Di Davos, Swiss, Kamis lalu (27/1/2011), Presiden Yudoyono menyatakan, “Selain perubahan iklim, warga dunia kini menghadapi perseoalan pangan, terorisme, pertambahan penduduk, bencana, dan ketidak seimbangan perekonomian.” Pak Presiden menyampaikannya dalam bahasa Inggris, yang lancar. Itu menurut Osdar, kawan saya wartawan Kompas. Saya percaya.
Seandainya tidak lancar berbahasa Inggris pun, presiden bisa mencari guru les privat terbaik di muka bumi, yang bisa memberinya kelancaran dalam satu atau dua hari. Memang gajinya hanya Rp 62 juta. Namun, presiden punya dana taktis Rp 2 miliar perbulan, yang saya kira, boleh digunakan untuk membiayai kursus bahasa Inggris jika itu memang diperlukan demi kejayaan nusa dan bangsa.
Selain pernyataan di atas, yang memang benar, presiden menyatakan komitmennya untuk memberantas korupsi. Saya sering terharu oleh pernyataan-pernyataan presiden. Semata-mata karena apa saja yang disampaikannya selalu benar. Itu membuatnya seperti bukan presiden Indonesia. Dia seperti pemimpin sebuah negeri yang semuanya sudah beres, tanpa masalah. Komitmen besarnya yang lain adalah terhadap perubahan iklim, sampai-sampai Pak Presiden perlu membikin lagu Oslo.
Anda tahu, pemimpin di sebuah negeri konon adalah cerminan masyarakat negeri tersebut. Dengan kata lain, sebuah masyarakat akan mendapatkan pemimpin yang sesuai dengan karakter masyarakat itu sendiri. Namun, asumsi tersebut nampaknya tak berklaku untuk kasus masyarakat Indonesia dan Presiden SBY.Pak Presiden dan pernyataan-pernyataannya bukanlah cerminan masyarakat Indonesia.
Maka, saya kadang berfikir bahwa dia pastilah alien. Mungkin dia datang dari Mars atau Pluto dan dikirim ke bumi untuk berceramah di mana-mana, menyampaikan hal-hal yang normatif kepada manusia di muka bumi.Tentu saja dia menyodorkan solusi-solusi yang juga terdengar normatif.
Untuk deretan masalah yang disampaikan dalam pidato di Davos itu, misalnya, solusi yang ditawarkan adalah kerja sama. Tentu saja itu solusi yang benar. Saya kira, itu solusi yang bisa Anda tawarkan untuk segala masalah. Ia seperti air putih yang diberikan dukun kepada pasien yang mengidap penyakit apa pun.
Tapi, saya tidak ingin berpanjang-panjang tentang pidato Pak Presiden di Davos. Itu pernyataan yang ditunjukan kepada orang-orang luar negeri, bukan untuk rakyat Indonesia. Presiden berhak untuk membuat pidato yang mengesankan bagi orang-orang luar negeri. Masalah kita di dalam negeri lebih rumit daripada isi pidato itu justru karena presiden selalu benar.
Maksud saya, jika pernyataan presiden tidak sejalan dengan realitas, pasti realitasnya yang keliru. Dengan asumsi semacam itu, persoalan terbesar kita sekarang adalah bagaimana mengoreksi realitas. Itu harus dilakukan karena kita tidak mungkin mengoreksi pernyataan presiden. Tidak mungkin kita meminta presiden mencocokkan pernyataannya dengan realitas.
Jadi, lebih baik realitas yang mengalah. Ia yang harus mencocokkan diri dengan segala pernyataan presiden. Jika presiden menyatakan bahwa kesejahteraan rakyat meningkat, realitas harus menyesuaikan diri dengan pernyataan itu.
Sudah lama orang berteriak-teriak tentang tabiat para elit politik dan pejabat publik yang tidak mengerti cara berempati kepada rakyat kecil. Namun, teriakan semacam itu, sekeras apa pun, terasa tidak berguna. Karena itu, mungkin kita perlu mencoba proses terbalik sekarang.
Rakyat kecil jangan pernah mengeluh. Rakyat kecil harus berani menolak derma. Berpenampilan melarat hanya membuat kalian direndahkan oleh para pemburu kekuasaan. Mereka akan membeli suara kalian dengan beberapa ribu rupiah. Kita pun sudah membuktikan bahwa pemimpin yang lahir dari mekanisme politik uang selalu adalah pemimpin yang buruk.
Itu agenda nanti ketika pemilu tiba. Agenda hari ini: tirulah tabiat pemerintah dan para pejabat publik agar terjadi keselarasan antara rakyat dan pemerintah. Jika pemerintah sulit berempati terhadap rakyat, maka rakyatlah yang harus berempati terhadap pemerintah. Dengan demikian, kita bisa berhenti bersitegang dengan pemerintah prihal siapa yang bohong: pemerintah atau realitas.
Jika tawaran tersebut disepakati, selanjutnya kita bisa membicarakan hal-hal lain yang lebih menarik. Misalnya, kenapa buku-buku tentang SBY termasuk dalam daftar buku-buku pengayaan yang harus dibeli SMP-SMP di Tegal, Jawa Tengah, melalui proyek dana alokasi khusus; kenapa ada 10 judul dan buka 9; dan juga kenapa kayu merbau yang hanya ada di Papua bisa ditemukan di Tiongkok tanpa ada transaksi dengan Indonesia. Tiga hal itu saya kira sangat menarik untuk dibicarakan.
Kita mulai dari yang pertama, yakni tentangg buku-buku SBY di Tegal. Yang agak misterius tentang proyek buku tersebut, dan saya kesulitan untuk memecah rahasianya, adalah kenapa buku-buku itu hanya disebarkan di Tegal. Kenapa tidak di Sorong, misalnya, atau di Kertosono atau di Magetan. Saya tidak yakin bahwa buku itu hanya penting bagi murid-murid sekolah di Tegal namun mubazir bagi para pelajar Lamongan atau Kendal.
Pilihan atas Tegal itu, saya kira, merupakan misteri yang harus ditemukan jawabannya. Apakah karena pelajar Tegal dianggap paling pas untuk dijadikan kelinci percobaan demi menguji kegunaan atau kemubaziran buku-buku tersebut? Atau karena Tegal menghasilkan beberapa pelawak yang tampil di televisi?
Kedua, kenapa 10 dan bukan 9? Pertanyaan itu perlu dilontarkan karena Pak Presiden gandrung pada angka 9. Jumlah sepuluh buku tentu saja menyalahi segala pertimbangan tentang hoki dan nasib baik. Saran saya, jika lain kali Anda mengikuti tender proyek perbukuan, cukuplah bikin sembilan judul buku tentang SBY. Sepuluhh judul buku adalah berlebihan dan, lebih dari itu, tidak membawa kemujuran.
Ketuga, tentang kayu merbau yang hanya ada di Papua. Menteri Kehutanan kaget ketika berkunjung ke Tioangkok tahun lalu dan menjuampai kayu-kayu tersebut di sana. Maka, dia buru-buru menyatakan bahwa bencana Wasior adalah akibat pembalakan liar. Seminggu kemudian dia meralat ucapannya: bencana di Wasior bukan akibat bembalakan liar. Mengenai kayu merbau, Tiongkok mendatangkannya dari Singapura dan Malaysia. Dua negara tetangga kita itu mengangkut secara diam-diam kayu tersebut dari Papua.
Sebenarnya tidak tepat menyebutkan bahwa mereka mengangkut kayu tersebut diam-diam. Raungan gergaji mesin pasti terdengar dengan jelas dan aktifitas pengangkutan kayu-kayu itu dengan mudah bisa dilihat. Jika kejahatan yang sangat mudah dilihat itu bisa terus terjadi, hanya satu kemungkinan yang bisa kita katakan: pemerintah melakukan pembiaran. Walhasil, tidak ada gunanya Anda menuntut pemerintah menyelesaikan kasus-kasus yang lebih pelik dan tersembunyi di bawah permukaan.
Sekalipun kenyataannya seperti itu, kita tetap tidak bisa melarang presiden untuk terus menyampaikan komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Mungkin dia menganggap itu seperti mantra yang perlu diterapkan berulang-ulang. Yang bisa Anda pertanyakan paling-paling adalah soal keseriusannya mengamalkan mantra itu.
Dia tidak pernah memastikan waktu yang diperlukan untuk menuntaskan pemberantasana korupsi. Tanpa batas waktu, akan mubazir belaka dia mengulang-ulang komitmennya di forum apa pun. Tanpa batas waktu, itu berarti dia hanya menganggap remeh urusan tersebut dan tidak akan pernah menyelesaikannya. Anda tahu, orang tak akan pernah merampungkan pekerjaaan apa pun, entah membuat makalah atau memberantas korupsi, jika dia tidak menetapkan batas akhir penyelesaiannya.
Jadi, karena sebenarnya dirinya tidak pernah bersungguh-sungguh menjalankan pemberantasan korupsi, sampai masa jabatannya berakhir pun saya yakin Pak Presiden akan gagal memenuhi komitmennya. Itu tidak apa-apa. Seorang presiden tak akan dituntut oleh rakyatnya karena gagal menepati komitmen.
Oleh: AS. Laksana (JP 30/1/2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar