A.
Muqadimah
Membicarakan seputar bahasa Arab, sebagai muslim
non-Arab, selayaknya kita menilik masalah ini dari tiga aspek: idealita,
realita, dan citra. Pada tataran idealita, sebagai muslim kita meyakini bahwa
bahasa Arab adalah bahasa “suci”. Kesucian bahasa ini minimal karena
keidentikannya dengan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai dua sumber utama ajaran
agama Islam. Pada titik ini, idealita bahasa Arab bisa menjadi alasan sekaligus
motifasi untuk memahami bahasa penduduk Jazirah Arab ini dengan baik dan benar.
Toh demikian, motifasi tersebut tidak cukup kuat
menjadi tameng arus globalisasi yang menuntut kehidupan materialistik. Maka
gempuran faham pragmatisme pun tidak bisa dihindari. Satu ajaran yang intinya,
seperti ditulis Kuntowijoyo (2006: 4), bahwa kepercayaan itu akan
menjadi benar adanya jika ada unsur guna. Ukuran dari kebenaran ialah, apakahh
kepercayaan dapat mengantar orang pada tujuan. Asas menguntungkan menjadi standar kebenaran
untuk segala hal, termasuk juga dalam dunia pendidikan. Komersialisasi pembelajaran
menjadi sebuah keniscayaan. Maka semua komponen pembelajaran didesain mampu
menjawab kebutuhan hidup. Dari sisi ini lantas realita pembelajaran bahasa Arab
semakin jauh dari posisi edealitanya. Bahasa ini semakin tertinggal dari bahasa
asing lainnya di Indonesia. Ia lantas dipandang sebagai materi yang kurang
"menjanjikan".
Kondisi PBA seperti di atas semakin diperparah
dengan perhatian pemerintah yang hanya melihat keberadaannya dengan
"sebelah mata". Asumsi itu nampak terutama jika dibandingkan dengan
bahasa Inggris yang juga merupakan bahasa asing di Indonesia. Dengan
kekhawatiran tidak lulus UAN karena minimnya nilai bahasa Inggris, setiap siswa
otomatis dituntut mempelajari bahasa Inggris. Siswa dihadapkan pada dua
pilihan, tidak belajar bahasa Inggris, atau siap tidak lulus UAN jika nilai
bahasa Inggrisnya tidak memenuhi syarat. Maka, masuknya bahasa Inggris dalam
materi Ujian Nasional tak pelak kian memperburuk perbandingannya dengan bahasa
Arab yang tidak diujikan dalam UAN.
Gambaran tersebut cukup mewakili bagaimana
kemudian citra PBA di kalangan masyarakat Indonesia. Posisi PBA di Indonesia
dalam tataran praktis menjadi semakin jauh dari idealitanya. Kasat mata kita
juga melihat, seperti ditulis Mujib (2010:60), anggapan sebagian besar masyarakat
terhadap bahasa Arab tidak lebih sebatas sarana memahami agama dalam motivasi
ibadah. Buntutnya, para siswa yang memiliki pengetahuan di atas rata-rata
temannya akan dipersepsikan sosok yang cita-citanya ingin jadi ustadz, atau
muballig saja.
B.
Memulihkan Realita dan Citra PBA di Indonesia
Menyadari kondisi PBA seperti gambaran di
atas, tanpa niatan menepis –untuk tidak mengatakan menolak- anggapan masyarakat
terhadap PBA, sebagai pengajar bahasa Arab di kalangan non-Arab, kita para guru
lah yang mula-mula harus bertekat dan berupaya memulihkan realita serta citra
PBA di kalangan anak didik kita sendiri. Pada aspek ini, fungsi guru sebagai
motivator sekaligus fasilitator sejatinya harus terus kita tingkatkan.
Meyakinkan bahwa bahasa Arab merupakan materi yang mudah dipelajari, memberikan
gambaran secara kontineu kegunaan bahasa Arab, serta mengaktualisasikan
idealita bahasa Arab bagi pelajar yang muslim merupakan beberapa contoh
motivasi yang sejatinya ditularkan kepada peserta didik kita.
Selain motivasi sebagaimana gambaran di atas,
hal yang tidak kalah pentingnya sebagai langkah kongkrit mengangkat kondisi
realita juga citra bahasa Arab di kalangan pelajar non-Arab adalah kualitas
serta kapabilitas guru pengajar bahasa arab itu sendiri. Seperti halnya
pengajar materi lainnya, kita sebagai guru bahasa Arab hakekatnya dituntut
untuk terus mengembangkan kecakapan diri, baik seputar bahasa Arab, juga
bagaimana cara mengajarkannya kepada peserta didik dengan cakupan jenjang
pendidikan yang ada: ula/ mubtadi-in, wustha, serta ulya.
Terlepas dari keniscayaan indifidu dalam mengembangkan
pengetahuan seputar bahasa arab, baik
klasik, serta kontemporer, pada sisi bagaimana cara mengajarkan bahasa Arab
sebagai bahasa asing, sebenarnya kita sudah bisa cukup dengan mengadopsi
pelbagai metode pengajaran yang sudah ada. Sejak abad pertengahan, para pakar
pendidikan bahasa telah banyak melahirkan metode-metode pengajaran bahasa asing
yang siap pakai. Tinggal bagaimana kita bisa memaksimalkannya dalam proses
pembelajaran dan pengajaran, sesuai kebutuhan materi.
C.
Antara Metode dan Pendekatan
Ada baiknya jika penulis pertegas maksud kata “pendekatan”, agar bisa
dibedakan dengan “metode”, sebagaimana yang terjadi, ada kerancuan dalam
memahami istilah keduanya. Karena ternyata, dalam hal komunikatif pun, ada
metode komunikatif (Iskandar dan
Dadang, 2009), juga ada pendekatan
komunikatif. Tanpa mengetahui perbedaan kedua istilah ini, kita akan semakin
sulit memilah antara satu dari yang lainnya.
Maka, yang dimaksud dengan pendekatan menurut al-Naqah, seperti dikutip
Acep Hermawan (2011, 167), sekumpulan asumsi tentang proses belajar mengajar
dalam bentuk pemikiran aksiomatis yang tidak perlu diperdebatkan. Sementara
metode, maksudnya adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan
suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (KBBI, 1995). Metode lebih
bersifat prosedural dan sistemik karena tujuannya untuk mempermudah satu
pekerjaan.
Lebih lanjut Acep menjelaskan, bahwa pendekatan merupakan pendirian
filosofis yang selanjutnya menjadi acuan dalam kegiatan pembelajaran bahasa.
Sebagai contoh, ada teori yang mengatakan bahwa "bahasa lahir dari
segala sesuatu yang didengar dan diucapkan, sedangkan menulis merupakan
kecakapan yang timbul setelahnya". Dari teori ini, lantas lahirlah
asumsi-asumsi yang menyatakan bahwa tahapan mempelajari bahasa didahului oleh
peningkatan kemampuan mendengar, bicara, membaca, lalu menulis.
Thaimah dan Naqah (2006: 45) juga secara tegas membedakan antara pendekatan dan metode. Jika pendekatan dimaksud dengan serangkaian bangunan yang menjadi sandaran metode, seperti
gambaran tentang pemahaman bahasa, dan filsafat pembelajarannya; maka metode
dimaksudkan dengan sekumpulan cara sebagai perantara yang bersifat eksternal
untuk pencapaian sebuah tujuan tertentu dalam pembelajaran.
Untuk itu, seorang pengajar bahasa
yang menganut pendekatan tertentu, dia tetap memiliki kebebasan
menciptakan beragam metode sesuai dengan situasi dan kondisi terjadinya
kegiatan belajar mengajar. Yang harus diingat, metode yang dilahirkan dan
digunakan tidak bertentangan dengan pendekatan yang dianut.
D.
Ragam Pilihan Metode Pengajaran Bahasa Arab
Secara historis, pergulatan pemikiran
menyangkut metode pengajaran bahasa telah meninggalkan jejak yang panjang.
Sejarah pengajaran bahasa telah banyak diwarnai oleh berbagai gagasan mengenai
hakekat satu bahasa dan bagaimana ia diajarkan. Hal tersebut lantas berdampak
pada munculnya beraneka ragam metode pengajaran bahasa secara silih berganti.
Keanekaragaman metode pengajaran bahasa tidak lain merupakan refleksi dari
keragaman cara pandang filosofis bahasa dan proses belajar bahasa (Aziz Fachrurrazi
dan Erta Mahyuddin, 2011: 171).
Pada kesempatan ini, ada baiknya diketengahkan
berbagai macam metode pengajaran bahasa asing, diantaranya:
1.
Metode Tata bahasa-Terjemah (طريقة
القواعد والترجمة)
2.
Metode Langsung (الطريقة
المباشرة)
3.
Metode Membaca (طريقة
القراءة)
4.
Metode Dengar Ucap (الطريقة
السمعية الشفوية)
5.
Metode Komunikatif (الطريقة
الإتصالية)
6.
Metode Respon Fisik Total (طريقة
الإستجابة الجسمنية الكاملة)
7.
Metode Diam (الطريقة
الصمتية)
8.
Metode Belajar Kelompok (طريقة
تعلم اللغة من خلال المجتمع)
9.
Metode Alamiah (الطريقة
الطبيعية)
10.
Metode Suggestopedia (الطريقة
الإلهائية)
11.
Metode Elektik (الطريقة
الإنطقائية)
Dengan menggabungkan pendapat William Francis
Hackey (1978), Danny D. Steinberg (1986), Omagio (1986), Stern (1987), dan
Rodgers, seperti ditulis Aziz (2011: 172-173), ragam metode pengajaran bahasa
dengan urutan alpabetis dapat disebutkan sebagai berikut:
Audiolingual Method, Audiovisual Method, Cognate
Method, Cognitive Method, Communicative Method, Community Language Learning
Method, Eclectic Method, Grammer-Translation Method, Language-Control Method,
Mimircy-Memorization Method, Natural Method, Phonetic Method, Practice Theory
Method, Psychological Method, Reading Method, Silent Way Method, Suggestopedia
Method, Total Physical Response Method, dan Unit Method. Dan tidak menutup kemungkinan masih ada
metode lainnya.
E.
Pemilihan Metode Pembelajaran
Dengan banyaknya ragam metode pembelajaran
bahasa asing, termasuk didalamnya bahasa Arab, tidak keliru jika lantas ada
pertanyaan: Metode apakah yang cocok untuk mengajarkan bahasa Arab sebagai
bahasa asing di kalangan pelajar non-Arab? Diakui atau tidak, kita pun
kerap dituntut mencari strategi macam apakah yang dapat mewujudkan pembelajaran
yang aktif.
Kenyataan ini merupakan imbas bahwa seluruh metode
yang diperkenalkan belum mampu menjawab semua tantangan yang terjadi di
lapangan, yang dihadapi oleh para guru bahasa asing. Ini juga menunjukkan
realita bahwa semua metode tersebut secara keseluruhan mengandung keterbatasan
dan kekurangannya masing-masing.
Para ahli metodologi pengajaran bahasa asing
menyebutkan beberapa alasan yang menyebabkan kondisi tersebut. Di antaranya:
1.
Setiap metode yangg ditawarkan merupakan konsep
"siap pakai" yang terlalu bersifat prescriptif. Para guru
diminta menerapkannya secara utuh, bahkan harus meninggalkan metode yang ada
sebelumnya, tanpa memperhitungkan karakteristik (fisik, geografis dan SDM)
lembaga pendidikan seperti madrasah yang beragam.
2.
Sejalan dengan hal tersebut, setiap metode terpisah
dari metode sebelum atau sesudahnya, bukan merupakan mata rantai yang saling
berhubungan sebagaimana lazimnya didalam perkembangan bidang-bidang pengetahuan
yang lain.
3.
Kondisi tersebut menyebabkan sulitnya menerapkan suatu
metode secara utuh dalam situasi dan kondisi pembelajaran yang sangat beragam.
Ini terbukti masih cendrungnya para guru menggunakan metode dann teknik
penagajaran 'lama', meski sudah dilakukan berbagai upaya, semisal penataran,
pelatihan, studi banding, untuk meyakinkan perlunya menggunakan metode 'baru'
yang ditawarkan.
4.
Satu metode terlalu berlebihan dalam membeberkan
kelemahan metode sebelumnya. Sebagai contoh, Metode Langsung melarang
penggunaan terjemah yang menjadi pangkal utama Metode Tata Bahasa-Terjemah yang
lahir dan digunakan sebelumnya. Metode Komunikatif melarang mengajarkan qawâ'id (struktur kalimat) secara langsung dan
sistematis, padahal itu merupakan poros utama Metode Audiolingual yang sudah
banyak dugunakan sebelumnya.
5.
Kelemahan metode yang dikenal dengan Metode Elektik,
khususnya setelah kemudian muncul Meode Komunikatif, dalam pemilihan materi
(silabus). Kedua metode tersebut berbeda, lalu bagaimana kita bisa memadukan
antara keduanya? Yang pertama mensyaratkan pengurutan materi qawa'id/grammar
dan mufradat/vocabulary secara scala prioritas (dari yang mudah ke yang
sulit, dari yang sederhana ke yang kompleks, dst), sementara metode kedua
justru meninggalkan skala prioritas, karena menekankan pada 'penggunaan
ujaran-ujaran bahasa' sesuai dengan tuntutan situasi dann kondisi sosial budaya
yang beragam sejak awal. (Hidayat, 2008: 1)
Dengan melihat kenyataan di atas, untuk
kepentingan praktis di lapangan, tidak akan ada satu bentuk baku pemilihan atau
penggabungan metode yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan pengajaran
bahasa yang dihadapi guru di lapangan. Jadi, keputusan tentang metode apa yang
akan dipilih dan digabungkan sangat tergantung kepada pertimbangan rasional
kita sendiri sebagai guru bahasa Arab.
Untuk keputusan ini, harus juga diperhatikan
bahwa penerapan sebuah metode atau penggabungan beberapa metode bisa menampilkan
metode pembelajaran yang ideal apabila didukung oleh penguasaan guru secara
memadai terhadap berbagai macam metode (termasuk kekuatan dan kelemahan
masing-masing), sehingga dapat mengambil secara tepat segi-segi kekuatan dari
setiap metode dan menyesuakannya dengan kebutuhan program pengajaran yang
ditanganinya, kemudia dengan kebutuhan program pengajaran yang ditanganinya,
kemudian menerapkannya secara proporsional dengan melakukan "modifikasi
dan improvisasi" yang diperlukan.
Karena itu, perhatian para guru bahasa Arab
hendaknya sudah harus lebih mengarah kepada strategi atau teknik pembelajaran
yang ditawarkan oleh berbagai pendekatan dan metode pengajaran bahasa asing,
darp pada berkutat pada metode yang harus dipilih.
F.
Faktor-Faktor Pemilihan Metode Pembelajaran Bahasa
asing
Selain penguasaan terhadap berbagai metode
pembelajaran bahasa asing, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan seorang
guru dalam memilih metode pengajaran bahasa asing. Faktor-faktor tersebut, di
antaranya:
1.
Faktor Tujuan Pembelajaran
2.
Faktor Materi/ Bahan Ajar
3.
Faktor Guru
4.
Faktor Siswa
5.
Faktor Sarana Prasarana dan Media Pembelajaran
6.
Faktor Situasi dan Kondisi Kelas
G.
Penutup
Sebagai satu kegiatan yang direncanakan, setiap
upaya pembelajaran diharapkan bisa membuahkan hasil seperti yang direncanakan
bersama. Hal ini bisa terujud jika pembelajaran berjalan efektif. Dengan kata
lain, satu pembelajaran bisa dikatakan efektif jika membawa hasil atau pengaruh
bagi peserta didik. Hasil atau pengaruh dimaksud bisa dilihat setidaknya dari
dua sisi: proses dan hasil. Dari segi proses, artinya seluruh peserta didik
terlibat secara aktif dalam pembelajaran, dan guru mampu menunjukkan
profesionalitasnya dalam mengajarkan bahasa asing. Sedangkan dari segi hasil,
sebagaian besar siswa dapat mencapai kompetensi yang telah ditentukan dan hasil
pembelajaran bahasa Arab dirasakan bermanfaat bagi pengembangan kepribadian
siswa, bisa membantu penguasaan ilmu sesuai kebutuhan siswa, dan sebagainya.
Untuk mencapai efektifitas pembelajaran bahasa
Arab, perhatian para guru hendaknya sudah harus lebih mengarah kepada strategi
atau teknik pembelajaran yang ditawarkan oleh berbagai pendekatan dan metode
pengajaran bahasa asing. Artinya, dari pada berkutat pada metode apa yang harus
dipilih dan diunggulkan, maka lebih baik guru bahasa Arab mengambil jalan
tengah dengan memilih dan meramu berbagai metode menjadi sebuah ramuan strategi
dan Teknik Pembelajaran Bahasa Arab.
Daftar Pustaka:
1.
Fathul Mujib, 2010: Rekonstruksi Pendidikan Bahasa
Arab, cet. I, Pedagogia, Jogjakarta
2.
Kuntowijoyo, 2006: Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi
Metodologi dan Etika, Edisi II, Tiara Wacana, Jogjakarta
3.
Aziz
Fachrurrozi dan Erta Mahyuddin, 2011: Pembelajaran Bahasa Asing Metode
Tradisional dan Kontemporer, cet. I, Bania Publishing, Jakarta
4.
D.
Hidayat, 2008: Ta'lim al-Lughah al-Arabiyyah, Toha Putra, Semarang
5.
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi
Metodologi dan Etika, Edisi II, Tiara Wacana, Jogjakarta, 2006
6.
Acep
Hermawan, 2011: Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Cet.I, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung
7.
Muhammad
Ali al-Khauli, 1998: Ta’liimu al-Lughah Hãlãt wa Ta’lîqat, Dar falh li
an-Nasyr wa at-Tauzi’, Urdun
8.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Departeen Pendidikan dan Kebudayaan, balai Pustaka,
Jakarta, 1995
9.
Iskandarwassid
dkk, 2009: Strategi Pembelajaran Bahasa, cet. II, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung