Jika ditanya, model negara apakah negara Indonesia? Maka saya condong mengatakan: Indonesia adalah negara Hukum yang sekaligus Agamis. Pemahaman ini saya dasarkan atas kesimpulan dan pengamatan pada realita penerapan negara sekuler dan agama di dunia yang bisa dengan mudah kita amati. Untuk model negara agama, Saudi dan Iran bisa kita jadikan sampel. Sedangkan model negara sekuler, kita ambil perwakilannya dari dua negara yang sama-sama sekuler, namun berbeda corak. Dua negara tersebut adalah Amerika dan Turki.
Jika dibandingkan dengan dua negara sekuler tersebut, maka saya lebih cenderung menilai Indonesia sebagai negara agama. Banyak sekali indikasi yang bisa dikemukakan untuk kesimpulan ini. Salah satunya adalah adanya anggaran khusus untuk pendanaan program keagamaan. Pada kasusu ini, Islam sebagai agama mayoritas warga tentunya mendapatkan porsi yang lebih besar dibandingkan agama lainnya. Hal ini wajar dan memang proporsional, kan!
Dua model negara sekuler di atas, masing-masing mempunyai corak sekulerisasi yang berbeda. Amerika bercorak sekulerisasi yang frindly. Artinya, meski dipisahkan antara urusan negara dan agama, tapi negara memberikan penghormatan bagi warganya untuk beraktifitas keagamaan. Tidak ada pelarangan berfaham, berpenampilan, atau beratribut sesuai agama kepercayaan warganya. Karena sikap toleransinya ini, Amerika bahkan dijuluki sebagai negara yang kian nampak "agamis".
Kenyataan sekulerisasi yang diterapkan oleh Amerika berbeda dengan apa yang terjadi di negara sekuler Turki. Sekulerisasi di sana lebih tampak unfrindly (tidak bersahabat) terhadap hal-hal yang berbau agama. Apa saja yang berbau religius, pemerintah -dengan alasan untuk stabilisasi bangsa- melarangnya. Saat adzan, tidak boleh memakai bahasa Arab, di sekolah dan perkantoran, dilarang menggunakan jilbab dan atribut keagamaan lainnya. Dan masih banyak lagi contoh pelarangan penerapan hal-hal yang berbau agama di sana.
Tentang negara agama, Saudi dan Iran bisa kita katagorikan sebagai negara agama yang unfrindly dan Indonesia adalah negara agama yang frindly. Dengan analogi pemahaman seperti pemaparan di atas. Itu semua kesimpulan penulis pribadi. Keterbatasan informasi, serta minmnya data catatan, sah-sah saja jika lantas tulisan di atas dipandang apologis-subjektif. Jika Anda merasa keberatan pun, dengan senang hati penulis terima. Sembari berharap bisa menyertakan data dan argumen yang lebih akurat dan berbobot.
Jika dibandingkan dengan dua negara sekuler tersebut, maka saya lebih cenderung menilai Indonesia sebagai negara agama. Banyak sekali indikasi yang bisa dikemukakan untuk kesimpulan ini. Salah satunya adalah adanya anggaran khusus untuk pendanaan program keagamaan. Pada kasusu ini, Islam sebagai agama mayoritas warga tentunya mendapatkan porsi yang lebih besar dibandingkan agama lainnya. Hal ini wajar dan memang proporsional, kan!
Dua model negara sekuler di atas, masing-masing mempunyai corak sekulerisasi yang berbeda. Amerika bercorak sekulerisasi yang frindly. Artinya, meski dipisahkan antara urusan negara dan agama, tapi negara memberikan penghormatan bagi warganya untuk beraktifitas keagamaan. Tidak ada pelarangan berfaham, berpenampilan, atau beratribut sesuai agama kepercayaan warganya. Karena sikap toleransinya ini, Amerika bahkan dijuluki sebagai negara yang kian nampak "agamis".
Kenyataan sekulerisasi yang diterapkan oleh Amerika berbeda dengan apa yang terjadi di negara sekuler Turki. Sekulerisasi di sana lebih tampak unfrindly (tidak bersahabat) terhadap hal-hal yang berbau agama. Apa saja yang berbau religius, pemerintah -dengan alasan untuk stabilisasi bangsa- melarangnya. Saat adzan, tidak boleh memakai bahasa Arab, di sekolah dan perkantoran, dilarang menggunakan jilbab dan atribut keagamaan lainnya. Dan masih banyak lagi contoh pelarangan penerapan hal-hal yang berbau agama di sana.
Tentang negara agama, Saudi dan Iran bisa kita katagorikan sebagai negara agama yang unfrindly dan Indonesia adalah negara agama yang frindly. Dengan analogi pemahaman seperti pemaparan di atas. Itu semua kesimpulan penulis pribadi. Keterbatasan informasi, serta minmnya data catatan, sah-sah saja jika lantas tulisan di atas dipandang apologis-subjektif. Jika Anda merasa keberatan pun, dengan senang hati penulis terima. Sembari berharap bisa menyertakan data dan argumen yang lebih akurat dan berbobot.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar