Dengan gaya bahasanya yang khas, Kiai Maftuh mengingatkan para santri yang tahun ini menjadi peserta Ujian Nasional (UN) tentang cakupan makna filosofi kata “santri” yang semestinya difahami bersama. Jika di-Arabkan, kata “santri” akan terurai menjadi cakupan: “s” (sin), “n” (nun), “t” (ta’), “r” (ra’), “y” (ya’). Masing-masing huruf tersebut mengandung makna yang mempertegas keharusan bagi siapa saja yang menyandang predikat “santri”.
Ada hal menarik atau mungkin unik dalam pengumuman kelulusan yang langsung disampaikan oleh Pengasuh. Dikatakan unik, karena hal tersebut mungkin sudah langka –untuk tidak mengatakan satu-satunya– dipraktekkan dalam lembaga pendidikan di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, kebiasaan para siswa di seluruh Indonesia beberapa tahun ini, pascapengumuman kelulusan adalah melampiaskan kegembiraan dengan berfoya-foya. Tidak jarang juga mereka mencorat-coret baju sekolah sebagai tanda berakhirnya masa studi di tingkat menengah atas.
Nasehat Khusus Kiai
Dengan gaya bahasanya yang khas, Kiai Maftuh mengingatkan mereka cakupan makna filosofi kata “santri” yang semestinya difahami bersama. Jika di-Arabkan, kata “santri” akan terurai menjadi cakupan: “s” (sin), “n” (nun), “t” (ta’), “r” (ra’), “y” (ya’). Masing-masing huruf tersebut mengandung makna yang mempertegas keharusan bagi siapa saja yang menyandang predikat “santri”.
Kedua, nun, huruf ini berkepanjangan kalimat: naibun ‘an asy-syaikh (pengganti atau wakil kiai). Kiai adalah sebuah julukan non-formal yang diberikan langsung oleh masyarakat kepada seseorang yang dianggap pantas menyandangnya. Kata kiai, secara kebahasaan sepadan dengan syaikh dalam bahasa Arab, sama dengan grand master dalam bahasa Inggris, suhu dalam bahasa Cina, dan mungkin masih banyak lagi padanan kata kiai dalam versi bahasa asing lainnya. Lebih spesifik lagi, jika kiai biasa dikenal di daerah Jawa, maka daerah lain di Indonesia mempunyai istilah yang berbeda. Orang Lombok punya istilah tuan guru, orang Padang punya istilah buya. Intinya, semua istilah tersebut diberikan kepada sosok yang pandai dalam bidang agama, arif, bersahaja, dan pastinya tingkah laku dan pembicaraannya penuh hikmah. Sikap dan kepribadian itu sekaligus menjadi prasyarat seseorang berhak disebut sebagai kiai. Dari sini jelas, sebutan kiai tidak bias direkayasa oleh seseorang, kelompok, termasuk juga media.
Selanjutnya, yang ketiga adalah huruf ta’, yakni: tariku al-ma’asyi (orang yang meninggalkan maksiat); ra’: ragibun fi al-khair (mencintai kebaikan); dan ya’: yarju rahmata Rabbihi (mengharap rahmat Allah). Semua ungkapan tersebut senyatanya menjadi satu kesatuan sikap yang harus dimiliki oleh setiap santri. Santri harus meninggalkan, bahkan membenci perbuatan maksiat, dan sebaliknya mencintai dan selalu mengerjakan hal-hal positif (al-khair). Dua sikap itu senyatanya menjadi pengejawantahan sikap taqwa. Dengan landasan sikap-sikap tersebut, harapan utama santri dalam kehidupannya adalah mengharap rahmat dan keridoan Allah SWT.
Akhirnya, selamat atas keberhasilan dua lembaga ini. Selamat bagi SMA yang berhasil mengantarkan siswa/siswinya lulus dengan predikat 100 persen. Selamat juga bagi SMK al-Munawwariyyah atas keberhasilan perdananya meluluskan peserta didiknya. Jazakumullah khairan katsira. Good luck….!