Banyak kerabat dan sahabat saya lebih memilih kendaraan roda
dua daripada naik mobil saat bepergian,
meski tumpangan mobil yang ditawarkan gratis. Alasannya hampir sama: menggunakan
roda dua lebih enjoy dan santai. Kebanyakan mereka merasa khawatir mual,
lantas muntah kalau harus bepergian dengan mobil.
Karena masih kerabat, tak jarang saya memaksa mereka untuk
ikut bersam-sama naik mobil. Tujuannya tak lain, agar bisa berkumpul, sambil
bercanda gurau saat dalam perjalanan. Nyatanya, seperti diprediksi, mereka yang
berfikir ‘khawatir muntah’, itu juga yang terjadi. Jangankan bercanda gurau di
dalam mobil, untuk bisa tersenyum pun sukar. Bawaannya “tegang”; berkecamuk
antara pikiran mual dan menahan sedapat mungkin agar tidak muntah. Namun
akhirnya muntah juga di mobil. Kasihan, perjalan orang-orang seperti ini tidak
bisa heppy mengendarai mobil.
Saya sendiri bukannya tidak pernah mual saat bepergian dengan
mobil. Pernah juga, meski tidak sering. Perasaan ini biasanya muncul saat tidak
sedang mengemudi sendiri. Saya ber-husnudan: bukan karena supirnya yang
kurang lihai mengemudi, atau karena belum minum Obat Anti Mabuk (Antimu). Meski
telah minum Antimu, toh tak menjamin juga rasa mual lenyap. Gejala ini
biasanya timbul seiring pikiran ‘takut mual’.
Ketika mengemudi sendiri, saya dituntut fokus pada tugas
seorang supir: konsentrasi dan penuh waspada. Karena sibuk berfikir sebagai
pengemudi, maka pikiran ‘takut mual’ nyaris sirna. Walhasil, saya pun terbebas
dari perasaan mual. Dan nyatanya memang hampir tak ada supir yang kedapatan
muntah akibat mual saat mengemudi. Itu dia, karena sibuk berfikir dan
konsentrasi tugas.
Orang yang tidak mengemudi pun, jika saat berkendaraan tidak
terbawa pikiran mual, ia akan rileks dan enjoy di dalam mobil. Biasanya, orang
yang sedang “sibuk” berpikir lain yang lebih mendesak atau lebih asyik, ia akan
melupakan konsentrasi pikiran ‘takut mual’. Orang seperti ini juga akan
terbebas dari rasa mual dan muntah saat menjadi penumpang mobil.
Meski tak ada penelitian secara ilmiah, saya berkesimpulan:
pikiran bisa mempengaruhi akal untuk berkonsentrasi pada apa yang kita pikirkan,
lantas direspon tubuh dengan perasaan. Hasilnya, apa yang kita pikirkan, besar
kemungkinannya itu yang akan terjadi.
Demikianlah mata rantai pengaruh pemikiran: pikiran,
konsentrasi, perasaan, dan hasil. Sejalan
dengan ini, Dr. Herbert Spencer mengatakan: “Akal dan tubuh saling
memengaruhi”. (Ibrahim Elfiqi: 2009). Pantas juga Socrates berkata: “Dengan
pikiran, seseorang bisa menjadikan dunianya berbunga-bunga atau berduri-duri.”
Senada juga ucapan Plato: Sumber setiap prilaku adalah pikiran. Dengan pikiran
kita bisa maju atau mundur. Dengan pikiran kita bia bahagia atau sengsara.”
Sampai tataran ini bisa kita fahami sebuah hadis qudsi: “Saya
tergantung bagaimana prasangka hamba kepadaku”. Jika kita berfikir positif
tentang satu hal atau pekerjaan, niscaya itu jugalah yang akan nampak sebagai
hasil. Sebaliknya, dampak negatif akan menjadi hasil bagi siapa saja yang
selalu berfikir pesimis-negatif. Maka, kalau kita ingin mengubah hidup,
mulailah semuanya dengan pondasi dasar perubahan: mengendalikan pikiran ke arah
yang diinginkan. Wallahu a’lam