Masalah pendidikan agama dalam keluarga, mula-mula harus dipisahkan posisi, lantas proporsinya secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hal ini untuk pemetaan model pembelajaran agama dimaksud, serta peran orang tua sebagai pendidik utama di dalamnya. Pada posisi ini, orang tua tidak mejadikan kelemahan pengetahuannya dalam urusan agama sebagai alasan mewakilkan peran dimaksud kepada guru di sekolah atau di langgar tempat anaknya mengaji. Peran orang tua senyatanya jauh lebih berat dari apa yang semula dibayangkan oleh masyarakat pada umumnya. Tradisi mencukupkan pendidikan anak di sekolah, juga di langgar, tanpa peran aktif orang tua di rumah adalah kekeliruan yang semakin menggejala.
Hal itu karena, pendidikan agama dalam rumah tangga tidak cukup hanya berupa pengajaran kepada anak tentang segi-segi ritual dan formal agama. Pengajaran ini, sebagaimana halnya yang ada di sekolah oleh guru agama, dalam rumah tangga pun dapat diperankan oleh orang lain, yaitu guru mengaji yang sekarang mulai populer dalam masyarakat kita. Dan meskipun ada guru mengaji sekaligus juga dapat bertindak sebagai pendidik agama, namun peran mereka tidak akan dapat menggantikan peran orang tua secara sepenuhnya. Jadi guru mengaji pun sebenarnya terbatas perannya hanya sebagai pengajar agama—yakni, penuntun ke arah segi-segi kognitif agama itu—bukan pendidikan agama.
Jika yang dimaksudkan ialah pendidikan agama dalam rumah tangga, jelas melibatkan peran orang tua serta keseluruhan anggota rumah tangga dalam usaha menciptakan suasana keagamaan yang baik dan benar dalam keluarga. Dan peran orang tua tidak perlu berupa peran pengajaran (yang nota bene dapat “diwakilkan” kepada orang lain tadi). Peran orang tua adalah peran tingkah laku, tulada atau teladan, dan pola-pola hubungannya dengan anak yang dijiwai dan disemangati oleh nilai-nilai keagamaan menyeluruh.
Di sinilah lebih-lebih akan terbukti benarnya pepatah, “bahasa perbuatan adalah lebih fasih daripada bahasa ucapan”. Jadi jelas bahwa pendidikan agama menuntut tindakan percontohan lebih banyak daripada pengajaran verbal. Dengan meminjam istilah yang populer di masyarakat (tapi sedikit salah kaprah), dapat dikatakan bahwa “pendidikan dengan bahasa perbuatan” (tarbiyatun bi lisâni ‘l-hâl) untuk anak adalah lebih efektif dan lebih mantap daripada “pendidikan dengan bahasa ucapan” (tarbiyatun bi lisâni ‘l-maqâl).
Karena itu yang penting ialah adanya penghayatan kehidupan keagamaan dalam suasana rumah tangga. Mode mendirikan mushalla yang sekarang ini cukup banyak dipraktikkan orang dalam ling-kungan rumah tangga adalah permulaan, bahkan modal, yang cukup baik. Kehadiran mushalla secara fisik dalam lingkungan keluarga akan menegaskan kehadiran rasa keagamaan dalam keluarga itu. Ini, secara “sibernetik”, menyediakan prasarana pendukung bagi tumbuhnya kehidupan keagamaan yang bakal membentuk milieu pendidikan keagamaan rumah tangga.
Tetapi sebagaimana setiap prasarana fisik tidak dengan sendirinya menghasilkan apa yang dituju, maka demikian pula mushalla keluarga harus ditunjang dengan kegiatan keagamaan yang nyata. Meskipun shalat bersama masih termasuk segi ritual dan formal keagamaan, namun pelak-sanaanya secara bersama dalam keluarga (dalam bentuk shalat berjamaah) akan mempunyai dampak yang sangat positif kepada seluruh anggota keluarga. Ada ungkapan Inggris yang menga-takan, “A family who prays together will never fall apart” (sebuah keluarga yang selalu berdoa atau sembahyang bersama tidak akan berantakan).
Sebagai “bingkai” atau “kerangka” keagamaan, shalat adalah titik tolak yang sangat baik untuk pendidikan keagamaan seterusnya. Pertama, shalat itu mengandung arti penguatan ketakwaan kepada Allah, memperkokoh dimensi vertikal hidup manusia, yaitu “tali hubungan dengan Allah” (hablun min Allâh). Segi ini dilambangkan dalam takbîratu al-ihrâm, yaitu takbir atau ucapan Allâhu Akbar pada pembukaan shalat. Kedua, shalat itu menegaskan pentingnya memelihara hubungan dengan sesama manusia secara baik, penuh kedamaian, dengan kasih atau rahmat serta berkah Tuhan. Jadi memperkuat dimensi horizontal hidup manusia, yaitu “tali hubungan dengan sesama manusia” (hablun min al-nâs). Ini dilambangkan dalam taslîm atau ucapan salam, yakni ucapan assalâmu‘alaykum wa rahmatuullâhi wa barakâtuhu pada akhir shalat dengan anjuran kuat untuk menengok ke kanan dan ke kiri.
Hal itu karena, pendidikan agama dalam rumah tangga tidak cukup hanya berupa pengajaran kepada anak tentang segi-segi ritual dan formal agama. Pengajaran ini, sebagaimana halnya yang ada di sekolah oleh guru agama, dalam rumah tangga pun dapat diperankan oleh orang lain, yaitu guru mengaji yang sekarang mulai populer dalam masyarakat kita. Dan meskipun ada guru mengaji sekaligus juga dapat bertindak sebagai pendidik agama, namun peran mereka tidak akan dapat menggantikan peran orang tua secara sepenuhnya. Jadi guru mengaji pun sebenarnya terbatas perannya hanya sebagai pengajar agama—yakni, penuntun ke arah segi-segi kognitif agama itu—bukan pendidikan agama.
Jika yang dimaksudkan ialah pendidikan agama dalam rumah tangga, jelas melibatkan peran orang tua serta keseluruhan anggota rumah tangga dalam usaha menciptakan suasana keagamaan yang baik dan benar dalam keluarga. Dan peran orang tua tidak perlu berupa peran pengajaran (yang nota bene dapat “diwakilkan” kepada orang lain tadi). Peran orang tua adalah peran tingkah laku, tulada atau teladan, dan pola-pola hubungannya dengan anak yang dijiwai dan disemangati oleh nilai-nilai keagamaan menyeluruh.
Di sinilah lebih-lebih akan terbukti benarnya pepatah, “bahasa perbuatan adalah lebih fasih daripada bahasa ucapan”. Jadi jelas bahwa pendidikan agama menuntut tindakan percontohan lebih banyak daripada pengajaran verbal. Dengan meminjam istilah yang populer di masyarakat (tapi sedikit salah kaprah), dapat dikatakan bahwa “pendidikan dengan bahasa perbuatan” (tarbiyatun bi lisâni ‘l-hâl) untuk anak adalah lebih efektif dan lebih mantap daripada “pendidikan dengan bahasa ucapan” (tarbiyatun bi lisâni ‘l-maqâl).
Karena itu yang penting ialah adanya penghayatan kehidupan keagamaan dalam suasana rumah tangga. Mode mendirikan mushalla yang sekarang ini cukup banyak dipraktikkan orang dalam ling-kungan rumah tangga adalah permulaan, bahkan modal, yang cukup baik. Kehadiran mushalla secara fisik dalam lingkungan keluarga akan menegaskan kehadiran rasa keagamaan dalam keluarga itu. Ini, secara “sibernetik”, menyediakan prasarana pendukung bagi tumbuhnya kehidupan keagamaan yang bakal membentuk milieu pendidikan keagamaan rumah tangga.
Tetapi sebagaimana setiap prasarana fisik tidak dengan sendirinya menghasilkan apa yang dituju, maka demikian pula mushalla keluarga harus ditunjang dengan kegiatan keagamaan yang nyata. Meskipun shalat bersama masih termasuk segi ritual dan formal keagamaan, namun pelak-sanaanya secara bersama dalam keluarga (dalam bentuk shalat berjamaah) akan mempunyai dampak yang sangat positif kepada seluruh anggota keluarga. Ada ungkapan Inggris yang menga-takan, “A family who prays together will never fall apart” (sebuah keluarga yang selalu berdoa atau sembahyang bersama tidak akan berantakan).
Sebagai “bingkai” atau “kerangka” keagamaan, shalat adalah titik tolak yang sangat baik untuk pendidikan keagamaan seterusnya. Pertama, shalat itu mengandung arti penguatan ketakwaan kepada Allah, memperkokoh dimensi vertikal hidup manusia, yaitu “tali hubungan dengan Allah” (hablun min Allâh). Segi ini dilambangkan dalam takbîratu al-ihrâm, yaitu takbir atau ucapan Allâhu Akbar pada pembukaan shalat. Kedua, shalat itu menegaskan pentingnya memelihara hubungan dengan sesama manusia secara baik, penuh kedamaian, dengan kasih atau rahmat serta berkah Tuhan. Jadi memperkuat dimensi horizontal hidup manusia, yaitu “tali hubungan dengan sesama manusia” (hablun min al-nâs). Ini dilambangkan dalam taslîm atau ucapan salam, yakni ucapan assalâmu‘alaykum wa rahmatuullâhi wa barakâtuhu pada akhir shalat dengan anjuran kuat untuk menengok ke kanan dan ke kiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar