LEBIH MEMAHAMI BID'AH
إن الحمد لله، نحمده ونستعينه ونستغفرُهُ ونتُوبُ إليه، ونعُوذُ
بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا
هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبدُهُ
ورسُولُهُ ، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم تسليماً كثيراً. قال
عليه الصلاة والسلام: "إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ
اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي
النَّارِ"
رب اشرح لي صدري ويسر لي أمري واحلل عقدة من لساني يفقهو قولي
أما بعد: فاتقوا الله عباد الله حق التقوى وراقبوه في السر والنجوى.
أما بعد: فاتقوا الله عباد الله حق التقوى وراقبوه في السر والنجوى.
قال عز من قائل:
﴿وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى الله ثُمَّ تُوَفَّى
كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ﴾ {البقرة:281}
Kaum musliminal
mu'minin rahimakumullah…
Pada
kesempatan yang mulia ini, saya mengajak diri pribadi beserta seganap hadirin
untuk bersama-sama meningkatkan iman serta teqwa kita kepada Allah SWT, seraya
bersama-sama berpegang teguh kepada tali Allah, dan jangan sampai kita
memperuncing perselisihan di antara sesama, hingga mengakibatkan tercerai berai...
Jama'ah Jum'at yang berbahagia…
Salah satu benih perselisihan di kalangan umat
Islam, dan tidak jarang menjadi sumebr ketegangan yang berkepanjangan adalah
suka menyalahkan amalan ibadah satu kelompok atau komunitas umat Islam oleh
kelompok lain, karena perbedaan pemahaman yang sempit.
Dan
salah satu yang menjadi ikhtilaf di kalangan umat Islam adalah perbedaan
memahami satu hadis yang cukup masyhur, sahih, dan diriwayatkan oleh imam-imam
hadis terpercaya. Redaksi hadis dimaksud adalah:
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ
اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ......
"… Sesungguhnya sebaik-baik
perkataan adalah al-Qur’an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad
SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru, alias bid'ah, dan
semua bid’ah itu sesat" (HR.
Muslim, Kitâbul Jum’at No. 2042). Dalam riwayat Nasa’i dan Baihaqi ada tambahan
redaksi kalimat:
وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّار
"…dan setiap kesesatan tempatnya di neraka"
Abu
Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan hadis serupa: “Jauhilah perkara-perkara baru
(bid'ah), karena sesungguhnya setiap sesuatu yang bid’ah itu sesat (HR. Abu Dawud
No. 4607, Bâb luzûmis sunnah dan HR. Tirmidzi No. 2678 Bâb Mâ jâ’a fil Akhdzi
bis Sunnah Wa-jtinâbil Bida’i).
Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan sebuah
hadis:
قَالَ النَّبِي: "مَنْ أَحْدَثَ فِي
أَمْرِناَ هَذاَ ماَ لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ"
"Siapa
saja yang mengadakan perkara baru yang tidak ada dasarnya, maka dia tertolak"
Oleh
sebagian kalangan, rangkaian hadis di atas dijadikan dalil untuk menyebut
setiap perkara yang tidak dilakukan Rasulullah sebagai bid’ah. Khitab-nya
bersifat ‘am, mutlak tanpa pengecualian. Artinya, setiap perkara baru dalam
mu'amalah keagamaan itu bid’ah, tanpa kecuali. Dan setiap yang bid’ah itu sesat,
dan balasannya pasti neraka.
Point
dasarnya adalah redaksi kalimat hadis:
"kullu bid'atin” artinya setiap sesuatu yang bid'ah, semuanya,
tanpa kecuali. Hal-hal yang bersifat agama dan ritual yang dilakukan tanpa
contoh Nabi berarti bid’ah. Muludan, tahlilan, bacaan barzanji, majelis
salawatan, haul, dll adalah contoh amalan yang seringkali dicap sebagai perkara
munkar, karena tidak ada landasan syar’i secara langsung. Benarkah
demikian cara memahaminya? Mari kita tinjau dari beberapa aspek berikut...
Kaum
muslimin yag
berbahagia…
Pada kesempatan ini, setidaknya ada tiga
aspek yang akan dikemukakan untuk bisa lebih memahami rangkaian hadis-hadis
tersebut. Pertama, aspek kebahasaan, yang kedua: aspek
substansial makna hadis, dan yang ketiga: historis atau sejarah
perkembangan agama Islam itu sendiri.
Aspek yang pertama
adalah meninjau makna hadis dari sisi kebahasaan. Dalam ilmu bahasa Arab, kata
"kullun" yang artinya "semua" itu terbagi menjadi
dua makna: 'am mutlaq dan 'am khas. 'Am mutlaq itu
bermakna keseluruhan secara umum tidak terkecuali. Contoh makna 'am mutlaq
dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:
{اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ وَكِيلٌ{ الزُّمر:
62
Artinya: ”Allah pencipta segala
sesuatu, dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu". Dalam ayat lain
juga disebutkan:
{كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ{ ال
عمران: 185
Artinya: ”Setiap yang bernyawa (pasti)
akan merasakan kematian"
Kata "kullun" dalam dua ayat di
atas itu bermakna "semua" tanpa terkecuali. Allah menciptakan
SEMUA makhluk atau sesuatu. Jadi tidak ada
sesutu pun yang diciptakan oleh selain Allah. Begitu juga ayat selanjutnya:
SEMUA yang bernyawa pasti mati. Jadi tidak ada sesuatu pun yang bernyawa yang
tidak mati. Maka kata SEMUA atau SEGALA dalam dua ayat di atas bermakna
keseluruhan tanpa kecuali. Inilah makna 'am mutlaq.
Dan makna "kullun" yang kedua
adalah 'am khas, SEMUA bermakna SEBAGIAN. Contoh "kullun" yang
bermakna 'am khas seperti dalam ayat:
{وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَآءِ كُلَّ شَىْءٍ حَيٍّ أَفَلاَ
يُؤْمِنُونَ} الانبياء: 30
Artinya: "Dan kami jadikan segala
sesuatu bisa hidup dengan air. Apakah mereka tidak beriman.." Kata
SEGALA dalam ayat ini jelas tidak berarti semuanya tanpa terkeculi. Karena Jin,
syaitan, juga malaikat juga hidup tanpa butuh air. Atau dalam ayat lain:
{إِنِّي
وَجَدتُّ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِن كُلِّ شَىْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ
عَظِيمٌ} النمل:
23
Artinya: "Sunnguh, kudapati ada
seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugrahi segala sesuatu, serta
memiliki singga sana yang besar". Ayat ini adalah kisah laporan burung
Hud hud kepda nabi sulaiman tentang seorang putri. Dikatakan: dia dianugrahi
SEGALA sesuatu. Bagaimana mungkin dia punya segala susuatu, karena suami saja
waktu itu ga punya, hingga dipersunting oleh Sulaiman as. Dan ini adalah contoh
kata "kullun" yang bermakna 'am khas.
Hadirin Jama'ah sekalian Rahimakumullah…
Itu
tadi aspek pertama, yakni ditinjau dari sisi kebahasaan. Aspek yang kedua
adalah pemahaman substansi hadis tentang pelarangan bid'ah. Secara subtansial, perkara apakah di dalam teks hadis
“Man ahdatsa fi amrina hâdza” yang dilarang untuk di-bid’ahkan? Apakah
semua perkara, semua hal yang tidak dilakukan Rasulullah atau tidak ada pada
zamannya dihukumi bid’ah?
Secara
logika, pasti tidak mungkin. Rasulullah hidup dalam ruang dan waktu, yang
berbeda kurun dan budayanya dengan kita. Jika semua yang tidak dilakukan
Rasulullah disebut bid’ah, sebagian besar aktivitas manusia modern adalah
bid’ah. Hal-hal baik, seperti dakwah melalui TV, radio, internet, aplikasi
ponsel, alat pengeras suara imam shalat, semua adalah bid’ah. Perkara (amr,
jamak umûr) di situ, menurut Ibn Hajar al-Asqalani, maksudnya adalah perkara
agama (amrud dîn), berupa pokok-pokok hukum syara’, mencakup perintah dan
larangan (Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Bâri, Beirut: Dâr Ihyâ’it Turâts
al-Araby, 1977, Juz 7, hal. 231).
Perlu
dijelaskan di sini, bahwa perkara pokok
agama (ushûlud dîn) mencakup ushûlul aqîdah dan usuhûlus
syarîah. ushûlul aqîdah adalah rukun iman. Sedangkan usuhûlus
syarîah adalah rukun Islam. Rukun iman, berdasarkan ijma’ ulama dari hadis
Nabi, ada 6 (enam), yaitu iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab Allah,
percaya kepada para rasul, hari kiamat, dan qadha-qadar. Sementara rukun Islam
ada 5 (lima) yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji bagi yang mampu.
Menambah atau mengurangi, termasuk berimprovisasi dalam perkara pokok ini,
berarti bid’ah.
Mengimani,
mematuhi, dan melaksanakan perkara pokok agama, pada prinsipnya, bersifat ta’abbudi.
Tidak perlu bertanya kenapa shalat dhuhur empat raka’at, shalat subuh dua
raka’at. Ikuti saja! Tidak usah menambah dua syahadat dengan embel-embel lain.
Tidak perlu ‘ngeyel’ kenapa haji harus di kota Mekkah. Tidak perlu
kritis kenapa puasa mulai fajar sampai maghrib, bukan sebaliknya.
Improvisasi
dalam perkara ushul/pokok agama itu terlarang, karena sifatnya ibadah
mahdhah. Mengkritisi ushul (baik ushûlul
aqîdah maupun usuhûlus syarîah) akan berdampak langsung terhadap
status keimanan dan keislaman seseorang. Mengingkari keberadaan malaikat,
rasul, dan kitab-kitab akan menentukan utuh atau tanggalnya iman seseorang.
Mengingkari kewajiban shalat, zakat, puasa, dan haji akan menentukan utuh atau
tanggalnya Islam seseorang. Namun, dalam furû’ul aqîdah (cabang-cabang
aqidah) dan furû’us syarîah (cabang-cabang syariah), terbuka kemungkinan
ijtihad tanpa merombak status keimanan dan keislamanan seseorang.
Contoh furû’ul
aqîdah yang terjadi ikhtilaf adalah memahami qada' dan qadar Allah,
umpamanya. Ulama ilmu kalam sudah berselisih sejak dahulu. Ada yang mengikuti
madzhab Asy’ariyah-Maturidiyah, seperti diajarkan para masyâyikh di pesantren, dan
ada juga yang mengikuti madzhab Mu’tazilah-Jabbariyyah. Abu Hasan al-Asy’ari,
salah seorang pendiri mahdzhab sunni dalam aqidah, adalah bekas pengikut Wâshil
ibn Atha’, pendiri madzhab Mu’tazilah. Maka dalam perbedaan pemahaman di bidang
furu' aqidah, tidak benar jika lantas mengkafirkan antara satu dengan
lainnya.
Adapun contoh
furû’us syarîah adalah haiatus shalât yang mukhtalaf di kalangan
para ulama, seperti bacaan Fâtihah dengan bismillah jahr (keras) atau sirr
(lirih), subuh dengan qunut atau tidak, posisi tangan sedekap atau tidak, mata
kaki harus mepet dalam shaf atau tidak, bilangan salat tarawih, dsb. Begitu
juga manasik haji. Itu semua adalah perkara furu’. Dalam perkara furû’us
syarîah, ruang ijtihadnya jauh lebih terbuka, karena itu ambang toleransinya
harus lebih tinggi. Imam al-Haramain al-Juwaini, guru Imam Ghazali, menyatakan
sebagian besar hukum agama (syariah) lahir dari ijtihad (inna mu’dzamas syarîah
shâdara minal ijtihâd). Mengapa? Karena usuhûlus syarîah itu
sedikit, selebihnya adalah perkara-perkara furu’ yang bersifat ijtihâdiyyah.
Dalam perkara furu’ inilah lahir madzhab-madzhab fikih, ribuan, tetapi kemudian
terseleksi oleh zaman ke dalam empat madzhab besar, yaitu Maliki, Hanafi,
Syafi’i, dan Hanbali.
Jadi jelas sudah, dalam ibadah mahdloh yang bersifat ta’abbudi
tidak boleh ada perbedaan dari apa yg sudah diajarkan oleh Rasul, tapi dalam
ibadah muthlaqah justru terbuka ruang ijtihad. Tidak ada istilah bid’ah,
dalam lingkaran kullu bid’atin dlalalah,. Ibadah muthalaqah
adalah seluruh amal manusia yang dinilai ibadah karena niat dan illat-nya.
Illat adalah faktor atau alasan yang menentukan hukum (al-hukm yadûru
ma’a illatihi wujûdan wa adaman). Ukuran illat adalah maslahat-mudharat.
Kesalahan
dasar kelompok muslim tekstualis adalah ketidakmampuan membedakan usuhûl
dan furû; tidak faham mana ibadah mahdhoh, dan mana ibadah muthlaqah.
Semua dianggap ibadah mahdhoh, karena itu harus ada dalil dan petunjuk
yang persis dari Rasulullah. Mereka menolak muludan, tahlilan, yasinan, haul,
solawatan dst, persis karena tidak dicontohkan Rasulullah.
Imam
Abu Ishaq as-Syatibi menyatakan, “Hukum asal ibadah (mahdloh) adalah
ta’abbud dan harus ada nasnya. Sementara hukum asal ‘adat (ibadah muthlaqah)
adalah mencari illat dan qiyas (Abû Ishâq as-Syâtibi,
al-Muwâfaqat fî Ushûli-s Syarîah, Beirut: Dar –l Kutub al-Ilmiyyah, 1971, Juz
2, hal. 228-35). Maksudnya, adat selagi tidak bertentangan dengan nash
itu boleh-boleh saja, tergantung illat-nya. Ini berlaku untuk semua hal.
Muludan, tahlilan, yasinan, haul, solawatan bukan ibadah mahdhoh, karena itu
berlaku kaidah niat dan illat. Jika niatnya jelek dan menimbulkan
mudharat, nilai ibadahnya bisa kurang atau hilang sama sekali. Tetapi jika
niatnya bagus dan menimbulkan maslahat (baik secara personal maupun sosial),
hukumnya sunnah, bernilai ibadah tinggi. Memakai jubah dan sorban jika niatnya
mengikuti Rasulullah bisa bernilai ibadah. Jika murni karena budaya, hukumnya
mubah. Tetapi, jika niatnya pamer kesalehan dan dampaknya ujub personal,
hukumnya haram karena nilai ibadahnya hilang sama sekali.
Dalam
ibadah muthlaqah, jangan bertanya mana dalil yang memerintahkannya.
Tanyakan: mana dalil yang melarangnya. Dalam ibadah muthlaqah, kaidah
fikih yang berlaku adalah: "al-ashlu fil asyyâ’ al-ibâhah hattâ yadulla
–d dalîl alâ khilâfih" (hukum asal sesuatu adalah boleh sampai ada
dalil yang melarangnya). Sementara dalam ibadah mahdloh, kaidah yang
berlaku sebaliknya, “al-ashlu fil asyyâ’ at-tahrîm hatta yadulla –d dalîl
alal ibâhah” (hukum asal sesuatu itu haram sampai ada dalil yang
membolehkannya).
Jika
ada orang bertanya mana dalil yang memerintahkan muludan, tidak usah sibuk buka
kitab mencari justifikasi dalil. Tanyakan balik mana dalil yang melarangnya!
Jika ada orang bertanya mana dalil yang memerintahkan tahlilan, tidak usah
sibuk buka kitab mencari referensi. Tanyakan balik mana dalil yang melarangnya!
Ujung-ujungnya pasti akan kembali kepada qiyas, mencari padanan dalil, karena
dalil sharîh, baik yang memerintahkan maupun melarangnya, sama-sama tidak ada.
Jama'ah
Sekalian Yang Berbahagia…
Itu tadi
dua aspek sudah kita kemukakan. Dan aspek ketiga untuk lebih memahami hadis
tentang bid'ah adalah historis Islam.
Jika semua yang tidak dicontohkan Rasulullah disebut bid’ah, kita, generasi
akhir zaman ini, tidak akan bisa mengenal Islam dari sumber terpercaya. Sumber
Islam paling pokok adalah al-Qur’an dan Sunnah, baru kemudian ijtihad ulama
melalui ijma’ dan qiyas.
Kita bisa mengenal al-Qur’an dan Hadis karena bid’ah
yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah. Al-Qur’an di zaman Rasulullah dan
sahabat tersimpan terutama di dada para penghafal al-Qur’an. Belum ada mushaf utuh.
Catatan al-Qur’an terberai di tangan para sahabat, ditulis di daun lontar,
tulang, dan batu. Sesudah perang Yamamah, banyak sahabat penghafal al-Qur’an
gugur. Kepada Khalifah Abu Bakar, Sahabat Umar RA usul agar
dihimpun mushaf untuk menjaga otentisitas al-Qur’an. Abu Bakar menolak dan
berkata: “Kaifa naf’alu sya’an lam yaf’alhu Rasulullah?”: “Bagaimana
kita melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah?” Umar bergeming, terus
meyakinkan Abu Bakar dan berkata: “Hadzâ wallâhi khairun”: “Demi Allah ini
kebaikan.” Akhirnya, setelah terus diyakinkan Umar, dada Abu Bakar terbuka,
menyetujui usul Umar dan memerintahkan Zaid ibn Tsabit memimpin tim
penghimpunan al-Qur’an (Jalaluddîn as-Suyûthi, al-Itqân
fî Ulûmil Qur’ân, Beirut: Dar –l Fikr, 2005, Juz 1, hal. 82).
Seandainya kita ikuti kelompok literalis, menganggap
semua hal yang tidak dilakukan Rasulullah sebagai bid’ah, kita sekarang tidak
bisa baca al-Qur’an! Di zaman Utsman, kodifikasi mushaf digalakkan
besar-besaran, dibagikan secara massif keluar tanah Hijaz.
Mushaf telah dihimpun di zaman Abu Bakar, dicetak
massif dan dibagikan di zaman Utsman, orang selain Arab, seperti kita, tetap
tidak bisa baca al-Qur’an tanpa bantuan bid’ah para ulama. Jangan bayangkan
mushaf zaman dulu seperti sekarang. Dulu huruf Arab gundul, betul-betul gundul,
tanpa titik dan harakat. Kita tidak bisa membedakan huruf Ta’, Ba’
dan Tsa’, karena hanya berupa cengkok tanpa titik. Huruf Shad dan
Dhad juga tidak ada bedanya. Orang yang pertama kali meletakkan titik ke
dalam huruf Arab (awwalu man wadha’an nuqoth alal hurûf) adalah Abu-l
Aswad ad-Du’ali, pada 62 H. Beliau adalah generasi tabi’in. Seabad kemudian,
Imam Kholil ibn Ahmad al-Farahidi yang wafat pada 185 H, melengkapi dengan
harakat sehingga kita mengenal harakat fathah, kasrah, dhammah, sukun, tanwin,
dst.
Tanpa "bantuan" bid’ah dua ulama ini, orang 'ajam
(bukan Arab) seperti kita tidak akan bisa membaca al-Qur’an. Kita juga
berhutang kepada Abu Ubaid Qosim ibn Salam (w. 224 H) yang menemukan ilmu
tajwîd, sehingga untaian ayat al-Qur’an indah dibaca dan didengar. Sekali lagi,
tanpa bid’ah Sahabat dan ulama, kita tidak bisa mengenal al-Qur’an dan
membacanya dengan baik dan benar.
Sumber
kedua Islam adalah hadis. Dalam hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah
bersabda: “La taktubû ‘annî wa man kataba ‘annî ghairal qur’ân fal yamhuhu
(lihat Sahîh Muslim bi Syarh an-Nawâwî, Beirut: Dâr
al-Tsaqâfah al-Islâmiyyah, 1930, Juz 18, hal. 129-30): “Janganlah kalian
tulis (apa-apa) dari aku. Siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an,
hapuslah.” Rasulullah tidak memerintahkan menulis hadis, bahkan melarangnya.
Jika kita ikuti cara baca kelompok muslim literalis, kita tidak bisa mengenal
sumber Islam yang kedua. Kitab-kitab hadis yang terhimpun seperti al-Muwattha’
karya Imam Malik, Musnad Ahmad karya Imam Ahmad ibn Hanbal, dan kitab-kitab
sunan (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibn Majah) adalah produk
bid’ah karena tidak diajarkan Rasulullah, bahkan dilarangnya.
Karena
itu, sungguh membingungkan jika ada jargon kelompok tekstualis yang menggemakan
“Kembali kepada al-Qur’an dan Hadis.” Al-Qur’an dikenali melalui mushaf. Mushaf
adalah bid’ah yang tidak ada di zaman Rasulullah. Hadis dikenali melalui
kitab-kitab hadis. Membukukan hadis adalah bid’ah yang tidak diperintahkan
bahkan dilarang Rasulullah. Jadi, satu sisi mereka menentang bid’ah
habis-habisan dan menyatakan semua bid’ah sesat. Sisi lain, mereka menyeru
kembali kepada sumber Islam (al-Qur’an dan Hadis) yang hanya bisa dikenali
berkat ‘bid’ah’ sahabat dan ulama.
Jam'ah
Sekalian Rahimakumullah…
Fakta-fakta di atas, tentunya mematahkan argumen pokok
kelompok literalis yang memukul rata semua bid’ah. Makan, para ulama telah
mengajari kita untuk membuat pengelompokan bid'ah. Syaikh ‘Izzuddin ibn Abd
Salam, sebagaimana dikutip Ibn Hajar al-Asqalani, membagi bid’ah ke dalam lima
kategori, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Bidah wajib seperti
menciptakan ilmu bantu untuk memahami al-Qur’an mencakup ilmu nahwu, ushul
fiqh, dst. Bid’ah sunnah yaitu kebaikan tetapi tidak ada di zaman Rasulullah
seperti teraweh berjama’ah, membangun sekolah dan pondok, serta forum-forum
kajian. Bidah mubah seperti salaman selepas shalat dan makan-minum yang lezat,
mengenakan baju yang indah, dan memiliki rumah yang bagus. Bid’ah haram adalah
perkara baru yang jelas menentang al-Qur’an dan Sunnah (Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Bâri, Beirut: Dâr Ihyâ’it Turâts al-Araby,
1977, Juz 13, hal. 214).
Akhirnya,
semoga Allah semakin membukakan pintu hati kita, membuka cakrawala pemikiran
dan pengetahuan kita dalam beragama, serta menghilangkan syak atau
keraguan dalam menjalankan ibadah dan muamalah hasana. Amin Ya Rabbal alamin…
بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم و
نفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم وتقبل مني ومنكم تلاوته إنه هو البر
الرؤوف الرحيم. وقل رب اغفر وارحم وأنت خير الراحمين.
OLEH: ZULFAN SYAHANSYAH