Semuanya mengakui bahwa ciri masyarakat Islam (klasik) ialah etos keilmuannya yang amat tinggi. Pengakuan itu kerap kali menjadi salah satu tema paling digemari dalam khutbah, da'wah, tabligh, atau ceramah yang bernuansa religius. Toh demikian, kaum muslim sendiri tampaknya tidak banyak mengetahui substansi kualitas itu, apalagi menghayati makna dan semangatnya, kemudian menghidupkan serta mengembangkannya kembali.
Substansiasi itu bisa diperoleh dalam sejarah keilmuan Islam. Telah menjadi pengakuan umum dalam dunia kesarjanaan modern bahwa masyarakat Islam masa lalu adalah instrumental sekali dalam mewarisi, mengembangkan, dan mewariskan kekayaan intelektual umat manusia. Lebih dari itu, masyarakat Islam adalah kelompok manusia pertama yang menginter-nasionalkan ilmu pengetahuan, yang sebelumnya bersifat parokialistik, bercirikan kenasionalan dan hanya terbatas pada daerah atau bangsa tertentu.
Ilmu pengetahuan Islam, sebagaimana juga keseluruhan peradaban Islam, adalah ilmu pengetahuan dan peradaban yang dilandaskan kepada iman, kepada ajaran-ajaran Allah, dan dikembangkan dengan mengambil keseluruhan warisan kemanusiaan setelah dipisahkan mana yang benar dan mana yang salah, yang baik dan yang buruk, atau yang haq dari yang bâthil. Hasilnya ialah suatu ilmu pengetahuan dan peradaban yang kosmopolit dan universal, menjadi milik seluruh umat manusia dan bermanfaat untuk seluruh umat manusia pula.
Di samping ilmu pengetahuan, kelebihan masyarakat Islam yang lebih menonjol lagi ialah di bidang teknologi. Meskipun tidak sampai pada tingkat kecanggihan seperti pada teknologi modern saat ini, namun teknologi Islam klasik adalah cikal-bakal dan bibit yang mudah tumbuh dan berkembang dalam Zaman Modern ini, sekurang-kurangnya dalam etos dan semangatnya. Yaitu etos dan semangat bahwa ilmu-pengetahuan baru dapat disebut bermanfaat jika ia secara nyata mempunyai dampak perbaikan dan peningkatan hidup manusia di dunia ini, selain nilai etis dan spiritualnya (yang banyak ditekankan dalam Al-Qurân) yang akan ikut membawa kepada kebahagiaan akhirat nanti.
Bertolak dari sikap penuh harapan kepada hidup itu, maka para sarjana Islam klasik merintis jalan ke arah perbaikan nyata kehidupan duniawi ini dengan menerapkan berbagai teori ilmiah. Maka lahirlah adagium bahwa ilmu haruslah amaliah, dan amal haruslah ilmiah. Oleh karena itu, berbeda dengan Bangsa Yunani yang sibuk dengan drama dan tragedi, para sarjana Muslim banyak menekuni masalah teknik dan teknologi. Karena itu mereka amat menonjol dalam ilmu-ilmu empiris, seperti kedokteran, astronomi, pertanian, ilmu bumi, ilmu ukur (handasah), ilmu bangunan, dan lain-lain.
Disebabkan oleh akar-akar Islam bagi ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu, maka sampai saat ini banyak sekali istilah teknis dalam Iptek modern di Barat yang berasal dari bahasa Islam, khususnya bahasa Arab. Lebih luas lagi, karena peradaban Islam mempengaruhi Barat tidak hanya dalam bidang Iptek, tapi juga dalam bidang peradaban pada umumnya, maka dapat ditemukan pula berbagai istilah Inggris sebagai pinjaman dari Bahasa Arab atau Persia.
Kiranya, semangat inilah yang kurang difaham oleh banyak kaum muslim saat ini. Pemilahan antara ilmu pengetahuan umum dan agama adalah indikasi ketidakfahaman tersebut. Kita cukup bangga dengan pembicaraan seputar masa keemasan Islam tempo dulu, sementara proses terjadinya masa keemasan tersebut kurang mendapat prioritas pembahasan. Jika demikian kenyataannya, sangat mungkin sekali jika lantas disodorkan pertanyaan "ekstrim", sebagaimana judul catatan ini. Mungkinnkah?