan penilai paling penting bagi kinerja Presiden. Lembaga perwakilan (DPR dan MPR) dinilai sebagai tidak mewakili rakyat. Pemilu merupakan forum penilaian rakyat terhadap kinerja Presiden, serta forum pertanggung-jawaban Presiden kepada rakyat. Sebagai Presiden, Abdurrahman Wahid menyadari dirinya sangat populis, memahami kehendak rakyat. Abdurrahman Wahid tidak hanya merasa populis dan mendapat dukungan politik dari rakyat, tetapi juga merasa memiliki pengikut. Karena itu, Abdurrahman Wahid menghayati dirinya laksana Presiden dengan legitimasi seperti hasil pemilihan langsung oleh rakyat.

c. Tema Masyarakat Sipil

Pembentukan masyarakat sipil dengan menghormati dan menghargai kebebasan warga negara merupakan tema terbesar kedua dalam wacana politik Abdurrahman Wahid. Sebagai Presiden, tugas utama Abdurrahman Wahid adalah menciptakan kebebasan bagi seluruh warga negara. Menciptakan kebebasan berarti mengakui dan menghormati hak-hak asasi manusia dan menegakkan hak-hak sipil masyarakat. Setiap manusia berkebebasan untuk berbicara, melakukan apa pun yang dinilai baik, berkumpul atau berorganisasi, dan berpolitik sesuai aspirasinya, serta berpartisipasi politik secara otonom.

d. Tema Supremasi dan Penegakan Hukum

Supremasi hukum dan penegakan hukum merupakan tema terbesar ketiga yang diwacanakan oleh Abdurrahman Wahid. Penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, menurut Abdurrahman Wahid merupakan tugas utamanya sebagai Presiden. Namun demikian, pemahaman terhadap konsep supremasi dan penegakan hukum menurut Abdurrahman Wahid berbeda dari elit politik lain. Abdurrahman Wahid sering melontarkan tuduhan kepada pihak lain tetapi tidak didukung oleh bukti-bukti, sedangkan kalau ada tuduhan terhadap dirinya, Abdurrahman Wahid selalu menantang untuk dibuktikan secara hukum. Undang-undang, menurut Abdurrahman Wahid berada di atas perumusnya, lembaga legislatif. Kasus Bulog dan bantuan Sultan Brunei harus dibuktikan secara hukum, baru diproses secara politik. Memorandum tak berlandasan hukum, Sidang Istimewa melanggar hukum, POLRI mengabaikan perintah sama dengan melawan hukum.

e. Tema Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik

Penyelenggaraan pemerintah yang baik (good governance), tetapi tidak menyertakan pemerintahan yang bersih (clean goverment) merupakan tema terbesar keempat dalam wacana politik Abdurrahman Wahid. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik berciri memiliki akuntabilitas publik, dekonsentrasi kekuasaan atau kewenangan, transparansi penggunaan kewenangan, pemisahan antara agama dan politik, pemisahan antara ranah profesional dengan personal, berdasarkan penalaran logik, berdasarkan asas profesionalisme dan kompetensi, tetapi tidak boleh terjebak dalam rutinisme termasuk keprotokolan kantor dan pejabat pemerintah.

f. Tema Kepentingan Nasional

Kepentingan nasional merupakan tema terbesar kelima dalam wacana politik Abdurrahman Wahid. Politisi harus menjadi negarawan yang menjaga kelestarian dasar negara, keutuhan wilayah dan kesatuan nasional. Untuk itu kebersamaan sosial, kesediaan melakukan rekonsiliasi nasional, dan menjaga stabilitas nasional harus dilakukan oleh para politisi. Para politisi tidak boleh mementingkan golongan dan perseorangan.

g. Tema Humanisme

Humanisme merupakan tema terbesar keenam dalam wacana politik Abdurrahman Wahid. Humanisme berarti anti kekerasan, tidak hanya kekerasan fisik tetapi juga kekerasan simbolik termasuk kesediaan menghentikan kebiasaan saling menghujat, menghormati manusia karena kemanusiaannya, kesediaan melakukan dialog terus-menerus dengan siapa pun yang berbeda, memiliki toleransi tinggi terhadap setiap perbedaan, serta kesediaan hidup bersama saling menghargai kemajemukan sebagai akibat kebebasan.

h. Tema Relasi Elit dan Massa

Persoalan antar elit dan antara elit dengan massa merupakan tema terbesar ketujuh dalam wacana politik Abdurrahman Wahid. Seharusnya, di antara elit harus ada jalinan hubungan kooperatif serta harus dibangun solidaritas antar elit. Namun demikian, menurut Abdurrahman Wahid, masyarakat Indonesia masih ditandai dengan disintegrasi elit-massa. Elit sering mengatasnamakan massa. Elit terlibat dalam pertikaian demi kepentingannya sendiri, sehingga harus ditarik garis tegas antara kemauan elit dan kemauan massa. Abdurrahman Wahid cenderung tidak percaya kepada elit, termasuk elit formal kepolisian.

i. Tema Konstitusionalisme

Konstitusionalisme dan kewenangan berdasarkan konstitusi merupakan tema terbesar kedelapan dalam wacana politik Abdurrahman Wahid. Begitu penting konstitusi, sehingga Abdurrahman Wahid mau menempuh jalan non-konstitusional demi menyelamatkan konstitusi. Sesuai otoritasnya, Presiden membuat keputusan otonom. Orang lain boleh dan bisa dimintai pertimbangan, tetapi kewenangan mengambil keputusan secara otonom ada di tangan Presiden. Otoritas Presiden bersifat konstitusional Karena itu, suatu tindakan melanggar konstitusi atau melawan hukum apabila pejabat di bawah Presiden membangkang terhadap otoritas dan instruksi Presiden.

2. Kontra Wacana Megawati Soekarnoputri

Kontra wacana politik Megawati Soekarnoputri menampakkan sikap dan perilakunya kooperatif. Sedangkan gaya berwacana Megawati Soekarnoputri terkesan empatik, feminin dan minimalis, dengan kecenderungan mengangkat topik-topik yang menyentuh human interest. Empatik berarti mampu membayangkan diri seandainya menjadi orang lain, feminin berarti disampaikan dengan bahasa perempuan atau bahkan keibuan, dan minimalis, karena melakukan kontra-wacana hanya dengan sedikit sekali kata-kata. Kontra wacana juga banyak dilakukan secara tidak langsung.

a. Tema Kekuasaan

Megawati Soekarnoputri menampilkan tema kekuasaan atau kewenangan sebagai sesuatu yang harus dihormati dan dipatuhi. Pengakuan yang sama, tampak dari wacana politiknya, juga dia berikan dan buktikan kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Bisa diproyeksikan, bilamana Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden, maka siapa pun diharapkan juga mematuhi dan menghormatinya. Sama dengan Abdurrahman Wahid, Megawati juga memiliki kekuasaan kharismatik cukup besar. Kekuasaan demikian harus digunakan justru untuk mendukung stabilitas nasional.

b. Tema Humanisme

Mengawati Soekarnoputri menempatkan kemanusiaan sebagai tema terpenting dalam wacana politiknya. Politik tidak lain merupakan cara manusiawi untuk memecahkan masalah perbedaan antar warga negara. Perbedaan kepentingan harus diselesaikan dengan solusi politik, dan bukan dengan kekerasan. Karena itu, dalam berpolitik setiap orang harus anti kekerasan dan anti teror. Politik adalah proses pemanusiaan itu sendiri.

c. Tema Kepentingan Nasional

Kepentingan nasional merupakan salah satu tema utama dalam banyak wacana politik Megawati Soekarnoputri. Kepentingan individu dan golongan harus tunduk kepada kepentingan nasional. Sebagai suatu bangsa, maka masyarakat Indonesia harus mampu mengembangkan rasa solidaritas sosial atau kesetiakawanan sosial menuju solidaritas nasional.

d. Tema Supremasi dan Penegakan Hukum

Supremasi hukum dan pengindahan kaidah-kaidah konstitusional merupakan tema menonjol lain dalam wacana politik Megawati Soekarnoputri. Penyelesaian masalah melalui jalur hukum dan konstitusi merupakan pilihan yang tidak boleh ditawar. Bahkan ketika penerapan konstitusi dan praktik hukum tidak menguntungkan dirinya, Megawati tetap mempertahankan nilai supremasi hukum ini. Abdurrahman Wahid adalah presiden yang sah, karena dipilih setelah melalui proses konstitusional.

e. Tema Relasi Elit dan Massa

Menurut Megawati, elit politik harus mengemban amanat massa dan tidak menonjolkan ambisi pribadi. Megawati Soekarnoputri secara pribadi tidak berambisi jadi presiden, tetapi kongres PDIP yang memberi amanat kepada dia untuk menjadi presiden. Megawati Soekarnoputri tidak menyatakan dirinya siap dan mampu jadi presiden, tetapi warga PDIP yang menilai bahwa dirinya mampu menjadi Presiden. Ini didukung oleh keputusan kongres.

3. Kontra Wacana Politik Amien Rais

Amien Rais konsisten menyuarakan tema anti korupsi, kolusi dan nepotisme. Ini merupakan ciri menonjol sikap pribadi Amien Rais sebagaimana tercermin dalam berbagai kontra wacananya. Dia kurang memiliki perhatian pada persoalan dan hubungan antar pribadi. Mirip dengan Abdurrahman Wahid, Amien Rais juga kurang peduli terhadap tanggapan negatif atau positif dari orang lain atas pernyataan-pernyataannya. Amien Rais juga kurang peduli pada berbagai formalitas, karena yang dipentingkan adalah substansi dari suatu persoalan. Karena mampu melepaskan diri dari jaringan antar pribadi, dengan leluasa Amien Rais mengungkapkan kritiknya dengan bahasa teknis yang lugas, dan terkadang metaforik.

Berkenaan dengan gaya berwacana, tampak bahwa bila suatu istilah teknis atau jargon politik memang diperlukan dan mudah dipahami masyarakat, maka oleh Amien Rais istilah itu pun digunakan sebagai strategi berkontra-wacana. Bila kesulitan dalam menggunakan istilah teknis karena tidak mampu menegaskan nuansa makna yang ingin disampaikan, maka Amien Rais tidak ragu untuk mengadaptasi idiom-idiom kultural. Gaya berkontra-wacana Amien Rais memiliki dampak penularan sangat cepat dan meluas. Seteknis apa pun suatu istilah, bisa populer bila diucapkan oleh Amien Rais.

a. Tema Kekuasaan

Amien Rais menampilkan tema kekuasaan formal sebagai mandat dari rakyat yang disalurkan melalui MPR. Karena yang memberikan mandat kekuasaan kepada presiden adalah MPR, maka MPR pula yang berdasarkan undang-undang berwenang untuk memberhentikan presiden. Undang-undang menempatkan MPR di atas presiden, jadi presiden tidak bisa memberhentikan anggota, apalagi membubarkan MPR. Pembubaran MPR oleh presiden merupakan pelanggaran sangat serius dan menjadi alasan yang sah untuk memberhentikannya.

b. Tema Konstitusionalisme

Konstitusionalisme dan kewenangan kelembagaan perwakilan rakyat berdasarkan konstitusi juga merupakan tema utama dalam kontra-wacana politik Amien Rais. Untuk menentukan apakah suatu keputusan bersifat konstitusional atau tidak, maka bukan tafsir perseorangan yang bisa digunakan sebagai acuan, melainkan tafsir intersubjektif para anggota lembaga perwakilan rakyat. Bertolok ukur demikian, Abdurrahman Wahid selain telah banyak melanggar konstitusi, juga berusaha memonopoli penafsiran konstitusi. Pendukung Abdurrahman Wahid adalah orang-orang yang belum belajar konstitusi. Karena diangkat berdasarkan konstitusi, maka tidak ada pilihan lain bagi Abdurrahman Wahid kecuali mengindahkan konstitusi. Mengindahkan konstitusi berarti mengindahkan lembaga perwakilan rakyat yang mengangkatnya. Juga karena diangkat berdasarkan konstitusi, maka pemberhentian Abdurrahman Wahid dilakukan dengan mengacu pada prosedur konstitusional yang melembaga. Apa pun yang dilakukan oleh lembaga perwakilan sudah didasarkan pada konstitusi. Sidang Istimewa adalah mekanisme konstitusional yang ditempuh untuk menghentikan tindakan inkonstitusional Abdurrahman Wahid. Dekrit Presiden untuk membekukan Partai Golkar, meminta para petinggi TNI/POLRI mengundurkan diri, membubarkan MPR, dan memerintahkan percepatan Pemilu merupakan pelanggaran konstitusi tak terampuni. Demi tegaknya konstitusi, maka Abdurrahman Wahid harus diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden.

c. Tema Logika Wacana Politik

Logika wacana politik Abdurrahman Wahid merupakan wilayah paling rawan dan menjadi salah satu tema utama dalam kontra-wacana Amien Rais. Ditegakkan di atas dua teori kebenaran, koherensi dan korespondensi, Amien Rais menyerang segala ucapan Abdurrahman Wahid. Wacana politik Abdurrahman Wahid tidak memenuhi syarat koherensi, karena selain sering berubah-ubah juga saling bertentangan satu sama lain. Pun wacana politik Abdurrahman Wahid teramat jauh dari kriteria kebenaran korespondensi, karena pernyataan tidak didukung oleh kenyataan dan atau tindakan. Menurut Amien Rais, bagi siapa pun yang rasional dan kritis, akan banyak menemukan pernyataan Abdurrahman Wahid yang tidak didukung oleh penalaran logik-objektif. Abdurrahman Wahid tidak menyampaikan kebenaran, tetapi pembenaran terhadap ucapan dan tindakannya sendiri. Kritik rasionalitas-empirik terhadap pernyataan dan tindakan Abdurrahman Wahid mewarnai seluruh kontra-wacana yang dibangun oleh Amien Rais.

d. Tema Penyelenggaraan Pemeritnah yang Baik

Kontra-wacana terkeras Amien Rais selanjutnya yang ditujukan kepada Abdurrahman Wahid menyangkut tolok-ukur penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Dalam konteks Indonesia pasca Orde Baru, selain harus transparan, pemerintah yang baik harus mampu melaksanakan agenda reformasi. Kinerja dalam melaksanakan agenda reformasi sebagimana dikemukakan oleh Abdurrahman Wahid masih jauh dari yang diharapkan rakyat melalui para wakilnya di lembaga perwakilan rakyat. Presiden Abdurrahman Wahid tidak memiliki kinerja yang baik. Bahkan ketika diberi kesempatan melakukan perbaikan dengan memberikan Memorandum, Abdurrahman Wahid tetap saja “mondok kelas”. Dengan prinsip profesionalisme yang menghargai atau memberikan sanksi berdasarkan kinerjanya. Sedangkan dengan prinsip keadilan, orang mendapatkan ganjaran atau hukuman sesuai dengan tindakan.

e. Tema Demokrasi

Kontra-wacana terkeras keempat yang dibangun oleh Amien Rais untuk menyerang Abdurrahman Wahid adalah praksis demokrasi. Kebebasan dalam demokrasi adalah kebebasan yang dijamin dan diatur oleh undang-undang. Seorang demokrat juga harus tunduk pada keputusan kolektif. Kedaulatan memang ada di tangan rakyat, tetapi dilaksanakan menurut undang-undang yang berlaku. Berdasarkan pemikiran ini, secara institusional para anggota lembaga perwakilan rakyat memiliki legitimasi konstitusional. Demokrasi tidak mengajarkan pertanggung-jawaban jabatan Presiden melalui Pemilu. Demikian pula, Pemilu dalam negara demokrasi bukan merupakan forum bagi rakyat untuk menilai kinerja Presiden, tetapi menyalurkan aspirasi politiknya. Dengan demikian, demokrasi menurut Abdurrahman Wahid sekadar wacana demokrasi teoretik, jauh dari praktika sebenarnya yang jelas-jelas diatur oleh undang-undang.

f. Tema Etika Politik

Tidak hanya logika politik Abdurrahman Wahid yang menjadi sasaran kontra-wacana Amien Rais, tetapi juga wacana etika politik Abdurrahman Wahid. Sebagai Presiden yang mendapatkan mandat dan ditetapkan oleh MPR, Abdurrahman Wahid banyak mengeluarkan pernyataan yang menghina kehormatan MPR. Amien Rais tidak hanya mempersoalkan istilah-istilah yang digunakan oleh Abdurrahman Wahid, tetapi justru persoalan etika yang menyangkut moralitas baik-buruk, dan mulia-tercela. Dalam menjalankan hak prerogatif, Abdurrahman Wahid tidak mengindahkan kode etik politik. Etiket baik Abdurrahman Wahid sangat diragukan, karena berkali-kali mendapatkan masukan, ternyata tidak melakukan perbaikan sebagaimana disepakati. Abdurrahman Wahid juga tidak memiliki etika politik yang baik, karena memenuhi permintaan seorang narapidana secara tidak transparan. Abdurrahman Wahid tidak mampu menjaga kehormatan dan wibawanya sebagai Presiden. Sejumlah ancaman Abdurrahman Wahid yang dimaksudkan untuk menakut-nakuti warga negara akan timbulnya kekerasan manakala dirinya diturunkan juga dinilai sangat tidak etis, lebih-lebih kecenderungan Abdurrahman Wahid untuk membenturkan antara elit dengan massa.

g. Tema Kepentingan Nasional

Tema terbesar berikutnya dalam kontra-wacana Amien Rais terhadap Abdurrahman Wahid adalah kepentingan nasional. Kepentingan nasional tidak boleh kalah oleh karir politik seorang Abdurrahman Wahid. Sejumlah keputusan meresuffle kabinet tanpa memperhatikan dampak politiknya sama sekali tidak mendukung terjadinya stabilitas dan rekonsiliasi nasional. Wacana politik Abdurrahman Wahid tentang kepentingan nasional tidak berkorespondensi dengan menurunnya keamanan, merebaknya korupsi, kolusi dan nepotisme, serta gejala disintegrasi bangsa. Ritual kenegaraan dan simbol-simbol negara semakin terabaikan dan luntur di Propinsi Irian Jaya dan Daerah Istimewa Aceh. Abdurrahman Wahid tidak memiliki kepekaan, atau memang tidak mengetahui, berbagai gejala disintegrasi bangsa. Walhasil Abdurrahman Wahid adalah presiden yang tidak mengindahkan kepentingan nasional.

h. Tema Relasi Elit dan Massa

Abdurrahman Wahid bisa saja menyatakan bahwa kecaman --- dan selanjutnya penurunan --- dirinya merupakan kehendak sekelompok elit politik. Terkait it itu, Amien Rais menilai bahwa Abdurrahman Wahid tidak mampu membedakan persoalan pribadi dengan persoalan lembaga. Bagaimanapun, tindakan kolektif para anggota lembaga perwakilan rakyat bukan lagi merupakan tindakan pribadi, melainkan keputusan konstitusional dan institusional. Walaupun secara empirik mungkin ada kesenjangan antara elit dengan massa, sebagai institusi para elit politik di lembaga perwakilan tetap sah menjadi wakil massa rakyat. Karena itu, tidak bisa secara tegas lagi dibedakan antara kehendak elit dengan kehendak massa.

i. Tema Supremasi dan Penegakan Hukum

Menurut Amien Rais, Presiden Abdurrahman Wahid merupakan sosok yang tidak bisa diteladani dalam menjunjung tinggi hukum karena sering melontarkan tuduhan tanpa diikuti dengan bukti yang cukup. Selain tidak mampu memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme, Abdurrahman Wahid sendiri terlibat dalam kasus sejenis. Abdurrahman Wahid gagal sama sekali dalam menjalankan salah satu agenda reformasi paling penting, yaitu: supremasi dan penegakan hukum.

4. Kontra Wacana Akbar Tandjung

Akbar Tandjung, berdasarkan kontra-wacana politiknya, dapat dicitra sebagai sosok yang sangat mampu mengendalikan diri. Bertolak belakang dengan Abdurrahman Wahid, Akbar Tandjung menunjukkan sikap pribadi akomodatif, halus, santun dan moderat. Pernyataan berapi-api hanya perlu bila dia harus berorasi di hadapan para kader partai yang dia pimpin. Keberapi-apian ini pun baru muncul setelah mendapatkan tantangan karena partainya akan dibubarkan.

Gaya berwacana Akbar Tandjung cenderung defensif, berbicara dengan nada datar, berhati-hati sambil memantau setiap peluang, merupakan gaya berwacana Akbar Tandjung. Sedangkan formalis-legalistik, merupakan ciri yang dapat ditemukan dalam hampir semua kontra-wacana politik Akbar Tandjung.

a. Tema Kekuasaan

Pada dasarnya makna kekuasaan Presiden bagi Akbar Tandjung sama dengan yang digunakan oleh Amien Rais. Kekuasaan formal merupakan mandat dari rakyat yang disalurkan melalui MPR. Karena yang memberikan mandat kekuasaan kepada presiden adalah MPR, maka MPR pula yang berdasarkan undang-undang berwenang untuk memberhentikan presiden. Undang-undang menempatkan MPR di atas presiden, jadi presiden tidak bisa memberhentikan anggota, apalagi membubarkan MPR. Demikian pun, keberadaan Partai Golkar dijamin oleh undang-undang. Karena itu, pembubaran Partai Golkar oleh Presiden merupakan bukti kuat bahwa Presiden telah melanggar Undang-undang. Karena itu, MPR sebagai lembaga yang memberikan mandat kepada Presiden, harus memproses pemberhentian Presiden karena telah melanggar undang-undang.

b. Tema Konstitusionalisme

Konstitusionalisme juga merupakan salah satu tema besar pertama kontra-wacana politik Akbar Tandjung. Namun berbeda dari Abdurrahman Wahid dan Amien Rais, konstitusi dimaknai oleh Akbar Tandjung secara sangat sederhana, yaitu sebagaimana tertulis dalam undang-undang dan produk hukum lainnya. Konstitusi adalah undang-undang atau ketetapan nomor sekian, tahun sekian, dan pasal sekian. Bersikap konstitusional berarti bertindak berdasarkan undang-undang dan ketentuan hukum lainnya. Bersikap konstitusional juga berarti mengindahkan dasar hukum, mekanisme institusional, dan prosedur tetap pengambilan keputusan. Kesepakatan antar dua atau lebih pihak menjadi konstitusi bagi semua pihak terkait.

c. Tema Logika Wacana Politik

Kontra-wacana terbesar kedua yang dikembangkan oleh Akbar Tandjung berkenaan dengan logika wacana politik Abdurrahman Wahid. Logika wacana politik harus sistematik, rasional dan objektif. Menurut Akbar Tandjung, adalah logis kalau Partai Golkar menarik dukungannya kepada Abdurrahman Wahid, karena didasarkan pada fakta objektif dan penalaran rasional. Dukungan politik Partai Golkar kepada Abdurrahman Wahid tidak diberikan tanpa reserve, melainkan yang kritis tetapi rasional. Abdurrahman Wahid tidak bisa dan tidak boleh menuntut dukungan politik tanpa syarat, karena mendukung Abdurrahman Wahid bukan berarti menjadi pengikut Abdurrahman Wahid.

d. Tema Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik.

Ranah kontra-wacana Akbar Tandjung berikutnya adalah penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Bila pemisahan kekuasaan Kepala Negara dan Kepala Pemeritahan dinilai bisa menjadi alternatif menuju penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Karena pemisahan ini pernah diusulkan, maka pemisahan kekuasaan itu harus dipandang sebagai lebih baik dibanding bila mempertahankan ketentuan yang ada. Pemerintahan yang baik memiliki ciri tidak sentralistik, ada pembagian kekuasaan, serta ditakar keberhasilannya berdasarkan parameter kinerja pelaksanaan tugas dan fungsi.

e. Tema Demokrasi

Demokrasi merupakan tema kontra-wacana Akbar Tandjung berikutnya. Praktik demokrasi tak bisa bebas dari latar budaya masyarakatnya. Bila masyarakat lebih merasa sejuk dengan pendekatan musyarwarah dan mufakat, maka pendekatan semacam ini harus lebih didahulukan dibanding pendekatan pemungutan suara.

f. Tema Kepentingan Nasional

Walaupun sangat kecil, kontra–wacana tentang kepentingan nasional juga disinggung oleh Akbar Tandjung. Hanya ada satu satuan wacana Akbar Tandjung yang secara langsung menyinggung kepentingan nasional, sedangkan lainnya disampaikan secara tidak langsung.

2. Diskusi dan Interpretasi

Abdurrahman Wahid sebenarnya memahami bahwa dirinya memiliki dua sumber kekuasaan. Pertama, kewenangan sebagai seorang Presiden. Dia sangat meyakini bahwa sepanjang apa yang dia lakukan tetap berada pada jalur konstitusi yang memberikan dia kewenangan, maka siapa pun harus menghormati setiap keputusannya. Karena konstitusi memberikan kewenangan kepada dia, maka mengkategorikan siapa pun yang menentang kekuasaannya sama dengan melanggar konstitusi. Bahkan, lembaga yang memilih dan mengesahkan dia sebagai Presiden pun akan dia lawan manakala menyentuh persoalan yang berada dalam batas kewenangannya sebagai Presiden. Karena itu, Abdurrahman Wahid menilai sejumlah anggota dan lembaga MPR telah melanggar konstitusi dan harus dilawan.

Sumber kekuasaan kedua Abdurahman Wahid adalah kharismanya sebagai tokoh Nahdlatul Ulama. Kekuasaan jenis ini tergolong jarang digunakan oleh Abdurrahman Wahid. Hanya ketika merasa dirinya terdesak oleh para pesaingnya, maka Abdurrahman Wahid berniat untuk menggunakan pengaruh kharismatiknya. Ini dilakukan dengan, misalnya memberikan “ancaman” bahwa kalau hingga ketika itu tidak ada huru-hara, itu karena dia memang melarang para pengikutnya untuk menggunakan cara-cara kekerasan atau apa pun yang berdampak sosial negatif.

Sebagaimana tampak dalam abstraksi butir-butir wacana Abdurrahman Wahid, karena sifat spontanitas berwacana Abdurrahman Wahid, konsistensi antar wacana kurang terjaga. Banyak pernyataan saling bertentangan satu sama lain. Demikian pula korespondensi antara pernyataan dengan kenyataan kurang terpikirkan. Walhasil, wacana politik Abdurrahman Wahid tak mampu lagi mendukung perjuangan politiknya. Abdurrahman Wahid tidak mampu memetik manfaat kekuatan bahasa atau wacana politik sebagai piranti kepentingan politik. Kelemahan wacana politik Abdurrahman Wahid berhasil dimanfaatkan oleh para pesaing politiknya.

Bagi Megawati Soekarnoputri, wacana politik Abdurrahman Wahid menyiratkan peluang bagi dirinya. Namun demikian, Megawati memahami kewenangan sebagai suatu pengaruh yang memiliki dasar hukum yang harus dihormati dan dipatuhi. Pengakuan ini harus diberikan kepada siapa pun yang memang memiliki kewenangan, seperti yang dia berikan dan buktikan kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Bilamana Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden, maka bisa diproyeksikan bahwa dia juga berharap agar siapa pun mematuhi dan menghormatinya. Seperti Abdurrahman Wahid, Megawati juga memiliki kekuasaan kharismatik cukup besar. Kekuasaan demikian harus digunakan justru untuk mendukung stabilitas nasional.

Kelemahan wacana politik Abdurrahman Wahid, secara tersirat, merupakan peluang bagi Megawati. Karena mungkin sadar akan dampak yang bisa timbul bila dia banyak berwacana atau berkontra-wacana, maka Megawati memilih untuk sesedikit mungkin melontar wacana politik. Gaya berkontra-wacana yang feminin-minimalis, dan terkesan rendah hati ternyata lebih mengena tidak hanya di hati rakyat sebagaimana terbukti melalui Pemilu, tetapi juga berkenan di hati para penentangnya terdahulu.

Bagi Amien Rais, kekuasaan formal presiden merupakan mandat dari rakyat yang disalurkan melalui MPR. Karena yang memberikan mandat kekuasaan kepada presiden adalah MPR, maka MPR pula yang berdasarkan undang-undang berwenang untuk memberhentikan presiden. Undang-undang menempatkan MPR di atas presiden, jadi presiden tidak bisa memberhentikan anggota, apalagi membubarkan MPR. Pembubaran MPR oleh presiden merupakan pelanggaran sangat serius dan menjadi alasan yang sah untuk memberhentikannya.

Wacana politik Abdurrahman Wahid, bagi Amien Rais, merupakan wilayah paling strategik untuk diserang. Semakin banyak Abdurrahman Wahid menghasilkan wacana politik yang tidak memenuhi kriteria kelayakan logik-empirik, semakin mungkin bagi Amien Rais untuk membangun pengaruh melalui kontra-wacananya. Wacana politik Abdurrahman Wahid tidak memenuhi syarat koherensi, karena selain sering berubah-ubah juga saling bertentangan satu sama lain. Pun wacana politik Abdurrahman Wahid teramat jauh dari kriteria kebenaran korespondensi, karena pernyataan tidak didukung oleh kenyataan dan atau tindakan. Menurut Amien Rais, bagi siapa pun yang rasional dan kritis, akan banyak menemukan pernyataan Abdurrahman Wahid yang tidak didukung oleh penalaran logik-objektif. Dalam wacana politik Abdurrahman Wahid, tidak terkandung kebenaran melainkan sekadar pembenaran terhadap ucapan dan tindakannya sendiri. Kritik rasionalis-empirik terhadap pernyataan dan tindakan Abdurrahman Wahid mewarnai seluruh kontra-wacana yang dibangun oleh Amien Rais.

Gaya berkontra-wacana Amien Rais yang rasional-kritis memiliki dampak penularan sangat cepat dan meluas. Seteknis apa pun suatu istilah, bisa populer bila diucapkan oleh Amien Rais. Bila suatu istilah teknis atau jargon politik memang diperlukan dan mudah dipahami masyarakat, maka oleh Amien Rais istilah itu pun digunakan sebagai strategi berkontra-wacana. Bila kesulitan dalam menggunakan istilah teknis karena tidak mampu menegaskan nuansa makna yang ingin disampaikan, maka Amien Rais tidak ragu untuk mengadaptasi idiom-idiom kultural.

Bagi Akbar Tandjung, kewenangan presiden merupakan mandat dari rakyat yang disalurkan melalui MPR. Karena yang memberikan mandat kekuasaan kepada presiden adalah MPR, maka MPR pula yang berdasarkan undang-undang berwenang untuk memberhentikan presiden. Undang-undang menempatkan MPR di atas presiden, jadi presiden tidak bisa memberhentikan anggota, apalagi membubarkan MPR. Demikian pun, keberadaan Partai Golkar dijamin oleh undang-undang. Karena itu, pembubaran Partai Golkar oleh Presiden merupakan bukti kuat bahwa Presiden telah melanggar Undang-undang. Karena itu, MPR sebagai lembaga yang memberikan mandat kepada Presiden, harus memproses pemberhentian Presiden karena telah melanggar undang-undang.

Wacana politik Abdurrahman Wahid, bagi Akbar Tandjung merupakan wilayah yang sangat penting untuk dicermati. Penarikan dukungan partainya terhadap Abdurrahman Wahid menandakan hilangnya kepercayaan Akbar Tandjung terhadap Abdurrahman Wahid. Wacana politik Abdurrahman Wahid tidak dibangun di atas logika rasional-empirik dan banyak melanggar konstitusi. Kepentingan Akbar Tandjung untuk “bernaung” di bawah Pemerintahan Abdurrahman Wahid ternyata jauh dari yang diharapkan. Dengan gaya berkontra-wacana formalis-legalistik, Akbar Tandjung berbicara dengan nada datar, cenderung defensif, serta berhati-hati sambil memantau setiap kemungkinan. Wacana politik Abdurrahman Wahid untuk membubarkan atau membekukan Partai Golkar merupakan pembenar terpenting bagi Akbar Tandjung untuk bersama-sama Amien Rais memberhentikan Abdurrahman Wahid.

Apakah signifikansi praktik berwacana (discursive practice), khususnya Abdurrahman Wahid, bagi sebagian masyarakat interpretif tertentu? Penjelasan yang diberikan oleh hermeneutika Gadamerian cukup jelas, bahwa tidak bisa ada pemahaman tunggal terhadap apa yang dikemukakan oleh Abdurrahman Wahid. Mengapa demikian?

For Gadamer, individuals do not stand apart from texts in order to analyze and interpret them; rather, interpretation itself is part and parcel of being.

The central tenet of Gadamer’s theory is that one always understands experience from the perspective of presuppositions. Our traditions give us a way of understanding things, and we cannot divorce ourselves from that tradition. Observation, reason, and understanding are never objectively pure; they are colored by history and community. Further, history is not to be separated from the present (Littlejohn, 1992: 221).

Sejauh mengacu pada pada pemaknaan yang diberikan oleh masyarakat interpretif, yang dalam penelitian ini masyarakat interpretif yang berbeda kepentingan dengan Abdurrahman Wahid dan para pendukungnya, temuan penelitian ini mendukung tesis dasar yang diajukan oleh Gadamer. Di hadapan masyarakat interpretif yang berbeda kepentingan, Abdurrahman Wahid sebagai produsen wacana benar-benar telah mati (the author is dead). Wacana apa pun yang dibangun oleh Abdurrahman Wahid ternyata telah ditafsirkan dengan begitu “semena-mena” oleh masyarakat interpretif yang tidak mendukungnya lagi.

Ada implikasi sangat penting dari penerimaan tesis dasar Gadamer ini, terutama menyangkut tesis lain tentang hubungan antara bahasa dengan kekuasaan. Artinya, Gadamer telah menyumbangkan semacam ceteris paribus terhadap kekuatan persuasif dan hegemonik bahasa untuk mendapatkan atau melanggengkan kekuasaan. Memang benar bahwa bahasa bisa digunakan sebagai piranti pemerolehan dan pelanggengan kekuasaan, tetapi tentu ada prasyaratnya, yaitu: sepanjang tidak terjadi persilangan kepentingan antara produsen wacana (the author) dengan khalayak penafsirnya (its interpreter).

Secara umum memang tampak bahwa dalam struktur politik elit bersaing, bahasa tidak lagi berfungsi memantapkan hubungan sosial sebagaimana digambarkan oleh sosiolinguis konvensional seperti Trudgil (1975: 14), tetapi lebih merupakan piranti untuk memenangkan persaingan politik. Perhatian para pelaku wacana politik bukan lagi mengupayakan titik temu penafsiran menuju pemahaman bersama (shared meaning) melainkan makna hegemonik (hegemonic meaning). Wacana politik tidak hanya berfungsi untuk mendapatkan, mempertahankan, dan mengendalikan kekuasaan, tetapi juga berpeluang menjadi sasaran serangan bagi pihak lain untuk mendapatkan, mempertahankan dan mengendalikan kekuasaan.

Namun demikian, telaah berdasar perspektif Gadamerian menegaskan bahwa persoalannya tidak sesederhana proposisi tersebut. Penggunaan bahasa sebagai piranti legitimasi kekuasaan yang ditujukan terhadap masyarakat penafsir yang berlawanan kepentingan justru bisa berbalik menjadi “senjata makan tuan”, karena akan diolah oleh masyarakat penafsirnya sehingga tampak menjadi penipuan melalui bahasa. Gadamer menyinggung persoalan ini secara tidak langsung sebagai bagian dari tanggapannya terhadap kritik yang diajukan oleh Habermas.

In so far as these compulsions seek to legitimize themselves in and through language, the critique of ideologies (itself, of course, an act of reflection which makes use of the power of language) becomes an exposure of “deception with language” (Gadamer, 1990: 283).

Merujuk Collins (1975: 114), semua percakapan adalah negosiasi. Terdapat enam jenis percakapan, yaitu: percakapan praktis, percakapan ideologis, diskusi intelektual, percakapan hiburan, gosip dan percakapan pribadi. Sebagai percakapan paling serius dan menekan, percakapan ideologis (ideology of legitimizing talks) membuat orang terpilah menjadi dua kubu. Orang akan cenderung memilih untuk berbicara dengan orang lain yang memiliki kemiripan dengan dirinya, serta menghindarkan diri dari berbicara dengan orang lain yang memiliki pandangan bertentangan (Collins, 1975: 121). Dalam percakapan ideologis itu pula, ada kecenderungan untuk terjadi persaingan antar-berbagai pandangan.

Disadari atau tidak disadari, dalam negosiasi kepentingan yang berpiranti wacana, para pelaku niscaya berupaya mengembangkan wacananya berdasarkan sejumlah kriteria yang dinilai baik. Banyak landasan bisa digunakan, mulai dari klaim kebenaran agama, kebenaran rasional, kebenaran empirik, kebenaran legalistik, hingga kebenaran “populis”.

Apa yang menarik dari wacana dan kontra-wacana politik antar elit politik era kepresidenan Abdurrahman Wahid adalah saling bersaingnya klaim-klaim kebenaran tersebut. Abdurrahman Wahid sering menggunakan klaim kebenaran agama, klaim kebenaran empirik, dan klaim kebenaran “populis”. Walaupun tersirat Amien Rais lebih sering menggunakan klaim kebenaran rasional dan empirik, khususnya teori kebenaran koherensi dan korespondensi. Akbar Tandjung tidak bisa jauh-jauh dari klaim kebenaran legalistik dan rasional. Sedangkan Megawati Soekarnoputri, tidak begitu tampak klaim yang digunakan, tetapi --- kalau memang dimungkinkan menggunakan label ini --- lebih menggunakan kebenaran “empatik”.

Selain mendukung kesimpulan Collins tentang bahasa politik sebagai percakapan ideologis, temuan penelitian ini juga mengkategorikan tindakan politik elit sebagai tindak berwacana (discursive action) sebagaimana digambarkan oleh Giddens.

He (Giddens) describes it as a ‘stratification model’ because it conceives of the actor as a series of layers of consciousness. The most conscious or ‘aware’ level is that at which actors monitor the flow of their own activities (i. e. by the reflective glance) and those of others (by verstehen). Actors routinely maintain a theoretical understanding of action by means of language – so this consciousness can be described as discursive (Waters, 1994: 49).

Beberapa kriteria wacana yang baik, khususnya koherensi antar pernyataan dan korespondensi antara pernyataan dengan kenyataan, menentukan tingkat kemanfaatan wacana politik untuk mendapatkan, mempertahankan, dan mengendalikan kekuasaan. Pun demikian, wacana yang buruk karena tidak memenuhi syarat koherensi dan korespondensi, menentukan tingkat risiko yang harus ditanggung oleh pelaku wacana.

Melalui wacana politik bergaya spontan-konfrontatif, Abdurrahman Wahid telah mengganggu konsensus antar elit politik yang menjadi landasan bagi konsensus sosial pasca Orde Baru. Ini berarti bahwa semacam konsensus bisa terganggu apabila ada satu atau lebih orang yang melanggar struktur normatif (breaking the normative structure). Karena itu, siasat Abdurrahman Wahid untuk melakukan monopoli tafsir tidak hanya berpengaruh pada kelangsungan konsensus, tetapi juga berpengaruh pada kemunculan konflik-sosial. Kejadian kritis demikian cenderung diikuti oleh berbagai kejadian genting lainnya, baik yang menyumbang dan atau memicu percepatan menuju puncak konsensus sosial-politik yang menyumbang dan memicu percepatan menuju konflik sangat tajam.

Secara teoretik, tindakan bersama terbentuk setelah mereka berhasil mengembangkan pemaknaan dan cara pandang bersama (shared meaning and perspectives). Pemaknaan dan cara pandang bersama ini pula yang secara teoretik memungkinkan tumbuh-kembangnya kesadaran akan kepentingan objektif mereka (awareness of objective interest). Bila proses berlangsung dalam kondisi teknik, sosial, dan politik yang kondusif, maka perkembangan kesadaran akan kepentingan objektif tidak hanya membentuk kelompok tersembunyi (quasi group), tetapi juga bisa membentuk kelompok konflik terbuka (manifest conflict group).

Pada aras kajian antar pihak bertikai, sejalan dengan pertumbuhan kesadaran akan kepentingan objektif, berlangsung polarisasi menjadi dua pihak. Setiap pihak memerjuangkan kepentingan hingga muncul aneka bentuk konflik sosial. Poros Tengah yang semula mendukung dan berhasil mendudukkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden, berkembang dari sudah laten menjadi manifes kembali dengan arah gerakan berlawanan. Demikian pun kelompok Megawati Soekarnoputri yang semula sudah menerima konsensus, menjadi lebih dekat dengan kelompok Poros Tengah. Polarisasi mengarah kepada dua kelompok konflik, yaitu: pendukung Abdurrahman Wahid dan penentang Abdurrahman Wahid.

Penyelesaian perlawanan yang bersifat simbolik dan tak kentara (symbolic and ideological form of people resistance) mungkin dilakukan melalui semacam persaingan makna (meanings competition). Dalam konteks Indonesia era Pemerintahan Abdurrahman Wahid, perlawanan terhadap wacana politik Abdurrahman Wahid tidak hanya dilakukan Amien Rais dan Akbar Tandjung, tetapi kemudian juga diikuti oleh Megawati Soekarnoputri. Ini menegaskan kembali hipotesis bahwa perangkat makna pun bisa disebut sebagai salah satu piranti kepentingan (Lofland, 1971).

Sejumlah cacat dalam wacana politik Abdurrahman Wahid terus dimanfaatkan oleh Amien Rais, Akbar Tandjung dan kemudian Megawati Soekarnoputri. Abdurrahman Wahid sendiri teramat yakin dengan berbagai tindak berwacananya yang bila ditilik sebagai piranti perjuangan politik semakin tumpul. Akhirnya hegemoni makna di lembaga perwakilan rakyat benar-benar dipegang oleh Amien Rais dan Akbar Tandjung. Kepemimpinan intelektual ini, meminjam istilah Gramsci, berakhir dengan keberhasilan Amien Rais dan Akbar Tandjung memprakarsai SI MPR.

Perjuangan bersenjata wacana politik oleh Abdurrahman Wahid tidak berhenti. Dekrit yang sebagaimana dia kemukakan sebelumnya menjadi "wacana haram", dia tempuh dengan segala risikonya. Dekrit ini pun akhirnya berhenti sebagai wacana sebagaimana maklumat sebelumnya yang juga berhenti sebagai wacana. Ketika itu pula wacana politik Abdurrahman Wahid tidak lagi mampu berfungsi sebagai piranti perjuangan politik.

Diletakkan dalam konteks teoretik piranti kekuasaan Althusser (1971), Abdurrahman Wahid telah gagal memanfaatkan baik Aparat Represif Negara (RSA) dan Aparat Ideologik Negara (ISA). Kegagalan memanfaatkan RSA terjadi karena sejak awal Abdurrahman Wahid mengembangkan wacana supremasi sipil yang tak populer di kalangan TNI/POLRI. Kegagalan memanfaatkan ISA terjadi karena sejumlah cacat dalam wacana politik Abdurrahman Wahid tak mampu menjadi arus utama di lembaga perwakilan rakyat.

Dalam perspektif teori kekuasaan Gramsci (1971), temuan penelitian ini menyumbang penghalusan dengan menambahkan jenis upaya penguasaan yang terletak di antara penguasaan koersif dan penguasaan hegemonik. Abdurrahman Wahid tidak berhasil melakukan penguasaan koersif, karena gagal memanfaatkan RSA. Abdurrahman Wahid juga gagal melakukan penguasaan hegemonik karena gagal memanfaatkan ISA. Upaya jalan alternatif yang ditempuh oleh Abdurrahman Wahid adalah mengupayakan penguasaan intimidatif yang dilakukan dengan memberikan sejumlah ancaman akan timbulnya kekerasan dan pemberontakan. Namun demikian, upaya penguasaan intimidatif ini juga tidak berhasil karena tidak didukung oleh RSA.

Kekuasaan ideologik, menurut Galtung, dapat dibangun berdasarkan ideologi, kebudayaan, dan bahasa. Sedangkan kekuasaan punitif dibangun di atas anggaran belanja militer persenjataan militer, dan personil militer (Windhu, 1992: 40). Terkait dua sumber pokok kekuasaan ini, tampak bahwa dalam upaya mempertahankan kekuasaan, Abdurrahman Wahid telah gagal baik dalam mengerahkan sumber-sumber ideologik maupun sumber-sumber punitif.

Ditilik dari perspektif teoretik kekuasaan dan kekerasan menurut Bourdieu (1994), temuan penelitian ini menyumbang tipologi agak berbeda. Konseptualisasi dan teoretisasi kekuasaan dan kekerasan simbolik ala Bourdieu tidak berlaku manakala pihak-pihak yang terlibat menguasai sumber-sumber kekuasaan yang setara. Apa yang terjadi ketika seseorang berupaya melakukan kekerasan simbolik terhadap orang lain yang setara yang mampu melakukan perlawanan bukan lagi kekerasan simbolik, melainkan pertikaian simbolik. Kata, frase, kalimat dan bahkan keseluruhan teks, merupakan perangkat simbol verbal yang menjadi piranti bagi para pelaku untuk memenangkan persaingan dan pertikaian atau memperebutkan kepentingan.

Refleksi lebih luas terhadap keberlakuan tesis ini juga bisa dikenakan pada berbagai jargon yang dikembangkan oleh para pelaku politik. Istilah nasionalisme atau kebangsaan, sebagai wacana, misalnya, bisa dipahami secara sangat berbeda oleh masyarakat penafsir yang memiliki sejarah berbeda.

Terdjadinja persatuan rakjat jang bersifat Bangsa itu tidak dengan seketika, akan tetapi lambat-laun dengan melalui waktu yang berabad-abad, dalam waktu mana terbuktilah persatuan perikehidupan yang tersebut di atas itu, teristimewa bersatunya nilai-nilai kebatinan, jakni tambo, bahasa, seni, agama, pengetahuan (Dewantara, 1932: 6).

Perbedaan atau bahkan pertentangan pemaknaan terhadap makna nasionalisme, sebagaimana tampak dalam kutipan tersebut bisa dijelaskan dari perspektif hermeneutika Gadamerian. Ketidak-samaan sejarah (tambo) dan lebih-lebih prasangka dan kepentingan antara sebagian masyarakat Indonesia dengan masayarakat Aceh, Papua, dan yang baru lalu Timor Lestee, menyulitkan usaha membangun pemahaman yang sama akan makna nasionalisme atau kebangsaan bagi masyarakat Indonesia. Menggunakan ungkapan Gadamer, masyarakat Indonesia belum cukup berhasil dalam upaya menyatukan berbagai horison pemaknaan menjadi suatu pemaknaan bersama (shared understanding). Konflik, baik antar elit maupun antara elit dengan massa (elite-mass disintegration), bila hendak dipahami menurut perspektif Gadamer, tidak lain merupakan cermin rendahnya fusi horison antar mereka.

Ada titik temu penting antara pendekatan Gadamerian dengan sosiologi Mertonian, ataupun apa yang oleh Alejantro Portes (2000) ditulis dalam “The Hidden Abode: Sociology as Analysis of the Unexpected”. Sebagai tindak bertujuan, praktik berwacana (discursive practice) tidak hanya memunculkan fungsi yang diharapkan, yang oleh Merton diistilahkan fungsi manifes, tetapi juga menghadirkan fungsi laten, serta sejumlah fenomena lain yang dikenal melalui terminologi unfunction, disfunction, dan malfunction.

Tugas ilmu-ilmu sosial, menurut Merton (1976: 145- 155) adalah menganalisis konsekuensi tindakan sosial yang tak terantisipasi (the unanticipated consequences of social action), yang selanjutnya diistilahkah oleh Portes (2000) sebagai hal yang tak diharapkan (the unexpected). Bila status epistemologi praktik wacana diidentikkan dengan tindakan sosial, maka justru pendekatan Gadamer yang lebih memiliki signifikansi bagi kajian ilmu sosial dibanding dengan pendekatan Hirschian. Dengan ungkapan lain, kajian terhadap makna wacana politik Abdurrahman Wahid bagi para pesaing politiknya, merupakan “pintu masuk” alternatif bagi identifikasi fungsi-fungsi laten praktik berwacana Abdurrahman Wahid.

Dari perspektif ini, tampak jelas bahwa agak sulit untuk memasukkan perspektif hermeneutika Gadamer sebagai bagian dari paradigma interpretivisme konvensional. Kalau hermeneutika intensionalis Hirschian bisa secara konsisten dimasukkan ke dalam kelompok pendekatan hermeneutika interpretivis, maka hermeneutika Gadamer lebih cenderung masuk ke dalam kelompok hermeneutika positivis, atau sekurang-kurangnya inter-subjektivis. Ini bisa disimpulkan karena baik produsen wacana maupun penafsir wacana sama-sama memiliki otonomi, termasuk untuk tidak mencapai kesepakatan makna.

Terkait dengan keteralihan temuan penelitian ini, logika hubungan praktik berbahasa dan berwacana dengan upaya pemerolehan dan pelanggengan kekuasaan justru harus dilakukan secara terbalik. Praktik berbahasa dan berwacana harus lebih dilihat sebagai "bidang rentan" yang cenderung dijadikan sebagai sasaran serangan para pesaing politik daripada sebagai sarana memperoleh kekuasaan. Keberlangsungan kekuasaan seorang pejabat publik sebagiannya ditentukan oleh praktik berbahasa dan berwacana. Dengan ungkapan lain, semakin efektif seorang pejabat publik dalam berbahasa dan berwacana, maka semakin kecil bidang rentan yang bisa diserang oleh para pesaing politiknya. Sebaliknya semakin tidak efektif seorang pejabat publik dalam berbahasa dan berwacana, maka semakin besar bidang rentan yang bisa diserang oleh para pesaing politiknya.

Ketidak-efektivan praktik berbahasa dan berwacana politik memberi peluang lebih besar kepada para pesaing politik untuk mengembangkan definisi negatif (buruk) terhadap penutur atau penulisnya. Logika linguistik di balik proposisi ini adalah adanya hubungan antara kohesi dengan koherensi. Kualitas kohesi suatu wacana yang ditampilkan oleh produsen wacana (discourse producer) yang dibantu oleh konteks tertentu akan membantu para penafsirnya (discourse interpreter) dalam mengenali koherensi wacana yang bersangkutan. Pada gilirannya, kualitas kohesi dan koherensi ini akan membentuk citra dan keyakinan masyarakat penafsir wacana terhadap produsen wacana: Apakah dia jujur atau tidak? Apakah dia cakap atau tidak? Atau apakah wacana yang disampaikan benar atau tidak?

Selanjutnya, sejauh menyangkut substansi tentang pemaknaan, temuan-temuan penelitian ini memang mengukuhkan tesis Gadamer. Namun demikian, berkenaan dengan metodologi kajian, pendekatan Gadamer tidak memberi panduan yang sebagaimana, misalnya, protokol analisis fungsional Merton. Gadamer begitu sibuk dengan pertanyaan tentang kebenaran (the question of truth) sehingga menjadi kurang praktikal sebagai perspektif teoretik. Karena itu, diperlukan keberanian berspekulasi bagi siapa pun peneliti yang bermaksud menggunakan pemikirannya sebagai perspektif teoretik.

Bertolak dari kerangka pemikiran Gadamer yang mengandaikan ada dua pihak yang terlibat dalam penafsiran, antara wacana dengan penafsir, penelitian ini dikembangkan. Kerangka pikir demikian, ternyata tidak cukup aplikatif, sehingga peneliti harus mengembangkan sendiri metodologi kajiannya sepanjang tetap konsisten dengan kerangka pemikiran dasar Gadamer.


V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

Berdasarkan seluruh pembahasan, berikut disajikan beberapa kesimpulan dan implikasi dari penelitian ini.

A. Beberapa Kesimpulan

Pertama, Abdurrahman Wahid memahami kekuasaan dalam dua makna. Pertama, kewenangan sebagai seorang Presiden. Dia sangat meyakini bahwa sepanjang apa yang dia lakukan tetap berada pada jalur konstitusi yang memberikan dia kewenangan, maka siapa pun harus menghormati setiap keputusannya. Karena konstitusi memberikan kewenangan kepada dia, maka mengkategorikan siapa pun yang menentang kekuasaannya sama dengan melanggar konstitusi. Bahkan, lembaga yang memilih dan mengesahkan dia sebagai Presiden pun akan dia lawan manakala menyentuh persoalan yang berada dalam batas kewenangannya sebagai Presiden. Karena itu, dia pun menilai sejumlah anggota dan lembaga MPR telah melanggar konstitusi. Untuk itu, Abdurrahman Wahid berani melawannya.

Sumber kekuasaan kedua Abdurahman Wahid adalah kharismanya sebagai tokoh Nahdlatul Ulama. Kekuasaan jenis ini tergolong jarang digunakan oleh Abdurrahman Wahid. Hanya ketika merasa dirinya terdesak oleh para pesaingnya, maka Abdurrahman Wahid berniat untuk menggunakan pengaruh kharismatiknya. Ini dilakukan dengan, misalnya memberikan “ancaman” bahwa kalau hingga ketika itu tidak ada huru-hara, itu karena dia memang melarang para pengikutnya untuk menggunakan cara-cara kekerasan atau apapun yang berdampak sosial negatif.

Selanjutnya, karena gaya berwacananya spontan-konfrontatif, konsistensi antar wacana politik Abdurrahman Wahid kurang terjaga. Banyak pernyataan saling bertentangan satu sama lain. Demikian pula korespondensi antara pernyataan dengan kenyataan kurang terpikirkan. Walhasil, wacana politik Abdurrahman Wahid tak mampu lagi mendukung perjuangan politiknya. Abdurrahman Wahid tidak mampu memetik manfaat kekuatan bahasa atau wacana politik sebagai piranti kepentingan politik. Kelemahan wacana politik Abdurrahman Wahid berhasil dimanfaatkan oleh para pesaing politiknya.

Megawati memaknai kekuasaan formal atau kewenangan sebagai suatu pengaruh yang memiliki dasar hukum yang harus dihormati dan dipatuhi. Pengakuan ini harus diberikan kepada siapa pun yang memang memiliki kewenangan, seperti yang dia berikan dan buktikan kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Bilamana Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden, maka bisa diproyeksikan bahwa dia juga berharap agar siapa pun mematuhi dan menghormatinya. Seperti Abdurrahman Wahid, Megawati juga memiliki kekuasaan kharismatik cukup besar. Kekuasaan demikian harus digunakan justru untuk mendukung stabilitas nasional.

Megawati Soekarnoputri melihat kelemahan wacana politik Abdurrahman Wahid sebagai peluang yang hampir pasti menjadi miliknya. Karena itu, Megawati merasa tidak perlu banyak melontar wacana politik, termasuk memberikan kontra-wacana politik. Gaya berwacana politik Megawati bisa dikategorikan sebagai feminin-minimalis. Feminin karena menampakkan keperempuannya, yang cenderung tidak banyak memberikan pertikaian terbuka, minimalis karena sangat hemat dalam memberikan pernyataan. Gaya yang terkesan rendah hati ini ternyata lebih berhasil sebagai piranti perjuangan politik.

Ketiga, bagi Amien Rais, kekuasaan formal presiden merupakan mandat dari rakyat yang dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Karena lembaga ini memberikan mandat kekuasaan kepada presiden, maka MPR pula yang berdasarkan konstitusi berwenang untuk memberhentikan presiden. Konstitusi menempatkan MPR di atas presiden, jadi presiden tidak bisa memberhentikan anggota, apalagi membubarkan MPR. Pembubaran MPR oleh presiden merupakan pelanggaran sangat serius dan menjadi alasan yang cukup untuk memberhentikannya.

Amien Rais melihat wacana politik Abdurrahman Wahid sebagai wilayah paling strategik untuk diserang. Semakin banyak Abdurrahman Wahid menghasilkan wacana politik yang tidak memenuhi kriteria kelayakan logik-empirik, semakin mungkin bagi Amien Rais untuk membangun pengaruh melalui kontra-wacananya. Wacana politik Abdurrahman Wahid tidak memenuhi syarat koherensi, karena selain sering berubah-ubah juga saling bertentangan satu sama lain. Pun wacana politik Abdurrahman Wahid teramat jauh dari kriteria kebenaran korespondensi, karena pernyataan tidak didukung oleh kenyataan dan atau tindakan. Gaya berkontra-wacana Amien Rais yang rasional-kritis memiliki dampak penularan sangat cepat dan meluas.

Keempat, bagi Akbar Tandjung kewenangan presiden merupakan mandat dari rakyat yang dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Karena mandat kekuasaan presiden berasal dari MPR, maka MPR pula yang berdasarkan konstitusi berwenang untuk memberhentikan presiden. Konstitusi menempatkan MPR di atas presiden, jadi presiden tidak bisa memberhentikan anggota, apalagi membubarkan MPR. Demikian pun, keberadaan Partai Golkar dijamin oleh konstitusi. Karena itu, pembubaran Partai Golkar oleh Presiden merupakan bukti kuat bahwa Presiden telah melanggar Konstitusi. Karena itu, MPR sebagai lembaga yang memberikan mandat kepada Presiden, harus memproses pemberhentian Presiden karena telah melanggar konstitusi.

Akbar Tandjung memaknai wacana politik Abdurrahman Wahid sebagai wilayah yang sangat penting untuk dicermati dan diantisipasi. Penarikan dukungan partainya terhadap Abdurrahman Wahid menandakan hilangnya kepercayaan Akbar Tandjung terhadap Abdurrahman Wahid. Dengan gaya berkontra-wacana formalis-legalistik, Akbar Tandjung berbicara dengan nada datar, cenderung defensif, serta berhati-hati sambil memantau setiap kemungkinan. Wacana politik Abdurrahman Wahid untuk membubarkan atau membekukan Partai Golkar merupakan pembenar terpenting bagi Akbar Tandjung untuk bersama-sama Amien Rais memberhentikan Abdurrahman Wahid.

B. Beberapa Implikasi

Temuan penelitian ini mendukung tesis dasar yang diajukan oleh Gadamer, tidak bisa ada pemahaman tunggal terhadap apa yang dikemukakan seorang produsen wacana. Bagi masyarakat interpretif yang berbeda kepentingan, produsen wacana benar-benar telah mati (the author is dead). Wacana apa pun yang dibangun oleh produsen wacana niscana ditafsirkan dengan begitu “semena-mena” oleh masyarakat interpretif yang tidak berkesamaan kepentingan.

Pertama, penerimaan tesis dasar ini berimplikasi pada proposisi tentang hubungan antara bahasa dengan kekuasaan. Memang benar bahwa bahasa bisa digunakan sebagai piranti pemerolehan dan pelanggengan kekuasaan, tetapi tentu ada prasyaratnya, yaitu: sepanjang tidak terjadi persilangan kepentingan antara produsen wacana (the author) dengan khalayak penafsirnya (its interpreter). Dengan demikian, perspektif Gadamerian menyumbangkan semacam ceteris paribus terhadap kekuatan persuasif dan hegemonik bahasa untuk mendapatkan atau melanggengkan kekuasaan.

Dalam struktur politik elit bersaing, bahasa tidak lagi berfungsi memantapkan hubungan sosial sebagaimana digambarkan oleh sosiolinguistik konvensional, tetapi lebih merupakan piranti untuk memenangkan persaingan politik. Perhatian para pelaku wacana politik bukan lagi mengupayakan titik temu penafsiran menuju pemahaman bersama (shared meaning) melainkan makna hegemonik (hegemonic meaning). Wacana politik tidak hanya berfungsi untuk mendapatkan, mempertahankan, dan mengendalikan kekuasaan, tetapi juga berpeluang menjadi sasaran serangan bagi pihak lain untuk mendapatkan, mempertahankan dan mengendalikan kekuasaan.

Kedua, temuan kajian berdasarkan perspektif hermeneutika Gadamerian mempertegas bahwa persoalan pemanfaatan bahasa atau wacana untuk kepentingan kekuasaan tidak sesederhana sebagaimana sering diproposisikan, termasuk oleh penulis di awal penelitian ini dilakukan. Penggunaan bahasa sebagai piranti legitimasi kekuasaan yang ditujukan terhadap masyarakat penafsir yang berlawanan kepentingan justru bisa berbalik menjadi “senjata makan tuan”, karena akan diolah oleh masyarakat penafsirnya sehingga tampak menjadi penipuan melalui bahasa.

Ketiga, refleksi lebih luas terhadap keberlakuan tesis ini juga bisa dikenakan pada berbagai jargon yang dikembangkan oleh para pelaku politik. Istilah apa pun yang dikembangkan sebagai inti suatu wacana, bisa dipahami secara sangat berbeda oleh masyarakat penafsir yang memiliki sejarah berbeda. Ketidak-samaan sejarah (tambo) dan lebih-lebih prasangka dan kepentingan antara sebagian masyarakat Indonesia yang menghendaki “berpisah” dari Republik Indonesia, menyulitkan usaha membangun pemahaman yang sama akan makna nasionalisme atau kebangsaan bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia belum cukup berhasil dalam upaya menyatukan berbagai horison pemaknaan menjadi suatu pemaknaan bersama. Konflik, baik antar elit maupun antara elit dengan massa, bisa dipahami sebagai cermin rendahnya fusi horison antar mereka.

Keempat, ada titik temu penting antara pendekatan Gadamerian dengan sosiologi fungsionalis taraf menengah. Sebagai tindak bertujuan, praktik berwacana (discursive practice) tidak hanya memunculkan akibat yang diharapkan, tetapi juga menghadirkan sejumlah akibat yang tidak disadari dan tidak disengaja. Selanjutnya, karena tugas ilmu-ilmu sosial antara lain adalah menganalisis konsekuensi tindakan sosial yang tak terantisipasi, maka bila status epistemologi praktik wacana diidentikkan dengan tindakan sosial, justru pendekatan Gadamer yang lebih memiliki signifikansi bagi kajian ilmu sosial dibanding dengan pendekatan Hirschian. Kajian terhadap makna wacana berdasarkan perspektif hermeneutika Gadamerian bisa memberikan “pintu masuk” alternatif bagi identifikasi akibat-akibat laten dari praktik berwacana seseorang.

Kelima, agak sulit untuk memasukkan perspektif hermeneutika Gadamerian sebagai bagian dari paradigma interpretivisme konvensional. Kalau hermeneutika intensionalis Hirschian bisa secara konsisten dimasukkan ke dalam kelompok pendekatan hermeneutika interpretivis, maka hermeneutika Gadamer lebih cenderung masuk ke dalam kelompok hermeneutika positivis, atau sekurang-kurangnya inter-subjektivis. Penjelasan terhadap kesimpulan ini adalah karena baik produsen wacana maupun penafsir wacana sama-sama memiliki otonomi, termasuk untuk tidak mencapai kesepakatan makna.

Selain sejumlah implikasi teoretik langsung tersebut, temuan penelitian ini juga berimplikasi pada beberapa perspektif teoretik yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial. Pertama, tilikan berdasar pemikiran teoretik kekuasaan Althusser (1971), menunjukkan bahwa meskipun seorang penguasa berpeluang dan berkewenangan menggunakan baik Aparat Represif Negara (RSA) dan Aparat Ideologik Negara (ISA), ternyata kedua aparat ini tidak selalu berhasil melestarikan kekuasaan. Salah satu penyebab kegagalan ini adalah sejumlah cacat dalam wacana politik, sehingga tidak berhasil menjadi arus utama di lembaga legislatif.

Kedua, temuan penelitian ini menghaluskan tipologi penguasaan menurut Gramsci (1971), dengan menambahkan satu jenis upaya penguasaan yang terletak di antara penguasaan koersif dan penguasaan hegemonik, yaitu penguasaan intimidatif. Jenis penguasaan ini ditandai oleh ancaman penggunaan perangkat represif, sambil berupaya membangun politik makna hegemonik. Terkait dua sumber pokok kekuasaan menurut Galtung, tampak bahwa dalam upaya mempertahankan kekuasaan, Abdurrahman Wahid telah gagal baik dalam mengerahkan sumber-sumber ideologik maupun sumber-sumber punitif. Kekuasaan ideologik dibangun berdasarkan ideologi, kebudayaan, dan bahasa, sedangkan kekuasaan punitif dibangun di atas anggaran belanja militer persenjataan militer, dan personil militer (Windhu, 1992: 40).

Ketiga, dari perspektif teoretik kekuasaan dan kekerasan menurut Bourdieu (1994), temuan penelitian ini menyumbang tipologi agak berbeda. Konseptualisasi dan teoretisasi kekuasaan dan kekerasan simbolik ala Bourdieu tidak berlaku manakala pihak-pihak yang terlibat menguasai sumber-sumber kekuasaan yang setara. Apa yang terjadi ketika seseorang berupaya melakukan kekerasan simbolik terhadap orang lain yang setara yang mampu melakukan perlawanan bukan lagi kekerasan simbolik, melainkan pertikaian simbolik.

Keempat, wacana sebagai bentuk paling kompleks dari bahasa, tidak hanya menggambarkan dinamika sosial-politik suatu masyarakat, tetapi juga dapat digunakan untuk berselisih atau memantapkan hubungan antar manusia. Kekacauan-kekacauan dalam hubungan sosial, termasuk dalam komunikasi politik, tertampil jelas dalam wacana-wacana yang berkembang. Membangun sebuah masyarakat yang harmonis, karena itu, juga sangat bergantung pada kemampuan para elit dan anggota masyarakat dalam menggunakan bahasa secara baik. Elit politik, tidak bisa tidak, harus menghayati sungguh-sungguh bahwa makna suatu wacana tidak sama sekali bergantung pada keniatan, tetapi juga partisipasi --- yang dipengaruhi oleh horison --- penafsirnya. Para ahli sosiolinguistik, melalui pemaparan hasil-hasil kajiannya, diharapkan bisa mendukung peningkatan peran bahasa bagi pembangunan suatu masyarakat agar mampu menggunakan bahasa secara efektif. Bila tercapai, maka peran itu sudah merupakan sumbangan yang sangat positif bagi masyarakatnya.

Kelima, keberlangsungan kekuasaan seorang pejabat publik sebagiannya ditentukan oleh praktik berbahasa dan berwacana. Ketidak-efektivan praktik berbahasa dan berwacana memberikan "bidang rentan" yang bisa dijadikan sebagai sasaran serangan para pesaing politik. Semakin efektif seorang pejabat publik dalam berbahasa dan berwacana, maka semakin kecil bidang rentan yang bisa diserang oleh para pesaing politiknya. Sebaliknya semakin tidak efektif seorang pejabat publik dalam berbahasa dan berwacana, maka semakin besar bidang rentan yang bisa diserang oleh para pesaing politiknya.

Akhirnya, sejauh menyangkut substansi tentang pemaknaan, temuan-temuan penelitian ini memang mengukuhkan tesis Gadamer. Namun demikian, berkenaan dengan metodologi kajian, pendekatan Gadamer tidak memberi panduan yang sebagaimana, misalnya, protokol analisis fungsional Merton. Gadamer begitu sibuk dengan pertanyaan tentang kebenaran (the question of truth) sehingga menjadi kurang praktikal sebagai perspektif teoretik. Karena itu, diperlukan keberanian berspekulasi bagi siapa pun peneliti yang bermaksud menggunakan pemikirannya sebagai perspektif teoretik.

Bertolak dari kerangka pemikiran Gadamer yang mengandaikan ada dua pihak yang terlibat dalam penafsiran, antara wacana dengan penafsir, penelitian ini dikembangkan. Kerangka pikir demikian, ternyata tidak cukup aplikatif, sehingga peneliti harus mengembangkan sendiri metodologi kajiannya sepanjang tetap konsisten dengan kerangka pemikiran dasar Gadamer. Sudah barang tentu, terkandung sejumlah kelemahan dalam metode yang digunakan dalam kajian ini. Karena itu, penulis mendorong masyarakat akademik untuk mempertanyakan dan menyempurnakan metode yang telah digunakan dalam kajian ini.


DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri. 1995. Responses of Indonesian Muslim Intellectuals to the Concept of Democracy (1966-1993). Disertasi Doktor pada Universitas Hamburg Jerman.

Affandi, Arief. 1997. Islam Demokrasi Atas Bawah; Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Agger, Robert E. Daniel Goldrich and Bert Swanson. 1973. "Classifying Power Structure and Political Regimes", in Willis B. Hawley and Frederick M Wirth, The Search for Community Power. New Jersey: Prentice-Hall Inc.

Al-Brebesy, Ma’mun Murod. 1999. Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur & Amien Rais tentang Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Althusser, Louis. 1971. Essays on Ideology. London: Verso.

Alvesson, Mats and Kats Kaj Skoldberg. 2000. Reflexive Methodology: New Vistas for Qualitative Research. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications.

Anderson, B. R. O'G. 1972. "The Idea of Power in Javanese Culture" in C. Rolt (Ed.) Culture and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.

Barton, Greg. 2002. "Gus Dur dan Relasinya dengan Kekuasaan", dalam Khamami Zada (Ed.), Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan. Jakarta: LAKPESDAM.

Barton, Greg. 2002. GUS DUR: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Jakarta, Singapore: Equinox Publishing (ASIA) PTE Ltd.

Bertens, Kees. 1981. Filsafat Barat dalam Abad XX. Jil. 1. Jakarta: Gramedia.

Bleicher, Josef. 1980. Contemporary hermeneutics: Hermeneutics as method, philosophy, and critique. London, Boston and Henley: Routledge & Kegan Paul.

Blum-Kulka, Shoshana, Menahem Blondheim and Gonen Hacohen. 2002. “Traditions of dispute: from negotiations of talmudic texts to the arena of political discourse in the media”. Journal of Pragmatics 34 (2002) 1569-1594. Department of Communication, Hebrew University, Jerusalem 91905, Israel, UCLA, Los Angeles, CA,USA.

Bourdieu, Pierre. 1994. Language and Symbolic Power. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.

Chilton, P. 1996. Security Metaphors: Cold War Discourse from Containment to Common House. New York: Peter Lang.

Collins, Randal. 1975. Conflict Sociology: Toward an Explanatory Science. New York: Academic Press.

Crouch, H. 1978. The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.

Dewantara, Ki Hadjar. 1932. “Kebangsaan”, dalam Karja Ki Hadjar Dewantara, bagian IIA: Kebudayaan. Jogjakarta: Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Discourse & Society. 1999. An International Journal for the Study of Discourse and Communication in The Social, Political and Cultural Contexts. Volume 10, Number 1, January. London: Sage Publications.

Eagleton, T. 1983. Literary Theory: An Introduction. London: Basil.

Easton, David. 1990. The Analysis of Political Structure. London: Routledge.

Eco, Umberto. 1986. Travels in Hyperreality. Picador.

Edwards, D. Clark. 1986. “Predicting Presidential Decision-Making from Presidential Language and Mass Media Reportage” in Presidential Studies Quarterly, Department of Communication, Duquesne University.

Eriyanto. 2000. Kekuasaan Otoriter: Dari Gerakan Penindasan Menuju Politik Hegemoni. Studi atas Pidato-Pidato Politik Soeharto. Yogyakarta: INSIST.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana. Yogyakarta: LkiS.

Fairclough, Norman and Ruth Wodak. 1997. "Critical Discourse Analysis", in Teun A. van Dijk (Ed.), Introduction to Discourse Analysis. London; Sage Publications.

Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. London and New York: Longman Group UK.

Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Harlow Essex: Longman Group Limited.

Fay, Brian. 1996. Contemporary Philosophy of Social Science. Oxford: Blackwell.

Fealy, Greg & Greg Barton. 1997. Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama. Jakarta: Rajawali Pers.

Feith, H. 1962. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca: Conell University Press.

Foss, Sonja K., Kreen A. Foss, and Robert Trap. 1985. Contemporary Perspectives on Rhetoric. Illinois: Waveland Press.

Foucault, Michel. 1972. The Archeology of Knowledge & The Discourse on Language. New York: Pantheon Books.

Fowler, R. 1985. "Power", in Teun A. van Dijk, T. (Ed.) Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society. London: Academic Press.

Fowler, Roger. 1991. Language in the News: Discourse and Ideology in the Press. London and New York: Routledge.

Gadamer, Hans-Georg., K. Specht, and W. Stegmuller. 1988. Hermeneutics Versus Science?: Three German Views. Translated, Edited and Introduced by John M. Connolly and Thomas Keutner. Notre Dame, Indiana: University of Notre Dame Press.

Gadamer, Hans-Georg. 1975. “Hermeneutics and Social Sciences”, Cultural Hermeneutics, Vol. 2, No. 4, 307-336.

Gadamer, Hans-Georg. 1975. Truth and Method. New York: The Seabury Press.

Gadamer, Hans-Georg. 1977. Philosophical Hermeneutics. Translated and Edited by David E. Linge. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.

Gadamer, Hans-Georg. 1980. Dialogues and Dialectic: Eight Hermeneutical Studies on Plato, diterjemahkan dengan pendahuluan oleh P. Christoper Smith. New Heaven and London: Yale University Press.

Gadamer, Hans-Georg. 1986. “The History of Concepts and the Language of Philosophy”, in Leon J. Goldstein et al (eds.), International Studies in Philosophy. Volume XVIII/3. The State University of New York at Binghamton.

Gadamer, Hans-Georg. 1990. “Historicity of Understanding”, in Kurt Mueller-Vollmer, The Hermeneutics Reader: Texts of the German Tradition from the Enlightenment to the Present. New York: Continuum.

Gibbons, Michael T. 2002. Tafsir Politik: Telaah Hermeneutis Wacana Sosial-Politik Kontemporer. Edisi Bahasa Indonesia oleh Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Penerbit Kalam.

Gramsci, Antonio. 1971. Selection from the Prison Notebooks, (Edited by Hoare, O. and Smith, G.). London: Lawrence and Wishart.

Grant, Ruth W. and Marion Orr. 1996. Language, Race and Politics: From “Black” to “African-American”. Journal of POLITICS & SOCIETY, Vol. 24, No. 2, June, 137-152. Sage Publications.

Grice, Paul. 1957. Meaning: Philosophical Review. Vol. 66.

Grondin, Jean. 1994. Introduction to Philosophical Hermeneutics. London: Grounded Theory, Procedures and Techniques. New Bury Park, California: Sage Publications.

Heinen, Jacqueline and Anna Matuchniak-Krasuska. 1989. Abortion in Poland: A Vicious Circle or a Good Use or Rethoric. A Sociological Study of the Political Discourse of Abortion in Poland. Women’s Studies International Forum, Vol. 18, No. 1. pp. 27-33. Elsevier Science Ltd.

Heryanto, Ariel. 1993. Discourse and State-Terrorism: A Case Study of Political Trials in New Order Indonesia 1989-1990. A Thesis Submitted for the Degree of Doctor of Philosophy in the Department of Anthropology Monash University Australia.

Hikam, Muhammad AS. 1999. “Negara dan Civil Society: Refleksi atas Pemikiran Gus Dur ”, dalam Achmad Fathoni Rodli dan Fahruddin Salim (eds.). Berguru kepada Bapak Bangsa: Kumpulan Esai Menelusuri Jejak Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid. Jakarta: Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor.

Hirsch Jr, E. D. 2000. “Keabsahan Sebuah Interpretasi", dalam Toety Herati (Ed.). Hidup Matinya Sang Pengarang; Esai-Esai tentang Kepengarangan oleh Sastrawan dan Filsuf. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hooker, Virginia M. 1996. “Bahasa dan Pergeseran Kekuasaan di Indonesia: Sorotan terhadap Pembakuan Bahasa Orde Baru”, dalam Latif, Yudi dan Ibrahim, I. S. (eds.) Bahasa dan Kekuasaan : Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Penerbit Mizan.

Howard, Roy J. 2001. Hermeneutika: Pengantar Teori-Teori Pemahaman Kontemporer. Wacana Analitis, Psikososial, & Ontologis. Edisi Bahasa Indonesia oleh Kusmana dan M. S. Nasrullah. Ninuk Kleden-Probonegoro (eds.) Bandung: Penerbit Nuansa.

Iedema, Rick and Ruth Wodak. 1999. "Introduction: Organizational Discourses and Politics", in Discourse & Society. An International Journal for the Study of Discourse and Communication in The Social, Political and Cultural Contexts. Volume 10, Number 1, January. London: Sage Publications.

Kahin, G. McT. 1952. Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.

Kelley, Philip F. 1997. Globalization, Power and the Politics of Scale in the Philippines. Department of Geography, University of British Columbia, 217-1984 West Mall, Vancouver, British Columbia, Canada.

Leigh, Barbara. 1991. Making the Indonesian State: The Role of Schools. Roma, Vol. 25 Winter.

Leslie, D. A. 1995. Global scan: the globalization of advertising agencies, concepts and campaign. Economic Geography 71 (4), 402-425.

Littlejohn, Stephen W. 1992. Theories of Human Communication. Belmont, California: Wadsworth publishing company.

Lofland, J. 1971. Analyzing social settings. Belmont, Calif. : Wadsworth.

Malik, Dedy Djamaluddin dan Idi Subandy Ibrahim. 1998. Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran & Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Zaman Wacana Mulia.

Mattelart, A. 1994. Mapping World Communication: War, Progress, Culture. Translated by Susan Emmanuel and James Cohen. Minnesota: Minnesota University Press.

Maulidin. 2003. “Sketsa Hermeneutika”. Gerbang. No. 14. Volume V. hal. 3 – 44.

McHuffie, P. 1997. Decoding the globe: globalism, advertising and corporate practice. Society and Space 15, 73-86.

Merton, Robert King. 1976. “The Unanticipated Consequences of Social Action”, in Sociological Ambivalence. New York: The Free Press.

Oduori, Robert W. 2002. "Language and Politics in Kenya: Restricted and Elaborated Codes", in Journal of Language and Linguistics, Vol. 1, No. 4 2002.

Oetomo, Dede. 1993. "Pelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana", dalam Bambang Kaswanti Purwo (Ed.), Pellba 6-Analisis Wacana, Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Palmer, Richard E. 1969. Hermeneutics. Evanston: Northwestern University Press.

Portes, Alecandro. 2000. “The Hidden Abode: Sociology as Analysis of the Unexpected”, American Sociological Review. Volume 65, Number 1. February 2000.

Rahardjo, Mudjia. 2001. "Bahasa dan Peradaban: Sebuah Tinjauan Filsafat", Pidato Ilmiah, Disampaikan pada Rapat Terbuka Senat STAIN Malang dalam Rangka Wisuda Lulusan Program Diploma 2, Sarjana S1, dan Pascasarjana S2 Smt Genap Tahun Akademik 2001/2001, 27 Oktober 2001.

Rakhmat, Jalaluddin. 1996. “Komunikasi dan Perubahan Politik di Indonesia”, dalam Latif, Yudi dan Ibrahim, I. S. (eds.) Bahasa dan Kekuasaan : Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Penerbit Mizan.

Ramage, Douglas E. 1995. Politics in Indonesia: Democracy, Islam, and the Ideology of Tolerance. London and New York: Routledge.

Ricoeur, Paul. 1979. "The Model of the Text: Meaningful Action Considered as a Text", in Rabinov & Sullivan, Interpretive Social Sciences; A Reader. Barkeley: University of California Press.

Santoso, Anang. 2001. Pilihan Bahasa dalam Wacana Politik. Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Smelser, Nell J and R. Stephen Warner. 1976. Sociological Theory: Historical and Formal. Morristown: General Learning Press.

Sparringa, Daniel T. 1997. Discourse, Democracy and Intellectuals in New Order Indonesia: A Qualitative Sociological Study. A Thesis submitted for the Degree of Doctor of Philosophy of the Flinders University of South Australia.

Sparringa, Daniel T. 1999. "Demokrasi: Visi Alternatif dan Pilihan Strategi", dalam St. Sularto (ed). Visi dan Agenda Reformasi: Menuju Masyarakat Indonesia Baru. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Sparringa, Daniel T. 1999. “Pandangan Orang tentang Langkah Gus Dur”, Aula, Januari 1999.

Sparringa, Daniel. 2001. Analisis Wacana. Working Paper, FISIP Universitas Airlangga.

Strauss, Anslem and Juliet Corbin. 1990. Basic of Qualitative Research: Grounded Theory, Procedures and Techniques. New Bury Park, California: Sage Publications.

Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Trudgill, Peter. 1995. Sociolinguistics: An introduction to language and society. London: Penguin Books.

Vollmer, Kurt Mueller (Ed.) 1990. The Hermeneutics Reader: Texts of the German Tradition from the Enlightenment to the Present. New York: The Continuum Publishing Company.

Warsono. 2002. Wacana Politik Kiai NU pada Era Pemerintahan Gus Dur: Apakah Sebaga Intelektual Organik atau Intelektual Tradisional? Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga.

Waters, Malcom. 1994. Modern Sociological Theory. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications.

Windhu, I. Marsana, 1992, Kekuasaan & Kekerasan menurut Johan Galtung, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Wodak, Ruth. 1990. Friend or foe: the defamation or legitimate and necessary criticism? Reflections on the recent political discourse in Austria. Journal of Language & Communication 22 (2002) 495-517. Austria: Elsevier Ltd.

Tidak ada komentar: