Saya sampai pada kesimpulan, agama adalah satu kesatuan yang meliputi etika, budaya, kecendrungan, serta sikap yang bersumber dari guidence-idealist, panduan ideal untuk diterapkan dalam kehidupan nyata. Pengertian agama dan keberagamaan tidak menyempit pada laku ritual belaka, namun pastinya mencakup semua aspek hidup. Seluas apapun bidang kehidupan seseorang, dengan ketaatannya, maka seluas itu pula agama bisa diejahwantahkannya.
Ritualitas agama tidak lain menjadi pondasi awal sebuah bangunan keberagamaan seorang hamba. Karena hanya pondasi –tanpa mengkerdilkan urgensitas praktek ubudiyah– pelaksanaan ibadah ritual masih belum bisa dipandang sebagai ketaatan utuh hamba dalam beragama. Sebuah bangunan akan nampak jelas seiring kelengkapan bentuk yang menjadi corak bangunan tersebut. Etika, kecendrungan serta sikap inilah yang “melengkapi” keberagamaan seseorang. Apapun agamanya.
Dengan pemahaman di atas, penulis lantas mempertanyakan pemilahan ilmu pengetahuan yang berkembang di masyarakat: ada ilmu agama, juga ilmu umum (non-agama). Pemahaman yang berkembang, ilmu agama adalah pengetahuan yang berhubungan langsung dengan ritualitas beragama. Sementara yang tidak langsung berhuungan, dikata ilmu umum. Ilmu fisika, matemtika, biologi, ekonomi, kimia, arsitektur, kedokteran dan sejenisnya adalah contoh ilmu non-agama. Benarkah? Mari kita bangun sebuah asumsi dengan beberapa contoh kasus berikut.
Seperti halnya masalah pada umumnya, pemahaman keberagamaan seperti ini pun menjadi objek perdebatan antara yang pro dan kontra. Toh demikian, sejauh pengamatan penulis, sumber perselisihan bisa dipetakan timbul dari perbedaan sudut pandang makna agama, serta efek langsungnya dalam kehidupan sehari-hari.
Ada baiknya penulis ketengahkan sebuah pertanyaan yang bisa menjadi contoh bahwa semua ilmu bisa menjadi ilmu agama. Ada pertanyaan: “Apa kaitannya antara ilmu otomotif dengan agama?” Sepintas, nampak keluguan dari pertanyaan ini. Namun tidak menutup kemungkinan itu menjadi pertanda ketidak-setujuan penanya pada pemahaman penulis tentang agama, termasuk persepsi menyamakan semua ilmu.
Sebagai jawaban, penulis lantas memaparkan pengalaman yang baru beberapa waktu lalu terjadi, karenanya masih sangat segar dalam ingatan. Suatu ketika penulis berangkat ke sebuah kampus tempat mengajar. Tiba-tiba, di tengah perjalanan, mobil penulis mogok. Sesuai jadwal, beberapa saat lagi penulis harus mengawasi Ujian Tengah Semester (UTS).
Penulis berasumsi, para mahasiswa tidak mungkin mau tahu alasan keterlambatan penulis masuk ke ruang ujian. Namun, untung saja ada kawan yang pandai otomotif, bisa segera datang dan membantu memperbaiki mobil mogok tadi. Maka, selamatlah penulis dari anggapan sebagai dosen yang tidak konsisten waktu.
Bukankah agama (Islam) menyuruh umatnya menjadi sosok yang bisa dipercaya, amanah dan sebagainya. Dengan kemampuan otomotif, kekhawatiran diasumsikan sebagai sosok yang tidak amanah bisa ditepis. Bukankah, "ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib" ? Kemampuan otomotif adalah perantara mensukseskan kewajiban sebagai sosok yg beragama.
Jika ada yang bertanya: dimana letak kewajiban sebagai sosok beragama dlam contoh tersebut? Berkepribadian amanah, bisa dipercaya adalah satu dari sekian kawajiban seorang muslim. Artinya, muslim tidk boleh berkepribadian munafiq. Gampangnya, bersifat munafiq hukumnya haram; bersikap amanah adalah wajib.
Masih dalam kapasitas sebagai perantara, ilmu-ilmu eksaks juga tidak kalah pentingnya untuk dikatagorikan sebagai ilmu agama. Bayangkan, bagaimana mungkin kita bisa menjalankan perintah Allah agar memikirkan bagaimana penciptaan langit dan bumi, jika tidak mnggunakan ilmu-ilmu astronomi dan fisika?; bagaimana mungkin juga seorang muslim mau merenungkan proses penciptaan makhluk hidup, untuk semakin menguatkan keimanannya, kalauu tidak dengan biologi? Tidak mungkin kan!
Pada ranah inilah penulis ingin memastikan bahwa semua ilmu pengetahuan masuk katagori ilmu agama, bahkan "ilmu maling" sekalipun, selama dufungsikan sebagai mediasi perantara mendekatkan diri pada Rabb. Sebaliknya, ilmu yang saklek agamis akan bernilai non-agamis, bahkan mudillun, menyesatkan jika tidak bisa mengantar pemiliknya untuk semakin mendekati-Nya. Wallahu a’lam bi alshawab.