Jamaah shalat Jum’at rahimakumullah
Alhamdulillah, sepekan sudah
kita jalankan kewajiban ibadah puasa Ramadan tahun ini. Sebagai muslim, sepatutnyalah kita terus berusaha menggali
nilai-nilai penting atau pelajaran dari semua ibadah yang kita kerjakan. Hal
itu penting, agar ritual pelaksanaan ibadah tidak berhenti hanya sekedar
menjalankan kewajiban belaka. Semua ibadah kita yakini memiliki dimensi yang
sejatinya kembali untuk kemaslahatan umat manusia itu sediri. Termasuk juga
ibadah puasa sebagai kewajiban tahunan bagi kita umat Islam.
Kita ketahui bersama bahwa muara akhir diwajibkannya ibadah
puasa adalah untuk menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertaqwa. (لعلكم تتقون). Tujuan inilah yang
seharusnya kita kaji dan pelajari; atau jika perlu, kita pertanyakan ulang:
bagaimana keterkaitan antara puasa dengan peningkatan nilai taqwa yang setiap
saat kita upayakan?! Pada titik ini, umat Islam sejatinya dituntut untuk cerdas
memahami permasalahan; kita berkewajiban memahami penegasan Al-Qur’an tentang
puasa dan ketaqwaan.
Kaum muslimin sekalian yang berbahagia
Di antara semua ibadat, yang paling bersifat pribadi adalah
puasa, dalam arti bahwa yang tahu kita berpuasa atau tidak hanyalah kita dan
Tuhan, orang lain tidak. Saat kita lapar atau dahaga, tanpa sepengetahuan manusia,
bisa saja kita makan dan minum. Namun kita tetap menahan diri untuk tidak melakukannya.
Kenapa? Itu sebetulnya merupakan latihan bersikap jujur kepada Allah swt dan
juga kepada diri sendiri.
Sementara itu, dalam ibadat selain puasa, kita dianjurkan menampakkannya. Kewajiban shalat, umpamanya, kita disunnatkan berjamaah, karena berjamaah mempunyai fungsi sosial: memperkuat ikatan
komunitas salat. Ibadah Haji, apa lagi. Tidak ungkin kita
melaksanakannya sendirian. Zakat lebih menarik lagi, karena dalam Al-Quran ada
indikasi bahwa Tuhan tidak peduli, apakah orang yang membayar zakat itu ikhlas
atau tidak. Yang penting dari zakat adalah orang miskin
tertolong, karena tujuan zakat adalah menolong orang miskin. Ketiga jenis ibadah di atas
sangat kentara dampak sosialnya.
Sekali lagi, di antara ibadat-ibadat, yang paling
bersifat pribadi adalah puasa. Puasa merupakan latihan menghayati kehadiran
Tuhan dalam hidup; Tuhan selalu beserta kita, di mana pun kita berada. Inilah
inti dari takwa: kesadaran bahwa dalam hidup ini kita selalu mendapat
pengawasan dari Allah Swt. yang gaib. Ya, Allah merupakan Dzat yang
Ghaib. Tentang kegaiban Allah, suatu ketika nabi Musa bersikeras ingin melihat
Allah, setelah dituruti, belum sampai melihat Dzat Allah, Musa tidak kuat, lalu
roboh tidak sadarkan diri. Hal ini bisa menjadi pelajaran bahwa memang kegaiban
itu tidak perlu penyingkapan, cukup diimani saja. Dalam Qur’an ditegaskan:
(ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين # الذين يؤمنون بالغيب
ويقيمون الصلاة)
Artinya: “Inilah
Kitab yang tiada diragukan; suatu petunjuk bagi mereka yang bertakwa maka indikasi pertama takwa adalah, Mereka yang beriman
kepada yang gaib (Q., 2: 2-3).
Dari sini kita faham,
ternyata moralitas yang sejati memerlukan dimensi kegaiban, yaitu bagaimana
orang tetap berbuat baik dan menghindar dari kejahatan meskipun tidak ada yang
tahu, karena Allah tahu. Karena itu, dasar kehidupan yang benar ialah takwa
kepada Allah Swt., dan takwa kepada Allah itu sifatnya pribadi: tidak ada yang
tahu bahwa kita bertakwa kepada Allah atau tidak, kecuali kita sendiri dan
Allah Swt., dan bahkan mungkin kita sendiri juga tidak tahu. Oleh karena itu, kita harus selalu berdoa kepada Allah, Tunjukkanlah
kami jalan yang lurus (Q., 1: 6).
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah
Serupa dengan ketaqwaan, keikhlasan juga bersifat rahasia. Ada sebuah ungkapan dalam
kitab tasawuf yang artinya begini, “Amal perbuatan adalah gambar yang mati, dan
ruhnya adalah rahasia keikhlasan di dalamnya.” Mengapa ada ungkapan rahasia? Ini
sebetulnya berdasarkan hadis Nabi yang menceritakan: ada orang bertanya kepada beliau mengenai ikhlas, dan
ternyata Nabi tidak tahu. Nabi kemudian bertanya kepada Jibril. Jibril pun
tidak tahu. Lalu, melalui Jibril, Nabi bertanya kepada Allah Swt. Allah Swt.
pun menjawab, “Ikhlas itu adalah salah satu dari rahasia-rahasia-Ku yang Aku
titipkan di dalam hati para hamba-Ku yang Aku cintai.”
Jadi sedemikian rahasianya ikhlas, malaikat pun tidak bisa tahu
sehingga tidak bisa mencatat, dan setan pun tidak bisa tahu sehingga tidak bisa
merusak. Itulah ikhlas, dan ikhlas ada korelasinya dengan takwa, sehingga ada
sebuah ayat yang menjelaskan bahwa manusia tidak boleh merasa sok suci,
(هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنشَأَكُم مِّنَ
اْلأَرْضِ وَإِذْ أَنتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلاَ تُزَكُّوا
أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى)
Dia lebih tahu tentang kamu
ketika Ia mengeluarkan kamu dari bumi, dan ketika kamu masih tersembunyi dalam
rahim ibumu. Karenanya, janganlah kamu
mengganggap diri kamu suci. Dia lebih tahu siapa yang memelihara diri dari
kejahatan (Q., An-Najm: 32). Sebagai penutup kita tegaskan: Jangan
merasa sok suci, dan jangan pernah menilai kwalitas ketaqwaan orang lain.
Karena sebenarnya kita sendiri tidak tahu apakah kita sudah benar-benar
bertaqwa atau tidak. Takwa itu ada di dalam dada, bersifat sangat
pribadi dan, karena itu, dimensinya pun langsung dengan Tuhan (habl-un
min-a ‘l-Lâh).
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم
الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
بارك
الله لي ولكم في القرآن العظيم و نفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم
وتقبل مني ومنكم تلاوته إنه هو البر الرؤوف الرحيم. وقل رب اغفر وارحم وأنت خير
الراحمين