SUCI SAJA, BELUM CUKUP
Oleh: Zulfan Syahansyah
Setiap kali mendapat giliran khatib sekaligus imam shalat Jum’at di sebuah masjid jami’, penulis selalu menyertakan surban sebagai pakaian sekunder. Alasannya tidak lain; menambah penampilan seorang khatib, dan untuk antisipasi tempat bersujud. Kenapa? Bukankah sudah tersedia sajadah khusus di tempat pengimaman? Benar. Hampir di semua masjid, memang sudah disediakan sajadah untuk para imam. Tapi biasanya, pengurus masjid tidak memperdulikan kebersihan sajadah; “yang penting suci, sah-sah saja dipakai untuk shalat”. Demikian kira-kira alasan kebanyakan pengurus ta’mir untuk tidak terlalu memusingkan kebersihan dan keharuman sajadah-sajadah umum di dalam masjid.
Benar, dalam pelaksanaan shalat, dan ibadah-ibadah mahdlah lainnya, salah satu syarat sahnya pakaian atau tempat beribadah adalah taharah (suci). Tidak ada syarat yang mewajibkan kudu bersih dan tidak apek (bau yang timbul dari sesuatu yang lama tidak dicuci). Kenyataan ini juga yang menjadi sebab kebanyakan umat Islam kurang antusias menjaga kebersihan tempat, pakaian bahkan badan saat melaksanakan ibadah. Seperti alasan di atas, yang penting suci.
Untuk hubungan fertikal, benar jika Allah tidak memperhatikan dlahir (fisik) manusia; yang dilihat adalah hakekat ketaqwaannya. Akan tetapi, kita juga menjadi makhluk sosial; hidup bermasyarakat, mempunyai hubungan horizontal (antar sesama manusia), baik dalam mu’amalah sehari-hari, atau saat kita melaksanakan ibadah yang melibatkan banyak orang; seperti sahlat jama’ah, kumpulan di majlis ta’lim dan sebagainya. Akan sangat tampak bedanya antara orang yang menjaga kebersihan dengan yang berprinsip “pokoknya suci”. Kebersihan baik tempat, pakaian, juga badan, adalah hal dlahir yang sangat nampak denga kasat mata; hal yang mudah terditeksi oleh panca indra.
Pakaian yang suci tapi tidak bersih, mudah dibedakan dengan pakaian suci dan bersih. Demikian juga badan atau jasmani yang terbiasa dijaga bersih, akan lain dengan badan yang kurang diperhatikan kebersihannya. Baunya, tercium “gimana gitu”. Maaf, satu hal yang penulis antisipasi saat shalat berjama’ah di Masjid Al-Haram, Makkah dan di masjid-masjid jami’ lainnya, adalah berusaha untuk tidak disamping orang-orang yang bau badannya kurang enak. Karena, usaha untuk khusu’ dalam pelaksanaan shalat jadi terganggu. Alih-alih mau konsentrasi shalat, pikiran hanya fokus pada bau tak sedap di sebelah. Astagfirullah. Katanya, Masyarakat Arab dan penduduk Asia Tengah yang mukim di Saudi, jika dibanding kita masyarakat Asia Tenggara, jarang mandi. Mandi hanya pada saat-saat mensucikan badan, bukan pada waktu-waktu untuk membersihkan badan.
Kepekaan lingkungan semacam ini yang perlu diperhatikan oleh seluruh umat Islam, terlebih lagi saat berkumpul bersam-sama. Ketika ingin melaksanakan shalat berjama’ah di masjid atau di tempat lainnya, melibatkan banyak orang, selayaknya kita juga memperhatikan penampilan dan kondisi badan. Seyogyanya kita yakini, orang-orang di sekitar tidak memiliki kesan negatif pada kita; kurang bersih, berbadan bau, atau aroma mulut tidak sedap. Kita menjaga agar para jama’ah sekitar bisa tenang dan khusus’. Jika agama tidak mensyaratkan kebersihan dan keharuman, jadikan saja sebagai prinsip: setiap akan berkumpul dengan khalayak ramai, terlebih untuk shalat berjama’ah, penampilan dan aroma harus meyakinkan.
Tidak heran jika dalam hal ini, Rasulullah saw, bersabda: “laula an asyukko ‘ala ummati, laamartuhum bissiwaaki ‘inda kulli shalaatin”, Jika sekiranya tidak memberatkan kepada ummatku, maka sungguh akan saya wajibkan mereka bersiwak setiap kali hendak melaksanakan shalat. Penekanan memaknai hadits tersebut, menurut penulis, bukan tidak diwajibkannya bersiwak setiap kali ingin shalat; akan tetapi, yang perlu difahami adalah kenapa Rasulullah sampai ingin mewajibkan bersiwak sebelum melaksanakan shalat?!
Jelas, ini berkaitan dengan upaya menjaga kebersihan badan; agar tidak sampai mengganggu kekhusuan jama’ah lain. Kalimat “jika tidak memberatkan ummatku” dalam hadits tadi, adalah penafian diwajibkannya bersiwak, termasuk juga kebersihan dan keharuman badan. Mafhum mukhalafah-nya, membersihkan badan adalah hal wajib sebelum melaksanakan shalat, jika tidak merasa keberatan. Hukum yang tersisa kemudian adalah, bahwa menjaga kebersihan dan tampil dengan menggunakan wewangian menjadi sunnah mu’akkadah. (kesunnahan yang hampir setara dengan hukum wajib.
Akhirnya, semuanya terpulang kepada masing-masing kita, merasa beratkah untuk selalu berpenampilan fresh setiap kali akan melaksanakan shalat dan pada saat-saat akan berkumpul dengan khalayak ramai? Atau kita tidak pernah mau introspeksi: kenapa banyak orang yang risih jika berdekatan dengan kita? Cium bau badan dan bajumu! Rasakan aroma mulutmu! Dan perhatikan kebersihan bakaianmu! Sudah pantaskah???
*Muslim pencinta harum bersih
Oleh: Zulfan Syahansyah
Setiap kali mendapat giliran khatib sekaligus imam shalat Jum’at di sebuah masjid jami’, penulis selalu menyertakan surban sebagai pakaian sekunder. Alasannya tidak lain; menambah penampilan seorang khatib, dan untuk antisipasi tempat bersujud. Kenapa? Bukankah sudah tersedia sajadah khusus di tempat pengimaman? Benar. Hampir di semua masjid, memang sudah disediakan sajadah untuk para imam. Tapi biasanya, pengurus masjid tidak memperdulikan kebersihan sajadah; “yang penting suci, sah-sah saja dipakai untuk shalat”. Demikian kira-kira alasan kebanyakan pengurus ta’mir untuk tidak terlalu memusingkan kebersihan dan keharuman sajadah-sajadah umum di dalam masjid.
Benar, dalam pelaksanaan shalat, dan ibadah-ibadah mahdlah lainnya, salah satu syarat sahnya pakaian atau tempat beribadah adalah taharah (suci). Tidak ada syarat yang mewajibkan kudu bersih dan tidak apek (bau yang timbul dari sesuatu yang lama tidak dicuci). Kenyataan ini juga yang menjadi sebab kebanyakan umat Islam kurang antusias menjaga kebersihan tempat, pakaian bahkan badan saat melaksanakan ibadah. Seperti alasan di atas, yang penting suci.
Untuk hubungan fertikal, benar jika Allah tidak memperhatikan dlahir (fisik) manusia; yang dilihat adalah hakekat ketaqwaannya. Akan tetapi, kita juga menjadi makhluk sosial; hidup bermasyarakat, mempunyai hubungan horizontal (antar sesama manusia), baik dalam mu’amalah sehari-hari, atau saat kita melaksanakan ibadah yang melibatkan banyak orang; seperti sahlat jama’ah, kumpulan di majlis ta’lim dan sebagainya. Akan sangat tampak bedanya antara orang yang menjaga kebersihan dengan yang berprinsip “pokoknya suci”. Kebersihan baik tempat, pakaian, juga badan, adalah hal dlahir yang sangat nampak denga kasat mata; hal yang mudah terditeksi oleh panca indra.
Pakaian yang suci tapi tidak bersih, mudah dibedakan dengan pakaian suci dan bersih. Demikian juga badan atau jasmani yang terbiasa dijaga bersih, akan lain dengan badan yang kurang diperhatikan kebersihannya. Baunya, tercium “gimana gitu”. Maaf, satu hal yang penulis antisipasi saat shalat berjama’ah di Masjid Al-Haram, Makkah dan di masjid-masjid jami’ lainnya, adalah berusaha untuk tidak disamping orang-orang yang bau badannya kurang enak. Karena, usaha untuk khusu’ dalam pelaksanaan shalat jadi terganggu. Alih-alih mau konsentrasi shalat, pikiran hanya fokus pada bau tak sedap di sebelah. Astagfirullah. Katanya, Masyarakat Arab dan penduduk Asia Tengah yang mukim di Saudi, jika dibanding kita masyarakat Asia Tenggara, jarang mandi. Mandi hanya pada saat-saat mensucikan badan, bukan pada waktu-waktu untuk membersihkan badan.
Kepekaan lingkungan semacam ini yang perlu diperhatikan oleh seluruh umat Islam, terlebih lagi saat berkumpul bersam-sama. Ketika ingin melaksanakan shalat berjama’ah di masjid atau di tempat lainnya, melibatkan banyak orang, selayaknya kita juga memperhatikan penampilan dan kondisi badan. Seyogyanya kita yakini, orang-orang di sekitar tidak memiliki kesan negatif pada kita; kurang bersih, berbadan bau, atau aroma mulut tidak sedap. Kita menjaga agar para jama’ah sekitar bisa tenang dan khusus’. Jika agama tidak mensyaratkan kebersihan dan keharuman, jadikan saja sebagai prinsip: setiap akan berkumpul dengan khalayak ramai, terlebih untuk shalat berjama’ah, penampilan dan aroma harus meyakinkan.
Tidak heran jika dalam hal ini, Rasulullah saw, bersabda: “laula an asyukko ‘ala ummati, laamartuhum bissiwaaki ‘inda kulli shalaatin”, Jika sekiranya tidak memberatkan kepada ummatku, maka sungguh akan saya wajibkan mereka bersiwak setiap kali hendak melaksanakan shalat. Penekanan memaknai hadits tersebut, menurut penulis, bukan tidak diwajibkannya bersiwak setiap kali ingin shalat; akan tetapi, yang perlu difahami adalah kenapa Rasulullah sampai ingin mewajibkan bersiwak sebelum melaksanakan shalat?!
Jelas, ini berkaitan dengan upaya menjaga kebersihan badan; agar tidak sampai mengganggu kekhusuan jama’ah lain. Kalimat “jika tidak memberatkan ummatku” dalam hadits tadi, adalah penafian diwajibkannya bersiwak, termasuk juga kebersihan dan keharuman badan. Mafhum mukhalafah-nya, membersihkan badan adalah hal wajib sebelum melaksanakan shalat, jika tidak merasa keberatan. Hukum yang tersisa kemudian adalah, bahwa menjaga kebersihan dan tampil dengan menggunakan wewangian menjadi sunnah mu’akkadah. (kesunnahan yang hampir setara dengan hukum wajib.
Akhirnya, semuanya terpulang kepada masing-masing kita, merasa beratkah untuk selalu berpenampilan fresh setiap kali akan melaksanakan shalat dan pada saat-saat akan berkumpul dengan khalayak ramai? Atau kita tidak pernah mau introspeksi: kenapa banyak orang yang risih jika berdekatan dengan kita? Cium bau badan dan bajumu! Rasakan aroma mulutmu! Dan perhatikan kebersihan bakaianmu! Sudah pantaskah???
*Muslim pencinta harum bersih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar