20.8.11

Hikmah Diam Pada Saat yang Tepat

TERLALU BANYAK BICARA, INDIKASI KEBODOHAN

Dikisahkan, ada seorang pria miskin bernama Qadir yang bekerja sebagai pencari kayu bakar di hutan, lalu menjualnya ke pasar. Penghasilan setiap harinya hanya cukup untuk makan sehari, bahkan tak jarang malah kurang. Tetapi, Qadir terkenal sebagai sosok yang jujur, sabar, ikhlas dan pendiam. Demikian masyarakat mengenalnya.

Suatu hari, seperti biasanya dia pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Setelah dikira cukup, Qadir lantas memikul kayu-kayu temuannya dan berangkat menuju pasar. Setibanya di pasar, ternyata orang-orang sangat ramai dan berdesakan. Karena khawatir ujung-ujung kayunya mengenai orang, sepanjang jalan dia berteriak, "Tolong minggir... minggir! kayu bakar mau lewat!."

Tentu saja, semua orang yang mendengar teriakan itu segera menepi, mempersilahkan Qadir lewat dengan tumpukan kayu bakarnya, kecuali ada seseorang dengan penampilan parlente yang tidak memperdulikan teriakan Qadir. Karena beratnya beban yang dibawa, dan terhalangnya sebagian pengelihatan qadir dengan banyaknya bawaan, jsontak saja kayu bawaan Qadir menyenggol punggung si parlente. Tak pelak, pakain si parlente robek dan sedikit bagian punggungnya terluka.

Menyadiri apa yang menimpanya, si parlente marah: memaki-maki, dengan suara keras, tanpa menggubris permintaan maaf Qadir yang nampak sangat ketakutan. Teganya lagi, si parlente justru membawa perkaranya itu ke pengadilan: tuntutannya jelas, ingin minta ganti-rugi kepada si pembawa kayu bakar tersebut.

Di Pengadilan, si parlente melaporkan peristiwa yang menimpanya, seraya mohon mengadili si pria miskin itu. Sang hakim lalu berkata: "Mungkin ia tidak sengaja."

“Tidak mungkin, ia tidak sengaja, Pak Hakim.” Bantah parlente itu. Maka terjadilah negosiasi antar hakim dan penuntut. Semua upaya damai yang tawarkan hakim selalu dibantah oleh si parlente. Sementara Qadir hanya bisa mendengarkan, tanpa berani bicara sepatah kata pun.

Karena penuntut tetap bersikukuh pada tuntutannya, hakim pun segera mengajukan beberapa pertanyaan kepada terdakwa. Seperti semula, si pria miskin itu tetap saja diam tak bicara satu kata pun.

"Mungkin orang ini bisu, sehingga dia tidak bisa memperingatkanmu ketika di pasar tadi." Kata hakim menyimpulkan diamnya terdakwa.

Mendengar perkataan hakim, bangsawan itu pun angkat bicara dengan suara lantang:

"Tidak mungkin! Ia tidak bisu wahai hakim. Aku mendengarnya ia berteriak di pasar tadi. Tidak mungkin sekarang ia bisu! Pokoknya saya tetap minta ganti" lanjut bangsawan itu. Mendengar ketegasan si kaya, hakim pun bertanya:

“Bagaimana dan adakah saksi yang mendengar teriakannya?” Dengan penuh keyakinan si parlente menjawab:

“Hampir semua orang di pasar mendengar terikannya ‘minggir..minggir..ada kayu mau lewat’, begitu teriakannya, pak Hakim!”

Dengan tenang sambil tersenyum, sang hakim berkata:

"Kalau Anda mendengar teriakannya, yang meminta semua orang minggir, lantas kenapa Anda sendiri tidak minggir?”

Sambil menunjuk pria pembawa kayu itu, sang hakim melanjutkan pembicaraannya:

“Terdakwa sudah memperingati setiap orang yang ada di jalan, termasuk Anda wahai penuntut. Namun, justru anda lah yang tidak mau menggubris teriakannya. Itu artinya, pria pembawa kayu ini tak bersalah, Anda lah yang dalam hal ini bersalah”

Mendengar keputusan sang hakim, si parlente hanya bisa diam dan bingung. Ia baru menyadari bahwa ucapannya justru menjadi bumerang baginya. Akhirnya si penuntut gagal mendapatkan ganti rugi, dan terdakwa selamat dari segala tuduhan.


ZNS

Tidak ada komentar: