Penulis menyayangkan kebungkaman Baasyir yang justru memperkeruh keadaan. Tidakkah beliau ingin menjalankan ibadah puasa dengan tenang bersama keluarga di rumah? Maka, jawab saja setiap pertanyaan apa adanya. Jika tuduhan itu salah, publik pasti memberikan dukungan. Namun jika benar, penulis ingin memberikan sumbangsih catatan sebuah hadis yang ditengarai menjadi salah-satu dalil pembenaran memberantas kemungkaran, termasuk dengan cara terorisme.
Lagi-lagi masalah terorisme menyita opini publik. Motifnya juga lakonnya, usang. itu lagi – itu lagi. Abu Bakar Baasir tertuduh sebagai otak dibalik aksi terorisme. Kali ini yang terjadi di Aceh. Hingga tulisan ini dibuat, Baasyir tetap bungkam, tidak menjawab pertanyaan penyidik. Publik pun semakin penasaran dan bertanya-tanya: siapa sebenarnya yang salah? Benarkah sangkaan kepada Ustad pengasuh Pondok Ngruki itu, lantas enggan menjawab, karena takut keceplosan bicara keliru? Atau, sebagaimana disuarakan para pendukung Baasyir, semua ini cuma rekayasa aparat menahan Baasyir atas tekanan pihak asing?
Penulis tentu tidak berwenang menjawab pertanyaan di atas. Biar pengadilan yang mengungkapnya. Sejujurnya, penulis underestimate mengikuti pemberitaan ini. Padasatu sisi, penulis pesimis dengan upaya kepolisian memberantas terorisme. Banyak permasalah interenal kepolisian yang penyelesaiannya ditunggu publik, namun hingga kini belum kelar. Kasus Jenderal berekening gemuk adalah satu dari sekian kasus yang dimaksud. Sempat terfikir: jangan-jangan ini akal-akalan Polri mengalihkan opini publik.
Di sisi lain, penulis juga menyayangkan kebungkaman Baasyir yang justru memperkeruh keadaan. Tidakkah beliau ingin menjalankan ibadah puasa dengan tenang bersama keluarga di rumah? Maka, jawab saja setiap pertanyaan apa adanya. Jika tuduhan itu salah, publik pasti memberikan dukungan. Namun jika benar, penulis hanya ingin memberikan sumbangsih catatan sebuah hadis yang ditengarai menjadi salah-satu dalil pembenaran memberantas kemungkaran, termasuk dengan cara terorisme.
***
Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda: "Barang siapa yang menyaksikan kemungkaran, maka iawajib mencegahnya dengan tangan; jika tidak bisa, maka dengan lisan; jika takbisa juga, cukuplah dengan hati; dan cara pengingkaran ketiga ini termasukselemah-lemahnya keimanan. Secara harfiah, hadis ini menjelaskan kewajiban setiap muslim untuk mencegah kemungkaran yang disaksikannya berikut keterangan klasifikasi keimanan seseorang. Hadis ini cukup masyhur di kalangan umat Islam.
Selain menjadi landasan kewajiban mencegah kemungkaran, dari pengertian leterlek difaham jenjang keimanan seseorang. Sesuai cara yang dipakai untuk mencegah kemungkaran --dengan tangan, lisan dan hati--keimanan seorang muslim bisa terkatagori: kuat, lemah, bahkan sangat lemah. Dengan jenjang keimanan ini, tersisa beberapa masalahan untuk mengkaji ulang pemahaman hadis dimaksud.
Masalah yang penulis anggap cukup mendasar adalah tingkat keimanan menjadi taqdir yang karenanya tidak semua muslim bisa menjadi mukmin yang " kuat". Untuk mengartikan makna 'tangan' dalam hadis di atas, selain arti aslinya sebagai kekuatan fisik, ia juga dikonotasikan dengan kekuasaan. Pada titik ini kita tahu, tidak semua orang memiliki 'tangan' seperti dimaksud. Karenanya, hanya mereka yang kuat secara fisik dan memiliki kekuasaanlah yang berpeluang menjadi mukmin kuat. Tanpa keduanya, jelas kebagian dua katagori keimanan lainnya: lemah dan sangat lemah.
Bisa jadi, karena ingin tergolong sebagai 'mukmin sejati', banyak muslim yang menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Dengan motifasi beriman kuat, meski tak punya "tangan", tetap saja mereka ingin meraihnya. Bom bunuh diri atau upaya teror seperti yang selama ini meresahkan banyak pihak menjadi contoh alternatif yang mungkin bisa dilakukan. Walhasil, bisa kita saksikan dampaknya belakangan ini.
Lalu, bagaimana seharusnya kita memahami kandungan hadis di atas? Benarkah penyebutan cara mencegah kemungkaran dalam hadis tersebut, sekaligus menjadi klasifikasi keimanan seseorang, tanpa terlebih dulu menilik keberadaan sang muslim?
Tiga cara itu tdak lain hanya penegasan tipologi masyarakat saja. Penulis melihat, bukan lantas orang yang lemah, baik fisik, harta dan kekuasaan, hingga tak berdaya mencegah kemungkaran dengan 'tangan' dan 'lisan', serta merta termasuk selemah-lemah iman. Sama sekali bukan. Pada hakekatnya, tidak satu pun orang yang ingin lemah, termasuk dalam hal keimanan. Predikat selemah-lemah iman hanya bagi dua kelompok masyarakat muslim pertama dan keduadalam hadis tersebut. Lantas siapakah dua kelompok tersebut?
Kelompok pertama adalah umara atau pemerintah. Dengan kekuasaan yang dimiliki, kelompok ini dikatagorikan beriman kuat jika telah menggunakan 'tanga'nya untuk merubah kemungkaran. Tidak sekedar dengan 'lisan' atau bahkan 'hati' saja. Kedua cara terakhir tidak cukup bagi pemerintah dalam upaya memberantas kemungkaran yang disaksikannya.
Kedua, golongan yang hanya memiliki "lisan". Penulis cendrung mengartikan kata'lisan' dengan pengetahuan dan kemampuan untuk berdakwah. Kalau yang pertama adalah pemerintah, maka kelompok kedua ini bisa kita sebut para agamawan:ulama, cendikiawan dan para guru. Mereka akan berpredikat mukmin yang kuat jika telah berseru atau berda'wah untuk mencegah kemungkaran yang dilihatnya. Ya, hanya sebatas nasehat dan dakwah yang bisa dilakukan kelompok ini. Selebihnya, justru keliru jika kekerasan, teror atau bom bunuh diri dijadikan wahana mencegah kemungkaran. Karena memang kelompok kedua ini tidak memiliki hak untuk itu.
Pastinya, bukan termasuk 'mukmin sejati', mereka yang meneror atau melakukan bom bunuh diri untuk mencegah kemungkaran, karena mereka tak berwenang melakukannya. Laku mereka tak ubahnya kekejian untuk mencegah kekejian. Mereka bahkan termasuk kelompok yang beriman lemah: tak mampu menahan nafsu untuk tidak melakukan pekerjaan yang bukan haknya. Dalam kaidah fiqih dikatakan, asy-syarru laa yudi'u bi al-syarri, kejahatan tidak boleh ditanggulangi dengan kejahatan juga.
Waba'du, adapun kelompok muslim yang memang tidak memiliki kekuasaan juga bukan orang yang berilmu, maka jelas tak ada tuntutan optimalisasi keimanan mereka dengan berusaha mencegah kemungkaran menggunakan "tangan" dan"lisan". Sebagaimana alasan di atas, kelompok ini memang tak ada daya dan upaya melakukan semua itu. Karenanya, meski hanya dengan hati, klasifikasi keimanan kelompok ini tetap bukan termasuk mukmin yang lemah. Mungkin ini sebabnya kenapa Nabi selalu berdo'a agar menjadi orang mislin saja. Allahummaj'alni miskiinan, wa amitni miskiinan. Apakah anda juga berminat mengikuti jejak Nabi Muhammad berdo'a menjadi orang miskin? Wallahu a'lam bissawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar