14.11.11

BAHASA ARAB: FASHAHANYA DALAM ILMU NAHWU DAN BALAGAH

BAHASA ARAB DAN FASHÂHAH

DALAM PERSPEKTIF NAHWU DAN BALAGAH

A. PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam yang telah menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi kehidupan umat manusia. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW, utusan Allah dari kalangan Arab yang dipilih untuk mengemban amanah suci ajaran agama Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an.

Sebagai umat Islam, kita dituntut meyakini, bahwa Al-Quran merupakan mukjizat terbesar bagi Nabi Muhammad saw. Kemukjizatannya terkandung pada aspek bahasa dan isinya. Dari aspek bahasa, Al-Quran mempunyai tingkat fashâhah dan balâghah yang tinggi. Sedangkan dari aspek isi, pesan dan kandungan maknanya melampaui batas-batas kemampuan manusia.

Ketika masa-masa awal kemunculan Al-Quran, banyak isi kandungan tidak bisa ditangkap oleh orang-orang pada waktu itu. Pembuktian isi Al-Qur’an bersifat dinamis; tidak sedikit kebenarannya baru bisa dibuktikan pada zaman-zaman setelahnya. Dinamisasi kebenaran isi Al-Qur’an terus berjalan hingga saat ini, dan diyakini akan berlanjut hingga akhir zaman.

Dalam aspek kebahasaaan, pemilihan bahsa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an menyisakan banyak kajian yang telah dihasilkan para pakar. Hal ini tidak lain sebagai upaya menjaga kemurnian serta fashâhah bahasa Arab. Ada baiknya, kalau dalam kesempatan ini dipaparkan sekilas tentang bahasa Arab dan keutamannya dibandingkan bahasa-bahasa lainnya.

A. SEKILAS KEUTAMAAN BAHASA ARAB

Tidak dipungkiri bahwa semua bahsa di dunia ini mempunyai ciri khas dan keutamaannya masing-masing, sebagai pembeda antara satu dengan lainnya. Demikian juga halnya dengan bahasa Arab. Bagi penuturnya, bahasa Arab merupakan bahasa yang paling sistimatis dalam penyusunan kata-katanya, paling mudah difaham, dan paling menyentuh pada dzauq. Ibnu Khaldun menyatakan: kecakapan dalam berbahasa Arab merupakan satu kecakapan bahasa yang paling bisa mejelaskan maksud pembicaraan.

Hampir serupa, Ibnu Faris berpendapat bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang paling utama dan sangat luas jangkauannya. Tuhan alam semesta telah memilih rasul-Nya yang paling mulia dari gologan bangsa Arab untuk mengemban risalah penutup bagi sekalian alam adalah bukti kemulian bahasa Arab yang tidak terbantah.

Sedemikian utama dan luasnya jangkauan bahasa Arab, maka tidak satu pun penerjemah yang mampu melukiskan kandungan Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab. Sebagaimana penerjemahan kitab Injil dari bahasa Suryani ke bahasa Habasyiyah dan bahasa Romawi; dan juga seperti penerjemahan kitab Taurat, Zabur dan semua kitab-kitab Allah dengan menggunakan bahasa Arab. Hal itu karena keluasan majaz bahasa ‘Ajam tidak seluas bahasa Arab. Dalam al-‘Ain, hitungan suku kata bahasa Arab, baik yang tsulasi, ruba’i, dan juga khumasi-nya tercatat tidak kurang dari 12. 305.412 kata.

Lebih terperinci lagi, imam Suyuti menjelaskan keutamaan bahasa Arab dan keluasannya dengan ciri-ciri: 1) bahasa yang kaya metafora, 2) ta’wid, yakni satu kata bisa berfungsi untuk kedudukan kata lainnya. Seperti kedudukan amar digunakan oleh masdar, contoh: صبرا آل ياسر فإن موعدكم الجنة ; fa’il menempati kedudukan masdar, contoh: ليس لوقعتها كاذبة أي تكذيب ; maf’ul menempati kedudukan masdar, contoh: بأيكم المفتون أي الفتنة ; dan maf’ul menempati kedudukan fa’il, contoh: حجابا مستورا أي ساترا .3) memperingan pengucapan satu kata dengan membuang sabagian hurufnya, contoh: لم يك ... , dan 4) perubahan harakat dan penambahan huruf berdampak pada perubahan makna, contoh: مِفتاح و مَفتاح ; pada kata “maftah” dengan harakat fathah pada huruf “mim” bermakna tempat membuka, sedangkan jika “mim” diganti harakatnya dengan kasrah bermakna “kunci”.

Keterang di atas hanya sekelumit tentang keluasan bahasa arab dan keutamaannya dibanding dengan bahasa lainnya di dunia. Kenyataan ini bukan saja diakui oleh kita sebagai umat Islam, namun tidak sedikit kaum terpelajar dan pakar bahasa di kalangan non-Arab yang mengakui hal tersebut. Ada Ernest Reanan, orientalis dari Prancis; ada Mairis, ilmuan Barat; juga ada orientalis Jerman yang juga seorang Doktor Ilmu Filsafat, Ana Maria Simual. Masih banyak lagi kalangan ilmuan yang mengakui keunggulan bahasa Arab. (Nayif Mahmud Makruf, 1998:38).

Dari penjelasan di atas, tidak heran jika banyak uama Islam, baik dari kalangan Arab dan non-Arab, juga dari kalangan non-muslim yang mencurahkan perhatian dan konsentrasi mereka untuk mengkaji keistimewaan bahasa Arab, terhitung sejak abad ke satu hijriyah hingga saat ini. Tidak sedikit hasil kajian yang dihasilkan dari tela’ah bahasa al-Qur’an ini. Dari kajian kaidah bahasa, ada ilmu Nahwu dan Sharraf; dari kajian sastra ada ilmu Balagah. Dan masih banyak kajian-kajian lainnya yang juga menghasilkan banyak disiplin ilmu.

Pada kesempatan ini, penulis akan mencoba membahas lebih mengarahkan bahasan tentang sekelumit kajian para pakar bahasa Arab yang berkaitan dengan ilmu Nahwu dan Balagah, kaitannya pandangan dua disiplin ilmu bahasa ini seputar fashâhah.

B. PENGERTIAN FASHÂHAH

Sebagaimana telah umum, sebelum pemaparan difinisi satu hal, ada baiknya dikemukakan terebih dahulu pengertian hal tersebut secara bahasa. Hal ini sebagai upaya pemudahan memahami difinisi dimaksud. Maka, untuk menjelaskan difinisi “fashâhah”, kiranya perlu diketengahkan maknanya secara bahasa.

Secara bahasa “fashâhah” artinya terang dan jelas. Nabi Musa berkata: Saudaraku, Harun lebih jelas bicaranya dan lebih terang perkataannya dibandingkan denganku ) وأخي هارون هو أفصح مني لسانا (; seorang anak kecil disebut fasih jika bicaranya jelas dan terang. (Achmad Al-Hasyimi:6). Dari sini bisa difaham, segala sesuatu yang jelas dan terang bisa dibilang fasih.

Adapun makna “fashâhah“ secara istilah, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Nahwu dan Balagah. Perbedaan ini bisa difaham karena memang berbedanya kajia kedua bidang ilmu tersebut. Ulama Nahwu mensyaratkan kefasehan bahasa Arab dengan standar kebenaran secara kaidah bahasa Arab. Artinya, orang yang disebut fasih dalam berbicara bahasa Arab adalah dia yang tidak lahn; tidak melenceng dari kaidah bahasa yang sudah ditentukan. Sementara ulama Balagah menjadikan tiga standar utama untuk menilik kefasehan bahasa Arab: dari aspek kata, kalimat dan pembicara. Berikut penjelasan lebih detail untuk perbedaan makna “fashâhah“ menurut nuhat dan balagiyin.

C. PANDANGAN BALAGIYIN

Dalam kitabnya, Jawahirul Balagah fi al-Ma’ani wa al-Bayan wa al-Badi’, Hasyimi menuturkan bahwa fashâhah merupakan penggabugan lafad-lafad yang jelas, mudah dimengerti maksudnya, dan biasa digunakan oleh para penulis, serta penyair, karena keindahannya. Hal itu sekaligus menyifati tiga aspek, yakni: kata (kalimat), kalimat (kalam), dan pembicara (mutakallim). Pada ketiga aspek tersebut, “fashâhah“ bisa terjadi dengan syarat-syarat sebagai berikut.

1) FASHÂHAH KALIMAH

Kalimah, atau kata disebut fasih bila terhindar dari: tanafur (berat diucapkan), mukhalafatul qiyas (keluar dari standar ilmu Sharraf), gharabatul Isti’mal (Sangat jarang digunakan), dan karahah fis sam’i (tidak enak didengar). Berikut penjelasan masing-masing:

1. Tanaafurul Huruf: yakni satu kata yang berat untuk diucapkan karena kedekatan antar huruf saat dilafadkan dalam makharijul huruf. Ada dua jenis tanafur pada huruf: syadidul fin naql, seperti: الظش, dan khafif fin naql, seperti: النقنقة.

2. Mukhalafatul Qiyas: yakni satu kata yang keluar dari aturan ilmu Sharaf yang sesuai dengan ketentuan, seperti: الحمد لله العلي الأجلل dalam aturan, kata yang bergaris bawah itu sebenarnya: الأجل

3. Gharabatul Isti’mal: yakni satu kata yang tidak jelas artinya dan jarang dipergunakan di kalangan Arab. Kondisi ini bisa terjadi karena dua hal: karena mengakibatakan kebingungan orang yang mendengarkan, dan karena mengikuti bahasa lainnya. ما لكم تكأكئتم على...

4. Karahatus Sam’i: yakni satu kata yang –menurut arti bahasanya– tidak enak untuk didengar.

2) FASHÂHAH KALAM

Kalam atau kalimat disebut fasih jika maknanya tidak mubham (rancu). Hal ini bisa terjadi bila mana kalimat tersebut terhindar dari lima perkara, yakni: tanafurul kalimat mujtami’ah, da’fut ta’lif, at-ta’qid al-lafdzi, dan al-ma’nawi, katsratut tikrar, tatabu’ul idafat.

1. Tanafurul kalimat mujtami’ah: yakni satu kalimat yang terdapat kata-kata yang berat diucapkan. Seperti: وقبر حربٍ بمكان قفرُ وليس قربَ قبرِ حربٍ قبرُ

2. Da’fut ta’lif: yakni kalimat yang terbentuk tidak sesuai dengan aturan kaidah yang telah disepakati oleh mayoritas ulama Nahwu. Seperti menyebut domir sebelum penyebutan lafalnya atau tingkatannya.

Contoh: جَزَى بنُوهُ أَبَا الغِيلانِ عنْ كِبَرٍ وحُسْنِ فِعْلٍ كما يُجزَى سِنِمَّارُ

(Putranya (bani abu ghilan) membalas kebaikan Abu Gilan dimasa tuanya, dengan balasan sebagaimana dibalasnya orang yg bernama Sinimmar). Da’fut ta’lif pada syair diatas ada pada kalimat ” jazaa banuuhu abal-ghilaani”; menyebut damir pada faa’il yang kembali pada maf’ul yg ada dibelakangnya “lafzhan wa rutbatan”. Demikian ini tidak sesuai dengan kaidah pakem nahwu, sebagimana dalam Alfiyah bab faa’il oleh ibnu malik: وشاع نحو خاف ربه عمر وشذ نحو زان نوره الشجر

3. At-Ta’qid: yakni adanya kerancuan atau samrnya maksud kalam (kalimat). Kesamaran itu baik dari segi lafazhnya, disebabkan takdim (mengedepankan yg seharusnya dibelakang ), ta’khir (mengakhirkan yg seharusnya didepan), atau fashl (pemisahan). Maka dinamakan ta’kid lafzhiy. Seperti contoh perkataan penyair:

جَفَخَتْ وهم لا يجفخون بها بهم شيمٌ على الحسب الأغر وهم لا يجفخون بها

(Adat kebiasaan saling menasehati atas leluhurnya yg mulia, membanggakan mereka. Tapi mereka tidak banggakan diri dengan kebiasaan itu). Kira-kira maksud syair di atas:

فإنَّ تقديرَه: جَفَخَتْ بهم شِيَمٌ دلائلُ على الحسَبِ الأغرِّ، وهم لا يَجفخونَ بها.

Pada syair tersebut terdapat fashl antar jafakhat dan muta’allaq-nya “bihim” dengan kalimat sempurna yg mempunyai makna tersediri wa hum laa yajfakhuuna biha. Kemudian terdapat ta’khir lafazh dalaailu dari muta’allaq-nya ‘alal-hasbil-agharri, sekaligus terjadi fashl antara maushufsyiyamun” dan sifatnya dalaailu dengan muta’alliq-nya; sifat yang seharusnya ada dibelakang ‘alal-hasbil-agharri.

Adapun kesamaran atau kerancuan dari segi makna, disebabkan penggunaan majaz atau kinayah yang tidak difahami maksudnya, maka dinamakan ta’kid ma’nawiy. Contoh, sebagaimana dalam syair (bahar thowil):

سَأَطْلُبُ بُعْدَ الدَّارِ عَنْكُمْ لِتَقْرُبُوا * وَتَسْكُبُ عَيْنَايَ الدُّمُوعَ لِتَجْمُدا

(Aku akan mencari rumah yang jauh dari kalian agar kalian dekat di hati. Dan kedua mataku akan menumpahkan habis air matanya agar membeku). Yang dimaksudkan dalam penggunaan kinayah pada kata “beku” untuk mengungkapkan rasa bahagia, padahal sesungguhnya kata “beku” adalah kinayah untuk sulitnya air mata mengalir di saat sedang menangis.

4. Katsratut tikrar: Pengulangan kata yang tidak berfaedah.

5. Tatabuul idaafah: yakni pensanatan kata yang beruntun. Contoh: “Gantungan kunci mobil kawan ayah Rini.... ”

3) FASHÂHATUL MUTAKALLIM: yakni malakah (bakat sang pembicara) yang mampu menuangkan maksud pembicaraan dengan kalimat yang dasih dalam situasi dan kondisi apa pun.

D. PANDANGAN NUHAT

Telah diterangkan di atas difinisi fashâhah menurut ulama Balagah, yang intinya bahwa fashâhah balagiyah adalah peningkatan kualitas pembicaraan, untuk menciptakan kesan indah bagi yang mendengarkannya, dan mampu memahami isinya. Dengan pemahaman, pendengar bisa menjadi mukhatab yang baik. Titik pemahaman ini jugalah yang menjadi muara kajian Nahwu. Artinya, kaidah-kaidah yang telah disepakati jumhurul ulama, pada intinya agar kalimat secara jelas dan terang bisa difaham.

Toh demikian, tidak lantas semua syarat-syarat fashâhah menurut ulama Balaghah bisa berlaku bagi ulama Nahwu. Sebagi contoh, ulama Nahwu tidak mensyaratkan satu kalimat atau kata harus terhindar dari tanafur, atau tidak termasuk kalimat asing (garabah). Ulama Nahwu hanya mensyaratkan fashâhah pada kemurnian bahasa dan kaidah yang disepakati ulama Arab terdahulu.

Hal ini bisa difaham dari difinisi ilmu Nahwu oleh para nuhat. Diantaranya ada Ibnu Jinni yang mendifinisikan Nahwu sebagaimana ditulis Abdullah Jad Al-Karim (2004:44), “yakni penyematan tanda kalimat dalam bahasa Arab dalam perubahan i’rab, baik saat menjadi tatsniyah dan jamak, idafah, penyusunan kalimat dan lain sebagainya; agar fashahah bahasa Arab juga bisa dituturkan oleh mereka non-Arab.”.

Lebih spesifik lagi, ulama Nahwu sepakat mendifinisikan Nahwu sebagai kaidah untuk mengetahui fungsi setiap kata yang masuk pada kalimat, harakat akhir dan tata cara i’rabnya. Disinilah muara kajian nahwu terarah. Maka tidak salah jika sebagian ulama menyebut ilmu Nahwu dengan ilmu i’rab. (Ibrahim Mustafa, 1992:1).

Pemahaman tentang i’rab dalam bahasa Arab merupakan satu hal yang urgen. Dengan i’rab, kita bisa membedekan antara fa’il dan maf’ulnya, juga bisa memahami kedudukan satu kalimat dengan lainnya. Sedemikian urgennya ilmu Nahwu, hingga Abdul Qahir Al-Jurjani, salah seorang ulama ilmuu Balagah mengatakan: Dalam bahasa Arab, ilmu Nahwu mutlak dibutuhkan. Maka barang siapa yang mengingkari hal tersebut, sungguh ia telah mengingkari realita, dan senyatanya ia telah keliru. Karenanya, urgensitas ilmuu Nahwu tidak terwakili. Kita juga tidak bisa melepaskan kebutuhan pada Nahwu untuk memahami al-Qur’an.

Di samping pentingnya ilmu Nahwu untuk memahami al-Qur’an dan Sunnah, ia juga menjadi pra-syarat memahami ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya. Tentang pentingnya ilmu Nahwu juga, ada catatan satuu syair (bahrul basit):

ثم الكلام بلا نحو لمستمع مثل الطعام بلا ملح لمن أكل

Dari sini lantas dimengerti kenapa sejak awal-awal kedatangan Islam, Rasul dan juga para sahabat mewanti-wanti agar menghindari lahn, yakni kesalahan dalam i’rab. Karena memang lahn sudah dikenal sejak masa Rasulullah, bahkan mungkin sebelumnya. Rasul sendiri dikenal sebagai “a’rabul Arab”, karena kehati-hatian beliau pada kesalahan i’rab. Nabi lantas mengkatagorikan kesalahan i’rab (lahn) dalam penuturan bahasa arab sebagai satu kesesatan (Abdullah Jad Al-Karim, 2004:47).

Dari keterangan di atas, bisa difaham bahwa yang dimaksud dengan fashâhah menurut ulama nahwu adalah terhindarnya kalam dari lahn. Pemahaman ini juga bisa diarahkan pada pengertian fashâhah secara bahasa: terang dan jelas. Artinya, dengan terhindarnya seseorang dari kesalahan i’rab, maka dipastikan isi pembicaraannya bisa digaham oleh mukhatab.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

keren kang, hatur nuhun :)