29.11.10

JANGAN SUKA “MENCURI” WEWENANG TUHAN

Melakukan sesuatu yang bukan atau melebihi wewenang yang dimiliki adalah kesalahan. Apa contohnya? Sederhana saja. Menghukum penjahat adalah wewenang penegak hukum, bukan semua warga berhak menghukum siapa-siapa saja yang dianggap salah. Kita tahu mencuri adalah kesalahan, tapi juga merupakan kesalahan jika kita menghukum pencuri melebihi wewenang yang kita miliki. Dari sini kita bisa memahami kaidah fiqih: asy-syarru la yuzaalu bi asy-syarri, kejelekan tidak boleh dihilangkan dengan (cara) yang juga jelek.

Itu tadi kesalahan yang jelas-jelas kita sepakati ‘kesalahan’nya: mencuri. Tidak satu tradisi pun, atau adat, atau norma baik yang legal atau tidak yang membolehkan perbiatan mencuri. Nah, jika kesalahan yang sudah jelas-jelas salah saja masih ada rool of game-nya, dalam proses penghukuman atau pemberian sangsi, lantas bagaimana kesalahan yang bersifat persial, Kesalahan yang timbulnya dari perspektif indifidu. Seperti kesalahan dalam memahami suatu ajaran atau pemahaman, misalnya.

Untuk model “kesalahan” kedua ini, kita ambil saja contoh perbedaan pemahaman dalam menyimpulkan sebuah nas. Tentunya masing-masing orang mempunyai hak dalam penyimpulan sebuah ajaran. Sikap toleransi harus dikedepankan dalam kondisi terakhir ini. Tak satupun yang berhak memaksakan pemahamannya agar disetujui atau bahkan diikuti orang lain. Nabi dan Rasul saja tidak berkewajiban memaksa umatnya agar mengikuti ajaranya, apalagi kita!

Saat ini, kita sering menyaksikan kecendrungan sebagian kelompok orang yang justru melangkahi wewenang ketuhanan. Contoh sederhana kasus ini adalah mengukur ketaqwaan seseorang. Sejatinya, ‘takwa’ tidak bisa diukur, karena pastinya merupakan wewenang Tuhan. Jika mengambil wewenang sesama manusia saja tidak boleh, apalagi “mengambil” wewenang Tuhan. Nabi sendiri berkali-kali mengatakan bahwa “beliau diutus tidaklah untuk membelah dada manusia”.

Pastinya serupa dengan masalah ‘mengukur ketaqwaan’, menganggap orang kafir juga bukan wewenang kita. Dalam Islam, tidak ada istilah ‘perwakilan Tuhan’ yang bisa mengklaim seseorang menjadi kafir atau pun sebaliknya. Rasul sendiri menegaskan: “bahagilah seseorang yang sibuk menilai kesalahannya sendiri, sehingga tidak sempat mengoreksi kesalahan orang lain.

Ada suatu peristiwa ketika orang yang tidak terima dengan pembagian harta rampasan yang dilakukan oleh Nabi, berteriak-teriak di hadapan Nabi menuntut keadilan. Nabi sendiri sebetulnya menerimanya (sikap orang itu-ed) biasa saja, tapi salah seorang Sahabat, yaitu Khalid ibn Walid yang menyaksikan itu tidak terima. Ia menghunus pedang mau membunuh orang yang dianggapnya kurang ajar karena bersikap tidak sopan kepada Nabi. Tapi dia justru dicegah oleh Nabi, sambil mengatakan, “Jangan! Mudah-mudahan nanti di kalangan mereka ada yang shalat”. Lalu Khalid ibn Walid mengatakan bahwa sekarang ini banyak orang yang shalat hanya pura-pura. Sekarang ganti yang dimarahi oleh Nabi adalah Kalid ibn Walid, “kamu tahu dari mana? Saya ini diutus tidak untuk membelah dada manusia. Kalau orang shalat, biar saja, tidak usah kita menilai, itu hak Tuhan”.

Tidak ada komentar: