Seperti rutinitas lainnya, kegiatan ibadah Ramadan sudah memasuki masa-masa akhir. Jika tidak hari ini, pastinya besok adalah hari terakhir Ramadan. Ketidakpastian akhir Ramadan sudah lumrah di kalangan umat Islam. Karenanya tidak bisa dipastikan kapan berakhir. Kalau tidak pada tanggal 29 Ramadan, ya, tanggal 30-nya. Yang pasti, bulan yang diagungkan oleh umat Islam ini akan segera berlalu. Apresiasi berakhirnya Romadan juga macam-macam. Ada yang sedih karena akan berpisah dengan bulan penuh barakah ini, tapi ada juga sebaliknya: senang dengan berakhirnya kewajiban puasa Ramadan. Kedua golongan tersebut tentunya mempunyai alasan masing-masing dalam menyikapi berakhirnya Ramadan.
Tulisan ini tidak akan membicarakan alasan kelompok muslim yang senang dengan berakhirnya bulan Ramadan. Selain karena banyaknya faktor yang bisa diungkapkan sebagai alasan, dan karenanya rawan melahirkan wacana subjektif, senang dengan berlalunya Ramadan justru terkesan melemahkan spirit ibadah yang sejatinya makin ditingkatkan pada penghujung bulan Ramadan. Pemahamana terbaliknya, orang yang senang dengan berakhirnya Ramadan, itu artinya dia tidak senang dengan keberadaaan bulan penuh barakah ini. Lantas, bagaimana mungkin seorang muslim bisa merasakan barakah Ramadan, jika keberadaannya saja tidak diharapkan. Na’udzubillahi min dzalika.
Waba’du, bagi kelompok muslim yang bersedih karena akan ditinggal Ramadan sebagai bulan penuh barakah, maka sejatinya mereka juga faham hakekat Ramadan sebagai syahrun al-tarbiyyah, bulan pendidikan. Di bulan ini, umat Islam diwajibkan menjalankan ibadah puasa yang bermuara pada satu sikap mulia, yakni ketaqwaan. (QS. 2:183). Kaitannya dengan tujuan kependidikan, ada satu hadis yang sangat masyhur, “Man syãma Ramadãna imãnan wahtisãban gufira lahu mã taqaddama min danbihi: barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan karena keimanan dan berintrospeksi diri, niscaya diampuni dosa-dosanya yang lampau”.
Mencermati hadis tersebut, akan didapat kandungan pendidikan bagi kita yang bisa memahami tujuan diwajibkannya puasa Ramadan. Ada dua kata kunci dalam hadis di atas yang menarik diketengahkan, yakni: keimanan dan introspeksi diri. Sebagai penggiat kebahasaan, penulis tertarik mempertanyakan: kenapa sikap iman didadhulukan sebelum upaya introspeksi?
Jika ditinjau dari kajian linguistik, konteks hadis sangat komunikatif. Akan berbeda makna jika saja kata “introspeksi” didahulukan sebelum kata “iman”. Dari sini juga bisa terurai muatan pendidikan yang bisa difaham oleh kita umat Islam. Kandungan hadis mengisyaratkan agar keimanan dijadikan pedoman dasar untuk berintrospeksi diri dalam setiap lini kehidupan; di bidang apapun kita berkiprah dalam kehidupan, maka keimanan menjadi landasan mengintrospeksi diri.
Setiap orang tentu melihat pentingnya upaya introspeksi diri. Landasannya macam-macam. Seorang pejabat –umpamanya– untuk melanggengkan kedudukannya, dia membutuhkan “introspeksi”; aparat, juga demikian; politikus, apalagi. Bahkan penjahat pun tidak ketinggalan berintrospeksi diri dalam menjalankan “tugas” kejahatannya. Pada titik ini, upaya introspeksi bermuara pada kesusksesan tugas atau kapasitas pekerjaan seseorang. Dalam kata lain, introspeksi bermakna strategi.
Dari sini jelas, apa yang perlu dilatih umat Islam selama Ramadan: menjadikan keimanan sebagai landasan introspeksi atau strategi dalam menjalankan kehidupan pada sebelas bulan lainnya. Maka tidak heran jika keimana sebagai landasan introspeksi diri, segala dosa-dosa diri akan terampuni. Ini menjadi satu kewajaran. Tanpa itu, tidak cukup alasan dosa kita bisa terampuni. Terlepas dari sifat Rahman dan Rahim Allah, seyogyanya kita berfikir: bagaimana Allah akan mengampuni dosa-dosa kita, jika upaya introspeksi tidak berlandaskan keimanan.
Lantas, kenapa harus keimana yang menjadi landasan introspeksi? Ilustrasi sebagai jawaban untuk pertanyaan tersebut adalah memaknai keimanan sebagai sikap inti dalam peribadatan, sebagai naluri utama kita. Hal ini disebabkan, secara alami, sejak lahir kita sudah membawa perjanjian primordial untuk hanya menyembah kepada Tuhan. Jika naluri ini tidak tersalurkan dengan benar, dampaknya bisa mengarah “sembarangan”, sehingga yang dihadapi manusia bukan persoalan tidak menyembah Tuhan tetapi terlalu banyak yang disembah. Inilah relevansinya kenapa kredo Islam dimulai dengan negasi, lâ ilâha (tiada Tuhan), yaitu untuk membebaskan dari segala macam kepercayaan, baru dilanjutkan dengan illâllâh (kecuali kepada Allah). Setiap kepercayaan akan memperbudak.
Sebagai ilustrasi, kalau kita percaya kepada cincin yang dapat mendatangkan rejeki, misalnya, secara apriori kita telah kalah dengan cincin tersebut dan dengan sendirinya kita menjadi lebih rendah dari batu. Inilah yang disebut syirik, yaitu menempatkan diri tidak sesuai dengan rencana Tuhan sebagai makhluk tertinggi. Dari sini, dapat dimengerti kenapa syirik disebut dalam Al-Quran sebagai dosa yang paling besar.
Maka, point penting utama dalam pendidikan puasa Ramadan adalah mempersiapkan diri dan mental untuk hanya menjadikan Allah sebagai landasan dalam beraktifitas. Kita jadikan keridaan Allah sebagai pondasi setiap aktifitas kita sehari-hari. Hanya dengan cara inilah, semua kegiatan kita bisa terhitung sebagai ibadah di sisi Allah SWT. Di sinilah jiwa Ramadan bisa kita terapkan pada sebalas bulan lainnya. Kita bisa berada dalam nuansa Ramadan sepanjang tahun. Wallahu a’lam bi alshawab.
Zul FS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar