Oleh Abdul Moqsith Ghazali
Akad nikah dalam fikih Islam cenderung bersifat material, jauh dari hal-hal yang bersifat filosofis dan romantis. Umat Islam sesekali perlu menengok praktek akad nikah umat agama lain. Dalam perkawinan Katolik misalnya, yang menjadi sentral pembicaraan dalam akad nikah adalah soal cinta kasih. Ia adalah soko guru dan fondasi yang akan kuat menopang rumah tangga. Demikian kuatnya ikatan perkawinan yang hendak dirajut, pengkhotbah dalam perkawinan selalu berkata: “Apa yang dipersatukan oleh Tuhan tak boleh diceraikan oleh manusia”.
Fikih adalah tafsir –tafsir terhadap teks sekaligus konteks. Karena itu, fikih mesti diletakkan dalam konteks sosial tertentu dan basis epistemologis tertentu pula. Berbagai variabel seperti di mana fikih itu dirumuskan, oleh siapa, pada zaman apa, dalam keadaan bagaimana akan berpengaruh besar terhadap bunyi-ujaran fikih. Kesadaran tentang ini akan membantu kita untuk mengarifi dan memahami segala keterbatasan fikih Islam. Terlebih, semua ulama fikih dengan rendah hati selalu berkata bahwa tak tertutup kemungkinan ada sejumlah kesalahan dan kelalaian dalam ijtihad fikihnya. Faktor human error sangat mungkin terjadi dalam proses perumusan fikih Islam, dulu maupun sekarang.
Dasar pemikiran inilah yang kerap saya pakai dalam membaca fikih perkawinan. Pertama, benar sekiranya dikatakan bahwa perkawinan dalam fikih adalah perkawinan laki-laki+laki-laki+laki-laki. Terutama dalam fikih mazhab Syafi’i, tak ada ruang bagi perempuan untuk tampil sebagai wali dan saksi. Jika seorang ayah berhalangan sebagai wali nikah, maka kewalian jatuh pada kakek si mempelai perempuan, bukan pada ibunda yang bersangkutan. Begitu juga selanjutnya, sekiranya si kakek tidak bisa, maka hak kewalian jatuh pada saudara laki-laki kandung, lalu paman, dan ujungnya adalah wali hakim. Setali tiga uang dengan itu adalah soal saksi. Perempuan tak diperkenankan menjadi saksi dalam perkawinan. Alih-alih boleh mengawinkan dirinya sendiri, untuk menjadi wali nikah bagi anak gadisnya atau cucunya bagi seorang ibu atau nenek tak dimungkinkan secara fikih.
Pertanyannya, apakah fikih yang demikian salah? Jika diukur dengan parameter kesetaraan dan keadilan gender sekarang, itu sebuah kesalahan; pelecehan terhadap harkat dan martabat perempuan (ibu, nenek, saudari perempuan kandung, dan bibi). Namun, jika kita memperhatikan keadaan umum perempuan saat itu, kita bisa sedikit mengarifi keadaan. Ketika fikih perkawinan itu disusun, yang paling tahu dan mengerti perihal calon suami “terbaik” bagi anak gadis, cucu, dan ponakan bukanlah ibu, nenek, bibi, atau saudari perempuan; melainkan ayah, kakek, saudara laki-laki kandung, dan paman. Saat itu, semua perempuan (ibu, nenek, bibi, saudari perempuan) bergerak di ruang domestik. Pengetahuan mereka tentang “dunia laki-laki” sangat terbatas. Itu sebabnya, kewalian diberikan kepada laki-laki bukan kepada perempuan.
Zaman telah lama berganti. Indonesia pun bukan negeri Arab-Timur Tengah. Karena itu, mengangkut fikih lama dalam ruang keluarga kini-di sini bukanlah tindakan bijaksana. Tak seperti perempuan Arab yang hingga kini masih “ditumpuk” di ruang domestik, maka perempuan Indonesia sudah lama bergerak ke ruang publik sebagai buruh pabrik, buruh tani, guru, hakim, advokat, dan lain-lain. Tak seperti perempuan Arab yang awam mengenai laki-laki, maka perempuan Indonesia cukup mengerti tentang laki-laki terbaik untuk menjadi suami bagi anak gadisnya, cucunya, ponakannya. Lagi-lagi tak seperti perempuan Arab yang sulit bertemu dan berkenalan dengan laki-laki lain di luar mahramnya, maka perempuan Indonesia bisa dengan mudah bertemu dan berkenalan dengan laki-laki lain, di ladang hingga di perkantoran.
Pertanyaan yang segera harus dijawab adalah: masihkah kita bertahan dengan fikih Arab lama bahwa perempuan tak boleh menjadi wali, saksi, dan menikahkan dirinya sendiri ketika ruang dan waktu sudah berganti? Dalam menjawabnya, para ulama fikih terbelah dua: yang pro dan kontra Ulama yang kontra biasanya cenderung menaklukkan konteks pada otoritas teks. Analogi yang selalu dipakai, bukan kepala yang harus diganti ketika peci tak berhasil masuk. Pecilah yang harus meyesuaikan diri dengan ukuran kepala. Sementara ulama yang pro perempuan menjadi wali nikah, senantiasa menyerap perubahan konteks yang berakibat pada perubahan teks. Bagi mereka, al-Qur’an—apalagi fikih—bukanlah “batok kepala” yang statis, melainkan teks yang memiliki tingkat kekenyalan dan adaptasi (murûnah) yang tinggi terhadap konteks budaya masyarakat yang beragam. Kemungkinan terjadinya saling pengaruh-mempengaruhi antara fikih dan realitas, cukup besar.
Kedua, Islam mensyariatkan maskawin (mahar) dalam perkawinan. Semua buku-buku fikih menuturkan tentang pentingnya pemberian maskawin oleh calon suami kepada calon istri. Akibat maskawin yang diberikan itu, maka suami punya hak untuk memanfaatkan (haqq al-intifâ’) bahkan memiliki (haqq al-tamlîk) tubuh perempuan. Menarik disimak bahwa dalam kasus perceraian yang belum terjadi hubungan seksual (qabl al-dukhûl), maka maskawin kembali separuh. Dan dalam kasus perceraian setelah terjadi hubungan seksual (ba’da al-dukhûl), maka maskawin utuh dimiliki oleh si isteri. Dalam mekanisme perkawinan seperti ini, kita tak bisa menutup aroma “jual-beli” atau barter antara lelaki dan perempuan. Akad atau transaksi perkawinan seperti ini, sekali lagi, tak ubahnya “jual beli” barang. Yang satu berperan sebagai pembeli (calon suami) dan yang lain sebagai penjual (wali si perempuan).
Akad nikah dalam fikih Islam cenderung bersifat material, jauh dari hal-hal yang bersifat filosofis dan romantis. Umat Islam sesekali perlu menengok praktek akad nikah umat agama lain. Dalam perkawinan Katolik misalnya, yang menjadi sentral pembicaraan dalam akad nikah adalah soal cinta kasih. Ia adalah soko guru dan fondasi yang akan kuat menopang rumah tangga. Demikian kuatnya ikatan perkawinan yang hendak dirajut, pengkhotbah dalam perkawinan selalu berkata: “Apa yang dipersatukan oleh Tuhan tak boleh diceraikan oleh manusia”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar