27.4.11

BELAJAR DARI ANJURAN "BELAJAR KE CINA"

Bisa dibayangkan kalau orang Cina, terutama yang mslim merasa senang karena negeri mereka disebut secara jelas oleh Nabi Muhammad dalam hadisnya yang terkenal: “uthlubu al-ilma walau bissin”, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Anda juga mungkin setuju, kalau anjuran mencari ilmu ke negeri bambu itu bukanlah ilmu atau pengetahuan -seperti pemahaman kebanyakan sebagai ilmu- agama. Jelas bukan tempatnya ilmu agama di sana. Anjuran Nabi mencari ilmu ke Cina tentunya berkaitan dengan ilmu-ilmu duniawi.

Dalam kenyataannya, sejak dahulu kala banyak sekali orang Islam belajar dari Cina, mulai tentang kimia, kertas, sebagian astronomi, dan juga mesiu. Mesiu itu pertama kali digunakan oleh orang Islam untuk perang. Penemuan ini merupakan kreasi dari tiga kerajaan yang oleh orang Barat disebut Gun Powder Empires, yaitu Moghul di India, Safawi di Iran, dan Utsmani di Turki. Mereka inilah yang pertama kali menggunakan mesiu untuk perang, dan kemudian ditiru oleh orang Barat menjadi bedil sampai sekarang. (Nurchalish Majdid: 2001)

Dalam sejarah, Cina lah yang pertama kali menemukan mesiu. Sehingga banyak bangsa-bangsa lain (termasuk Islam) yang datang untuk belajar, lantas menggunakannya sebagai senjata perang. Tidak demikian halnya dengan Cina yang menggunakan misiu untuk bahan pembuatan petasan. Mitos di negeri bambu itu, roh-roh jahat takut sekali kepada suara-suara ribut. Karenanya, tradisi di sana selalu ada petasan setiap kali mengadakan perayaan. Maksudnya untuk megusir roh-roh jahat agar tidak megganggu perayaan yang sedang berlangsung.

Untuk masalah misui, ternyata umat Islam mengambil ilmunya, sedangkan mitologinya dibuang. Kenyataan ini sejatinya menjadi rujukan bagaimana para muslim terdahulu menuntut ilmu: dari mana saja asalnya ilmu, yang penting bermanfaat, pasti diambil. Tidak perduli dari negeri kafir sekali pun, namun mitologinya dicampakkan. Slogan bahasa sekarang: isinya di ambil, sedangkan kulitnya, ya, dibuang. Jika ini difaham oleh semua umat Islam, penulis optimis mereka tidak akan lagi risih mengakui dominasi Barat dengan kemajuan ilmu dan tekhnologinya di era globalisasi ini, namun tetap bisa kritis memilah antara isi dan kulit peradaban mereka. Dengan modal pemahaman tersebut, umat Islam bisa semakin terbuka dan objektif menyikapi kompetisi global sebagai sebuah keniscayaan menjadi bagian penduduk dunia.

Kalau boleh jujur, salah satu faktor kenapa umat Islam saat ini selalu di belakang, bisa jadi karena maasalah psikologi. Mereka bersikeras memelihara yang sudah ada sehingga menumbuhkan tradisi menghafal, dan ada kecenderungan takut melakukan hubungan dengan orang lain. Dengan kata lain, Islam menderita xenophobia. Satu penyait “ketakutan” yang berkedok pada penjagaan tradisi lama, hingga tidak bisa melihat dunia luar secara objektif. Biasanya, semua yang datang dari luar, akan selalu dituduh keliru dan menjustifiksinya sebagai pengkafiran.

Selain umat Islam, sebenarnya Jepang juga mengalami hal yang sama: menderita penyakit xenophobia. Kalau saja tidak digedor oleh Perry, niscaya Jepang menjadi negara yang paling terisolasi. Ditambah lagi Jepang ialah negeri pulau, tidak ada kontak dan tidak pernah melihat bangsa lain. Dulu, mereka mengira di dunia ini yang ada cuma mereka, sehingga melahirkan isolasionisme.

Kalau orang Islam sekarang mengalami xenophobia, mereka memang bukan satu-satunya. Tetapi bahwa penderitaan itu lebih berat dipikul oleh umat Islam, itu jelas. Karena di sini ada faktor psikologis. Ditambah lagi sekarang ada tesis Huntington tentang clash of civilization yang berasumsi bahwa Barat versus Islam. Ini juga mungkin masalah sentimen sejarah. Karena dulu, sebelum Komunisme muncul, satu-satunya peradaban yang pernah hampir menguasai seluruh Eropa hanyalah Islam. Di Spanyol, Islam berjaya selama delapan abad, kemudian di Timur meluas sampai hampir ke Viena. Karena itu kalau ada makanan atau kue yang diberi nama Cruissand, maka itu sebetulnya berasal dari Crescent (bulan sabit), lambangnya orang Islam. Kue itu dibuat sebagai kue perayaan orang Viena setelah berhasil mengalahkan Turki. Mereka bernafsu ingin “makan” Turki melalui simbolisasi kue Cruissand.

Menyadari realita tersebut, penulis mengajak semua komponen umat Islam agar bisa menjadikan hadis Nabi “belajar sampai ke Cina” sebagai cambuk untuk menyingsingkan lengan baju; menyadari keniscayaan berkompetisi bersama umat lain; menyikapi persaingan secara objektif dan bijaksana. Agar beban psikologi yang sekian lamanya diderita bisa segera diobati untuk kemudian mengejar ketertinggalan kita. Tanpa itu, hanya selogan kosong jika umat Islam selalu bersuara nyaring mengaku sebagai umat yang rahmatan lilalamin. Wallu a’lam bi alshawab...

1 komentar:

reza aconk mengatakan...

saya cuman blogwalking>>>
jika berniat liat blog saya kunjungin balik ya???

terima kasii...