6.4.11

CATATAN BUKAN UNTUK MALAIKAT

Secara bahasa, "ibadah" adalah satu akar kata dengan "'abdun", hamba. Karenanya, beribadah juga bermakna tindakan penghambaan diri, melakukan kebak­tian. Dengan tujian ini jugalah, Allah menciptakan manusia dan Jin. "Aku menciptakan jin dan manusia hanya supaya beribadah kepada-Ku" (Q., 51: 56). Selain memiliki pengertian demikian, ayat ini juga bisa ditaf­sirkan sebagai penegasan bahwa nature (fitrah) manusia adalah beribadah. Hal ini didasarkan pada adanya "perjanjian primordial" antara manusia dengan Tuhan sebelum lahir ke dunia. Isi dari perjanjian itu adalah persaksian kita manusia bahwa Allah menjadi "Pangeran", "Rabb" kita. Tentu saja ini terjadi pada alam ruhani, karenanya tidak menjadi kesadaran lahiriah kita, melainkan mengendap dalam kedirian kita yang paling da­lam.

Menarik untuk dipermasalahkan: kenapa batas penegasan tercipta untuk beribadah hanya jin dan manusia saja? Bukankah selain kedunya masih banyak makhlu-makhluk Allah lainnya? Dalam keimanan kita, selain Dzat Allah, semua yang ada di langit, bumi beserta isinya adalah makhluk; termasuk juga malaikat. Jika dikatakan bahwa nikamat terbesar yang diberikan Allah untuk para makhlunya adalah anugerah kepatuhan untuk menjalankan perintah, malaikatlah penerima terbanyak kenikmatan besar tersebut. Lalu kenapa hanya Jin dan Manusia yang diperintahkan untuk beribadah? Ayat di atas tidak mencantumkan malaikat.

***

Hakekat Malaikat dan Manusia

Keberadaan malaikat yang terdapat di dunia gaib menjadi sebab utama ke-alpa-an kajian teori ilmiah tentang makhluk yang tercipta dari cahaya ini. Kajian-kajian seputar malaikat hanya bisa dirujuk melalui kitab-kitab suci. Kendati demikian, tidak ada keterangan pasti mengenai siapa (apa) sosok malaikat. Sekarang ini yang perlu ditekankan adalah meyakini keberadaannya dengan keyakinan haqqu al-yaqin, seperti halnya meyakini kehidupan setelah mati; bukan keyakinan oportunis: "percaya saja mungkin nanti benar, kalau tidak benar juga toh tidak apa-apa". Model keyakinan kedua ini akan berdampak pasif pada keimanan seorang mukmin.

Menurut riwayat, sejak masa penciptaannya, hingga hari qiyamat, para malaikat hanya melakukan apa yang telah diperintahkan Allah. Mereka yang diperintahkan untuk bertasbih, sepanjang waktu hanya bertasbih yang dilakukan. Demikian juga yang mendapatkan tugas memberi rizqi, mencatat amal, dan sebagainya, sepanjang belum qiyamat, tuga-tugas tersebut yang dikerjakan tanpa pernah ada upaya melanggar. Digambarkan dalam Al-Qur'an bahwa malaikat itu sangat taat pada Tuhan, "mereka mengerjakan segala yang diperintahkan" (Q.,16:50; 66:6).

Dapat dibayangkan para malaikat tidak mempunyai emosi ataupun nafsu, yang pada puncak perkembangannya menjadi apa yang kita sebut sebagai cinta. Berbeda dengan manusia yang dikaruniai emosi. Dalam batasan tertentu, dengan emosi manusia dapat menuju puncak kemuliaan tertinggi, atau sebaliknya terjerembab ke dasar lembah paling hina. Kekuatan berkeinginan akan berjalan lurus dengan emosi tersebut, agar manusia dapat menjalankan tugas kekhalifahannya di muka bumi; membawa manusia lebih dekat kepada sifat ketuhanan.

Kita juga dapat menduga bahwa malaikat tidak memiliki kemauan sendiri, inisiatif bebas: modal dasar untuk melahirkan inofasi. Kesempurnaan "prilaku" malaikat hanya menjadi cerminan kesempurnaan Tuhan. Hal ini menafikan kehormatan untuk tugas kekhalifahan, seperti yang disandang manusia. Khalifah yang sempurna, tentu makhluk yang memiliki kemampuan berinisiatif sendiri, namun kebebasan tindakannya tetap mencerminkan kehendak Sang Kepala (Principal, yakni Tuhan).

Jadi, hakekat malaikat adalah makhluk suci yang hanya berdimensi tunggal, yakni dimensi kesucian itu sendiri, sebagai akibat kebaktiannya yang penuh kepada Tuhan. Sisi lain yang tidak ada pada malaikat, namun dimiliki oleh manusia adalah emosi. Sisi inilah yang membedakan antara hakekat manusia dengan malaikat: emosi, hawa nafsu, hasrat atau keinginan.

Ibarat senjata, emosi dapat menjadi perisai manusia menuju kemuliaan, tetapi juga dapat menjadi "senjata makan tuan". Dalam surah Yusuf ayat 53 dijelaskan, melalui ucapan seorang wanita yang pernah menggoda Yusuf putra Ya'qub, bahwa emosi atau nafsu itu tidak boleh dilepaskan secara bebas, karena akan dengan kuat mendorong pada kejahatan, kecuali jika mendapatkan rahmat dari Tuhan; yang dengan rahmat itu nafsu justru akan mendorong kepada kebaikan atau prestasi keunggulan.

***

Manusia Sebagai Khalifah

Saat Allah menegaskan keinginan-Nya untuk menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi, para malaikat menyatakan keraguannya dengan memberikan alasan bahwa manusia akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi; sementara mereka selalu berbakti kepada Tuhan dan tidak pernah melanggar perintah; sebagai konsekuensi hakekat malaikat yang hanya satu sisi(Q., 2:30). Malaikat melihat kekuatan emosi manusia sebagai sumber bencana, namun mereka gagal melihat emosi sebagai sumber tenaga ke arah keluhuran jika dipergunakan secara benar dan baik.

Dalam surat Al-Tîn dikatakan, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik (Q., 95:4). Manusia adalah puncak ciptaan Tuhan. Dikatakan juga: "man was created upon the image of God": bahwa manusia diciptakan menurut desain Tuhan. Maksudnya, di antara semua makhluk Tuhan yang paling sempurna, karena itu secara hierarkis yang paling bisa mendekati Tuhan, adalah manusia. Tetapi harus diperhatikan ayat lanjutannya, Kemudian Kami jatuhkan dia serendah-rendahnya (Q., 95:5). Maksudnya, sangat mungkin Tuhan mengembali­kan manusia menjadi makhluk yang paling rendah, bahkan lebih rendah daripada binatang. Kenapa? Karena manusia yang jahat bisa menjadi lebih jahat daripada binatang. Sebagai contoh, macan itu jahat, tapi setelah menerkam dan memakan manusia, dia kembali diam. Tetapi manusia bisa mem­bunuh ratusan, bahkan ribuan orang sekaligus. Maka disebutkan, Kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan amal kebaikan (Q., 95: 6). Artinya, manusia itu akan tetap menempati kehormatannya sebagai sebaik-baik makhluk dan tidak akan merosot menjadi makhluk yang paling rendah kalau beriman dan beramal saleh.

Hakekat dan Makna Ibadah

Hakikat ibadah dalam Islam bukanlah untuk memenuhi kepentingan Allah Swt. Sama sekali tidak akan mengurangi kemuliaan atau kebesaran-Nya kalau saja seluruh manusia di muka bumi ini tidak menyembah kepada-Nya. Namun, perlu diingat bahwa hakikat perintah ibadah dalam Islam adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri, bukan untuk memberikan pelayanan kepada Allah Swt. karena Dia sama sekali tidak membutuhkan pelayanan makhluk. Kemudian, terciptanya manusia dengan dua sisi sekaligus; kebaikan dan keburukan, menjadikan peranan akal begitu dominan.

Tidak salah jika dikatakan bahwa keunggulan manusia dengan makhluk lainnya adalah penganugrahan akal fikiran. Pemberian Allah yang hanya dikhususkan bagi anak Adam, sebagai modal utama menjadi khalifah Allah di muka bumi: satu hal yang pernah diragukan oleh para Malaikat, namun ditampik tegas oleh Allah. (QS. 2:30)

Hanya dengan akal, tugas kekhalifahan manusia dapat dijalankan. Dengannya pula, bisa dibedakan antara kebaikan dan keburukan. Penghambaan kepada Allah swt, dikatagorikan sebagai ibadah setelah melalui tahapan fungsi akal. Kepasrahan mengerjakan kewajiban dan meninggalkan larangan Allah (beriman, berislam, dan bertaqwa), bernilai ibadah setelah kita berhasil menaklukkan sisi kejahatan.

Inilah yang penulis maksudkan sebagai ibadah aktif. Kewajiban melaksanakan sholat, misalnya, jika mendengarkan sisi kejahatan, bisa saja kita tidak mengerjakannya. Toh ada kecendrungan ke sana. Berbeda dengan malaikat, mereka pasti mengerjakan perintah Allah, karena memang tidak mempunyai kecendrungan untuk meninggalkan perintah. Jadi ibadah para malaikat adalah iabadah yang pasif; tidak ada ijtihad untuk "berperang" melawan hawa nafsu.

Dengan pemahaman ini, menjadi jelas kenapa malaikat tidak ditegaskan dalam penciptaannya, untuk beribadah; makhluk-makhluk lain, termasuk hewan juga tidak disuruh beribadah. Cuma kita manusia dan para jin yang diperintah untuk itu. Maka, penulis menyimpulkan: bahwa ibadah adalah upaya untuk menundukkan sisi kejahatan di bawah sisi kebaikan. Hanya makhluk Allah yang berpeluang melakukan kejahatan dan "dipersenjatai" akal lah yang bisa beribadah. Selebihnya, wallahu a'lam bi alshawab.

Tidak ada komentar: