2.11.10

STANDARISASI PONDOK PESANTREN Antara Keniscayaan dan Tuntutan di Era Modernisasi

A.Muqaddimah
Mengapa pesantren bisa survive sampai saat ini? Pertanyaan ini mungkin terdengar biasa-biasa saja. Bagi kebanyakan orang, realita ini tak ubahnya kejadian alamiah yang tidak perlu ditilik lebih detail lagi alasannya. Namun ternyata, pertanyaan itu sudah menggoda Azyumardi Azra selaku ilmuwan dan pakar sejarah, dan pastinya, mengusik banyak pakar pendidikan nasiona, bahkan internasional, hingga merangsang mereka melakukan penelitian seputar eksistensi dan peranan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam Tradisional di Indonesia.

Di antara banyak tokoh ilmuwan itu ada Nurchalis Madjid, dengan bukunya Bilik-Bilik Pesantren; ada Zamaksyari Dofier, yang telah menulis Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai; ada Mastuhu, juga telah menulis Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Di sana ada juga Arifin Imran, Ali Maschan Moesa, Mujammil Qamar, Sukamto, M. Bahri Ghazali, Turmudi Endang, Abdurrahman Mas’ud. Selain ilmuwan pribumi, keunikan dunia pesantren juga menarik perhatian para ilmuwan manca negara. Ada Cifford Geertz, yang telah menulis Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa; Alan Ronald dan Lukens, dengan penelitiannya A Peaceful Jihad, Javanese Islamic Education dan Religious Identity Contruction; ada juga Steenbrink, Karel A, penulis buku Pesantren Madrasah Sekolah; juga Sindu Galba yang menulis Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi. Tentunya banyak lagi nama-nama peneliti seputar dunia pesantren yang tidak tercantum di sini. Pemaparan ini tidak lebih untuk memperkuat asumsi bahwa pesantren masih dan selalu hangat untuk diperbincangkan.

Bagi kalangan pesantren, realita ini patut disyukuri, bahkan berhak untuk bangga, karena meningkatnya perhatian masyarakat luas pada dunia pendidikan dan lembaga pesantren. Dari sebuah lembaga yang hampir-hampir tak diakui eksistensi dan peran positifnya, menjadi sebuah bentuk pelembagaan sistem pendidikan yang mendapatkan “label” asli Indonesia. Maka orangpun membicarakan kemungkinan pesantren menjadi pola pendidikan nasional. Kemungkinan ini diperbesar dengan munculnya anggapan bahwa sistem pendidikan yang kini secara resmi berlaku di Indonesia adalah warisan pemerintahan Belanda yang mengandung ciri kolonial. Sebuah ciri pendidikan yang tidak bisa serta merta kita terapkan sepenuhnya di negara Indonesia, yang moyoritas muslim. Islam sendiri mempunyai konsep tradisi pemelajran sebagaimana diteladani Rasul.

Bahkan lebih dari itu: pesantren diharapkan dapat berperan menciptakan dukungan sosial bagi pembangunan yang sedang berjalan. Sebuah dukungan yang dinamis, spontan dan langgeng. Apalagi jika kita kaitkan denga keperluan untuk menemukan suatu pola pembangunan yang bersifat “indigenous”, asli sesuai dengan aspirasi bangsa Indonesia. Untuk harapan inilah, pemerintah kian menunjukkan perhatiannya pada lembaga pendidikan pesantren. Banyak indikasi mengarah kesana. Salah satu contoh kongkrit adalah pelaksanakan Halaqoh Ulama Pesantren Salafiyah dan Diniyah yang diadakan Kementrian Agama di UIN Maliki Malang beberapa waktu lalu.

B.Modernisasai dan Dunia Pendidikan Islam
Kaitannya dengan survive-nya pesantren sampai saat ini, Azyumardi menambahkan, sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai kawasan Dunia Muslim, tidak banyak lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan. Kebanyakan lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan “sekuler”; atau mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan umum; atau setidak-tidaknya menyesuaikan diri dan sedikit banyak mengadopsi isi dan metodologi pendidikan umum.

Untuk memperkuat alasannya, Azyumardi mengemukakan nasib banyak kawasan Islam dalam proses perubahan dan modernisasi. Pada umumnya, di kawasan Timur Tengah, lembaga pendidikan Islam terdiri dari tiga jenis; madrasah, kuttab, dan masjid. Sampai paruh kedua abad ke-19, ketiga lembaga pendidikan tradisiona Islam ini relatif mampu bertahan. Tetapi, sejak perempat terakhir abad ke-19, gelombang perubahan dan modernisasi yang semakin kencang telah menimbulkan perubahan-perubahan yang tidak mungkin lagi dikembalikan seperti pada eksistensi semula.

Modernisasi pendidikan Islam, tidak diragukan lagi bermula di Turki menjelang pertengahan abad ke-19. Sebelum akhirnya menyebar ke hampir seluruh wilayah kekuasan Turki Usmani di Timur Tengah. Penting dicatat, program pembaruan pendidikan di Turki semula tidak menjadikan Medresse (madrasah) sebagai sasaran perubahan. Mulanya hanya pembentukan sekolah-sekolah baru sesuai dengan sistem pendidikan Eropa. Pada titik ini, muncul,, misalnya “Mekteb el ilmi Harbiye” (sekoah militer) pada tahun 1834 sesuai dengan model Prancis.

Namun selang waktu yang tidak terlalu lama (1938), Sultan mahmud II (1808-1839) juga melancarkan pembaruan pendidikan Islam dengan memperkenalkan Sekolah Rusydiyah, yang sepenuhnya mengadopsi sistem pendidikan Eropa. Sekolah Rusydiyah ini independen atau bahkan berlawanan dengan Medresse. Selanjutnya pada tahun 1846, Sultan ‘Abd al-Majid mengeluarkan peraturan yang memisahkan pendidikan Islam dengan pendidikan umum; madressa berada di bawah juridiksi Syaikh al-Islam, sedangkan sekolah umum –dengan berbagai tingkatannya– ditempatkan di bawah tanggung jawab langsung pemerintah. Meski tak sama, realita ini hampir serupa dengan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini; memisahkan lembaga pendidikan umum dan agama dalam pelaksanaan tanggung jawabnya.

Perlu diingat, sekolah umum yang diharapkan menjadi tulang punggung modernisasi ternyata berkembag relatif lambat. Ini mendorong pemerintahan Turki Utsmani untuk mengeluarkan ketetapan “ma’arif Ummiye Nizamnamesi” (1869) guna memperluas dan mempercepat perkembangan sistem pendidikan umum model Eropa, dengan mengorbankan medresse. Pukulan terakhir terhadap medresse terjadi pada tahun 1942, yaitu ketika Mustafa kamal Ataturk menghapus sistem medresse dengan mengubahnya menjadi sekolah-sekolah umum.

Pengalaman yang sama juga terjadi di Mesir. Modernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan di Mesir dimulai oleh Muhammad Ali Pasya. Pada tahun 1833 ia mengeluarkan dekrit pembentukan sekolah dasar umum, yang pada perkembangan awalnya berdampingan dengan madrasah dan kuttab. Seiring berjalannya waktu, madrasah dan kuttab ternyata tidak mengalami perkembangan berarti. Kuttab hanya menjadi semacam pelengkap bagi sekolah umum, khususnya untuk mendapat tambahan pelajaran agama.

Pada tahun 1868, Khedive Ismail mengeluarkan ketetapan untuk mengintegrasikan madrasah dan kuttab ke dalam sistem pendidikan umum. Toh demikian, upaya ini tidak banyak berhasil; sistim pendidikan madrasah dan kuttab tetap bertahan dalam masa penjajahan Inggris. Namun setelaha kemerdekaan, dengan alasan integrasi atau nasionalisasi sitem pendidikan nasional Mesir, pemerintahan Gamal Abdel Nasser pada tahun 1961 menghapus sistem madrasah dan kuttab.

Pengalaman Turki dan Mesir agaknya cukup mewakili proses memudarnya sistem pendidikan tradisional Islam dalam benturannya dengan arus modernisasi global. Situasi-situasi sosiologis dan politik yang mengitari medresse di Turki atau madrasah dan kuttab di Mesir dalam segi-segi tertentu agaknya berbeda dengan situasi yang dihadapi dunia pendidikan pesantren di Indonesia. Perbedaan-perbedaan tersebut, pada kenyataannya membuat pesantren tetap dan mampu eksis sampai saat ini. Bertolak dari kenyataan di atas, kiranya kita pun wajar jika lantas penasaran mengetahui jawaban pertanyaan pada awal tulisan ini.

C.Memperthankan Jati diri Pesantren
Secara historis, pesantren atau pondok tak lain merupakan perwujudan sistem pendidikan nasional. Selain identik dengan keislaman sebagai ajaran mayoritas bangsa, pesantren juga mengandung makna keindonesiaan (Indigeneous). Sebab, lembaga serupa pasantren sebenarnya sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu-Buddha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan model-model yang sudahh ada. Tentunya ini tidak lantas mengecilkan peranan Islam dalam memplopori pendidikan di Nusantra ini, sejak masa prapenjajahan.

Setuju dengan pandangan Nurcholish Madjid, penulis juga berandai: jika saja nusantara tidak pernah mengalami masa penjajahan, besar kemungkinan model pendidian nasional akan mengikuti jalur-jalur pendidikan yang ditempuh pesantren. Maka perguruan-perguruan tinggi yang ada saat ini pun bukan bernama UI, ITB, UGM, Unair, atau yang lainnya, tapi bisa jadi namanya “universitas” Tremas, Lirboyo, Tebuirang, dan seterusnya. Pemikir muslim yang biasa disapa Cak Nur juga berargume: kemungkinan tersebut bisa kita tarik setelah melihat dan membandingkan dengan pertumbuhan pendidikan di banyak negara-negara Barat yang hampir semua universitasnya bermuara dari perguruan-perguruan bernuansa keagamaan, serupa pesantren di Indonesia. Mungkin juga, seandainya kita tidak pernah dijajah, lokasi-lokasi awal perkembangan pesantren tidak akan berada di daerah-daerah pinggiran, melainkan menyebar di semua pusat-pusat kota di Indonesia.

Dari penjelasan sederhana ini saja bisa kita proyeksikan apa peranan dan dimana letak sebenarnya sistem pendidikan pesantren dalam masyarakat Indonesia untuk masa depan bangsa yang lebih berkepribadian. Gambaran kongkritnya bisa kita jelaskan dengan menganalogikan pesantren di Indonesia (ambil sebagai misal Tebuireng) dengan “pesantren” yang didirikan oleh pendeta Harvard di Boston, Amerika. Pesantren Tebuireng menghasilkan apa yang bisa dilihat oleh rakyat Indonesia sekarang, dan “pesantren”-nya pendeta Harvard itu telah tubuh menjadi sebuah universitas yang paling “prestigious” di Amerika, dan hampir secara pasti memegang kepeloporan dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern dan gagasan-gagasan mutakhir.

Dalam hal kekuasaan, apalagi. Harvard memegang rekor dalam menghasilkan orang-orang besar yang menduduki kekuasaan tertinggi di Amerika Serikat. Tetapi di Indonesia, sebagaimana kita ketahui, peranan “Harvard” itu tidak dimainkan oleh Tebuireng, Tremas, ataupun Lirboyo. Pernah sekali Indonesia dipimpin Abdurrahman Wahid, sebagai perwakilan kalangan santri. Namun pada kenyataannya, Abdurrahman adalah “penjelmaan” santri plus. Peranan “plus”-ny lah yang mampu mengangkat Abdurahman diterima hampir semua komponen bangsa. Selebihnya, peranan “Harverd” dimainkan oleh perguruan-perguruan tinggi kelanjutan lembaga masa penjajahan.

Bagaimana itu terjadi? Pada titik ini, kalangan pesantren harus mengakui ada kesenjangan antara pesantren dan dunia global dengan ciri modernnya yang masih didominasi oleh pola budaya Barat dan diatur mengikuti pola-pola itu. Sementara dunia pesantren, disebabkan faktor historinya, belum sepenuhnya bisa menerima pola-pola budaya itu. Karenanya, dunia pesantren kurang memiliki kemampuan dalam mengimbangi, apalagi menguasai kehidupan modern, sebagai dinamika zaman. Realita ini lantas melahirkan anggapan adanya kesenjangan waktu antara dunia pesantren dan realita zaman.

Kesenjangan dimaksud bukan lantas disebabkan realita pesantren sebagai pendidikan islami. Ajaran agama (Islam) bukanlah sebab “ketertinggalan” pesantren dalam berkiprah di dunia global. Dalam hal ini, universitas Harverd, misalnya, relevansinya dengan perkembangan zaman, bahkan kekuasaan tidaklah diperoleh dengan meninggalkan samasekali jiwa “kepesantrenannya”. Di sana masih terdapat bagian-bagian yang mengajarkan teologis, disamping monumen-monumen keagamaan yang banyak terdapat dalam lingkungan kampusnya seperti gereja-gereja, chapel-chapel, dan koleksi barang-barang keagamaan. Bahkan dalam bidang teologi, Harvard masih meneruskan peranan historisnya sebagai penganut madhab unitarianisme.

Pemaparan fenomena di atas menunjukkan bahwa untuk bisa memainkan peranannya secara global, pesantren tidak perlu menghilangkan kepribadiannya sebagai lembaga keagamaan. Bahkan tradisi-tradisi agama yang dimiliki pesantren itu sebenarnya merupakan ciri khusus yang harus dipertahankan, karena di sinilah letak kelebihannya dibandingkan lembaga pendidikan umum.

D.Tantangan Dunia Pesantren
Secara umum, satu hal mendasar dan perlu segera ada penanganan serius dalam pola kependidikan pesantren untuk bisa berkiprah aktif dalam dunia modern, yakni lemahnya visi dan tujuan pendidikannya. Agaknya tidak banyak pesantren yang mampu secara sadar merumuskan tujuan pendidikan dan menuangkannya dalam tahapan-tahapan rencana kerja atau program. Mungkin kebutuhan pada kecakapan ini relatif terlalu baru. Tidak adanya perumusan tujuan itu disebabkan adanya kecendrungan visi dan tujuan pesantren diserahkan pada proses improvisasi yang dipilih sendiri oleh seorang kiai atau bersama-sama pembantunya secara intuitif, disesuaikan dengan perkembangan pesantrennya. Malahan pada dasarnya, pesantren adalah pancaran semangat kepribadian pendirinya. Maka tidak heran kalau ada anggapan bahwa pesantren itu merupakan hasil usaha pribadi atau individual.

Sebagaimana pada umumnya, kiai disamping sebagai pimpinan Pondok Pesantren juga sekaligus sebagai pemilik, karena sebagai pemilik, maka semua kebijakan untuk perkembangan pondok bersumber dari kiai. Peran kiai yang sedemikian signifikan ini sesuai dengan definisi Pondok Pesantren itu sendiri, yaitu Pondok Pesantren adalah sejenis sekolah dasar dan menengah yang disertai asrama, dimana para murid atau santri mempelajari kitab-kitab keagamaan di bawah bimbingan seorang guru, kiai.

Adanya pengaruh semangat pribadi para pendirinya terhadap pesantren itu memang tidak bisa dihindarkan, dan ini tentunya bukan salah mereka. Para pendiri pesantren itu tidak un sich salah. Mereka adalah pribadi-pribadi yang tidak lebih daripada kapasitas fisik dan mental, yang memiliki kemampuan terbatas. Umpamanya saja dari segi non-fisik, pribadi tersebut mengetahui beberapa hal, namun bisa dipastikan lebih banyak lagi hal yang belum diketahuinya. Keterbatasan akan pengetahuan itu tercermin pula dalam keterbatasan kemampuan mengadakan responsi pada perkembagan masyarakat modern.

Ada pepatah Arab, bahwa “al-insanu “aduwwun lima jahilu” (manusia menjadi musuh dari apa yang tidak diketahuinya). Dalam hal ini, banyak sekali contoh kongkrit. Seorang kiai yang kebetulan tidak bisa baca-tulis huruf Latin, punya kecendrungan lebih besar menolak atau menghambat dimasukkannya pengetahuan baca-tulis Latin ke dalam kurikulum pelajaran pesantrennya. Itu adalah kasus kecil dan sederhana, sehingga mudah terlihat. Seorang tokoh pesantren yang tidak mampu mengikuti dan menguasai perkembangan zaman mutakhir tentu cenderung menolak mengubah pesantrennya mengikuti zaman tersebut, meskipun dengan begitu pesantrenya akan menjadi lebih berjasa kepada masyarakat.

Kenyataan ini, dan ditambah faktor-faktor lain yang sangat beragam, membuat output pesantren dianggap kurang mampu “melebur” dan mewarnai kehidupan modern. Tidak heran jika seorang santri identik dengan gambaran seorang dengan kemampuan terbatas. Sedemikian terbatasnya kemampuan santri, hingga peranan-peranan yang mungkin dilakukannya ibarat hanya bersifat tambahan yang kurang berarti pada pinggiran-pinggiran keseluruhan sistem masyarakat saja, dan kurang menyentuh apalagi mempengaruhi perkembangan masyarakat. Bandingkan fenomena ini dengan peranan lulusan “pesantren” harverd.

Inilah kelemahan pesantren yang penulis anggap sangat fundamental. Maka pada titik ini kesadaran para pengemban pesantren semestinya mengarahkan konsentrasinya agar upaya standarisasi pendidikan nasional seperti yang dicanagkan pemerintah bisa terealisasikan. Selebihnya, harapan agar pesantren bisa memainkan peranannya di era modernisasi ini bukan sekedar isapan jempol belaka.

F. Pesantren di Tengah Tuntutan Modernisasi
“Al-haqqu yutlab wala yu’tha”. Demikian ungkap KH. Sukri Zarkasi, pimpinan Pondok Modern Gontor saat menyampaikan orasinya di hadapan para ulama dan puluhan Kiai pengasuh pondok pesantren pada acara Halaqoh Ulama Pesantren Salafiyah dan Diniyah di gedung Rektorat UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (8/2/210).

Jika boleh diartikan, ungkapan tersebut mungkin maksudnya: hak itu harus diminta (dituntut), agar bisa diberi. Pastinya, ungkapan itu sengaja Kiai Sukri sampaikan di tengah upaya tuntutan kalangan pesantren agar pemerintah, d.h.i. Kementrian Agama RI selaku “Bapak” pendidikan pesantren bisa semakin menghargai peran lembaga pendidikan kaum santri dalam upaya turut mencerdaskan bangsa.

Seperti penuturan Kiai lulusan Al-Azhar ini: meski sudah banyak alumni Gontor yang berperan aktif dalam kancah nasional, namun ijazah mereka belum diakui. Baru beberapa tahun belakangan ini lulusan Gontor mendapatkan legalitas negara. Itupun setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan. Karenanya, Kiai Sukri mengajak seluruh pimpinan pondok yang hadir agar terus memperjuangkan “hak” yang mesti didapat kalangan pesantren.

Itulah sekelumit kisah perjuangan pondok Gontor setelah 72 tahun tidak diakui pemerintah. Menanggapi hal itu, Rektor Maliki Malang, Prof. Imam Suprayogo pun merasa aneh. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi, di tengah para pemimpin Indonesia yang muslim? Presiden dan wakilnya muslim, Menagnya muslim; kiprah pondok Gontor dalam skala nasional, tidak diragukan, cukup besar. Jika selevel Gontor saja masih dimarginalkan keberadaannya, lantas bagaimana pondok-pondok pesantren yang berlevel lebih kecil?

Serupa dengan kebinguugan Imam, dan merasakan keresahan kalangan santri, pemerintah pun meminta UIN Maiki bersama kalangan pejabat terkait, untuk menyelenggarakan acara halaqah tersebut. Sebagai peserta, penulis melihat harapan positif bagi dunia pesantren ke depan. Setidaknya, ini langkah awal kepedulian pemerintah untuk semakin “menghargai” metode pendidikan ala pesantren.

Sebagai model pendidikan tradisional yang mengakar di masyarakat, pemerintah berupaya melestarikan sistem pendidikan pesantren, dan sebisa mungkin membantu agar terus berkembang. Harapannya ke depan, tidak ada lagi kasus kegagalan warga yang ingin aktif berkompetisi di tengah masyarakat hanya karena berijazah pesantren yang belum diakui. Semisal tidak bisa mencalonkan diri jadi calon DPR/DPRD karena menggunkan ijazah pondok. Atau mentok tertolak di level administratif saat mendaftar pencalonan kepala desa/lurah.

Sebagaimana dimaklumi, hal mendasar yang membedakan pesantren dengan lembaga umum lainnya adalah semangat serta ruh pendidikannya, yakni ibadah. Rujukan dasar pendidikan di pesantren adalah ajaran agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an, hadits, dan ijtihad ulama dalam ijma’ dan qiyas. Filosofi pendidikan pesantren didasarkan atas hubungan yang bermakna antara manusia, ciptaan atau makhluk, dan Allah SWT. Ruh pendidikan itu dijalani oleh semua guru dan santri dalam kegiatan mereka mencari ilmu, pengembangan diri.

Tanpa niatan menggeser ruh pendidikan pesantren, sebagai upaya apresiatif keinginan pemerintah di atas, penulis justru melihat adanya tantangan baru yang lebih berat dan kompetitif. Jika legalitas benar-benar diberikan kepada pesantren secara menyeluruh, tuntutan berkompetisi dengan lembaga lainnya harus dinilai sebagai konsekuensinya. Bukan saja antar pesantren, tapi lembaga-lembaga pendidikan non-pesantren harus juga dilihat sebagai saingan. Mampukah pesantren merealisasikannya?

Sebagai sesama warga negara, kalangan santri memang selayaknya diperhatikan sama dengan masyarakat non-santri, termsuk cara pengelolaan pendidikannya. Model pendidikan pesantren bisa mendapatkan hak yang sama dengan model pendidikan umum lainnya. Inilah kemungkinan maksud dari ungkapan Kiai Sukri di atas. Bagi penulis, itu saja belum cukup. Jika hanya mau menuntut hak sebagai lembaga pendidikan tanpa memenuhi kewajiban yang sama, besar kemungkinan dunia pesantren bisa dinilai tidak sportif.

Untuk mendapatkan hak yang sama, kewajibannya harus sama juga. Maka penulis cendrung menambahkan ungkapan di atas dengan: ba’da ityani bi al-wẚjibẚt, setelah melaksanakan kewjiban. Sah-sah saja kalangan pesantren menuntut legalitas dari pemerintah seperti lembaga pendidika lainnya. Namun jangan lupa, ada standarisasi yang dipakai pemerintah sebelum melegalkan sebuah lembaga pendidikan. Itulah yang penulis maksud dengan al-wajibat (kewajiban), yang harus dilalui sebelum menuntut hak.

Ada juga tuntutan dari para elit santri (kiai dan para ustadz) agar pemerintah membiarkan pesantren dengan sistem dan kurikulum pesantren. Tidak perlu ada koreksi pada sistem pendidikannya yang sudah berjalan selama ini. Sebagai komunitas pesantren, penulis justru menyangsikan motif tuntutan tersebut, bahkan berpeluang menimbulkan “kecemburuan” dari lembaga lainnya. Bagaimana mau minta hak yang sama, tapi tidak mau menjalankan kewajiban yang sama juga? Tidak fair, kan!?
Selain pemaknaan di atas, muatan kata ‘kewajiban’ semestinya juga dipahami sebagai konsekuensi logis pesantren menjadi lembaga pendidikan “paling islami”. Pesantren harus menjadi ikon Islam. Agama yang –diakui atau tidak– saat ini berada pada titik paling rendah di bidang sains dan tekhnologi, dibandingdingkan agama-agama besar lainnya. Maka, jika icon Islam tidak lagi merasa perlu meningkatkan kualitas keilmuan dan tekhnologinya, realita muslim sebagai komunitas bawahan juga pinggiran semakin sulit dibantah.

Hanya mimpi tak berujung, untuk menjadikan Islam sebagaimana adigium: Al-Islam ya’lu wala yu’la alaih, Islam adalah unggul, dan tak terungguli oleh yang lain. Jika lembaga-lembaga pendidikan Islam, termasuk juga pesantren mencukupkan apa yang sudah ada, tidak merasa perlu bersaing dengan komunitas lain; sepatutnya kita rubah sendiri adigium di atas menjadi: Al-Islam munkhafid wala yankhafidu minhu, Islam rendah, dan tak ada yang lebih rendah darinya. Na’udzubillahi mi dzalik.

Kaitannya dengan tuntutan pesantren di era modernisasi, ada sebuah realita sederhana tetapi berdampak serius, yakni adanya anggapan bahwa perkataan “modern” berkonotasi “kebaratan”. Meski tidak sepenuhnya benar, penulis juga melihat tidak salah. Diakui atau tidak, memang nilai-nilai “Barat” mendominasi kemoderenan itu sendiri. Pada titik ini, kita pun tergiring untuk mengakui bahwa peradaban modern yang melanda dunia, termasuk Indonesia, adalah hasil invasi peradaban Barat. Tidak jarang terdengar bahwa “modernisasi” adalah penghalusan kata “westernisasi”.

Toh demikian, kita tetap dituntut lebih objektif dalam menilai segala hal. Sejatinya nilai-nilai modern bersifat universal. Berbeda dengan nilai-nilai Barat yang hanya berskala lokal atau regional. Maka semestinya, untuk memilah percampuran antara modernisasi dan westernisasi adalah cakupan skala nilai-nilainya: memilah hal yang universal dari banyak hak yang berskala lokal.

Harus diakui, nilai universal modrnisasi adalah keilmuan dan teknologi. Maka tantangan di zaman modern pada hakekatnya adalah tantangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara tantangan yang bersifat khusus Barat adalah akibat sampingan, dan tentunya tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa sekarang ini orang-orang Barat masih memegang dominasi kepemimpinan dunia. Kenyataan ini serupa dengan pengaruh Arab pada dunia Islam. Itu saja.

G. Pengembangan Kurikulum Pesantren
Seperti halnya lembaga-lembaga pendidikan lainnya, pesantren tentunya bertujuan mengantar peserta didiknya ke arah yang lebih baik dalam semua aspeknya: kognitif, adaptif dan psikomotorik. Meski secara sederhana, hakekat lembaga pendidikan pastinya dituntut terus mengembangkan kurikulum untuk acuan kegiatan belajar-mengajar dalam rangka mengembangkan kemampuan SDM atau sasaran pendidikan dan latihan. Kurikuum diartikan sebagai suatu jarak yang harus ditempuh oleh anak didik untuk mencapai tingkatan tertentu. Pada aspek ini, pesantren bisa mengarahkan peserta didiknya untuk menghadapi hakekat tuntutan di era modernisasi seperti dijelaskan di atas. Artinya, kurikulum menjadi instrumen pencapaian tujuan belajar, termasuk di pesantren.

Dalam arti luas, kurikulum adalah segala upaya dan kegiatan yang mempengaruhi proses belajar. Dengan demikian, setiap proses yang mempengaruhi proses pendidikan, baik langsung atau tidak langsung merupakan bagian kuriulum. Untuk menyusun kurikulum yang relevan dan matap perlu dipertimbangkan prinsip-prinsip berikut: Pertama, dasar filosofis negara yang berlangsung dan mengarahkan tujuan pendidikan nasional. Kedua, dasar sosiologis yang menyangkut keadaan masyarakat, ekonomi, adat istiadat, budaya, kesehatan, dan sebagainya. Ketiga, dasar psikologis yang mempertimbangan faktor-faktor terkandung dalam diri sasaran pendidikan-latihan, misalnya minat, kebutuhan, kemampuan, pengalaman, dan sebagainya. Keempat, dasar organisasi, dimana kurikulum disajikan dalam bentuk tertentu, baik dalam luas bahan, isi maupun urutan. Untuk ini biasanya daftar pelajaran atau mata kuliah disusun dalam suatu silabi yang akan mendiskripsikan tujuan-tujuan kurikulum tersebut.

Dalam hal ini ada empat macam tujuan, yaitu: Pertama, tujuan umum, yang identik dengan tujuan pendidikan nasional. Kedua, tujuan instusional, yaitu tujuan lembaga atau pesantren bersangkuta. Ketiga, tujuan kurikuer, yakni tujuan dari setiap bidang studi atau mata pelajaran. Keempat, tujuan instruksional, yaitu tujuan yang sudah spesifik yang mencakup suatu pengetahuan, sikap atau keterampilan yang akan dicapai dengan pemberian materi pembelajaran yang bersangkutan.

Dalam penerapannya, kurikuler pesantren itu memadukan sumber ajaran ketuhanan menjadi peragaan individual untuk disemaikan ke dalam hidup bermasyarakat. Selain mengenal ranah kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotor (perilaku) dalam pengajarannya, sejak semula pesantren telah mendasarkan diri pada tiga ranah utama; yaitu fuqahah (kecakapan pengetahuan agama), thabia’ah (perangai, watak, atau karakter), dan kafa’ah (kecakapan operasional). Jika pendidikan merupakan upaya perubahan, maka yang berubah dan diubah adalah ketiga ranah itu, tentu saja perubahan ke arah lebih baik.

Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren berupaya selalu merujuk muatan dan segala hal yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar dari khazanah keislaman. Untuk mengistilahkan “pendidikan” dunia pesantren masih terlalu “lugu” untuk menerima istilah tersebut untuk mewakili keutuhan konsep pendidikan yang dimaksud dalam tradisi Islam. Masih terdapat sejumla istilah yang tekanan makna dan konsepnya akan semakin melengkapi istilah “pendidikan”. Sejumlah istilah dimaksud, antara lain:
1.Tarbiyah: usaha sadar terencana untuk mengembangkan potensi peserta didik sejak tahap “benih” sampai masa “pembuahan”, secara berkesinambungan dan sistematis. “ Segala puji bagi Allah yang men-tarbiyah alam semesta” (QS. 2:2); “Wahai Tuhanku, kasihanilah kedua orang tuaku, seagaimana keduanya telah mendidik aku waktu kecil” (QS. 17:24).
2.Ta’lim: pembelajaran tanda-tanda baik yang qauliyah (terucapkan/tekstal) dan kauniyah (terujud/faktual) sehingga peserta didik mampu mendifinisikan diri dan lingkungannya untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik. “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya.... “ (QS. 2:31-32).
3.Tadris: ikhtiar memampukan peserta didik untuk mengungkapkan makna teks, fnomena alam dan sosial, memahami siklus kehidupan, serta dapat membangun komunitas pembelajaran dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
4.Taslik: peragaan hasil ta’lim yang dengannya peserta didik menerapkan dalil dengan menggumuli kenyataan, memperoleh pengalaman, dan mengungkap ilmu temuan. Pembelajaran menjadi semakin mudah jika seseorang belajar dalam tataran praksis. (al-Kahfi:60-82)
5.Tatsqif: pembumian, pelembagaan, atau pembudayaan hasil ta’lim yang dengan itu peserta didik dapat mengalihbentukkan teks dari bisbah yang “melangit” ke nisbah yang “membumi”. Manusia akan semakin bermartabat jika berpegang teguh pada hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama makhluk. (al Imran:112)
6.Ta’dib: penerusan dan pewarisan nilai-nilai yang memampukan peserta didik menghayati semangat zaman dan terdorong untuk menyumbang bagi perbaikan peradaban. (an-Nisa’:9)
7.Irsyad: pembinaan spiritual peserta didik sehingga dapat menjangkau keselamatan diniawi dan ukhrawi. Jika orang mampu membedakan anatara yang menyelamatkan dan menjerumuskan, maka tidak perlu lagi agama. (QS. 2:256)

Dengan demikian, modus pendidikan di pesantren itu dapat dikelompokkan ke dalam dua paradigma tarbiyah; tarbiyah ta’limiyyah, terbiyah sulukiyah.
Tarbiyah ta’limiyah: usaha sadar terencana untuk merawat dan mengembangkan potensi peserta didik sejak “benih” sampai “pembuahan” secara berkesinambungan dan sistimatik yang mendasarkan pada penguasaan tanda-tandanormatif, teks, dan dalil. Kurikulum dirancang sebagai paket perubahan yang harus dikuasai oleh peserta didik. Rujukannya adaah kitab-kitab terutama yang berdasarkan ayat-ayat qaliyah dan buku-buku teks.

Tarbiyah sulukiyah: merupakan usaha sadar terencana untuk merawat dan mengembangkan potensi peserta didik sejak tahap “benih” hingga “pembuahan” secara berkesinambungan dan sistimatik yang mendasarkan pada peguasaan kecakapan bertindak dengan memperhatikan sekaligus tanda-tanda qauliyah dan kauniyah sehingga peserta didik dapat mendifinisikan diri dan lingkungannya untuk mewujudkan kenyataan hidup yang lebih baik. Kurikulum dirancang sebagai paket pengetahuan, pengalaman, dan kesempatan yang harus dikuaasai oleh peserta didik. Rujukannya adalah buku kehidupan.

F.Penutup
Harus diakui, pandangan-pandangan di atas bersifat apologis-subjektif. Atau setidaknya sebagai catatan ilustrasi-generalisasi, artinya merupakan penarikan kesimpulan umum, tanpa memperhatikan pengecualian-pengecualian yang mungkin ada. Toh demikian, dalam peranannya sebagai satu dari sekian pola lembaga pendidikan, penulis melihat keniscayaan pesantren merefleksikan beberapa hal berikut: Pertama, pesantren berhak, bahkan lebih berguna mempertahankan fungsi pokonya sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan agama. Realita ini justru menjadi ciri khas pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang tetap bertahan di Indonesia, di tengah banyak negara muslim tidak mampu menjaga eksistensi pendidikan semisal pesantren. Tapi mungkin diperlukan suatu tinjauan kembali sedemikian rupa sehingga ajaran-ajaran agama yang diberikan merupakan jawaban yang komprehensif atas persoalan makna hidup dan kehidupan, selain tentu saja disertai dengan pengetahuan secukupya tentang kewajiban praktis seorang Muslim sehari-hari.

Kedua, pesantren harus tanggap dengan tuntutan-tuntutan hidup anak didiknya kelak dalam kaitannya dengan perkembangan zaman. Di sini pesantren dituntut dapat membekali mereka dengan kemampuan riil yang didapat melalui pendidikan dan latihan umum secara memadai. Di bagian ini pun, sebagaimana layaknya yang terjadi sekarang, harus tersedia jurusan-jurusan alternatif bagi anak didik sesuai dengan potensi dan bakat mereka. Hal ini bisa terprogram dalam muatan kurikulum pesantren.

Dalam menghadapi tantangan di era modernisasi, sebagai lembaga pendidikan, pesantren dituntut aktif memberi responsi positif. Bukan sebaliknya “membelakangi” modernisasi yang sudah melanda segala sisi kehidupan masyarakat dunia saat ini. Respon pesantren tentunya lebih menitikberatkan pada aspek nilai-nilai modernisasi yang bersifat universal, yakni peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk hal ini, pemerintah, melalui Kementrian Pendidikan Nasional telah memprogramkan bantuan khusus pesantren bagi pesantren yang menyelenggarakan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Untuk tahun ini, setidaknya ada 31 pesantren se Indonesia yang dinilai pemerintah layak, karenanya dibantu untuk peningkatan teknologi di kalangan santri. Nominal bantuan terbilang lumayan: berkisar 800 juta, sampai 15 milyar.

Akhirnya, kita semua bisa berharap agar tujuan pendidikan pesantren bisa bermuara pada pembentukan pribadi yang memiliki kesadaran tiggi bahwa ajaran agama Islam merupakan ajaran yang menyeluruh. Bukan ajaran yang terkotak pada aspek ubudiah semata, tapi bisa merespon tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada, baik berskala nasional ataupun global.
Kita juga berharap agar pemerintah dalam kebijakannya merumuskan standarisasi pendidikan pesantren, adalah kebijakan yang hakekatnya membantu dunia pesantren dalam upaya pengembangan diri. Bukan kebijakan yang justru bertujuan sebaliknya: “memberengus” secara halus lembaga pendidikan Islam di Indonesia, sebagaimana terjadi di Turki dan Mesir. Wallahu a’lam bi al shawab.



Kajian Pustaka

1.Nurchalish Madjid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Dian Rakyat, Paramadina, jakarta, tth
2.M. Dian Nafi’ dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, LkiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2007
3.Halim dkk, Manajemen Pesantren, Pustaka Pesantren, cet. I, LkiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2005
4.M. Dian Nafi’, Sekilas Kurikulum Pondok Pesantren Al-uayyad, Forum Pesantren, yogyaarta, 1996
5.brahim Ad-Dabag, Al_tarbiyah as-Sulukiyah ‘inda Badi’ az-Zaman, Soz li ath-Thaba’ah wa an-Nasyr, Marakesh, Maroko, 2004
6.Farhan, Hamdan dan Syarifuddin. 2005. Titik Tengkar Pesantren, Resolusi Konflik Masyarakat Pesantren. Yogyakarta. Pilar Religia.
7.Bruinessen.. NU, Tradisi, Relasi-relasi kuasa, Pencarian Wacana Baru. Lkis, Yogyakarta,1999
8.Mulkhan, Abdul Munir. 2003. Menggagas Pesantren Masa Depan.Yogyakarta: CV. Qalam.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

masalahnya, apa semua pondok mau di berlakukan kebijakan standarisasi oleh pemerintah?
Apa patokan standarnya? disesuaikan dengan pola pendidikan nasional yang notabeni warisan pemerintah kolonial belanda?