Bersyukur, bersyukur dan bersyukur. Kata ini sering kali terdengar, bahkan menjadi ungkapan wajib yang “terlantun” setelah pujian kepada Tuhan, setiap kali mengawali pembicaraan di banyak kesempatan. Dari perkumpulan bernuasa religi, semisal pengajian, majlis ta’lim; hingga prakata –kalau tidak boleh saya katakan basa-basi pembicaraan– pada acara-acara umum lainnya yang melibatkan banyak kalangan.
Sedemikian seringnya kata-kata anjuran pengingat, bahkan meningkatkan kualitas syukur terdengar, hingga nampak bias, atau bagai sayur kurang garam ketika ada pembicaraan yang lupa atau sengaja tidak dimulai dengan ‘puji-sykukur’. Toh, itu sebenarnya bukan keniscayaan yang wajib bagi siapa saja yang mau berbicara di depan umum.
Apapun topik masalah yang hendak diketengahkan, nasehat syukur akan menjadi “bumbu pelengkap” yang biasa disampaikan pembicara, sekaligus jadi pengantar menuju inti pembicaraan. Mau berbicara tentang sholat, dimulai dengan syukur dulu; berceramah seputar zakat, didahului dengan syukur; berpidato mengenai amal sholeh, tidak lupa anjuran syukur. Jika ada seseorang yang sering menghadiri pertemuan, apalagi pengajian, bisa dipastikan ia lihai menirukan kata para pembicara tentang syukur. Mungkin juga hafal dalil-dalil seputar anjuran bersyukur.
Salah satu dalil atau landasan kewajiban bersyukur seperti dalam firman-Nya: “Jika engkau bersyukur, niscaya Aku akan menambahkannya; namun jika engkau kufur (atas nikmat-Ku), maka sesunguhnya adzabku sangatlah pedih” (QS. 14:07).
Secara tekstual, ayat tersebut sudah menyisakan pemahaman kenapa kita harus bersyukur. Kalau bukan untuk “memancing” bertambahnya rizqi, setidaknya agar terhindar dari golongan yang diadzab oleh Allah karena melalaikan syukur nikmat, alias kufur. Hitungan matematis, orang yang bersyukur beruntung dua kali: rizqi bertambah, dan terhindar adzab Allah SWT.
Masalahnya kemudian, jika adapertanyaan: sudahkah kita mendapatkan tambahan nikmat karena syukur? Bagaimana mengkalkulasi bertambahnya nikmat tersebut?
Mula-mula kita harus tahu apa sebenarnya rizqi, nikmat, atau kekayaan. Dalam bahasa Arab, kekayaan dikatakan ”alghina”. Sebuah hadis Rasul menjelaskan: laisa alghina ‘an kasratin anil ardi walakinna alghina ghina annafsi: bukanlah kekayaan karena banyak harta, amun hakekat kekayaan adalah karena kaya jiwa.
Terlalu panjang untuk membicarakan masalah jiwa dan kejiwaan pada kesempatan ini. Cukuplah satu dari sekian segi positif pengaruh jiwa yang juga positif akan penulis ketengahkan. Adapun pengaruh yang penulis maksud dann ada kaitannya dengan hukum kausalitas syukur Adalah fikiran positif. Dengan bersyukur akan membuat kita lebih bahagia. Perasaan kita menjadi lebih enak dan nyaman. Bagaimana tidak, pikiran kita akan fokus pada berbagai kebaikan yang kita terima. Itulah fikiran positif atau good feeling. Lalu apa manfaat good feeling?
Jika Anda yang percaya dengan Hukum Daya Tarik (law of attraction), good feeling akan meningkatkan kekuatan Anda menarik apa yang Anda inginkan. Kekuatan hukum ini akan sebanding dengan keyakinan dan perasaan positif. Sementara semakin banyak kita bersyukur, akan semakin banyak perasaan positif pada diri kita.
Motivasi akan muncul dari kondisi emosi yang positif (dibahas lebih lanjut pada ebook saya Motivasi Diri). Sementara bersyukur akan menciptakan emosi yang positif karena kita fokus apda hal-hal yang positif. Semakin banyak Anda bersyukur akan semakin besar motivasi yang Anda miliki.
Bersyukur akan membentuk pola pikir sukses. Pola pikir sukses adalah keyakinan dalam mendapatkan. Saat kita bersyukur, maka pikiran kita secara tidak sadar diberikan suatu “pola” mendapatkan, sehingga akan terbentuk pola sukses.
Dengan melihat ketiga manfaat dari good feeling, kita bisa menyimpulkan bahwa good feeling adalah mungkin menjadi salah satu cara Allah memberikan nikmat tambahan kepada kita. Jika orang baru ribut dengan manfaat syukur pada kahir-akhir ini, Al Quran sudah 14 abad yang lalu. Sungguh suatu nikmat Allah yang diberikan kepada kita, sayang jika kita mengabaikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar