Membaca berita tentang adanya profesor yang melakukan plagiat, rasanya sangat sedih dan menjengkelkan. Bagaimana seorang profesor yang sehari-hari mengajari para mahasiswanya agar rajin meneliti, menulis, dan atau membuat karya ilmiah, ternyata masih berani berbohong, dengan cara mengambil tulisan orang lain sebagai miliknya. Lebih menjengkelkan lagi, menurut berita itu, tulisan yang diambil adalah milik sarjana strata satu.
Peristiwa itu sangat memalukan baik terhadap sesama guru besar, lembaga pendidikan tinggi di mana ia bekerja, dan tidak terkecuali adalah dunia pendidikan tinggi pada umumnya. Seorang guru besar yang semesinya selalu bersikap obyektif, jujur, disipin, menjaga integritasnya sebagai seorang ilmuwan ternyta masih melaggar norma akademik yang sedemikian jauh. Melakukan plagiat adalah merupakan kejahatan akademik yang luar biasa, sehingga mestinya tidak boleh yang bersangkutan dipercaya lagi sebagai seorang guru besar.
Berita itu seolah-olah melengkapi carut marut bangsa ini. Berita-berita buruk tentang korupsi yang melibatkan berbagai kalangan, baik birokrasi pemerintahan, wakil rakyat, lembaga peradilan, BUMN dan lain-lain ternyata masih ditambah dengan penyimpangan keterlaluan yang dilakukan justru oleh orang yang dianggap paling memiliki integritas, karena yang bersangkutan bekerja di ranah pengemban ilmu pengetahuan, intelektual, dan moral.
Sebenarnya perguruan tinggi akhir-akhir ini dianggap sebagai beteng terakhir dalam menjaga moral, etika, dan kejujuran. Tetapi ternyata banteng itu, dengan terkuaknya peristiwa yang memalukan tersebut, telah jebol berantakan. Bisa jadi dengan kejadian itu, semua bangunan idealisme yang selama ini dircaya menjadi runtuh. Apalagi kalau kemudian orang mengatakan bahwa peristiwa itu bagaikaa gunung es. Artinya sedikit yang tampak itu dipercayai sebagai gambaran dari sekian banyak yang belum kelihatan.
Apa salahnya, jika mau, sebagai seorang profesor menyediakan waktu setengah jam saja secara istiqomah untuk menulis sebagai upaya mengekpresikan pikiran, pandangan, dan pendapatnya. Bagi seorang profesor sesungguhnya melakukan pekerjaan seperti itu jelas tidak sulit, apalagi sudah terbiasa dilakukan. Seseorang hingga mendapatkan gelar guru besar, semestinya sudah melewati sebuah proses panjang, melakukan kegiatan akademik, penelitian, dan juga penulisan karya ilmiah. Oleh sebab itu, cara kerja konyol dengan melakukan plagiat, rasanya tidak masuk di akal sehat.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional, akan melakukan seleksi yang semakin ketat terhap persyaratan seseorang yang akan ditetapkan sebagai guru besar. Di zaman seperti sekarang ini menyelesaikan pekerjaan menyeleksi karya-karya ilmiah tersebut tidak akan mudah dilakukan. Sebab betapa banyaknya jumlah dan jenis karya ilmiah yang telah ditulis oleh orang di perguruan tinggi yang sedemikian banyak jumlahnya. Apalagi petugas penyeleksi itu jumlahnya masih terbatas.
Saya rasa, melakukan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kesadaran akan betapa pentingnya sikap jujur, obyektif, dan terbuka, kiranya lebih penting sebagai penyempurna dari upaya menseleksi yang lebih ketat itu. Namun yang perlu diperhatikan, ialah bahwa jangan sampaii orang yang telah jujur, obyektif, dan produktiif menjadi terugikan oleh peristiwa itu, sehingga kenaikan jabatannya terhambat. Kejahatan seseorang tidak boleh terlalu jauh merugikan bagi orang-orang yang telah berdedikasi tinggi dan berbuat sebaik-baiknya dalam melakukan pengabdian.
Salah satu cara untuk melakukan control terhadap aktivitas akademik para dosen di semua perguruan tinggi, sesungguhnya bisa ditempuh dengan memanfaatkan fasilitas modern seperti website. Seluruh dosen, misalnya harus memiliki website dan setiap tulisan mereka harus dimasukkan pada fasilitas itu. Tulisan-tulisan dosen dan juga guru besar bisa diakses oleh siapapun melalui alamat atau fasilitas website itu secara terbuka. Bahkan seorang dosen yang sudah pada waktunya naik pangkat, termasuk ke jenjang guru besar, bisa dilihat dan diketahui dari website mereka masing-masing. Melalui fasilitas ini pula seorang dosen dalam waktu tertentu bisa diketahui, berapa buah hasil penelitian, artikel, dan karya-karya lain yang telah dibuatnya.
Belajar dari kasus ini, sesungguhnya ada hal yang lebih mendasar lagi untuk segera dipahami dan diperhatikan oleh para pimpinan bangsa ini. Yaitu bahwa ternyata kebohongan, kepalsuan, kepura-puraan, ketidak-jujuran, dan sejenisnya sudah terlalu menggurita, masuk di relung-relung terdalam dari kehidupan bangsa ini. Seorang profesor saja sudah memplagiat skripsi mahasiswanya yang masih bertaraf S1, menunjukkan hal yang sangat keterlaluan. Kejadian itu sudah menunjukkan sebuah gambaran yang terlalu dan sangat memprihatinkan.
Oleh karena itu, menurut hemat saya sudah waktunya para pemimpin bangsa ini berteriak keras, mengajak seluruh elemen dan lapisan masyarakat, segera kembali kepada kepribadian bangsa yang luhur dan agung. Mengikuti istilah yang pernah dikembangkan oleh NU dalam muktamarnya di Situbondo pada tahun 1984, yaitu kembali ke khithoh 1926, maka bangsa ini perlu segera kembali secara bersama-sama, tanpa terkecuali, kepada semangat kemerdekaan 1945. Jika tidak segera dilakukan dan menjadi terlambat, bangsa ini akan semakin terpuruk. Wallahu a’lam.
* Oleh: Prof. Imam Suprayogo
Peristiwa itu sangat memalukan baik terhadap sesama guru besar, lembaga pendidikan tinggi di mana ia bekerja, dan tidak terkecuali adalah dunia pendidikan tinggi pada umumnya. Seorang guru besar yang semesinya selalu bersikap obyektif, jujur, disipin, menjaga integritasnya sebagai seorang ilmuwan ternyta masih melaggar norma akademik yang sedemikian jauh. Melakukan plagiat adalah merupakan kejahatan akademik yang luar biasa, sehingga mestinya tidak boleh yang bersangkutan dipercaya lagi sebagai seorang guru besar.
Berita itu seolah-olah melengkapi carut marut bangsa ini. Berita-berita buruk tentang korupsi yang melibatkan berbagai kalangan, baik birokrasi pemerintahan, wakil rakyat, lembaga peradilan, BUMN dan lain-lain ternyata masih ditambah dengan penyimpangan keterlaluan yang dilakukan justru oleh orang yang dianggap paling memiliki integritas, karena yang bersangkutan bekerja di ranah pengemban ilmu pengetahuan, intelektual, dan moral.
Sebenarnya perguruan tinggi akhir-akhir ini dianggap sebagai beteng terakhir dalam menjaga moral, etika, dan kejujuran. Tetapi ternyata banteng itu, dengan terkuaknya peristiwa yang memalukan tersebut, telah jebol berantakan. Bisa jadi dengan kejadian itu, semua bangunan idealisme yang selama ini dircaya menjadi runtuh. Apalagi kalau kemudian orang mengatakan bahwa peristiwa itu bagaikaa gunung es. Artinya sedikit yang tampak itu dipercayai sebagai gambaran dari sekian banyak yang belum kelihatan.
Apa salahnya, jika mau, sebagai seorang profesor menyediakan waktu setengah jam saja secara istiqomah untuk menulis sebagai upaya mengekpresikan pikiran, pandangan, dan pendapatnya. Bagi seorang profesor sesungguhnya melakukan pekerjaan seperti itu jelas tidak sulit, apalagi sudah terbiasa dilakukan. Seseorang hingga mendapatkan gelar guru besar, semestinya sudah melewati sebuah proses panjang, melakukan kegiatan akademik, penelitian, dan juga penulisan karya ilmiah. Oleh sebab itu, cara kerja konyol dengan melakukan plagiat, rasanya tidak masuk di akal sehat.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional, akan melakukan seleksi yang semakin ketat terhap persyaratan seseorang yang akan ditetapkan sebagai guru besar. Di zaman seperti sekarang ini menyelesaikan pekerjaan menyeleksi karya-karya ilmiah tersebut tidak akan mudah dilakukan. Sebab betapa banyaknya jumlah dan jenis karya ilmiah yang telah ditulis oleh orang di perguruan tinggi yang sedemikian banyak jumlahnya. Apalagi petugas penyeleksi itu jumlahnya masih terbatas.
Saya rasa, melakukan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kesadaran akan betapa pentingnya sikap jujur, obyektif, dan terbuka, kiranya lebih penting sebagai penyempurna dari upaya menseleksi yang lebih ketat itu. Namun yang perlu diperhatikan, ialah bahwa jangan sampaii orang yang telah jujur, obyektif, dan produktiif menjadi terugikan oleh peristiwa itu, sehingga kenaikan jabatannya terhambat. Kejahatan seseorang tidak boleh terlalu jauh merugikan bagi orang-orang yang telah berdedikasi tinggi dan berbuat sebaik-baiknya dalam melakukan pengabdian.
Salah satu cara untuk melakukan control terhadap aktivitas akademik para dosen di semua perguruan tinggi, sesungguhnya bisa ditempuh dengan memanfaatkan fasilitas modern seperti website. Seluruh dosen, misalnya harus memiliki website dan setiap tulisan mereka harus dimasukkan pada fasilitas itu. Tulisan-tulisan dosen dan juga guru besar bisa diakses oleh siapapun melalui alamat atau fasilitas website itu secara terbuka. Bahkan seorang dosen yang sudah pada waktunya naik pangkat, termasuk ke jenjang guru besar, bisa dilihat dan diketahui dari website mereka masing-masing. Melalui fasilitas ini pula seorang dosen dalam waktu tertentu bisa diketahui, berapa buah hasil penelitian, artikel, dan karya-karya lain yang telah dibuatnya.
Belajar dari kasus ini, sesungguhnya ada hal yang lebih mendasar lagi untuk segera dipahami dan diperhatikan oleh para pimpinan bangsa ini. Yaitu bahwa ternyata kebohongan, kepalsuan, kepura-puraan, ketidak-jujuran, dan sejenisnya sudah terlalu menggurita, masuk di relung-relung terdalam dari kehidupan bangsa ini. Seorang profesor saja sudah memplagiat skripsi mahasiswanya yang masih bertaraf S1, menunjukkan hal yang sangat keterlaluan. Kejadian itu sudah menunjukkan sebuah gambaran yang terlalu dan sangat memprihatinkan.
Oleh karena itu, menurut hemat saya sudah waktunya para pemimpin bangsa ini berteriak keras, mengajak seluruh elemen dan lapisan masyarakat, segera kembali kepada kepribadian bangsa yang luhur dan agung. Mengikuti istilah yang pernah dikembangkan oleh NU dalam muktamarnya di Situbondo pada tahun 1984, yaitu kembali ke khithoh 1926, maka bangsa ini perlu segera kembali secara bersama-sama, tanpa terkecuali, kepada semangat kemerdekaan 1945. Jika tidak segera dilakukan dan menjadi terlambat, bangsa ini akan semakin terpuruk. Wallahu a’lam.
* Oleh: Prof. Imam Suprayogo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar