3.12.10

TINGKATAN KAUM MUSLIMIN

Seyogyanya, memang muatan materi khutbah Jum’at di lingkungan akademisi, seperti di Masjid UIN Maiki Malang yang mayoritas jama'ahnya notabeni para mahasiswa dan dosen, bobotnya tidak boleh sama dengan isi khutbah di masjid-masjid kebanyakan. Ada sabda Nabi yang menegaskan: khẚtibi annas ‘ala qadri ‘uqulihim, aw kama qẚla: berbicara (berda’wahlah) kepada manusia sesuai tingkatan (pemekiran) mereka. Tujuannya tentu bukan membedakan yang terkesan “elitis”, atau arogan. Tapi memang itulah sebuah keniscayaan tingkat manusia pada umumnya; dan karenanya tidak perlu dipertentangkan. Berikut ini penulis ketengahkan contoh yang mungkin bisa memperkuat realitas tingkatan “pemahaman” manusia secara umum, dan umat Islam pada khususnya, dalam memahami teks agamanya.

Ada firman Allah, “Serulah (wahai Muhammad) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan kata nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan sesuatu yang lebih baik” (QS. 16: 25), cukup menarik memperhatikan tafsiran Ibn Rusyd (Averroes) tentang “hikmah” dalam firman Allah itu. Menurut filsuf Muslim yang sekaligus pakar hukum Islam itu, menyampaikan seruan kebenaran dengan hikmah adalah berarti dengan “burhân” atau bukti demonstratif yang tak terbantah (apodiktik). Tetapi karena hikmah dalam pengertian ini adalah sulit untuk orang kebanyakan ( 'awâm) maka ia merupakan bidang yang menjadi wewenang para spesialis
(khawas) yang terdiri dari para filsuf atau ahli hikmah (al-burhân).

Pengertian Ibn Rusyd ini mungkin mencocoki pembicaraan tentang peran kaum cendekiawan dalam menumbuhkan religiusitas dalam masyarakat, yaitu peran memberi kejelasan yang rasional. Tetapi tafsiran serupa itu mungkin akan terasa elitis dan esoterik (terbatas pada kalangan tertentu yang mengerti hikmah saja). Dan memang Ibn Rusyd memiliki pikiran itu dalam benaknya. Mereka yang tidak termasuk kaum spesialis atau khawas harus merasa cukup dengan pendekatan dialektis (jadalî), melalui adu argumentasi, jika tergolong “menengah”. Sedangkan golongan yang lebih bawah, yaitu golongan awam (orang umum) cukup dengan pendekatan retorik (khathâbi) dalam bentuk tutur kata dan nasehat yang baik, tanpa mesti paham betul mengenai hakikat kebenaran itu sendiri.

Bagi ketiga golongan itu—khawas, menengah dan awam—cara pendekatan yang cocok untuk masing-masing akan sama-sama mengantarkan pada penghayatan kebenaran, meskipun dengan tingkat-tingkat kualitas yang tinggi-rendah. Dan dengan cara pendekatan yang berbeda-beda itu masing-masing juga akan sampai kepada tingkat-tingkat kebahagiaan tertentu. Jadi masing-masing mempunyai “idiom”-nya sendiri yang bersesuaian, dan tidak perlu ada intervensi dari yang satu kepada yang lain.

Tidak ada komentar: