12.3.11

BASMALAH: UNGKAPAN SEKULERISASI

Penggabungan antara kedua iman dan ilmu itu, dengan masing-masing cara pendekatannya, hen­daknya ada pada setiap pribadi Muslim. Dan amat berbahaya mencampuradukkan metode pen­dekatan keduanya itu. Sebab, pada tingkat sebenarnya, penghayatan nilai spiritual/keagamaan bukanlah hasil kegiatan yang serba rasio­nalistis dan, demikian pula seba­liknya...

Basmalah adalah masdar untuk bacaan “bismilãhi ar-Rahmãni ar-Rahîm”. Sebuah bacaan yang menjadi penanda khusus keislaman seseorang dalam memulai setiap aktifitas. Hal ini bisa jadi karena perintah Rasul yang sekaligus menegaskan kealpaan barakah dari setiap pekerjaan yang tidak dimulai dengan bacaan tersebut; bisa juga sebagai penanda kepasrahan kita yang menjadii khalifah (wakil) Allah di muka bumi ini.

Apa pun alasannya, jika difhami secara mendalam, kandungan kalimat basmalah pada hakekatnya menjelaskan sekularisasi. Indikasinya sederhana saja. Pertama, arti kata bismillâh, yang Indonesianya ialah “Atas nama Tuhan” (tapi biasanya diterjemah­kan menjadi “Dengan nama Allah”; hal ini adalah kurang tepat). Perkataan bismillâh itu menunjuk­kan nilai kegiatan manusia sebagai Wakil, atau Khalifah Tuhan, di bumi. Di situ, secara implisit juga terkandung pengertian adanya ruang kebebasan bagi manusia.

Kedua ialah makna yang terkan­dung dalam perkataan al-Rahman dan al-Rahim. Keduanya berasal dari akar kata rahmat (kasih). Jadi, baik ar-rahman ataupun ar-rahim adalah bermakna “Yang Maha Kasih”, sebab, keduanya adalah kata sifat. Tetapi mengapa sampai disebutkan sekali­gus keduanya, dan tidak cukup salah satu saja?

Hal itu tentu mempunyai mak­sud yang lebih luas. Para ahli tafsir menerangkan, bahwa al-Rahmân menunjukkan sifat Kasih Tuhan di dunia ini (menurut ukuran-ukuran duniawi), sedangkan al-Rahîm menunjukkan sifat Kasih itu di akhirat (jadi juga menurut norma-norma ukhrawi). Tentang perbeda­an norma-norma duniawi dan ukhrawi, telah diterangkan di muka.

Maka Tuhan, sebagai Rahmân, akan selalu memberikan balasan kebaikan di dunia ini bagi mereka yang menjalankan kehidupan duniawi secara tepat. Kasih Tuhan itu tidak bergantung kepada iman atau kepercayaan seseorang, melain­kan kepada ilmu pengetahuannya tentang masalah sekular itu. Dan Tuhan, sebagai Rahîm, akan senan­tiasa memberikan balasan kebaikan di akhirat nanti kepada mereka yang menyiapkan kehidupan ukhrawinya secara benar, yaitu dengan mengikuti ajaran-ajaran agama Tuhan.

Jadi, Kasih al-Rahîm itu bergantung kepada iman sese­orang, bukannya kepada ilmu pengetahuannya. Kasih Tuhan sebagai Rahmân diberikan kepada manusia sebagai makhluk masyara­kat dalam hubungannya dengan sesama manusia dalam dan alam sekitarnya, dan Kasih Tuhan sebagai Rahîm diberikan kepada manusia sebagai makhluk individu dalam hubungannya dengan Allah semata. Maka dari itu, jika kita meng­hendaki kebahagiaan di dunia dan di akhirat, kita harus beriman dan berilmu sekaligus, yang kemudian keduanya, iman dan ilmu, itu akan mewarnai amal perbuatan kita. Sebab, amal perbuatan kita, berupa kegiatan keseharian, harus men­dapatkan motivasi atau dorongan niat yang benar, sesuai dengan bunyi hati nurani (kalbu, dlamîr atau fuad) yang telah dipertajam, diperpeka dan dihidupkan dengan iman dan ibadah atau kegiatan spiritual, dan diterangi oleh perhi­tungan ilmiah atau rasional yang tepat.

Penggabungan antara kedua iman dan ilmu itu, dengan masing-masing cara pendekatannya, hen­daknya ada pada setiap pribadi Muslim. Dan amat berbahaya mencampuradukkan metode pen­dekatan keduanya itu. Sebab, pada tingkat sebenarnya, penghayatan nilai spiritual/keagamaan bukanlah hasil kegiatan yang serba rasio­nalistis dan, demikian pula seba­liknya, masalah-masalah duniawi tidak dapat kita dekati dengan metode spiritualistis. Keduanya mempunyai bidang yang berbeda, meskipun antara iman dan ilmu itu terdapat pertalian yang erat: pertalian antara sumber motivasi, atau dorongan batin (niat), dan keterangan tentang cara yang tepat untuk satu bentuk kegiatan atau amal.

Tidak ada komentar: