17.11.11

ANTARA SIBAWAIH DAN AKHFAS

Pemikiran Sibawaih

Sibawaih adalah orang yang banyak menulis pemikiran-pemikiran Khalil dalam sebuah kitabnya yang terkenal “al-Kitab”. Salah satu konsep khalil yang menarik adalah pemahaman tentang amil wa ma’mulat. Telaah mendalam terhadap setiap kata dimana ia berubah menjadi rafa’, nashob, jazem, dan jer, termasuk persoalaan yang pelik, seperti apakah yang menyebabkan mubtada’ dibaca rafa’ yang kemudian melahirkan istilah amil lafdzi dan ma’nawiy. Khalil, sebagaiman dikutib dalam kitabnya oleh Sibawaih, juga menjelaskan awamil jazimah fi’lan wa fi’lain, awamil nashibah, awamil nashibah li al-asma’ tsumma tarfa’u al-kalimah ba’daha, seperti inna, anna, ka’anna, lakinna, dan seterusnya.

Atas dasar pemikiran Khalil, Sibawaih kemudian melahirkan teori-teori daru dalam bidang ilmu nahwu dan sharraf, dan dalam kitabnya Sibawaih menulis secara komprehensip tentang kaidah-kaidah ilmu nahwu dan sharraf. Ia membagi dua topik besar, pertama, pembahasan tentang nahwu, dan kedua, pembahasan tentang shorrof. Di samping melanjutkan kajian gurunya, yaitu persoalan amil wa ma’mulat, Sibawaih juga memperkenalkan ta’rifat, seperti apa mubtada’, amil, hal, fa’il, maf’ul, fi’il madhi, mudhari’, amar, dan sebagainya. Penjelasan mengenai isim fa’il, isim maf’ul, shiyag mubalaghah, mashdar yang beramal seperti amal fi’il-nya dipaparkan secara mendetail, juga dengan iatisna’, nawashib wa jawazim al-mudhari’. Dalam meletakkan dasar-dasar kaidah nahwu, ia hanya mendasarkan pada bahasa-bahasa fusha yang dimiliki oleh masyarakat Arab Badui yang tinggal di lembah Nejd, Tihammah, dan Hijaz.

Pemikiran Akhfash

Kitab Ma’ani-Alquran merupakan hasil usaha Al Akhfash untuk menafsirkan dan menjelaskan ayat-ayat al-Quran dengan pendekatan linguistik Arab. Beliau berusaha mendekatkan makna-makna yang terkandung dalam al-Quran untuk mempermudah penafsirannya berdasarkan analisis kebahasaan. Walaupun tidak berbekal dengan sarana yang lengkap dan modern, beliau dapat menghasilkan kajian dan analisis yang membuktikan kemampuan dan keintelektualannya dalam bidang nahwu dan kebahasaan. Dalam kitab itu,beliau mengemukakan analisis kebahasaan dalam berbagai aspek, seperti aspek fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Dan sumber rujukan Al-Akhfash dalam menetapkan kaidah nahwu dan kebahasaan selain Al-Quran Al- Karim ada juga hadis Nabi, bahasa kabilah Arab, puisi-puisi Arab, dan pendapat tokoh-tokoh nahwu.

Berdasarkan hasil analisis kitab Maani- Alquran, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Al-Akhfash berusaha menggunakan gaya bahasa Arab yang mudah dipahami, tidak menggunakan metode filsafat yang memerlukan pemikiran yang mendalam.
2. Alquran Al-Karim dikaji dari berbagai aspek kebahasaan, namun yang paling menonjol dari aspek sintaksis (nahwu).Hal itu dapat dilihat dengan pembagian beberapa bab berdasarkan masalah-masalah nahwu berupa bentuk-bentuk I’rab yang terdapat pada suatu ayat serta menguraikan bentuk tasrif dan bentuk masdarnya.
3. Jenis qira’at yang terdapat pada suatu ayat diuraikan meskipun tidak menisbahkan kepada qari yang membaca qira at tertentu kecuali sedikit saja.
4. Untuk memperkuat uraian ayat-ayat yang ditafsirkan, banyak digunakan dalil dari syair Arab, pendapat tokoh nahwu, pakar linguistik Arab, dan ulama tafsir.
5. Dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran, digunakan kaidah dengan mengikuti urutan ayat dan surat dan hanya menjelaskan yang dianggap penting dan memerlukan penjelasan.
6. Banyak ditafsirkan ayat dengan ayat lain, misalnya ketika menafsirkan surah al- Fatihah ayat 2, beliau menda-tangkan surah: Al-A raf ayat 59, Yunus ayat 59, 91, Al-Naml ayat 59, Al-Saffat ayat 153, Saba ayat 8, Sad ayat 62, 63, Al-Fath ayat 29, Al-Rum ayat 4, Al-Hadid ayat 10, 22, Al Taubah ayat 69, Al-Hashr ayat 10, Yusuf ayat 100, Al-Hijr ayat 68, Ali Imran ayat 119, Ghafir ayat 36, danAl-Najm ayat 19.
7. Al-Akhfash banyak menyebutkan nama ketika merujuk dan mengutip sebagian pendapat.

Hal itu memberikan isyarat bahwa yang dimaksud adalah para guru beliau, seperti: Isa bin Umar Al-Thaqafi (149 H), Yunus bin Habib (182 H), Abu Amr bin Al- Ala (154 H), Abu Zayd Al-Ansari (215 H), Abu Al-Khattab Al-Akhfash Al-Kabir, Si-bawaih, Al-Khalil bin Ahmad Al Farahidi (175H), HammadAl-Zabirqan, Abu Ubaydah Mu ammar Al-Muthanna, dan Ali Al-Jamal. Apabila tidak menyebutkan nama-nama yang dirujuk, beliau menggunakan ungkapan seperti: al-mufassirun, badal mufassirin, ahlal-ta wil, al-nahwiyyin, ba d al-nahwiyyin, ba d ahl al- ilm, aljamaah, dan ba duhum.
Untuk memantapkan kajian nahwu, Al-Akhfash menciptakan beberapa istilah-istilah nahwu yang berbeda dengan istilah-istilah nahwu yang digunakan oleh tokoh-tokoh nahwu dari aliran Basrah. Istilah-istilah yang dimaksud, yaitu:

.أول من حارج مستثنى المجازة, الاستفهام ألف, الحين أسماء, الفعل إسقاط, التفسير, الكلام, الجميع, الفعل بمنزلة, لتبيان, الفعل ضمير المعرفة خبر, الدعاء.

Kajian nahwu Al-Akhfash banyak memberikan pengaruh terhadap kajian nahwu aliran Basrah, Kufah, Baghdad, Andalus, dan Mesir. Namun di antara pendapat beliau ada yang tidak dinisbahkan kepadanya. Pengaruh kajian nahwu Al-Akhfash tampak jelas terhadap kajian linguistik Arab. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya pakar linguistik Arab yang menukil pendapat beliau, khususnya dalam kamus-kamus Arab yang besar dan termasyhur seperti Taj Al-Lughah wa Sihhah Al-Arabiyyah karya tulis Al-Jawhari (393 H) dan Lisan Al-Arab karya tulis Ibn Manzur (711 H). Pengaruh kajian nahwu Al-Akhfash tidak terbatas pada kajian nahwu dan linguistik saja, tetapi juga terhadap kajian tafsir. Hal itu dapat dilihat dalam kitab-kitab tafsir besar dan menjadi rujukan, seperti Al- Kashshaf karya tulis Al-Zamakhshari (538 H), Al-Ja mi li Ahkami Alquran karya tulis Al-Qurt.ubi (671 H) dan Al-Bahr Al-Muhithkarya tulis AbuHayyan (745 H).

Antara Sibawaih dan Akhfash ada perbedaan pendapat dalam kaidah-kaidah nahwu, misalnya, I’rob mutsanna dan jama’ mudzakkar salim adalah dengan harakat yang dikira-kirakan pada huruf alif, wawu, dan ya’, ia mengganti harakat rafa’, nashab, Idan jer. Bagi Akhfash huruf-huruf tersebut adalah indikasi-indikasi I’rab, bukan huruf I’rab itu sendiri. Dan juga dalam tanda I’rab al-af’al al-khamsah adalah dengan huruf nun, sedangkan bagi Akhfash adalah dengan harakat yang dikira-kirakan pada huruf yang ada sebelum dhamir alif, wawu, dan ya’. Juga dengan I’rab al-asma’ al-khamsah, menurut Sibawaih adalah dengan harakat yang dikira-kirakan pada huruf alif, wawu, dan ya’, sementara bagi Akhfash adalah dengan harakat yang dikira-kirakan pada huruf sebelum huruf alif, wawu, dan ya’, sama dengan i’rab mutsanna, jama’ mudzakar salim, dan al-af’al al-khamsah.

2 komentar:

Alfan Junaidi mengatakan...

Ada dua hal yang mau saya tanyakan pada Bapak,yaitu :
1.Kata ''al-hamdu..'' pada surat Al-fatihah berbentuk mufrod,tapi kenapa diartikan ''banyak pujian..'',dari mana jamaknya?
2. ''Al kalau huwal lafdul murakkabul...''. ini adalah sepenggal teks dari kitab Ajrumiyah.
Yang saya tanyakan,''huwa'' berada pada kedudukan apa atau harokat terakhirnya apa jika ia bukan kalimat mabniy (tidak bisa berubah harokatnya)

Zulfan Syahansyah mengatakan...

Saudara Alfan, dua pertanyaan anda cukup kritis. Secara kaidah, memang akan banyak kita jumpai "penyimpangan" kalimat-kalimat dalam al-Qur'an. Dalam kitab an-Nahwu fi Dilalil Qur'an yang dituis oleh Aziz Yunus Basyir terdapat banyak contoh penyimpangan kalimat al-Qur'an dari kaidah bahasa yang ditetapkan oleh para pakar bahasa Arab. Anda bisa menela'ah kitab tersebut.
Satu hal yang perlu kita tahu, bahwa kalimat dalam al-Qur'an sangat komunikatif. Inilah yang menjadi salah satu sebab adanya "penyimpangan" tersebut.