Tidak jarang kita melakukan satu pekerjaan bukan karena nilai intrinsik pekerjaan tersebut, namun ada faktor-faktor lain di luar tindakan itu sendiri. Keinginan untuk dilihat atau didengar menjadi faktor yang bahkan mendominasi dan menjadi pendorong kita untuk melakukan—atau tidak melakukan sesuatu. Dengan kata lian, bisa jadi tidak satu pun dari kita yang berhak menganggap dirinya terlepas dari sifat pamrih, baik yang sum’ah, atau yang riya’.
Konon para ahli jiwa mempunyai cara yang cukup handal untuk mengorek isi hati orang sehingga diketahui apakah orang itu mempunyai rasa pamrih dalam berbagai tindakannya atau tidak. Sebab seringkali sesungguhnya Dengan kata lain, kita sebenarnya belum tentu bertindak demi nilai intrinsik tindakan kita, melainkan karena nilai lain yang ada di luar tindakan itu sendiri. Karena itulah kepamrihan menjadi lawan keikhlasan.
Jika pamrih kita ialah keinginan untuk “dilihat” orang, dalam istilah keagamaannya ialah riyâ’. Dan jika untuk “didengar” orang, misalnya agar nama menjadi terkenal, maka istilahnya itu sum’ah. Kedua-duanya itu adalah sejenis kemunafikan, karena mengandung semangat bahwa kita berbuat tidak untuk tujuan sesungguhnya seperti kita katakan atau kesankan pada orang lain, melainkan untuk tujuan lain yang disembunyikan, yang nilai tujuan itu tidaklah terlalu mulia. Jadi kita tidak tulus dalam amal perbuatan kita.
Oleh karena itu dalam Kitab Suci diisyaratkan bahwa keinginan seseorang untuk mendapat pujian orang lain atas sesuatu yang sebenarnya tidak dia kerjakan adalah suatu bentuk sikap menolak kebenaran (Q., 3: 188). Dan sikap menolak kebenaran itu, sudah kita ketahui bersama, adalah salah satu makna kata-kata kufr. Bahkan karena pamrih itu mengandung arti mengalihkan tujuan hakiki amal-perbuatan kita kepada tujuan yang lain, atau membagi tujuan itu (yang semestinya secara tulus hanya untuk ridlâ Allâh) dengan tujuan selain dari pada-Nya, maka pamrih juga mengandung unsur syirk.
Karena itu dalam sebuah hadis yang terkenal, Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku kuatirkan terjadi padamu sekalian ialah syirik kecil, yaitu pamrih”. Artinya seolah-olah Nabi Saw. hendak menegaskan bahwa mungkin kita tidak lagi akan menyembah berhala, karena sudah jelas kepalsuannya, dan mudah dikontrol. Tapi yang sulit ialah bagaimana berteguh hati dalam tujuan perbuatan kita hanya kepada Allah Swt. demi ridlâ-Nya. Sebab semua orang kiranya merasakan betapa mudahnya—dan tanpa terasa—menyelinap ke dalam lubuk hati kita keinginan untuk dilihat, didengar, dan dipuji orang.
Masalah seseorang mendapat pujian dari orang lain, asalkan secara wajar dan beralasan, tentulah dibenarkan saja. Ini diisyaratkan dalam firman Allah, Katakan (wahai Muhammad): “Bekerjalah kamu semua, maka Allah akan melihat pekerjaanmu itu, begitu juga Rasul-Nya dan seluruh masyarakat kaum beriman” (Q., 9: 105). Dan sesuatu yang akan “dilihat” itu hasil kerja atau prestasi, yang memang akan menjadi inti kualitas seseorang. Dan tidaklah manusia itu mempunyai sesuatu kecuali yang dia usahakan (Q., 53: 39).
Tetapi yang menjadi persoalan ialah jika kita kehilangan kesejatian dan ketulusan dalam amal-perbuatan, karena menyelinap dalam hati kita keinginan mendapat pujian orang lain. Dalam keadaan demikian kita tidak akan mendapatkan apa-apa dari amal-perbuatan itu. Maka untuk menjadi tulus dan sejati itu kita harus berjuang terus-menerus (mujâhadah) melawan kecenderungan tidak benar dalam diri kita sendiri. Sebanding dengan kesungguhan itulah kita insyâ’ Allâh mendapatkan pahala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar